Anda di halaman 1dari 12

TANYA JAWAB SEPUTAR KHILAFAH

1. Apa yang disebut Khilafah..?


Jawab: Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim untuk
menerapkan syariat Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

2. Apa yang menjadi substansi dari gagasan Khilafah tersebut..?


Jawab: Pertama, kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariat Islam dalam
seluruh sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang menyangkut aspek ibadah, makanan,
minuman, pakaian, akhlak maupun muammalat serta ‘uqubah. Kedua adalah
bersatunya kembali umat Islam yang kini bercerai berai dalam lebih dari 50
negara, di bawah naungan Khilafah Islamiyah dengan seorang Khalifah sebagai
pemimpinnya.

3. Apakah Khilafah ada dalam al-Quran..?


Jawab: Tentu… Khilafah berasal dari kata al-Khalfu (khalafa – yakhlufu) yang
berarti belakang. Lalu berkembang menjadi: Khalfun, khalifah, khilafah, khalaif,
khulafa, dan ikhtilaf. Di dalamnya terkandung makna pengganti, generasi,
pemimpin dan pewaris bumi. Ada 127 ayat yang mengandung kata dan turunan
Khilafah. Misal, al-Baqarah 11 kali, Ali Imran 7 kali, an-Nisa 3 kali, dll

Kha–la–fa juga berarti kepemimpinan. Misalnya, terdapat dalam makna


- Generasi pengganti (al-A’raf: 169, Maryam: 59)
- Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir:
39)
- Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nuur: 55)
- Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah: 30, Shad:
26)
Jadi, kata Khalifah/Khilafah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.

4. Bagaimana makna Khilafah menurut as-Sunnah..?


Jawab: Ada hadist-hadist yang secara keseluruhan diriwayatkan oleh 25 shahabat,
39 tabi’in dan 62 tabi’it tabi’in. Dalam hadist disebutkan khilafah atau imamah,
pemimpinnya disebut khalifah, imam, atau amirul mukminin. Semuanya
mengandung arti yang sama; yakni kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin
untuk menerapkan Islam di dalam negeri dan mendakwahkannya ke luar negeri.

5. Pendapat ulama tentang Khilafah..?


Jawab: Seluruh ulama sepakat tentang wajibnya Khilafah, termasuk kalangan
ulama dari kalangan ahlu sunnah wal jama’ah. Misalnya:
- Imam al-Juwaini, “Imamah (khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh serta
kepemimpinan yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum dalam
kaitannya dengan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia” (al-Juwaini,
Ghiyats al-Umam hal: 5)
- “Khilafah membawa semua urusan kepada apa yang dikehendaki oleh pandangan
dan pendapat syar’I tentang berbagai kemaslahatan akhirat dan dunia yang rojih
bagi kaum Muslim. Sebab, seluruh keadaan dunia, penilaiannya harus merujuk
kepada asy-Syari’ (Allah SWT) agar dapat dipandang sebagai kemaslahatan
akhirat. Jadi Khilafah, pada hakikatnya adalah Khilafah dari Shahib asy-Syari’,
yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia” (Ibn
Khaldun, Muqaddimah hlm: 190)
- “Jumhur ulama telah bersepakat bahwa wajib ada seorang imam (khalifah) yang
menegakan sholat jumat, mengatur para jamaah, melaksanakan hudud,
mengumpulkan harta dari orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin,
menjaga perbatasan, menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan hakim-
hakim yang diangkatnya, menyatukan kalimat (pendapat) umat. menerapkan
hukum-hukum syariah, mempersatukan golongan-golongan yang bercerai-berai,
menyelesaikan berbagai problem, dan mewujudkan masyarakat yang utama”
(Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah hal: 88)
- “Khilafah merupakan kedudukan agama terpenting dan selalu diperhatikan oleh
kaum Muslimin. Syariah Islam telah menetapkan bahwa mendirikan Khilafah
adalah satu kewajiban mendasar di antara kewajiban-kewajiban agama. Bahkan
dia adalah kewajiban terbesar (al-Fardh al-A’zham). Sebab, padanyalah
bertumpu/bergantung pel;aksanaan seluruh kewajiban lainnya” (ar-Rais, al-Islam
wa al-Khilafah hal: 99)
- “Para ulama telah sepakat bahwa imamah (Khilafah) adalah fardlu dan adanya
imam merupakan keniscayaan; kecuali sekte an-Najadat (al-Khawarij) – pendapat
mereka sesungguhnya telah menyalahi ijma’ “(Imam al-Hafizh Muhamad Ali bin
Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri, Maratib al-Ijma’ hal: 1/124). Pernyataan Ibn
Hazm di atas juga dikuatkan oleh Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar Syarh
Muntaqa al-Akhbar, XIII/290
- “Mewujudkan Imamah (Khilafah) adalah fardlu kifayah, sebagaimana peradilan”
(Imam al-Hafidz abu Yahya Zakaria al-Anshori, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj
ath-Thullab, II/268)
- Pendapat senada juga terdapat dalam beberapa kitab lain, di antaranya: Mughni
al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfadz al-Minhaj (XVI/287); Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-
Minhaj (XXXIV/159); Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (XXV/419);
Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah (XV/102)

6. Tapi, bukankah Khilafah itu hanya 30 tahun saja, selebihnya kerajaan..?


Jawab: Memang ada hadist yang seakan-akan menunjukan hal itu. Misalnya
hadist:
“Setelah aku, khilafah yang ada pada umatku hanya berumur 30 tahun, setelah itu
adalah kerajaan” (HR. Imam ahmad, Tirmidzy dan Abu Ya’la dengan isnad
hasan)
Namun sebenarnya yang 30 tahun itu bukan khalifah secara keseluruhan
melainkan Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Hal ini jelas bila dihubungkan
dengan hadist:
“Sesungguhnya awal dari agama ini adalah nubuwwah dan rahmat, setelah itu
akan tiba masa Khilafah dan rahmat, setelah itu akan datang masa raja-raja dan
para diktator. Keduanya akan membuat kerusakan di tengah-tengah umat. Mereka
telah menghalalkan sutra, khamer dan kefasidan. Mereka selalu mendapatkan
pertolongan dalam mengerjakan hal-hal tersebut; mereka juga mendapatkan rizki
selama-lamanya, sampai menghadap kepada Allah SWT” (HR. Abu Ya’la dan al-
Bazar dengan isnad hasan)
al-Hafidz Ibn Hajar dalam fath al-Bariy berkata, “Yang dimaksud Khilafah pada
hadist ini adalah Khilafah an-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip nubuwwah), sedangkan Mu’awiyyah dan khalifah-khalifah
setelahnya menjalankan pemerintahan layaknya raja-raja. akan tetapi tetap mereka
tetap dinamakan sebagai khalifah”. Pengertian semacam ini diperkuat oleh sebuah
riwayat yang dituturkan oleh Imam Abu Dawud, “Khilafah nubuwwah itu
berumur 30 tahun”. (HR. abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud No.4646, 4647)
Jadi, awalnya negara nubuwwah dan rahmah pimpinan Rasulullah Saw.,
dilanjutkan selama 30 tahun oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Itulah Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah. Berikutnya, para penguasa yang
kadang mengalami penyimpangan tapi tetap menjalankan syariat Islam dan
diangkat memalui bai’at. Mereka tetap Khalifah. Dan kelak akan ada lagi
Khilafah ‘Ala Minhaj an-Nubuwwah.

7. Mungkinkah menerapkan syariat Islam tanpa Khilafah..?


Kalau bersifat individual atau kelompok mungkin saja. Misalnya, shalat, shaum,
dll bisa dilakukan tanpa perlu menunggu adanya Khilafah. Tapi, bersatunya kaum
mukmin, pembelaan terhadap umat Islam yang dibantai, mengambil lagi harta
kekayaan yang dirampas negara penjajah, menyediakan kebutuhan pokok,
menjamin kesehatan dan pendidikan warga, dll, mutlak memerlukan Khilafah.
Sebab, kalau bukan Khilafah yang menjadi benteng (seperti kata Nabi), lalu apa..?
Jadi, penerapan Islam kaffah mengharuskan adanya Khilafah.

8. Apa kerugian bila tidak ada Khilafah..?


Jawab: Banyak sekali, di antaranya umat Islam kehilangan:
- Keridloan Allah SWT. Keridloan Allah SWT dapat dicapai dengan mengikuti
seluruh hukum dan aturan-NYA dengan penuh ketaatan sebagaimana dipraktekan
oleh Nabi kita Muhammad Saw. Dengan kata lain menegakan Khilafah Islam
yang merujuk pada syariat baik urusan di dalam negeri maupun luar negeri pada
setiap aspek kehidupan.
- Hilangnya Imam atau Khalifah atau Amirul Mukminin, di mana dibai’at
kepadanya merupakan suatu yang amat vital bagi setiap Muslim. Rasulullah Saw
bersabda:
“Barangsiapa yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka matinya
dalam keadaan mati jahiliyyah”
Saya ingin anda membayangkan bagaimana berdosanya kaum Muslim sejak
runtuhnya Khilafah Utsmani tahun 1924 M/1342 H yang merupakan Khilafah
terakhir. Akhirnya secara spontan banyak yang hilang ketika kaum Muslim
kehilangan legitimasi kepemimpinan ini dan kehilangan lainnya menyusul seperti
bola salju.
- Hilangnya rasa aman dan jaminan keamanan yang menyebabkan ketakutan.
- Hilangnya ilmu pengetahuan, pendidikan dan kepedulian yang lahir dari
kepribadian Islam. Hal ini disebebkan oleh dominannya kebodohan dan buta
huruf yang diakibatkan oleh kemiskinan dan kepribadian yang goyah.
- Hilangnya kekuatan dan jihad yang disebebkan kelemahan dan kekalahan.
- Hilangnya kekayaan yang disebabkan kemiskinan.
- Hilangnya pencerahan dan pedoman yang benar dan disebabkan kegelapan dan
pedoman yang salah.
- Hilangnya kehormatan dan martabat yang disebabkan penghinaan.
- Hilangnya kedaulatan dan ketergantungan dalam membuat keputusan politik
akibat ketundukan kepada negara-negara penjajah kafir barat dan timur.
- Hilangnya keadilan yang disebabkan penindasan dan ketidakadilan.
- Hilangnya keimanan dan keikhlasan yang disebabkan pengkhianatan penempatan
orang yang salah pada tempat yang salah.
- Hilangnya sikap dan moral yang teruji yang menyebabkan kejahatan dan sikap
yang tercela.
- Hilangnya negeri-negeri Islam dan tempat tinggal, tidak hanya Palestina, tetapi
juga Andalusia (sekarang yang disebut Spanyol dan Portugal), wilayah yang luas
di Asia Tengah dan Timur Jauh, Kosovo, Bosnia, Kashmir, dan yang lainnya,
yang menyebabkan jutaan imigran, gelombang pengungsian dan pendeportasian.
- Hilangnya tempat suci dan akibatnya adalah kaum Muslim dilarang shalat di
Masjid al-Aqsha selama 50 tahun sampai saat ini. Kami juga menyesalkan untuk
mengatakannya kepada anda bahwa dua masjid lainnya pun ; yaitu Masjid al-
Haram dan Masjid al-Nabawi tidak di dalam kondisi yang diinginkan.
- Hilangnya kesatuan dan integritas yang diakibatkan terpecahnya negeri kaum
Muslim menjadi 56 bagian yang tidak sah, dan AS tengah bekerja keras
menciptakan bagian ke 57 di Palestina, ke 58 di gurun Afrika Barat dan ke 59 di
Timor Timur.

9. Benarkah Khilafah itu otoriter.?


Jawab: Tidak Benar. Sebab, rakyat baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
wajib melakukan koreksi (muhasabah). Kalau menyimpang dari Islam, Khalifah
diluruskan. Bahkan, bila melakukan kekufuran yang nyata dapat diperangi.

10. Bagaimana kebijakan Khilafah tentang penyelesaian kemiskinan..?


Jawab: Khilafah menjamin kebutuhan pokok. Tolak ukur kesejahteraan rakyat
sangatlah sederhana, misalnya, berapa banyak orang yang tidak punya rumah,
pengemis, pengangguran, sakit dan tak mampu berobat, dll. Jadi, sandang, pangan
dan papan dijamin. Tidak boleh ada yang kelaparan sehingga rakyat makan aking
dan gaplek. Pendidikan dan kesehatan pun gratis.

11. Bagaimana Khilafah memperlakukan warga negaranya yang non muslim..?


Jawab: Dalam kehidupan pribadi, implementasi syariat Islam terhadap warga
dilakukan secara berbeda mengikuti agama yang dianut. Bagi seorang Muslim
tentu ia harus mengikuti syariat. Ia wajib melaksanakan ibadah, menjaga makanan
minuman halal, selalu menutup aurat dan berakhlak mulia. Sementara, bagi non
muslim dia tidak wajib mengikuti syariat Islam, tapi mengikuti ajaran agamanya
masing-masing. Menyangkut masalah pakaian, makanan atau minuman dan
ibadah, pendek kata semua yang berkenaan dengan keyakinan agama, mereka
tidak wajib mengikuti syariat Islam karena dalam Islam memang tidak boleh ada
paksaan.
Dalam kehidupan publik, baik menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial,
pendidikan, dsb –warga muslim maupun non muslim—semuanya wajib
mengikuti syariat Islam. Larangan bermuamalah secara ribawi atau larangan
berzina, menjual makanan minuman haram, mencuri, melakukan tindak kriminal,
dan sebagainya, semua itu berlaku untuk muslim maupun non muslim. Termasuk
misalnya bila dalam kehidupan Islam itu berhasil diwujudkan pendidikan bebas
biaya, layanan kesehatan murah dan bermutu atau kegiatan bisnis yang kondusif
serta kehidupan yang aman, damai dan sejahtera, serta infrastruktur transportasi,
telekomunikasi, penerangan dan tata kota yang canggih, semua itu juga akan
dinikmati oleh muslim maupun non muslim tanpa kecuali. Di sinilah rahmat Islam
bagi sekalian alam yang dijanjikan itu akan terwujud.

