Anda di halaman 1dari 4

APAKAH TEORI BELAJAR SOSIAL DENGAN TEORI KOGNITIF

(TENTANG AGRESIVITAS)
TERPISAH ATAU TERINTEGRASI?

Oleh : Novita Dewi Anjarsari (PS/0523)

Menurut saya, teori belajar sosial dengan teori kognitif tidak terpisahkan. Sebab,
dalam teori belajar sosial menekankan bahwa perilaku agresi dapat dipelajari melalui
pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini, tentu saja seseorang
membutuhkan faktor-faktor kognisinya dalam menyikapi pengalaman tersebut.
Pernyataan ini senada dengan pandangan teori kognitif, dimana teori ini menjelaskan
bahwa seseorang melakukan atau meniru suatu perilaku didasarkan pada skema atau
skrip dan penilaiannya terhadap sebuah perilaku. Timbulnya penilaian tersebut sangat
mungkin dipengaruhi oleh kognisi dan pengalaman masa lalunya. Jika orang tersebut
mendapatkan nilai positif dari apa yang dinilai atau yang diamati, maka ia akan
cenderung meniru perilaku tersebut. Terlebih lagi bila ia mendapat reinforcement
(penguatan) untuk melakukannya.
Disamping itu, teori kognitif juga menegaskan bahwa perilaku agresif berakar
pada pertautan kompleks antara suasana hati seseorang pada saat itu dengan
pengalaman yang dimiliki (sebagai hasil dari adanya proses belajar), skrip, ingatan yang
dibangkitkannya, serta penilaian kognitif seseorang terhadap situasi yang sedang
dihadapi. Dari pernyataan ini jelaslah bahwa keadaan afektif dan proses belajar akan
mempengaruhi kognisi kita, yang nantinya akan dimanifestasikan ke dalam perilaku.
Pada dasarnya, untuk menjelaskan adanya agresivitas tidak hanya digunakan
teori tunggal. Semua faktor yang memainkan peranan dalam memunculkan perilaku
agresi, dianggap penting dan perlu dipertimbangkan. Agresivitas sendiri juga dapat
dipicu oleh berbagai macam variabel input (aspek-aspek dari situasi atau kecenderungan
yang dibawa individu ketika menghadapi situasi tertentu). Banyak sekali variabel input
yang mempengaruhi kognisi, afeksi, dan keterangsangan, yang kemudian tahap-tahap
internal ini mendukung (memperkuat) proses pembelajaran sosial (modeling).
Di dalam proses modeling, seseorang akan mencontoh atau meniru perilaku
orang lain berdasarkan 4 tahap, yaitu:
• Attentional processes

Yaitu memberikan perhatian terhadap apa yang dilakukan model. Dalam proses
atensi ini, seorang individu memerlukan schema untuk memahami lingkungan atau
model yang ditiru. Proses terjadinya skema ada tiga, yaitu assimilation (proses
dimana lingkungan menyesuaikan dengan skema individu), accommodation (proses
penyesuaian individu terhadap stimulus lingkungan), dan organization (pengaturan
yang terjadi dalam pikiran manusia didasarkan pada pemahaman individu akibat
proses belajar).

• Retention processes

Yaitu menyimpan informasi yang diterima. Di dalam proses ini diawali dengan
terjadinya pemrosesan informasi, dimana stimulus yang diterima (dari proses
belajar) diolah sehingga proses kognitif yang terjadi di otak dapat berinteraksi
dengan lingkungan belajar. Hasil dari pemrosesan informasi ini akan disimpan
dalam memori, sehingga sewaktu-waktu dapat muncul kembali bila ingatan tersebut
di-recall.

• Productions processes

Yaitu memproduksi kembali apa yang telah dipelajari dan telah disimpan dalam
memori. Dalam proses ini, seseorang akan memproduksi apa yang telah dipelajari
dan disimpan dalam memori ke dalam kesempatan yang lebih nyata (real).

