Anda di halaman 1dari 8

PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 1

BENGKEL KAJIAN PART II

Fenomena Urban Potret Buram Jakarta


Oleh Ramadhoni (Mahasiswa Biasa)
“+X+=+, -X-=+, +X-=-, -X+=-”
(Aljabar)

J
akarta sebuah kota indah dengan ciri penduduknya yang padat dengan
dipenuhi sesak hiruk-pikuk kegiatan penyelenggaraan kehidupan. Jakarta
yang notabene adalah kota administratif atau dapat disebut sebagai ibukota
negara memiliki beberapa kelebihan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan
alasan untuk mengunjunginya, baik faktor ekonomi, sosial, politik, budaya,
dll. Beragamnya alasan di ataslah yang membuat kepadatan atau jumlah
penduduk di Jakarta setiap tahunnya merambah naik hingga menjadi kota terpadat ke-
6 sedunia. Terhitung tahun 1870 dengan jumlah penduduk 65.000 jiwa dan pada tahun
2008 meningkat drastis dan signifikan dengan jumlah penduduk 9.146.181 jiwa.
Ditambah dengan data yang memaparkan beragamnya suku atau etnis yang
menempati kota Jakarta yang semakin memperkuat kesimpulan bahwasanya ada
faktor-faktor penarik yang menyebabkan kota jakarta terkesan memiliki nilai magis
tersendiri.

Etnis Jawa Betawi Sunda Tionghoa Batak


% 35,16 27,65 15,27 5,53 3,61
Minangkabau Melayu Bugis Madura Banten Banjar
3,18 1,62 0,59 0,57 0,25 0,10

*data berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000

Sama halnya dengan kota-kota megapolitan lain, Jakarta menjadi sebuah sentral
perekonomian dan jantung kehidupan secara nasional. Ketidakstabilan perekonomian
Jakarta dapat berkontribusi besar untuk menghambat perekonomian secara nasional.
Berlandaskan pemahaman di atas, Pemerintah berkonsentrasi penuh untuk terus-
menerus meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonominya, khususnya Gubernur DKI
Jakarta. Pembangunan pun dicanangkan melalui RPJMD dan RPKD. Pada draft tersebut
dengan jelas termaktub sebuah visi pembangunannya dengan bunyi:

” JAKARTA YANG NYAMAN DAN SEJAHTERA UNTUK SEMUA”

Dan diteruskan dengan sebuah penafsiran akan visi padat di atas yaitu:

1. Jakarta yang nyaman bermakna terciptanya rasa aman, tertib, tentram dan damai.
2. Jakarta yang sejahtera bermakna terwujudnya derajat kehidupan penduduk
Jakarta yang sehat, layak dan manusiawi.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 2
BENGKEL KAJIAN PART II

Coba ditafsirkan kembali mengenai point rasa aman, tertib, tentram, dan damai.
Berbicara rasa aman, tertib, tentram, damai berarti telah terciptanya sebuah kondisi
selaras tak ada sebuah konflik yang dapat membuat sebuah peristiwa pertumpahan
darah, dapat bergandeng tangan dengan prinsip multikulturalisme, semakin
menurunnya sentimen antara si miskin dan si kaya, dan terakhir kenyamanan dalam
menjalani kehidupan merupakan keniscayaan.

Selanjutnya point kedua adalah jakarta yang sejahtera dengan indikator sehat, layak
dan manusiawi. Sepertinya memang visi Jakarta ini dapat disimpulkan sebagai bagian
yang hierarki. Rasionalisasinya adalah apabila point pertama tidak terealisasi dengan
baik, optimal, dan konsisten maka akan sulit sekali untuk mewujudkan point kedua
yang notabenenya memiliki tantangan dan hambatan yang cukup besar. Sebuah
kesejahteraan memang bukan wacana baru yang didengarkan, tapi terkadang yang
lama itu tidak selalu dapat didefenisikan dengan baik dan benar sesuai kebutuhan dan
batasan masalah. Untuk visi Jakarta sendiri memilih indikator kesejahteraan sehat,
layak, dan manusiawi. Sebuah kesehatan tidak dimaknai dengan sebuah konteks
perbendaharaan kata yang sempit dengan arti sehat secara jasmani saja, melainkan
ada sebuah keseimbangan kehidupan antara jasmani dan ruhani, yang bertujuan
menciptakan manusia-manusia unggul, visioner, disiplin, dan cerdas secara sosial.
Kemudian program-program pembangunan yang nantinya akan diejawantahkan
mengharapkan akan menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang layak dan bersifat
memanusiakan manusia.