12. Sejarah menunjukan bahwa ke-Khilafahan penuh dengan kisah suram..?


Jawab: Harus diakui ada beberapa penyimpangan dari ke-khilafahan. Hal ini sama
dalam kekuasaan apapun. Tapi ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak
Khilafah. Seperti halnya tidak boleh menolak Islam hanya karena ada prilaku
orang Islam yang jahat.
Juga, banyak disisi lain khilafah yang justru gemilang.
Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of The Great Powers: Economic Change
an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis tentang kekhilafahan utsmani
dengan: “Imperium Utsmani, lebih dari sekedar mesin militer. Dia telah menjadi
penakluk elite yang mampu membentuk kesatuan iman, budaya dan bahasa pada
sebuah area lebih luas dari yang dimiliki imperium Romawi dan untuk jumlah
penduduk yang lebih besar” (Lihat juga pendapat senada dari William Durant)

13. Bagaimana Khilafah mempersatukan umat yang sudah tersekat-sekat


nasionalisme dan nation state..?
Jawab: Dulu, berbagai kabilah di Jazirah Arab yang selama itu tidak pernah akur,
dapat disatukan oleh Nabi dan para Khalifah sesudahnya.
Pertama, tanamkan kekuatan ruhiyah. Orang Arab tidak lebih baik dari non Arab;
begitu juga sebaliknya. Jadi, siapapun siap bersatu dengan dipimpin oleh
siapapun. Kalau selama ini suku-suku di Indonesia siap dipimpin oleh orang dari
Jawa, semestinya siap juga dipimpin oleh bangsa apapun dan memimpin bangsa
apapun.
Kedua, secara realitas, dunia makin menjadi dusun kecil. Istilah globalisasi telah
menjadi kenyataan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia islam pun dalam
kenyataannya ‘menyatu’ dalam sistem dunia. Mulai dari moneter, standar mata
uang, hingga penanganan flu burung dilakukan secara global. Jadi, kenyataannya,
dunia tengah menyatu. Karenanya, persoalannya bukan pada bersatunya,
melainkan pada apakah kapitalisme global akan tetap dijadikan dasar akan
kebersatuan dunia itu atau Islam dengan kekhilafahannya.
Ketiga, salah satu kewajiban kita adalah bersatu. Kaum Muskmin bersaudara
laksana satu bangunan dan satu tubuh, dan haram berpecah belah. Bukankah
Tuhan kita sama: Allah SWT; kitabnya sama: al-Quran; Rasulnya sama:
Muhammad Saw; kiblatnya sama: Baitullah..? Semua itu merupakan kekuatan
ruhiyah yang akan menyatukan umat melewati batas-batas nasinalisme. Bila
dengan alasan material Uni Eropa dapat bersatu, maka dengan alasan umat Islam
adalah umat yang satu (ummah wahidah) semestinya umat Islam dapat bersatu
melebihi mereka.

14. Tapi bukankah setiap negara Islam memiliki national interest yang berbeda-
beda..?
Kalaulah setiap negara muslim berpikir seperti para pemimpin negara-negara
Eropa saat ini, persoalan itu mudah saja diatasi. Bukankah negara-negara Eropa
itu juga memiliki national interest masing-masing..? Kenapa kemudian mereka
bisa mudah melebur dalam Uni Eropa..? Sekarang mereka terus bergerak. Di
bidang Imigrasi, bahkan sudah diperbolehkan satu visa untuk 14 negara; mungkin
sekarang sudah lebih. Mata uang sudah satu. Sebentar lagi mungkin pertahan dan
militer, kemudian parlemen. Nanti akan ada pemilu untuk Eropa dan sebagainya.
Jadi kenapa umat Islam tidak bisa begitu..? Umat Islam lebih punya dasar teologis
dan historis. Secara teologis, jelas sekali dalil yang mewajibkan kita mewujudkan
dan menjaga persatuan umat. Secara historis, kita tinggal meneruskan apa yang
sudah umat Islam alami di masa lalu, di masa kejayaan kekhilafahan Islam.

15. Bagaimana menyatukan keragaman..?


Jawab: Keragaman tidak selalu harus disatukan. Beberapa ayat al-Quran dan as-
Sunnah, termasuk pada masa Easulullah Saw dan para shahabat, menunjukan
kehidupan di dalam kekhilafahan membiarkan keragaman. Keragaman budaya,
adat, etnis dll dipandang sebagai alami agar manusia saling mengenal (lihat quran
surat al-Hujurat: 13). Bahkan, tidak sedikit pernikahan antar etnis terjadi. Wali
Songo yang kebanyakan dari Timur Tengah menikah dengan puteri Jawa.
Agama2 yang beraneka ragam diberi kebebasan hidup, karena tidak ada paksaan
bagi non Muslim untuk berpindah menganut Islam (lihat quran surat al-Baqarah:
256). Beraneka madzhab pun berkembang. Dulu, ada puluhan madzhab, sekalipun
yang banyak dikenal hingga kini hanya empat saja. Keragaman yg disatukan
hanyalah keragaman yang apabila dibiarkan akan memporakpandakan tatanan
masyarakat. Jadi, keragaman, bukanlah merupakan kesulitan dalam penegakan
Khilafah.

16. Bagaimana mekanisme pemilihan Khalifah di tengah perbedaan etnik, mazhab


dan kepentingan politik..?
Jawab: Dari sisi pemahaman harus sama bahwa siapapun yang yang memenuhi
syarat in’iqad, boleh menjadi Khalifah; tanpa membedakan etnis dan mazhab.
Syarat keturunan Quraisy bukanlah syarat utama, melainkan syarat keutamaan
(afdloliyah). Adanya kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyyah
menunjukkan hal ini. Realitas pun menunjukkan, Cina dapat mengurus rakyat
yang jumlahnya 1,5 milyar dengan berbagai keragamannya, maka sejatinya umat
Islam pasti lebih bisa mengurus kaum Muslim dunia sebesar itu juga.
Pada sisi lain, mekanisme pemilihan Khilafah melalui pemilihan, baik langsung
maupun lewat perwakilan Majelis Umat/MU (ahlul halli wal aqdi). Dengan
merujuk jejak pada Khulafaur Rasyidin dapat dilaksanakan mekanisme berikut.
Di daerah di lakukan pemilihan para anggota Majelis Wilayah/MW (wakil umat
di daerah) langsung oleh rakyat daerah masing-masing. Yang dipilih adalah bukan
gambar partai atau organisasi; melainkan langsung orangnya. MW benar-benar
menjadi representasi daerahnya. Lalu, para anggota MW memilih sejumlah orang
di antara mereka untuk menjadi MU. Jadi, MU pun merasakan representasi umat
secara keseluruhan. Persoalan etnik dan mazhab tidak akan menjadi masalah
karena dapat diselesaikan dengan mekanisme tersebut.
Sementara itu, kepentingan politik ditampung dengan dibiarkan adanya partai-
partai politik dan organisasi. Tidak perli izin, cukup pemberitahuan kepada
pemerintah. Syaratnya, dasar oraganisasi adalah Islam dan untuk kepentingan
Islam. Partai/organisasi ini dapat menyiapkan kader-kadernya untuk menjadi
MW, MU atau khalifah, yang beradu kualitas dalam pemilihan.

17. Bagaimana cara menuju tegaknya Khilafah..?


Jawab: Inti dari persoalan ini adalah kesadaran masyarakat. Masyarakat yang
sadar akan kewajiban penerapan syariah dan menyatu dalam khilafah akan
berupaya untuk mewujudkannya. Bila masyarakat ini didukung oleh ahlu quwwah
(militer dll), lalu memberikan kekuasaannya kepada pemimpin Islam untuk
menjadi Khalifah, maka tidak ada siapapun yang dapat menghalanginya. Sebab,
kekuasaan ada di datang rakyat. Hanya saja, memang negeri-negeri kaum
Muslimin harus melepaskan diri dari kungkungan dan penjajahan negara-negara
besar. Untuk itu, perlu ada upaya di tiap negeri Muslim untuk menggerakan umat
bersatu dalam Khilafah. Perlu gerakan TRANSNASIONAL.
Pada awalnya gerakan Khilafah Islmiyyah tetaplah merupakan sebuah unit
negara. Proses berikutnya, dia akan mengembangkan wilayah dan pengaruhnya
itu ke negara-negara lain yang penduduknya mendukung gagasan penyatuan
negara mereka ke dalam Khilafah. Misalnya, khilafah berdiri tegak di Mesir,
maka khalifah akan berusaha menyatukan wilayah khilafah disekitarnya, entah itu
Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, atau bahkan wilayah yang lebih jauh seperti
Palestina, Syiria, Yordanisa, Irak, Iran, dan lain-lain.

18. Kita ini lemah, padahal ada negara besar siap menghadang..?
Jawab: Alasan ini memang bukan isapan jempol. G.W. Bush menegaskan akan
menyerang siapapun yang mengiginkan pendirian kembali kekhilafah Islam di
Timur Tengah; sebagai bagian dari “perang melawan teror”. Realitas ini bukanlah
perkara baru. Rasulullah Saw. sejak awal dikepung dan diusir. Setelah berhasil
menegakkan daulah nubuwwah wa rahmah pimpinan Nabi, mereka siap diserbu
oleh kaum kafir Quraisy serta menghadapi tantangan dari dua negara besar kala
itu; Persia dan Romawi. Tapi, hal ini justru menjadi pintu kemenangan yang lebih
besar. “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul-NYA) yang kepada
mereka ada orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada
mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:
“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
pelindung” (lihat quran surat Ali ‘Imran ayat 173). Jadi, secara I’tiqodi dan
historis ancaman tersebut merupakan sunnatullah. Tapi, kemenangan Islam dan
umatnya pun merupakan janji dari Allah Pencipta Alam Semesta. Lalu,
sebenarnya kita. Masalahnya, karena kita tidak bersatu, maka banyak di antara
kaum Muslim yang merasa lemah. Bayangkan, Indonesia saja membentang dari
Inggris hingga Turki dan dari Polandia/Jerman hingga Yogaslavia, atau
membentang dari Maroko sampai Yaman, dan dari Chad samapi Tunisia.

19. Ada yang menilai konteks kekhilafahan ini tidak cocok bagi Indonesia..?
Jawab: Boleh saja siapapun memberikan pendapat itu. Tapi, justru kita harus
mempertanyakan ketidakcocokan itu di mana..? Inti dari Khilafah itu adalah
syariah dan yang kedua adalah persatuan (ukhuwah). Syariah itu kita perjuangkan
dengan keinginan mendalam untuk menggantikan Sekulerisme yang telah
memimpin Indonesia selama 60-an; akan tetapi tidak memberikan apa-apa kecuali
berbagai persoalan. Sementara persatuan bukan hanya kewajiban melainkan
tuntutan fitrah manusia. Sekedar menambahkan referensi tentang keterkaitan
Indonesia dengan Khilafah, bisa dibaca di link berikut: http://hizbut-
tahrir.or.id/2009/09/21/dokumen-penting-hubungan-nusantara-dengan-
khilafah/

20. Bagaimana dengan Pancasila..?


Jawab: Harus diakui, Pancasila hanya merupakan sekumpulan prinsip-prinsip
dasar yang sangat umum sehingga dapat ditarik kesana-kemari; tergantung
penguasanya. Lihatlah perjalan negeri kita dari Orde Lama hingga Orde
Reformasi. Dalam realitasnya untuk menyelesaikan masalah kemiskinan,
kebodohan, kezhaliman, ketidakadilan, penjajahan, dll, Pancasila tidaklah
memadai. Tidak operasional. Karenanya, perlu ada yang operasional. Itulah
syariat dan sistem Khilafahnya. Jadi, gagasan syariat dan Khilafah merupakan
solusi yang dapat membebaskan Indonesia dan umat secara keseluruhan dari
krisis multidimensi. Sosialis-Komunis terbukti gagal, Kapitalisme justru
menghasilkan tatanan penuh krisis seperti sekarang. Kalau bukan syariat dan
Khilafah yang diperintahkan al-Quran dan as-Sunnah, lalu apa..?

21. Ada sejumlah kalangan berpendapat, ide Khilafah ini akan mengancam NKRI..?
Jawab: Mengancam dari sisi mana..? Khilafah dan syariah itu akan menggantikan
sekulerisme. Di mana sekulerisme sudah membuat celaka negeri kita; justru yang
mengancam itu sekulerisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata. Ukhuwah
justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam.
Bentuk separatisme, seperti RMS dan Papua Merdeka, itu yang mengancam, dan
bukannya Khilafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran.
Apakah belum tahu bahwa para pejuang syariah dan Khilafah sangat concern
pada usaha menjaga NKRI..? Tatkala Timtim lepas, para pejuang syariah dan
Khilafah menyampaikan pada media massa, bahwa kami akan mengambil
kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh 25
tahun..! Saat pembicaraan MoU Aceh di Helnsinki dan tatkala kalangan tentara
khawatir dengan hasil Perjanjian Helnsinki, para pejuang syariah dan Khilafah-lah
yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari NKRI dan agar NKRI jangan
berada di bawah ketiak pihak asing..! Bahkan kalangan militer sampai melihat
para pejuang syariah dan Khilafah ‘lebih nasionalis’ dari organisasi dan partai-
partai nasional… Salah seorang pejuang syariah dan Khilafah pernah berkata
kepada Perwira Mabes AD yang mewakili KSAD, bahwa kami tidak hanya ingin
memelihara keutuhan wilayah NKRI, bahkan ingin agar wilayah NKRI lebih
besar daripada yang ada sekarang ini..! Dengan sistem Pemerintahan syariah,
yakni Khilafah Islamiyyah, hal itu sangat mungkin terwujud.

22. Tapi, ‘kan ide Khilafah meniscayakan adanya perubahan NKRI..?


Jawab: NKRI mana yang tidak boleh dirubah..? Dari segi sistemnya, UUD 1945,
saat diproklamasikan, masih memuat pembukaan yang menyebut, “dengan
menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lalu pada 18 Agustus
tujuh kata tersebut dicoret. Kemudian muncul UUD RIS. Lalu lahir UUD 1950,
yang bersifat demokrasi parlementer. Setelah itu, kembali lagi pada UUD 1945
dengan Dekrit Presiden 1959 sebagai tanda dimulanya era Demokrasi Terpimpin.
Selanjutnya muncul Orde Baru yang membawa Demokrasi Pancasila. Orde
Demokrasi Pancasila itupun tumbang dengan lahirnya Orde Reformasi.
Selanjutnya, muncul era demokratisasi pasca reformasi yang ditandai dengan
perubahan UUD 1945 secara besar-besaran sehingga dominasi neolibnya sangat
menyengat.
Sayangnya, meski sudah bongkar pasang, hasilnya nihil..! Yang terjadi justru
krisis multidimensi yang semakin menjadikan kedaulatan negeri ini berada di
bawah telapak kaki kaum Neolib.. Nah, dalam situasi seperti ini, tawaran konsep
Khilafah sebagai suatu sistem syariah dalam sektor pemerintahan mestinya
dianggap sebagai wacana pencerahan yang bisa diuji kebenaran dan kemampuan
problem solving-nya secara konseptual..!
Itu dari segi sistem. Dari segi teritorial, faktanya, Timtim lepas dari NKRI dengan
‘restu’ PBB pasca jajak pendapat tahun 1999.
Nah, kenapa takut dengan perubahan sistem..?

