14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-
beda..?
Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara
Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa
itu juga memiliki national interest masing-masing..? Kenapa kemudian mereka
bisa mudah melebur dalam Uni Eropa..? Sekarang mereka terus bergerak. Di
bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara; mungkin
sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan
militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya.
Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu..? Umat Islam lebih punya dasar teologis
dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan
dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang
sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.
18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang..?
Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan
menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam di
Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah
perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan diusir. Setelah berhasil
menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu
oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala
itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih
besar. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada
mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada
mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:
“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
pelindung” (lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan
historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan
umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu,
sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di antara
kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari
Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yogaslavia, atau
membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad samapi Tunisia.
19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia..?
Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus
mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana..? Inti dari Khilafah itu adalah
syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan
dengan keinginan mendalam untuk menggantikan Sekulerisme yang telah
memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali
berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan
tuntutan fitrah manusia. Sekedar menambahkan referensi tentang keterkaitan
Indonesia dengan Khilafah, bisa dibaca di link berikut: http://hizbut-
tahrir.or.id/2009/09/21/dokumen-penting-hubungan-nusantara-dengan-
khilafah/
21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI..?
Jawab: Mengancam dari sisi mana..? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan
sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka negeri kita; justru yang
mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah
justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam.
Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan
bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.
Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern
pada usaha menjaga NKRI..? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan
Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil
kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25
tahun..! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan tentara
khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah dan Khilafah-lah
yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan
berada di bawah ketiak pihak asing..! Bahkan kalangan militer sampai melihat
para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih nasionalis’ dari organisasi dan partai-
partai nasional… Salah seorang pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata
kepada Perwira Mabes AD yang mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin
memelihara keutuhan wilayah NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih
besar daripada yang ada sekarang ini..! Dengan sistem Pemerintahan syariah,
yakni Khilafah Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.
25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah;
Ishlah atau Taghyir..?
Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah
terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilih
menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua
kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir,
maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah
secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada
kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah
selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran
cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi
semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil
tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah
menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada
mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat
dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia
peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal
yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya
masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti
dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan
masyarakat.? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti
membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany,
masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang
bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan
kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat
mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam
menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak
berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan
manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul
dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk
perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas.
Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia
mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas
landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan,
dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa
unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran,
perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw.
adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu
adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran
cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum
yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu
maupun yang diterapkan melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di
bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah
masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni,
masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya
ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam
sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka
adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena
itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau
keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti
dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya
parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang
dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan
jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan
menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah
masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus
aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial);
akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya
menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat
Islam.
Catatan ini didedikasikan bagi para pejuang syariah dan Khilafah yang senentiasa
melayani umat dengan sepenuh hati.