Disamping alasan-alasan di atas ada beberapa faktor penarik yang menyebabkan


banyak masyarakat yang tertarik tinggal di kota jakarta:

1. Kehidupan yang lebih modern dan mewah


2. Lapangan pekerjaan yang dirasa cukup banyak oleh masyarakat
3. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
4. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi yang jauh lebih berkualitas
5. Jaringan dan informasi yang luas

Biasanya dari banyaknya faktor terjadinya sebuah peristiwa migrasi desa-kota atau
sebut saja urbanisasi cenderung dipengaruhi oleh faktor ekonomi-kehidupan layak,
dan dipertegas oleh Jack (2006), yaitu:

1. Keberadaan sumber daya, seperti materi, manusia, infrastruktur, jaringan dan


sarana transportasi, serta pelayanan.
2. Keberadaan konsumen (pasar)
3. Lebih besarnya kesempatan untuk mengembangkan jaringan dan berbagi
pengalaman.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 3
BENGKEL KAJIAN PART II

4. Kedekatan dengan institusi administratif yang mengatur kegiatan komersil.


5. Aksesibilitas ke bentuk dan lingkup ekonomi lainnya

Urbanisasi dalam bingkai teoritis

Urbanisasi secara harfiah adalah perpindahan masyarakat dari desa ke kota (migrasi-
desa-kota). Secara teoritik urbanisasi adalah proses pertambahan penduduk pada
suatu wilayah perkotaan (urban) ataupun proses transformasi suatu wilayah
berkarakter perdesaan (rural) menjadi urban. Urban menunjukkan suatu karakter
wilayah yang padat penduduk serta fungsi-fungsi perekonomian yang heterogen (jasa,
manufaktur, dll) dan berskala besar. Sedangkan kata rural dimaknai suatu karakter
wilayah yang sepi penduduk dengan fungsi-fungsi perekonomian yang didominasi
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, serta aktivitas berbasis agro lainnya.
(http://www.ar.itb.ac.id)

Urbanisasi pun terbagi menjadi 2 macam, yakni migrasi penduduk dan mobilitas
penduduk. Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari
desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas
Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak
menetap.

Kemudian urbanisasi juga merupakan suatu peristiwa sosial dan banyak


mempengaruhi perubahan sosial (Wiraatmaja,1986). Sesungguhnya yang paling
konkrit dapat ditangkap melalui logika sederhana mengenai relevansi urban dengan
perubahan sosial adalah percampuran banyaknya kultur dalam satu tempat dengan
satuan waktu yang cukup lama tidak selalu dapat menjanjikan sebuah keharmonisan.
Kecendrungan untuk terjadi konflik dan gesekan semakin menguat ketika sentimen
ekonomi dan kedaerahan yang lebih dikedepankan dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Makanya tidak jarang tingkat urban yang tinggi memengaruhi angka kriminalitas
yang tinggi pula.

Urbanisasi dapat terjadi dikarenakan faktor-faktor, baik penarik maupun pendorong.


Untuk faktor penarik kita sudah bahas di atas, dan untuk faktor pendorong cenderung
mengarah kepada ketidakmerataan pembangunan secara nasional, dan
ketidakoptimalan pembangunan di desa atau daerah, yang membuat hasrat untuk
menyandang status berkehidupan layak semakin besar.

Memang secara realita terjadi sebuah paradoks yang tajam yang terdeskripsi dalam
kondisi optimalnya pembangunan kota (jakarta), namun tidak diimbangi pesatnya
pembangunan daerah. Dapat ditarik sebuah kesimpulan ada sebuah Missing System
antara pusat dan daerah, meskipun otonomi daerah tidak dapat dijadikan suatu
pembenaran.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 4
BENGKEL KAJIAN PART II

Urban “GLobal Social Problem”

Pesatnya pembangunan di Jakarta membuat masyarakat berbondong-bondong


menempati dan menyesaki wilayah jakarta, baik timur, barat, utara, selatan, maupun
pulau seribu. Bermodalkan kepercayaan mengenai penghidupan yang layak dan
kapasitas rural (desa) banyak kaum urban menyongsong kerasnya kehidupan kota.