23. Adakah kaitan antara Khilafah dengan demokrasi..?


Jawab: Inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inti gagasan ini bertentangan
dengan syariat Islam. Sebab, jelas sekali Islam mengajarkan kedaulatan itu di
tangan Allah (di tangan syariat). Kehendak yang paling tinggi itu ada di tangan
syariat. Ke sanalah rakyat dan seluruh elemen negara itu wajib tunduk. Dalam al-
Quran tertulis: “Innama kaan kaula al-Mu’minina idza du’u ilallahi wa rasulihi
liyahkuma baynahum ayyakulu sami’na wa atho’na” (Kami mendengar dan kami
taat). Itu menunjukan bahwa syariat menempati posisi yang paling tinggi. Begitu
syariat Islam menyatakan sesuatu, menyuruh sesuatu atau melarang sesuatu,
mereka tunduk; sami’na wa atho’na. Itu jelas sekali.
Ditegaskan dalam ayat lain, wa ma kaana limu’minin wa la mu’minatin idza
qodlo allahu wa rasulahu amran ayyakuna lahumul khiyaratu min amrihim. Jadi,
kalau Allah dan Rasul-NYA sudah menetapkan keputusan hukum, maka tidak
pantas bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan untuk mencari keputusan
hukum selain yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-NYA. Ini menunjukan
bahwa yang memiliki kehendak paling tinggi adalah Allah dan Rasul-NYA. Atau
dalam bahasa yang lebih sederhana, syariat. Karenanya, syariat itu semestinya
bukan option (pilihan), tapi obligation (kewajiban). Dalam sistem demokrasi di
negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia, syariat itu masih sekedar option, bukan
obligation. Di situlah kita wajib menolak, bukan pilihan, yang semestinya
diterapkan sebagai satu-satunya sistem hukum yang mengatur tatanan kehidupan
masyarakat dan bernegara. Jadi, Khilafah tidak terkait dengan demokrasi.

24. Mungkinkah Khilafah dapat ditegakkan melalui proses demokrasi..?


Jawab: Tergantung.. Kalau yang dimaksud adalah harus mempertahankan
kedaulatan di tangan rakyat sehingga halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan
terpuji-tercela ditetapkan oleh wakil rakyat, maka tidak mungkin khilafah dapat
tegak dalam sistem demikian. Tapi, bila yang dipegang adalah kekuasaan ada di
tangan rakyat baik langsung maupun tidak langsung, maka sangat mungkin. Asal
rakyat mau dan didukung oleh pemilik kekuatan (ahlu quwwah), maka sangat
mungkin terjadi.

25. Lalu, arah dakwah seperti apa yang bisa menjadi peluang tegaknya Khilafah;
Ishlah atau Taghyir..?
Jawab: Untuk menentukan dengan tepat aktifitas dakwah kita, mesti memiliah
terlebih dahulu sasaran-sasaran dakwah kita. Sasaran dakwah dapat dipilih
menjadi dua; individu dan masyarakat.
Ketika sasaran dakwah kita individu, maka kita bisa memilahnya lagi menjadi dua
kelompok, Kafir atau Muslim. Apabila sasaran dakwah kita adalah orang kafir,
maka kita mesti melakukan aktifitas dakwah yang bersifat taghyir (mengubah
secara radikal) bukan ishlah (perbaikan yang sifatnya parsial). Ini didasarkan pada
kenyataan, bahwa asas kehidupan orang kafir bukanlah aqidah Islam, dan aqidah
selain Islam adalah aqidah bathil. Jika aqidahnya bathil, maka seluruh pemikiran
cabang maupun hukum yang lahir dari aqidah tersebut, bathil pula. Dalam kondisi
semacam ini, perbaikan yang wajib dilakukan adalah mengganti asas yang bathil
tersebut dengan asas yang shahih; yaitu aqidah Islam. Lalu, jika mereka telah
menjadikan aqidah Islamsebagai asas hidupnya, selanjutnya kita ajarkan kepada
mereka hukum-hukum Islam. Pengajaran ini dilakukan agar mereka terikat
dengan hukum-hukum Islam, sebagai konsekuensi logis dari aqidah Islam yang ia
peluk.
Apabila sasaran dakwah adalah orang Muslim, maka kita hanya mengubah hal-hal
yang cabang atau membersihkan asas – yakni aqidah Islam yang pada dasarnya
masih melekat erat pada dirinya. Oleh karena itu, aktifitas dakwah yang mesti
dilakukan bagi orang Muslim haruslah bersifat ishlah, bukan taghyir.
Di atas adalah perbaikan individu. Lantas, bagaimana dengan perbaikan
masyarakat.? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita mesti
membahas definisi masyarakat. Menurut Syeikh Taqiyyudin an-Nabhany,
masyarakat adalah: “kumpulan manusia yang di dalamnya terdapat interaksi yang
bersifat terus menerus”. Interaksi tersebut terjadi karena ada kesamaan
kepentingan yang ingin mereka raih; baik kepentingan tersebut bersifat
mendatangkan kemashlahatan, maupun menolak kemudlorotan. Dalam
menunaikan kepentingannya, manusia berbeda dengan hewan. Hewan tidak
berjalan pada aturan-aturan tertentu dalam memenuhi kepentingannya. Sedangkan
manusia selalu berjalan berdasarkan tatacara (kaifiyyah) tertentu yang muncul
dari mafahimnya tentang kehidupan. Mafahim itu pula yang membentuk
perasaan-perasaan (masyaa’ir), serta tatacara dalam melakukan aktifitas.
Selanjutnya berdasarkan mafahim serta perasaan-perasaan tersebut manusia
mengarungi kehidupan. Dengan begitu, terjadilah interaksi antar manusia di atas
landasan pemikiran-pemikiran (yang membentuk mafahim), perasaan-perasaan,
dan aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, kita bisa menyimpulkan, bahwa
unsur pembentuk masyarakat ada empat, yaitu: manusia, pemikiran-pemikiran,
perasaan-perasaan, dan aturan yang diterapkan.
Inilah realitas masyarakat. Atas dasar itu, masyarakat Islam pada masa Rasul Saw.
adalah masyarakat yang terdiri dari kaum Muslim – yang di dalamnya ada ahlu
adz-Dzimah, yang dibangun atas landasan aqidah Islam dan pemikiran-pemikiran
cabang yang lahir dari aqidah Islam, masya’ir Islam (perasaan Islam), dan hukum
yang berlaku adalah adalah syariat Islam; baik yang diterapkan secara individu
maupun yang diterapkan melalui negara.
Kalau kita cermati secara jernih dan mendalam, maka masyarakat yang hidup di
bawah naungan Khilafah Islamiyyah yang kurang lebih 12 abad lamanya adalah
masyarakat yang sama dengan masyarakat pada masa Nabi Saw.; yakni,
masyarakat Islam. Sebab, masyarakatnya terdiri dari kaum Muslim – di dalamnya
ada ahlu adz-Dzimmah, landasan kehidupan masyarakat adalah aqidah Islam
sebagai pemikiran asasi, serta pemikiran-pemikiran cabang lain, perasaan mereka
adalah perasaan Islami dan hukum yang berlaku adalah syariat Islam. Oleh karena
itu, jika di dalam masyarakat Islam seperti ini terjadi penyimpangan atau
keteledoran dalam penerapan syariat Islam, maka aktifitas dakwah yang mesti
dilakukan adalah dakwah yang bersifat ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya
parsial). Misalnya, ketika Khilafah Islamiyyah melalaikan jihad, maka yang
dilakukan adalah memberikan nasihat pada Khalifah untuk kembali menjadikan
jihad sebagai aktifitas utama daulah dalam menyebarkan Islam, dan bukan dengan
menghancurkan daulah, lalu mendirikan daulah yang baru.
Dalam konteks sekarang, ketika masyarakat di mana kita hidup bukanlah
masyarakat Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka, fokus
aktifitas dakwah kita bukanlah ishlah al-Juz’i (perbaikan yang sifatnya parsial);
akan tetapi haruslah aktifitas taghyir al-Judzri (perubahan yang sifatnya
menyeluruh). Yakni, mengubah masyarakat yang tidak Islami menjadi masyarakat
Islam.

26. kalau begitu, bagaimana jalan menuju Khilafah..?


Jawab: Melalui jalan dakwah yang ditempuh dengan mengikuti thariqah dakwah
Rasulullah Saw, yaitu:
- Dimulai dengan pembentukan kader yang ber-syakhsiyyah islamiyyah, melalui
pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode tertentu.
- Pembinaan umat (tatsqif jama’i) untuk terbentuknya pendapat masyarakat (al-
Wa’yu al-Amy) tentang Islam.
- Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu jizmi
al-Hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat dilakukan
dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-Quwwatu as-
Siyasiya)
- Penegakan syariah dan khilafah memerlukan kekuatan politik. Kekuatan politik
adalah kekuatan umat yang memiliki kesadaran politik Islam (al-Wa’yu al-Siyasi
al-Islamy), yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus
diatur dengan syariah Islam. Maka harus ada upaya penyadaran politik islami
masyarakat secara terus menerus yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader,
makin cepat kesadaran terbentuk sehingga kekuatan politik juga makin cepat
terwujud.
- Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut perubahan ke arah Islam.
- Di dukung oleh ahlu quwwah (semisal polisi, militer, politisi, orang kaya, tokoh
masyarakat, dsb) yang melalui pendekatan intensif, setuju mendukung perjuangan
syariah dan khilafah. Kekuatan politik yang didukung oleh berbagai pihak
semacam ini tidak akan terbendung.
- Rakyat menuntut tegaknya sistem syariah dan kekuasaan Khilafah atau penyatuan
ke dalam Khilafah Islamiyyah.

Catatan ini didedikasikan bagi para pejuang syariah dan Khilafah yang senentiasa
melayani umat dengan sepenuh hati.

Anda mungkin juga menyukai