Anda di halaman 1dari 3

Gayus Kecil dan Tidak Penting

M. Hamzah

Kata “mafia” secara sederhana berarti “perkumpulan rahasia yg bergerak di bidang


kejahatan (kriminal)“.

Bila dikatakan bahwa Gayus adalah bagian dari mafia, berarti dia adalah “anggota” dari
sekelompok orang yang berbuat kejahatan. Tipe kejahatan yang seringkali dikaitkan dengan
Gayus ada dua: kejahatan di bidang pajak dan kejahatan dibidang penyuapan aparat hukum.

Karena keterkaitan dengan kedua jenis kejahatan itulah, maka Gayus adalah bagian dari apa
yang oleh media disebut sebagai “mafia pajak” dan “mafia hukum”. Mereka adalah “mafia”
dikarenakan “kerahasiaan” identitas dan peranan masing-masing individu dari masyarakat
luas. Meski rahasia, dua kelompok mafia tersebut terbilang sangat berkuasa. Mengapa?

Pertama, mafia pajak. Orang-orang yang terlibat dalam organisasi ini adalah pengusaha yang
“kakap” atau besar. Nilai pajak mereka (per individu atau untuk satu perusahaan) miliaran
rupiah per tahun. Mereka ini seharusnya membayar pajak miliaran rupiah setiap tahun
kepada negara, namun dengan alasan masing-masing, enggan membayar dengan nilai yang
seharusnya; mereka ingin membayar lebih sedikit.

Kedua, mafia hukum. Dalam mafia hukum ini terdapat empat jenis OKNUM utama: polisi,
pengacara, jaksa, dan hakim. Selain keempatnya, terdapat apa yang disebut sebagai
“makelar kasus”. Para makelar ini bisa jadi berasal dari keempatnya, atau bisa jadi selain
mereka, seperti Sjahril Djohan.

Mereka ini bisa “meloloskan kriminal dari jeratan hukum sekaligus mengkriminalkan individu
yang tidak bersalah”. Hukum mereka atur seenak perut mereka sendiri.

Mafia Pajak

Bila mafia pajak menguasai uang, ke manakah uang milik mereka mengalir? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita perlu mengajukan satu pertanyaan lain: kegiatan berskala nasional
apakah yang biayanya paling mahal saat ini?

Jawabannya:kampanye politik.

Bila sebagian uang yang “selamat” dari pajak ini dialirkan ke kampanye pemilihan jabatan
publik, mulai dari pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat, bupati/walikota, gubernur,
presiden, bahkan hingga pejabat tinggi Bank Sentral, maka kita tentu menjadi maklum betapa
besar kekuatan mafia pajak ini: mereka menguasai politik dan hukum sekaligus!

Menguasai politik berarti menguasai kebijakan (policy). Menguasai kebijakan berarti mafia ini
dapat sekehendak hatinya membuat aturan yang menguntungkan kelompoknya atau
menghapus aturan yang merugikan kelompoknya. Dan bila mereka harus berurusan dengan
“hukum” karena telah melanggar aturan, mereka bisa tetap melenggang bebas dari jeratan
hukum karena telah berkolaborasi dengan mafia lainnya, mafia hukum.

Sebuah kekejian ganda.

Sebenarnya, apakah tujuan dari semua ini? Jawabannya hanya satu: kemakmuran ekonomi
yang abadi; kekayaan yang bisa diwariskan tujuh turunan. Sementara kekuasaan atau
jabatan politik hanyalah tujuan antara. Ia diperlukan untuk “mengamankan” kemakmuran
ekonomi abadi.

Mafia Hukum

Keberadaan mafia hukum sebenarnya tidaklah terlalu kuat. Ia adalah kelompok mafia “kelas
dua”. Karena hidup mereka amat tergantung kepada aliran uang dari mafia pajak. Bila
mereka hanya mengambil uang dari kasus “kecil”, mereka akan rugi sendiri. Dengan
demikian, bila mafia pajak “dihabisi”, maka keberadaan mafia hukum akan semakin lemah,
dan karena itu semakin mudah untuk dimusnahkan.

Seringkali mafia hukum ini bertindak sendiri-sendiri. Maksudnya, antara oknum polisi, jaksa,
dan hakim tidak saling “berkoordinasi”. Terkadang, suatu kasus cukup sampai di kantor polisi
atau kantor jaksa saja. Namun tidak jarang, keempat komponen mafia hukum plus makelar
kasus saling berkoordinasi. Dan kondisi inilah yang membuat Gayus dan kasusnya menjadi
fenomenal.

Menammatkan Riwaya Mafia

Alhasil, gambaran singkat di atas akan mengecilkan kekuatan dan pengaruh Gayus.

Gayus adalah sebuah sekrup kecil yang menempel pada “mesin” mafia. Bila mafianya tidak
dijadikan sasaran tembak, maka ketika Gayus “layu”, maka akan tumbuh Gayus-Gayus baru
sebagai teman dari Gayus-Gayus yang masih beroperasi namun tidak terungkap dan
tertangkap saat ini.

Karena itu, fokusnya bukanlah Gayus melainkan kepada mafia.

Kalau situasinya demikian, maka siapakah di negeri ini yang paling mungkin menghabisi
mafia?

Di republik ini, hanya ada satu orang yang memiliki kekuatan dan senjata pamungkas untuk
mematikan mafia ini. Dia adalah Presiden Republik Indonesia. (Ingat! Saya tidak secara
spesifik menunjuk kepada “seorang” Presiden tertentu).

Untuk menghabisi mafia pajak, Presiden dapat menggunakan lembaga berikut ini: Badan
Koordinasi Penanaman Modal, Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian,
Kementrian Keuangan, Kementrian Tenaga Kerja, dan Kementrian Hukum dan HAM.

Mengapa ?
Sebuah perusahaan amat bergantung kepada dua hal: perizinan dan permodalan
(baca:uang). Masing-masing lembaga yang disebut di atas dapat digunakan oleh Presiden
untuk “mempersempit” ruang gerak para pengusaha “hitam” (pengemplang pajak).

Dalam hal perizinan, Presiden dapat menggunakan kewenangannya untuk menolak,


mencabut, membatalkan, atau meninjau ulang seluruh jenis izin yang dimiliki oleh
perusahaan yang terindikasi menggelapkan pajak, baik izin yang berkaitan dengan operasi
perusahaan maupun yang berkaitan dengan permodalan (investasi). Dan bagi mafia pajak
yang berasal dari Direktorat Jendral Pajak, Presiden jauh lebih mudah untuk memusnahkan
mereka.

Sementara untuk menghabisi mafia hukum, Presiden cukup “menekan atau memaksa” kedua
institusi itu agar berjalan “on the track”. Bentuk tekanan dan pemaksaan dapat diarahkan
langsung kepada individu (atau “oknum”) dan dapat pula melakukannya melalui sebuah
sistem yang memungkinkan untuk mengeliminasi para mafia hukum ini.

Tidak Perlu Heran

Dengan gambaran sederhana kekuatan Presiden seperti itu dan BERHASIL


menggunakannya dalam menghabisi kedua kelompok mafia tersebut, bukanlah suatu hal
yang mengherankan bila di akhir masa jabatannya, Presiden akan menuai taburan pujian
setinggi langit.

Pun, bila ternyata hingga di akhir masa jabatannya seorang Presiden, dengan stok kekuatan
yang berlimpah, tidak berdaya menghadapi kedua mafia itu, amat sangat wajar bila
kemudian beliau akan panen hujatan dan caci-maki dan akan dikenang sebagai Presiden
“banci”.

Sesungguhnya, kebanyakan rakyat Indonesia tidaklah terlalu peduli dengan keberadaan


mafia ini, karena rakyat biasa amat jarang bersentuhan langsung dengan mereka. Hanya
saja, ketika kesejahteraan mereka tidak kunjung membaik, tentu mereka juga akan sangat
menyayangkan dan pastinya sangat terheran-heran mengapa Presiden yang mereka pilih
dan memiliki kekuatan besar tidak sanggup mematikan langkah mafia pajak dan mafia hukum
yang telah membuat kesejahteraan mereka tidak kunjung membaik.

Makassar 18 November 2010

Penulis dapat dihubungi melalui email: muhammad.hamzah@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai