Anda di halaman 1dari 7

1.

MENYEMBUHKAN DENDEN SARI DI SUMBAWA

- Sang Penghulu meminta Dang Hyang Nirartha mengobati Denden Sari.

- Dang Hyang Nirartha membawa Denden Sari kembali ke Desa Mas.

- Dang Hyang Nirartha menikahkannya Denden Sari dengan cucu beliau yang
bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.

Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya . Ada salah satu


putrinya yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia sejak kecil tidak
dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan mereka. Sang penghulu
mendengar bahwa Dang Hyang Nirartha yang bisa mengobati orang sakit ketika
berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk meminta pertolongan kepada sang
pendeta.

Setelah mendarat di pelabuhan beriktunya Dang Hyang Nirartha, setelah


dari Tambora, Danghyang di jemput sang penghulu. Beliau diminta untuk
menyembuhkan anak itu yang telah lama sakit. Beliau menyanggupi permintaan
dari sang penghulu, dan mereka berangkat menuju rumah sang Penghulu.

Beliau melihat dan memperhatikan anak itu dalam keadaan


mengkhawatirkan sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya pucat pasi
seperti mayat, tetapi rupanya amatlah cantik. Kemudian beliau menyentuh
kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib). Beberapa detik
kemudian anak itu tersenyum dengan wajah cerah,dan tampak sehat kembali.

Sang penghulu sangat senang dan mengabulkan permintaan dang hyang


untuk membawa anak itu ke Bali. Akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa
anak tersebut kemudian di beri nama Denden Sari ke desa Mas. Setelah Denden
Sari meningkat gadis, Dang Hyang Dwijendra menikahkannya dengan cucu
beliau yang bernama Ida Ketut Buruan Manuaba. Yang kemudian melahirkan
putra- putra yang membentuk klan Manuaba.
2.3 SETIBANYA DI BALI SETELAH DARI LOMBOK DAN SUMBAWA.

1. PENDIKSAAN ANAK-ANAKNYA DANGHYANG NIRARTHA

- Danghyang Nirartha berpamitan kepada Dalem Waturenggong untuk kembali


ke desa mas guna melakukan upacara pediksan kepada anak-anaknya.

- Setibanya didesa mas,pangeran mas dititahkan untuk mempersiapkan upacara


pediksan.

- Sri Aji Dalem Waturenggong datang diiring oleh para punggawa.

- Danghyang Nirartha memberi petuah kepada anak-anaknya setelah pediksan.

Pada Waisaka di bualn gelap, isaka 1455 kira-kira bulan april 1533
masehi. Nirartha kembali dari Sumbawa, dan mendarat di pelabuhan Kusamba
dan langsung menuju ibukota Gelgel ( perjalanan Danghyang Nirartha, hal
178,Dr. Soegianto Sastrodiwiryo).

Dalem Waturenggong pun datang menjeput Dang guru di pelabuhan


Kusamba. Dalem dan Dauh Bale Agung ketika itu berencana untuk menahan
Dang Hyang untuk tinggal di Gelgel. Karena masih “haus” akan pelajaran
agama, sehingga beliau harus tinggal lebih lama di Gelgel. Hampir setiap malam,
Dalem Waturenggong dan Dauh Bale Agung kemabali menerima pelajaran
tentang wacana dan Kalpasastra. Sampai suatu ketika Dang Hyang Nirartha
meminta keduanya untuk datang ke asrama beliau.

Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada Dalem Waturenggong


bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas. Terutama keinginan beliauutnuk
mempersiapkan kepergiannya kembali ke Siwa Loka. ” Hari pediksan itu akan
dilaksanakan pada tilem sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku.
Pilih antara empat anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat
Mpu Dang Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad. Setibanya Dang Hyang
di desa Mas, dititahkan Pangeran Mas mempersiapkan segala upakara untuk
upacara pediksan nanti. Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem
Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan upacara
suci itu. Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang memberikan nasihat
kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban pendeta.
- 1. Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol;

- 2. Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk;

- 3. Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang


memberikan susu kepada kita.

- 4. Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan);

- 5. Tidak memakan daging ayam peliharaan;

- 6. Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun niskala;

- 7. Tidak boleh iri hati;

- 8. Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.

Demikianlah nasihat Mpu Dang Hyang kepada putra-putranya.


Selanjutnya beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan beliau, dan akan
dibagikan kepada semua putranya. Dalem Waturenggong turut
mempersaksikan peristiwa itu, diiringi oleh Sri Arya Kenceng, Pangeran Dauh
Baleagung beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng pelayannya Ida Kidul.
Adapun harta yang dibagi yaitu : emas, perak, uang kepeng, permata mirah,
cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedan (pemujaan
kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya. Tempat membagi harta
beliau itu dilakukan di luar gria asramanya di Mas. Harta benda itu dibagi lima
(5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu diletakkan 5 buah balai
amanca desa (5 arah). Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang
Hyang untuk mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.

- 1. Mpu Kulon mengambil emas, perak, uang kepeng, permata, surat


tegalan dan rakyat, akibatnya akan mempunyai keturunan banyak tapi
kurang pandai.

- 2. Mpu Lor mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng,
permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak
tapi kurang pandai.
- 3. Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas, perak, uang kepeng,
permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai keturunan banyak
tapi kurang pandai.

- 4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu bagian untuk
mereka berdua berupa sawah dan ladang, maknanya kepandaian kurang,
tapi banyak anak. Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun.
Akhirnya setelah diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil :
lontar pustaka, alat pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki
Samprangan, pisau pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki
Sepak. Maknanya penuh kepandaian dan bakat, tapi sayang
keturunannya sedikit. Beliau mengangkat Bendesa Mas sebagai
pelayannya. Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang
pisau pengrupak. Mpu Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil
ayam kurungan, dan Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak. Setelah
selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada semuanya, sebab
beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk kembali ke
Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk, demikian
pula Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung, para
Arya dan rakyat yang hadir.

Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah selatan


seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Beliau
mengembara seorang diri, namun pasti mengunjungi tempat-tempat suci tanpa
ada seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu
Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa
Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar. Beberapa hari
kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan. Bendesa Mas bersama
istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa makanan yang akan
dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang.

Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh


pangeran Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu.
Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas beliau
bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena itu di
sana didirikan pelinggih bernama Pura Pangajengan (pangajengan = tempat
makan).

2. PEMBICARAAN SPIRITUAL DENGAN BHATARA MASCETI DAN


PENYUNGSUNGNYA.

- Terjadi perbincangan antara Danghyang Nirartha dengan Bhatara Masceti,


yang mengusulkan membuat candi yang akan disungsung oleg jagat dan
sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti,

- Tepi laut Krobokan dan disana beliau melihat roh halus yang disebut Buto
Ijo.

- Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga


pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget

- Oleh kepala desa juga dibangun pelinggih Bhatara Masceti. Pecanangan milik
beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar memperoleh kesejahteraan
desa.

Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali,


berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana,
beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat
untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau
mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara
Masceti.“Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah suci
menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di
dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu saat turunnya
perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang. “Kalau begitu,” ujar Bhatara
Masceti. “Marilah kita bersama-sama bercengkrama di daerah pinggir laut.”

Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba di


pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya
merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang
Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata.
“Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja
Sesuhunan.” “Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang. “Buatlah di sini sebuah
candi yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong
pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!” Dang
Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti, tiba-tiba telah
sampai mereka di tepi laut Krobokan.

Dari sana Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu
hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang,
maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu
menggaib. Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya
diletakkan. Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semak-
semak karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk
halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang
untuk menjaga pecanangannya di sana, kalau ada yang hendak merusak daerah
itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan dan daerah itu diberi nama Tegal Peti
Tenget.

Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu. Setelah tiba di sana,


tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana
beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur.

Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa orang
menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang sakit
dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu Dang
Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau tidak
memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang kemudian
memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih Bhatara
Masceti. Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk disungsung agar
memperoleh kesejahteraan desa.

Pada hari pujawali, Buto Ijo harus diberi cecaruan, berupa nasi
segehan atanding, ikannya jejeron, babi mentah, segehan agung, lengkap
dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal
Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.

Anda mungkin juga menyukai