- Dang Hyang Nirartha menikahkannya Denden Sari dengan cucu beliau yang
bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.
Pada Waisaka di bualn gelap, isaka 1455 kira-kira bulan april 1533
masehi. Nirartha kembali dari Sumbawa, dan mendarat di pelabuhan Kusamba
dan langsung menuju ibukota Gelgel ( perjalanan Danghyang Nirartha, hal
178,Dr. Soegianto Sastrodiwiryo).
- 2. Mpu Lor mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng,
permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak
tapi kurang pandai.
- 3. Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng,
permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak
tapi kurang pandai.
- 4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu bagian untuk
mereka berdua berupa sawah dan ladang, maknanya kepandaian kurang,
tapi banyak anak. Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun.
Akhirnya setelah diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil :
lontar pustaka, alat pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki
Samprangan, pisau pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki
Sepak. Maknanya penuh kepandaian dan bakat, tapi sayang
keturunannya sedikit. Beliau mengangkat Bendesa Mas sebagai
pelayannya. Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang
pisau pengrupak. Mpu Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil
ayam kurungan, dan Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak. Setelah
selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada semuanya, sebab
beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk kembali ke
Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk, demikian
pula Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung, para
Arya dan rakyat yang hadir.
- Tepi laut Krobokan dan disana beliau melihat roh halus yang disebut Buto
Ijo.
- Oleh kepala desa juga dibangun pelinggih Bhatara Masceti. Pecanangan milik
beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan
desa.
Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu
hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang,
maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu
menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya
diletakkan. Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semak-
semak karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk
halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang
untuk menjaga pecanangannya di sana, kalau ada yang hendak merusak daerah
itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan dan daerah itu diberi nama Tegal Peti
Tenget.
Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa orang
menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit
dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang
Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak
memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian
memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara
Masceti. Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar
memperoleh kesejahteraan desa.
Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi
segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap
dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal
Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.