• Motivational processes

Yaitu menentukan model dan perilaku mana yang akan dipilih. Jika informasi atau
hasil dari belajar (yang melewati proses berpikir) ini sesuai dengan skema seorang
individu, maka informasi tersebut akan mempengaruhi seorang individu untuk
memproduksi, memilih dan memunculkan perilaku tersebut. Adanya model perilaku
yang sesuai dengan skema seseorang juga memotivasinya untuk meniru perilaku
tersebut. Namun, proses ini juga tidak lepas dari skrip yang ada di dalam
lingkungannya. Jika skrip yang ada menolak perilaku tersebut, maka seseorang akan
berpikir ulang untuk mewujudkannya ke dalam perilaku.
Menggaris bawahi penjelasan sebelumnya, bahwa kognisi seseorang juga terkait
erat dengan keadaan afektif dan keterangsangan seseorang, maka pemilihan perilaku
tersebut pun tidak bisa lepas dari peranan keduanya. Adanya afek negatif dari individu
dapat memicu timbulnya keterangsangan yang negatif pula sehingga variabel tersebut
dapat membuat individu memiliki pikiran yang negative (tetapi hal ini sangat tergantung
pada interpretasi individual atas situasi yang dialami).
Demikian pula halnya dengan perilaku agresif. Sebagai contoh ketika seseorang
sedang bad-mood atau stress, kemudian stimulus agresif muncul, maka orang tersebut
akan mudah berperilaku agresif, seperti membentak, memaki dan sebagainya (agresi
verbal-aktif-langsung). Dari contoh tersebut, dapat terlihat jelas, bahwa adanya afeksi
negative menyebabkan orang yang mempunyai trait mudah marah atau agresivitas
tinggi menjadi mempunyai belief yang kuat mengenai agresi, sehingga menyebabkan
seorang individu mudah terangsang untuk meniru perilaku agresif. Jika emosi dan
rangsangan tersebut diperkuat dengan adanya provokasi dan frustasi, dapat
menyebabkan kognisi agresif timbul dalam diri seseorang. Akibatnya, ia akan
cenderung untuk bertindak agresif. Namun jika interpretasi seseorang cenderung positif
(tidak mengembangkan prejudice-nya, adanya preatribusi atau adanya hipotesis
katarsis) maka agresivitas pun cenderung tidak terjadi. Dalam hal ini termasuk
kecenderungan seseorang untuk tidak secara langsung mempersepsi kejadian yang
serupa atau peristiwa yang pernah dialami berdasarkan pengalaman masa lalunya.
Dengan kata lain, orang tersebut akan menggunakan atribusinya sebelum memutuskan
perilaku apa yang akan diperbuat.
Sebagai contoh: kemarin ketika kita melihat si A bermuka masam, ia akan
marah-marah tidak jelas kepada kita. Dari peristiwa tersebut, kita akan cenderung
menghindar atau mendiamkan A jika A bermuka masam lagi. Esok harinya si A
kembali bermuka masam. Kita pun cenderung menghindar dan mendiamkan dia. Tetapi
yang terjadi adalah A diam saja dan tidak marah lagi, kemudian malah tersenyum
kepada kita. Setelah diteliti, ternyata, si A marah-marah kemarin karena ia sempat
mengalami kecelakaan kecil saat mengendarai akibat pengemudi lain mengendarai
secara sembarangan. Namun, karena kita cenderung melihat pengalaman kemarin tanpa
melibatkan atribusinya, kita pun cenderung mendiamkannya (agresi-verbal-pasif-
langsung).
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat dirangkum dalam bagan
berikut ini:
STIMULUS
AGRESIF

PROSES
KOGNISI
BELAJAR

Skri Ingatan,
pp asosiasi Pengalaman
KEADAAN masa lalu
AFEKSI

Penilaian
tentang
perilaku
seseorang
PERILAKU
AGRESIF

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua teori tersebut saling


berkaitan. Dalam proses belajar sosial, seorang individu membutuhkan kognisi dan
faktor-faktor lainnya untuk menentukan apakah perilaku agresif itu ditiru atau tidak.
Berdasarkan pemrosesan informasi atas stimulus yang diterima (baik melalui
pengalaman dan praktek langsung atau melalui pengamatan terhadap perilaku orang
lain). Teori ini semakin dipertegas dengan adanya teori kognitif yang menyatakan
bahwa perilaku agresif dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor-faktor
kognitif, pengalaman masa silam, dan suasana hati (keadaan afeksi) pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai