Anda di halaman 1dari 15

RINGKASAN

PRINSIP KETERBUKAAN DALAM PASAR MODAL


OLEH BISMAR NASUTION

Agung Yuriandi (087005039)


Bidang Studi Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara
Medan
2009

Prinsip Keterbukaan dalam Pasar Modal


Tidak ada pasar lain di dunia ini yang begitu banyak jenis pelakunya
seperti yang terdapat pada pasar modal. Ini mudah dipahami berhubung mobilitas
perputaran uang di pasar modal sangat besar jumlahnya. Dalam waktu beberapa
detik saja, miliaran dolar dapat ditarik oleh suatu negara lewat wahana pasar
modal itu. Ibarat kata orang bijak, dimana ada gula disitu banyak semut, maka
berduyun-duyun orang datang ke pasar modal, dengan berbagai peranan yang
dimainkannya, atau bahkan mereka datang hanya sekedar berspekulasi dengan
nasibnya dengan melakukan investasi di pasar modal tersebut. Oleh karena itu,
pasar modal telah menjadi wadah investasi, yang dapat menyaingi sektor
perbankan atau wadah-wadah investasi konvensional lainnya. Di sana, di pasar
modal, orang-orang bermain dengan modal, suatu permainan yang sangat
menggairahkan sekaligus mendebarkan.1
Prinsip keterbukaan atau full disclosured yang diterapkan dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dalam Pasal 1 ayat (25)
menyatakan bahwa prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang
mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada
undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu
yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat
berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek dimaksud dan atau harga
dari efek tersebut.

1
Rachmadi Usman, mengutip Munir Fuady (1996:37-38), Aspek-Aspek Hukum
Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001, h. 55.

1
Berbicara mengenai keterbukaan tidak terlepas dari fakta materil. Menurut
Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, fakta
materil adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa,
kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa efek dan
atau keputusan pemodal, atau calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan
atas informasi atau fakta tersebut.

Konsekuensi Diterapkannya Prinsip Keterbukaan


Setelah suatu perusahaan go public dan mencatatkan efeknya di bursa,
maka emiten sebagai perusahaan publik, wajib menyampaikan laporan secara
rutin maupun laporan lain jika ada kejadian penting kepada BAPEPAM-LK dan
BEI. Seluruh laporan yang disampaikan oleh emiten kepada masyarakat investor
melalui pengumuman di lantai bursa maupun melalui internet. Investor dapat
memperoleh informasi tersebut melalui perusahaan pialang, internet, koran,
televisi, maupun radio.2
Hal ini penting karena sebagian besar investor terutama investor publik
tidak memiliki akses langsung kepada emiten. Untuk mengetahui kinerja
perusahaan, investor sangat tergantung pada informasi tersebut. Oleh karena itu,
kewajiban pelaporan dimaksudkan untuk penyebaran informasi, sehingga
informasi tersebut dapat disampaikan secara tepat waktu dan tepat guna kepada
investor. Kewajiban pelaporan ini merupakan pelaksanaan ”keterbukaan
informasi” dari emiten yang disampaikan kepada BAPEPAM dan bursa untuk
dipublikasikan kepada masyarakat investor.3
Notaris, konsultan hukum, dan perusahaan penilai sangat berperan dalam
memberi informasi penting pada saat Initial Public Offering (IPO); sedangkan
akuntan publik, emiten, bursa efek, dan BAPEPAM secara terus menerus, baik
berkala maupun insidentil, wajib menginformasikan kepada masyarakat investor.
Namun demikian, pelaksanaan kewajiban transparansi informasi oleh emiten,
akuntan publik, bursa efek, dan BAPEPAM tidak cukup memadai. Hal ini
tercermin dari jumlah emiten yang baru 2 (dua) tahun sudah dikeluarkan dari
bursa efek (delisting). Bahkan yang sudah puluhan tahun pun juga dapat terkena
2
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 88 – Pasal 89.
3
Ibid.

2
delisting. Secara khusus, sejak resesi ekonomi melanda Indonesia dari tahun 1997
sampai tahun 2003 sudah sekitar 35 emiten terkena delisting. Tidak satu pun
pihak yang dapat memberi signal awal tentang kebangkrutan perusahaan melalui
laporan keuangan rutin yang diterbitkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam hal transparansi tersebut.4
Akuntan publik, sebagai pihak independen, harus mempunyai kemampuan
dan kekuatan untuk menyampaikan informasi penting itu dalam laporan berkala
triwulan, tengah triwulan, tengah tahunan, atau tahunan. Akuntan publik harus
membangun sistem informasi antara kantor akuntan publik dengan nasabahnya
menyangkut peristiwa yang diperkirakan akan terjadi, seperti tuntutan Pasal 68
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Akuntan publik tidak
hanya bertanggung jawab memberi opini terhadap posisi keuangan perusahaan,
tetapi juga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan Pasal 68 UUPM seperti
disebut di atas.5
Adapun laporan yang disampaikan oleh emiten kepada investor tersebut,
antara lain:
a). Kewajiban pelaporan rutin;
- Laporan keungan tahunan
- Laporan tahunan
- Iklan laporan keuangan tahunan
- Laporan keuangan tengah tahunan
- Laporan keuangan triwulanan
- Laporan penggunaan dana hasil emisi
- Laporan kegiatan registrasi bulanan
b). Kewajiban pelaporan berkala; dan
- Setiap ada kejadian penting dan relevan

4
Mohamad Samsul, Pasar Modal & Manajemen Portofolio, Jakarta: Erlangga, 2006, h.
60 – 61.
5
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pada Pasal 68 menyebutkan
bahwa: “Akuntan yang terdaftar pada BAPEPAM yang memeriksa laporan keuangan Emiten,
Bursa Efek, Lambaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan
Pihak lain yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal wajib menyampaikan pemberitahuan
yang sifatnya rahasia kepada BAPEPAM selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan
adanya hal-hal sebagai berikut: a. pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan dalam undang-
undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya; atau b. hal-hal yang dapat membahayakan keadaan
keuangan lembaga dimaksud atau kepentingan para nasabahnya”.

3
c). Laporan lainnya.
- Perubahan Anggaran Dasar
- Rencana RUPS/ RUPSLB
- Perubahan susunan direksi yang terdan komisaris
Dengan prinsip keterbukaan ini, maka seluruh perusahaan yang masuk di
dalam pasar modal wajib melaksanakannya kepada publik khususnya kepada
investor maupun regulator. Keterbukaan merupakan oksigen yang dibutuhkan
para pelaku pasar dalam mengambil keputusan investasi khususnya di pasar
sekunder apakah menjual atau membeli. Keputusan seperti itu membuat harga
saham di pasar modal berfluktuasi.
Ketidakterbukaan informasi dapat sangat merugikan investor publik
sebagai pemegang saham minoritas, tetapi menguntungkan pemegang saham
pendiri sebagai mayoritas. Akan tetapi, apabila informasi yang diharapkan itu
dapat diperoleh dari laporan keuangan yang sudah diaudit dalam note to financial
statements, maka investor segera dapat mengambil keputusan untuk menahan
investasi atau melepas saham yang dimilikinya.6
Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh BAPEPAM ataupun bursa efek,
emiten diwajibkan memiliki: corporate secretary, direktur independen, komisaris
independen, dan komite audit serta persyaratannya. Akuntan publik wajib
memberitahukan pelaksanaan peraturan tersebut dalam notes to management.
Akuntan publik harus memberi banyak management letter kepada direksi emiten
selama tahun berjalan. Management letter tersebut, ditanggapi atau tidak
ditanggapi, harus dimasukkan dalam notes to management. Laporan akuntan
publik dalam notes to management harus sesuai dengan tuntutan Pasal 68 ayat (1)
UUPM.7

Alasan Penerapan Prinsip Keterbukaan


Prinsip keterbukaan penting karena untuk melindungi investor,
menghindari kehancuran pasar modal, dan mencegah kemunduran perekonomian

6
Mohamad Samsul, Loc cit. h. 62.
7
Ibid.

4
suatu negara. Prinsip keterbukaan adalah jiwa dan nafas dari pasar modal itu, jika
jiwa dan nafasnya tidak ada maka pasar modal tidak dapat hidup.8
Fakta Menyesatkan
Fakta menyesatkan atau misleiding statement lahir karena bagi perusahaan
ada kewajiban bagi emiten untuk melaksanakan prinsip keterbukaan tersebut.
Keterbukaan emiten haruslah benar, akurat, dan tepat waktu. 9 Apabila ada
kesalahan yang disampaikan maka akan terjadilah misleiding statement. Hal yang
wajib disampaikan kepada publik adalah informasi yang mengandung fakta
materil begitu juga dengan pernyataan yang menyesatkan, yang menjadi tolok
ukurnya adalah prinsip keterbukaan dalam fakta materil. Apabila terjadi informasi
yang salah diberikan atau kurang lengkap, waktu penyampaiannya maka sudah
terjadi fraud yang dapat menyebabkan penyesatan terhadap investor.
Dalam tubuh manusia jika oksigen tidak diabsorbsi dengan baik maka
akan timbul masalah-masalah, begitu juga dalam pasar modal. Begitu dijunjung
tingginya prinsip keterbukaan tersebut, jika tidak dilaksanakan dengan baik maka
akan timbul kerugian yang tidak sedikit nilainya. Biasanya prinsip keterbukaan
tersebut dilanggar apabila terjadi pernyataan yang menyesatkan (misleiding
10
statement). Pernyataan yang menyesatkan, dapat disebut juga dengan
penghilangan fakta materil, halini terjadi karena:
a). Pernyataan informasi yang sama sekali salah;
b). Pernyataan informasi yang sebagian benar;
c). Pernyataan informasi yang tidak lengkap;
d). Sama sekali tidak memberikan fakta informasi materil apapun.
Hal di atas dilakukan pada saat penawaran awal, prospektus yang
dilakukan oleh notaris atau kuasa hukum. Konsekuensi pernyataan yang salah
adalah penyesatan publik, kalau prinsip keterbukaan jalan maka tidak akan ada
masalah. Pernyataan menyesatkan masuk ke dalam kategori fraud.11
Fungsi Prinsip Keterbukaan

8
Sunarmi, Catatan Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2009.
9
Bismar Nasution, Catatan Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.
10
Ibid.
11
Ibid.

5
Adapun fungsi dari prinsip keterbukaan, antara lain:12
a). Untuk memelihara kepercayaan publik terhadap pasar, jika bicara
mengenai bisnis maka harus ada kepercayaan antara investor dengan
manager investasi agar semuanya dapat berjalan baik. Tidak adanya
keterbukaan dalam pasar modal membuat investor tidak percaya terhadap
mekanisme pasar. Sebab prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting
bagi investor sebelum mengambil keputusan untuk melakukan investasi
karena melalui keterbukaan bisa terbentuk suatu penilaian (judgement)
terhadap investasi, sehingga investor secara optimal dapat menentukan
pilihan terhadap portfolio mereka. Makin jelas informasi perusahaan maka
keinginan investor untuk melakukan investasi makin tinggi pula.
Sebaliknya ketiadaan atau kekurangan serta ketertutupan informasi dapat
menimbulkan ketidakpastian bagi investor, dan konsekuensinya
menimbulkan ketidakpercayaan investor dalam melakukan investasi di
pasar modal;
b). Untuk menciptakan mekanisme pasar yang efisien. Filosofi ini didasarkan
pada konstruksi pemberian informasi secara penuh sehingga menciptakan
pasar modal yang efisien, yaitu harga saham sepenuhnya merupakan
refleksi dari seluruh informasi yang tersedia;
c). Untuk mencegah penipuan (fraud). Sangat baik untuk dipahami ungkapan
yang pernah diungkapkan Barry A. K. Ridere, yang menyatakan
bahwa ”sunlight is the best disinfectant and electric light the best
policeman”. Dengan kata lain Rider menyatakan bahwa ”more dislosure
will invitably discourage wrong doing and abuse”. Selanjutnya dia
menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut perlu
dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus
diungkapkan dan kepada siapa informasi tersebut disampaikan. Fungsi
prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan adalah pendapat yang
paling tua.

Kritik Bismar Nasution terhadap Prinsip Keterbukaan dalam Pasar Modal


12
Sunarmi, Modul Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2009.

6
Melihat kembali Pasal 1 ayat (7) UUPM maka masalah yang paling utama
dalam pelaksanaan keterbukaan adalah sulitnya menentukan standar fakta materil,
sebab UUPM tidak cukup menentukan apa yang menjadi standar fakta materil
dalam prinsip keterbukaan. Apabila standar fakta materil telah cukup dan dapat
dipaham, maka dengan mudah pula memahami hal-hal yang berkaitan dengan
pelanggaran prinsip keterbukaan. Tidak adanya patokan mengenai perubahan
harga saham tersebut jika disampaikan fakta materil yang tidak mengandung
keterbukaan. Kebingungan tersebut berlanjut kepada harganya apakah 1 (satu)
poin atau ratusan poin.13
Salah satu bentuk pelanggaran prinsip keterbukaan adalah “pernyataan
menyesatkan” karena adanya pernyataan materil yang salah atau penghilangan
fakta materil.
Selanjutnya mengenai siapa yang dirugikan, apakah investor amatir atau
sophisticated investor. Investor amatir atau disebut dengan accredited investor
adalah seorang investor yang hanya mengikuti sophisticated investor atau investor
yang meraup banyak uang dan/ atau memiliki kekayaan bersih yang besar dalam
hal jual beli saham. Sedangkan sophisticated investor adalah seorang investor
yang memahami betul mengenai pasar modal dan hukum.14

Penentuan Fakta Materil yang Mempengaruhi Harga Saham


Penentuan fakta materil dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal pada Pasal 1 ayat (7) mirip dengan pendapat pengadilan dalam kasus
List v. Fashion Park, Inc, 340 F. 2d 457 (2d Cir. 1965) yang menyatakan bahwa:15
”fakta materil adalah meliputi fakta-fakta yang secara rasional dan
objektif mempengaruhi nilai saham perusahaan”.

Namun, dengan begitu pesatnya perkembangan pasar modal Amerika


Serikat konsep fakta materil di atas sudah tidak dipakai lagi. Lalu berkembang

13
Bismar Nasution, Op cit.
14
Robert T. Kiyosaki dan Sharon L. Lechter, Rich Dad’s: Guide to Investing, Cetakan
VII, Jakarta: Gramedia, 2003, h. 241 – 242.
15
Seperti yang dikutip oleh Bismar Nasution, Prinsip Keterbukaan, Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta: 2001. h. 76.

7
dengan penentuan fakta materil dari 3 (tiga) pendapat pengadilan yang berkaitan
satu sama lain.16
Pertama, standar penentuan fakta materil yang disahkan pengadilan
melalui SEC v. Texas Gulf Sulphur, 401 F. 2d 833 (2d. Cir 1968), yang
menyatakan bahwa penentuan fakta materil didasarkan pada tes kemungkinan/
ukuran (probability/ magnitude) fakta materil atas informasi yang bisa
berpengaruh kuat pada kemungkinan perusahaan di masa mendatang. Faktor
kemungkinan merupakan salah satu elemen dari penentuan fakta materil tersebut
dalam putusan pengadilan kasus Texas Gulf Sulphur menyatakan:
”Whether fact are material... when the facts relate to a particular event...
will depend at any given time upon a balancing of both the indicated
probability that the event will occur and the anticipated magnitude of the
event in light of the totality of the company activity. While realistic in term
of investor judgement, the probability elemen will be difficult to apply
fairly, and lends itself easily top distortion by hindsight”.

Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan fakta materil adalah ketika
fakta-fakta berhubungan dengan peristiwa tertentu akan tergantung pada waktu
tertentu pada suatu keseimbangan baik dari kemungkinan menunjukkan bahwa
peristiwa tersebut akan terjadi dan yang diantisipasi besar dari peristiwa dalam
totalitas yang jelas pada kegiatan perusahaan. Sementara jangka waktu realistis
dalam penilaian investor, unsur kemungkinan akan sulit untuk berlaku adil, dan
meminjamkan sendiri dengan mudah atas distorsi.
Second Circuit dalam kasus Texas Gulf Sulphur menetapkan balancing-
test dua sisi untuk menilai materialitas untuk menilai masa depan perusahaan.17
Informasi yang dipermasalahkan pada kasus ini adalah temuan perusahaan setelah
pengeboran eksplorasi, atas cadangan bijih utama yang potensial. Selama
pengeboran eksplorasi lanjutan, dan sebelum diadakan suatu press release untuk
menyatakan hasil temuan, beberapa orang dalam perusahaan ini membeli saham
di dalam perusahaan dan memberikan informasi (tipped of) kepada beberapa
orang mengenai hasil temuan.18

16
Ibid.
17
Ibid. h. 77.
18
Ibid.

8
Dalam kasus ini, bahwa pada tanggal 31 Maret 1964 perusahaan Texas
Gulf Sulphur melakukan pengeboran di Timmins, Ontario untuk eksplorasi bahan-
bahan tambang. Selanjutnya beberapa karyawan dan orang dalam membeli saham
perusahaan tersebut dalam jumlah besar. Informasi temuan itu berasal dari Darke
dan Coates yang merupakan geologist Texas Gulf Sulphur. Pengadilan
berpendapat bahwa kedua orang dalam tersebut telah melanggar Rule 10b-5.
Maka pengadilan menetapkan tes “kemungkinan/ ukuran” atas materialitas
informasi yang bisa mempengaruhi kemungkinan perusahaan di masa
19
mendatang.
Untuk menentukan fakta merupakan material menurut tes tersebut adalah
tergantung pada keseimbangan indikasi kemungkinan bahwa suatu peristiwa akan
terjadi dan antisipasi ukuran dari peristiwa berdasarkan totalitas kegiatan
perusahaan. Disamping itu, pengadilan membuat kesimpulan bahwa pengetahuan
mengenai penemuan itu mungkin memberikan pertimbangan bahwa harga akan
naik terhadap investor yang rasional. 20
Kedua, standar penentuan fakta materil yang disahkan pengadilan melalui
kasus TSC Industries, inc v Northway, 426 U.S. 438 (1976). Pengadilan dalam
kasus ini menyatakan:
“An omitted fact is material if there is a substansial likelihood that a
reasonable shareholder would consider it important in deciding how to
vote… it does not require proof of a substantial likelihood that disclosure
of the omitted fact would have caused the reasonable shareholder to
change his vote. What the standard does contemplate is a showing of a
substantial likelihood that, under all the circumstances, the omitted fact
would have assumed actual significance in the deliberations of the
reasonable shareholder”.

Fakta materil adalah materi dihilangkan jika ada kemungkinan substansial


pemegang saham yang wajar akan menganggap penting dalam memutuskan
bagaimana untuk memilih tidak memerlukan bukti dari kemungkinan besar bahwa
pengungkapan fakta jika dihilangkan akan menyebabkan pemegang saham untuk
mengubah keputusan. Apa yang tidak standar disadari oleh pemegang saham
adalah menunjukkan suatu kemungkinan besar bahwa dalam semua keadaan,

19
Ibid.
20
Ibid. h. 78.

9
fakta yang dihilangkan akan mempengaruhi anggapan sebenarnya makna dalam
pertimbangan yang wajar dari pemegang saham.
Penentuan fakta materil dalam kasus ini disebut dengan “Standar
Reasonable Shareholder” sejalan dengan pendapat bahwa sesuatu yang
menentukan fakta materil itu sangat tergantung dari tanggapan investor potensial
atau pemegang saham institusional yang rasional, sebagaimana dinyatakan dalam
Mills v. Electric Autolite, 396 U.S. 375 (1970). Pengujian sesuatu yang
berhubungan dengan fakta materil ditentukan oleh pertimbangan matang untuk
kepentingan pemegang saham yang rasional.21
Pandangan Mahkamah Agung Amerika Serikat terhadap putusan kasus
Northway tersebut bermula dari adanya perselisihan yang berpusat pada akuisisi
antara TSC Industries, Inc. dan National, yang dalam hal ini Northway yang
kedudukannya sebagai pemegang saham minoritas menggugat TSC Industries, Inc.
dan National atas penghilangan fakta materil secara terang-terangan dalam joint
proxi statement (pernyataan kuasa bersama) yang diterbitkan oleh sejumlah
perusahaan yang merekomendasikan persetujuan rencana pembelian semua saham
TSC Industries, Inc. dan National. Pemegang saham minoritas menggugat
pemegang saham mayoritas atas penghilangan fakta materil yang dibutuhkan.
Selanjutnya pengadilan berpendapat bahwa penghilangan fakta materil tertentu
merupakan fakta materil secara hukum.22
Ketiga, standar penentuan fakta materil yang disahkan pengadilan dalam
kasus Basic, Inc. v. Levinson, 485 U.S. 224 (1988), fakta materil disini ditetapkan
oleh fact-specific-case by case yang bersumber dari putusan pengadilan dalam
kasus Northway dan kasus Texas Gulf Sulphur sebelumnya. Pengadilan dalam
kasus Basic tersebut menyatakan:
“The fraud on the market theory is based on the hypothesis that, in an
open and developed securities market, the price of a company’s stock is
determined by the available material information regarding the company
and it’s bussiness… misleiding statements will therefore defraud
purchasers of stock even if the purchasers do not directly rely on the
misstatements… the causal connection between the defendants ‘fraud and
the plaintiffs’ purchase of stock in such a case is no less significant than in
a case of direct reliance on misrepresentation”.

21
Ibid.
22
Ibid. h. 79.

10
Dalam kasus tersebut pengadilan berpendapat bahwa penipuan pada teori pasar
didasarkan pada hipotesis bahwa, secara terbuka dan perkembangan pasar modal,
harga saham sebuah perusahaan ditentukan oleh bahan yang tersedia informasi
mengenai perusahaan dan bisnis tersebut... pernyataan yang menyesatkan karena
itu akan menipu pembeli bahkan saham jika pembeli tidak secara langsung
bergantung pada fakta materil... pernyataan yang menyesatkan mempunyai
hubungan sebab akibat antara pelaku 'penipuan dan para penggugat' pembelian
saham dalam kasus seperti itu tidak kurang penting dibandingkan dalam kasus
ketergantungan langsung pada fakta materil yang salah.
Suatu penipuan materil dilihat dari apakah pernyataan mempengaruhi
keputusan investor yang rasional untuk berinvestasi. Sebab berdasarkan fraud-on
the market theory, suatu pernyataan dikatakan menyesatkan hanya apabila
pernyataan tersebut dapat membelokkan keputusan investor profesional untuk
berinvestasi.23
Dalam kasus Northway terdapat standar penentuan fakta materil
berdasarkan negosiasi-negosiasi yang dibuat oleh perusahaan, hal ini dianggap
penting bagi investor untuk menentukan membeli atau menjual saham. Akibatnya,
dalam kasus Basic pengadilan memutuskan bahwa fase pra-kontrak atau disebut
dengan negosiasi pendahuluan dianggap sebagai non-materil sehingga para pihak
24
dianggap telah mencapai kesepakatan. Dengan kata lain, pengadilan
memutuskan bahwa apabila ada negosiasi pendahuluan mengenai merger
perusahaan maka investor yang membeli dan menjual saham tidak diperbolehkan,
sebelum terjadi kesepakatan mengenai harga dan struktur transaksi.25
Pada kasus Basic (1965), Combustion Engineering Inc. perusahaan yang
memproduksi mayoritas refraktori alumina, menyatakan untuk menakuisisi Basic,
akan tetapi terhambat karena adanya anti trust (Hukum Persaingan Usaha).
Namun pada tahun 1976, Combustion mendapatkan “rencana strategis” untuk
mengakuisisi saham Basic sebesar $.30 juta. Selama 2 (dua) tahun 1977-1978,

23
Ibid. h. 80.
24
Steven G. Sanders, “Line-Item Disclosure Provisions and The Materiality of
Prelimanary Merger Negotiations after In Re George C. Kern, jr, Brooklyn Law Review, (vol. 59,
1993. h. 188)” seperti yang dikutip Bismar Nasution, ibid. h. 80.
25
Bismar Nasution, Loc. cit. h. 80.

11
Basic membuat pernyataan publik yang isinya menolak Combustion untuk
mengakuisisinya. Pada 18 Desember 1978, Basic menyampaikan kepada New
York Stock Exchange (seperti Bursa Efek Jakarta di Indonesia) untuk
membatalkan perdagangan saham dan mengeluarkan pernyataan lagi bahwa Basic
telah didekati oleh Combustion untuk melakukan akuisisi. Pada tanggal 19
Desember 1978, dewan pemagang saham Basic menyetujui penawaran
Combustion senilai $.46 per saham atas saham biasa, dan hari berikutnya
mengumumkan persetujuan tentang tender offer Combustion atas semua saham
unggulan.26
Pemegang saham yang lama mengajukan gugatan kelompok (class action)
terhadap Basic dan direksinya atas dasar pernyataan publik yang salah dan
menyesatkan. Pemegang saham yang lama menderita kerugian yang besar dengan
menjual saham Basic dengan harga yang sangat rendah dalam pasar karena
dipengaruhi oleh pernyataan yang menyesatkan dan pernyataan tersebut diyakini.
Pembelian saham ini tidak didasari dengan harga yang wajar bagi pemegang
saham sebelumnya.27
Melihat masalah materil dalam kasus Basic tersebut, awalnya dilihat dari
ketetapan District Court yang menetapkan bahwa misstatements adalah tidak
materil menurut hukum, tidak ada negosiasi berlangsung pada saat pernyataan
kedua dan ketiga disampaikan, dan negosiasi tersebut tidak “ditujukan, dengan
kepastian yang layak pada intinya menjadi suatu merger agreement in principle.
Berbeda dengan District Court, Court of Appeals untuk Sixth Circuit mengambil
keputusan berdasarkan Texas Gulf Sulphur. Menurut kajian pengadilan pernyataan
Basic tersebut menyebabkan investor tersesat. Dalam konteks materil, pengadilan
menolak argumentasi bahwa pembahasan pendahuluan mengenai akuisisi tersebut
adalah tidak materil demi hukum dan menetapkan bahwa:
“once statement is made denying the existance of any discussions, even
discussions that might not have been material in absence of the denial are
material because they make the statement made untrue”.

Pengadilan Sixth Circuit secara khusus menolak bright-line mengenai


agreement-in-principle standard. Walaupun Mahkamah Agung dalam kasus Basic

26
Ibid. h. 81.
27
Ibid.

12
tersebut setuju dengan Sixth Circuit, namun menolak bright-line mengenai
agreement-in principle atas materil. Dalam hal ini pengadilan menolak konsepsi
bahwa penolakan perusahaan atas fakta yang dia ketahui benar menunjukkan fakta
materil. Jelasnya, pengadilan menggunakan fact-specific atas case by-case test
untuk fakta materil yang bersumber dari keputusan Northway dan kasus Texas
Gulf Sulphur tentang tes Probability/ Magnitude.28
Hal yang baru dalam kasus Basic adalah perubahan harga saham
ditentukan dari fakta materil mengenai perusahaan dan usaha perusahaan
bersangkutan yang disampaikan kepada publik. Kepercayaan terhadap informasi
yang disampaikan tersebut merupakan tolok ukur bagi investor untuk menentukan
hal itu fakta materil atau bukan.29
Pada kasus Merril Lynch, Pierre Fenner & Smith, Inc. v. S.E.C. 933
(1968), kepercayaan merupakan standar penentuan fakta materil. Kepercayaan
investor rasional terhadap informasi yang dapat mempengaruhi harga saham
adalah termasuk ke dalam kategori materil. Berdasarkan atas kasus tersebut, maka
fakta materil meliputi seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham
yang dipercaya investor dapat mempengaruhi niat investor untuk membeli atau
menjual saham. Ukuran fakta materil dengan menggunakan kepercayaan ini
menjadi suatu tes (percobaan), sekaligus memperkaya ketentuan terminologi fakta
materil.30
Perubahan harga saham yang dipengaruhi oleh fakta materil yang
dipercayai oleh investor rasional telah mengalami perubahan definisi fakta materil
yang sangat signifikan.31

Kesimpulan
Pendekatan terhadap beberapa ukuran fakta materil yang lahir dari
penentuan pendapat pengadilan dalam ketiga kasus di atas, dapat dipakai sebagai
bahan untuk menentukan apakah itu fakta materil dalam rangka penyempurnaan
peraturan prinsip keterbukaan yang berlaku di pasar modal Indonesia. Pendekatan

28
Ibid. h. 82.
29
Ibid.
30
Ibid. h. 83.
31
Ibid.

13
tersebut penting karena dalam peraturan pasar modal yang berlaku sekarang ini
Indonesia, disebutkan bahwa fakta materil ditentukan oleh sesuatu yang dapat
mempengaruhi investor untuk melakukan investasi, tanpa membuat kualifikasi
bobot investor dan unsur ”kepercayaan investor”.32
Tapi apakah bisa digunakan sistem common law country kepada sistem
civil law country. Itu pertanyaan yang terus-menerus menghantui para pembuat
kebijakan dalam menentukan peraturan apa yang baik untuk diterapkan pada
masyarakat. Namun, jika dilihat negara Cina yang dengan terang-terangan
mencontoh seluruhnya apa yang dibuat oleh Amerika dalam pasar modalnya.
Kenyataannya, Cina sudah begitu maju pesat sehingga mengalahkan
perekonomian Amerika Serikat.33

32
Ibid.
33
Bismar Nasution, Catatan Perkuliahan: Pasar Modal, Op. cit.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kiyosaki, Robert T. dan Sharon L. Lechter, Rich Dad’s: Guide to Investing,


Cetakan VII, Jakarta: Gramedia, 2003.

Nasution, Bismar., Catatan Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana


Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

Samsul, Mohamad., Pasar Modal & Manajemen Portofolio, Jakarta: Erlangga,


2006.

Sunarmi, Catatan Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas


Sumatera Utara, Medan, 2009.

Sunarmi, Modul Perkuliahan: Pasar Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas


Sumatera Utara, Medan, 2009.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Usman, Rachmadi., mengutip Munir Fuady (1996:37-38), Aspek-Aspek Hukum


Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001.

15

Anda mungkin juga menyukai