Urban memang bukan fenomena baru, akan tetapi selalu menjadi permasalahan akut
yang sampai saat ini terlalu sulit untuk disiasati menjadi sebuah hal positif. Karena
realitanya tidak selamanya fenomena urban menjadi sebuah hambatan pembangunan
apabila dapat disiasati dan direncanakan melalui beberapa program-program
pemberdayaan masyarakat yang konsisten (consistensy) dan berkesinambungan
(sustainable). Urbanisasi akan memunculkan 2 sisi mata uang, dimana ada sisi positif
dan negatif. Urbanisasi itu sendiri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi
dengan syarat ada perencanaan pembangunan yang matang. (Martha Santoso Ismail,
Representative United Nation Population Fund (UNFPA)).

Kemudian lanjutnya fenomena urban di seluruh dunia akan berlanjut dan berkembang
secara signifikan hingga tahun 2030. Untuk tahun 2008 saja sudah menyentuh angka
3,3 miliar jiwa, separuh penduduk dunia. Dan pada tahun 2030 akan melonjak sampai
angka 5 miliar jiwa. Sementara itu, United Nations (2001) memproyeksikan bahwa
penduduk perkotaan di negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 2,4 persen per tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka
pertumbuhan penduduk total negara-negara berkembang pada umumnya, yakni
sekitar 1,2 persen. Meski penduduk perkotaan di negara-negara maju juga meningkat
dengan angka pertumbuhan yang lebih besar daripada angka pertumbuhan penduduk
totalnya, dan juga angka urbanisasinya jauh lebih besar daripada negara-negara
berkembang, pertumbuhan perkotaan di negara-negara berkembang tetap lebih cepat
disertai dengan meningkatnya penduduk perkotaan secara absolut. Dari statement di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya fenomena urban adalah fenomena global
yang sulit untuk dihindarkan, dan akan menjadi sebuah bola salju dimana semua
masyarakat atau penduduk lebih memilih untuk tinggal di kota karena faktor penarik
dan pendorong urbanisasi. Setelah postulat itu tercetuskan maka peran pemerintah
adalah menyiasati fenomena ini dengan keseriusan pembangun kota, dan sekaligus
melakukan optimalisasi otonomi daerah.

Kalau fenomena urban di atas ditarik dalam konteks Jakarta, memang tak ada ubahnya
dengan angka-angka yang tadi dipaparkan. Untuk mobilitas penduduk saja terhitung
2,7 juta jiwa (lingkup bodetabek) dengan motivasi bekerja. Kemudian penduduk
Jakarta yang notabenenya berjumlah 9,2 juta jiwa harus menggelembung menjadi 11
juta jiwa ketika hari senin. Angka di atas mengindikasikan sebuah warning untuk
stakeholder meningkatkan pelayanan dan mutunya.

Lantas dari angka-angka di atas sesungguhnya ada banyak permasalahan yang harus
dibedah, yang pertama adalah kemiskinan yang akhirnya memunculkan istilah baru
yakni warga miskin kota, kemudian yang kedua adalah menggelembungnya angka
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 5
BENGKEL KAJIAN PART II

pekerja sektor informal dibandingkan sektor formal hingga mencapai 64% pekerja di
Jakarta. Hal ini dikarenakan kapasitas penduduk yang berbasis kemampuan rural
(agrikultur) hanya dapat teroptimalisasi di Jakarta tidak lebih dari 1%. Selanjutnya
masalah lingkungan akibat ketidakmampuan warga miskin kota untuk bertempat
tinggal di tempat yang layak sehingga menempati daerah-daerah kolong jembatan,
pinggiran sungai, dan tempat-tempat tidak layak huni yang banyak memengaruhi
pencemaran alam, menghambat proses optimalisasi sanitasi, dll. Masalah putus
sekolah dan minimnya mengenyam pendidikan juga termasuk agenda pembenahan
oleh pemerintah. Dan terakhir adalah masalah kesehatan.

Untuk pembahasan yang pertama adalah kemiskinan. Untuk awalan batasan defenisi
mengenai kemiskinan kita terbagi menjadi 3, yaitu yang pertama kekurangan materi.
Kekurangan materi disini mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai
situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Yang kedua adalah gambaran
tentang kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini
termasuk pendidikan dan informasi. Dan terakhir adalah kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna memadai disini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Kemiskinan sebenarnya berkorelasi dengan masalah pendidikan. Ketika kapasitas


penduduk urban hanya sampai mengenyam pendidikan tingkat SD, SMP, atau SMA
kemungkinan besar hanya akan bekerja sebagai buruh dengan upah kecil dan
eksploitasi tenaga yang besar, bahkan terkadang berlebihan. Dan yang paling
mengerikan adalah sistem Outsourcing yang dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja tanpa uang pesangon. Realita di atas sebenarnya dapat tergambar melalui PDRB
(Product Domestic Regional Bruto) ditinjau secara sektoral, pada tahun 2008 sebesar
71,28 persen PDRB DKI Jakarta berasal dari sektor tersier (perdagangan, keuangan, dan
jasa), sebesar 28,14 persen berasal dari sektor sekunder (industri pengolahan dan
bangunan), dan hanya sekitar 0,58 persen dari sektor primer (pertanian dan
pertambangan).

Dari pemaparan angka diatas dapat disimpulkan bahwasanya tingkat kerawanan kaum
urban untuk menyandang status miskin atau sangat miskin sangat terbuka lebar.
Karena realitanya sektor primer sangat kecil untuk berpengaruh untuk pembangunan
kota. Wajarlah apabila kaum urban dikatakan “berjudi” untuk dapat bertahan hidup di
jakarta. Untuk IPM (Indeks pembangunan manusia) sendiri Jakarta berada dalam angka
76,6. Kalau kita kaitkan dalam indeks internasional, Jakarta dalam posisi menengah
(66,00-79,99). Tapi angka diatas merupakan indeks hasil rata-rata dari kapasitas semua
penduduk yang tinggal di Jakarta. Tidak dapat disangkal bahwasanya fenomena “Si
miskin dan Si kaya” dengan margin sangat jauh, sehingga ketidakmampuan si miskin
dapat tertutupi oleh kemampuan si Kaya. Padahal kalau kita turun ke lapangan untuk
melihat realita secara langsung maka kaum warga miskin kota sangat berhamburan
dimana-mana.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 6
BENGKEL KAJIAN PART II

Untuk angka kemiskinan sendiri di Jakarta menembus angka 323.000 ribu jiwa dengan
tingkat inflasi 3,90 (Persentase perubahan IHK Mei 2010 terhadap bulan Mei 2009).
Berarti secara prosentase, kemiskinan jakarta menembus 3,51% dan cukup banyak
menyumbangkan angka kemiskinan secara nasional apabila ditinjau dari serba
lengkapnya infrastruktur dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. Padahal dalam RPKD
2009 dijelaskan dalam misi pembangunan Jakarta, yaitu cara menggulangi
permasalahan yang terjadi di Jakarta adalah melalui:

a. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-kaidah


”Good Governance”.
b. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima.
c. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat
untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang
terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian
pembangunan.
d. Membangun sarana dan prasarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan
memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
e. Menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong
pertumbuhan dan kesejahteraan.

Selanjutnya muncul sebuah pertanyaan skeptik, yaitu apabila memang visi dan misi itu
sudah terealisasi dengan baik dan benar berarti sudah tidak ada lagi angka kemiskinan
yang tinggi tersebut. Memang blueprint selalu ditorehkan dengan untaian-untaian kata
yang indah tapi sangat sulit untuk direalisasikan.

Kemudian masalah kedua mengenai lingkungan dengan bentuk pencemaran


lingkungan, dan merebaknya permukiman kumuh. Untuk pencemaran lingkungan
sebenarnya banyak dipengaruhi juga dengan kondisi merebaknya permukiman kumuh.
Sejatinya tempat tinggal merupakan kebutuhan primer setiap penduduk atau
masyararakat. Tempat untuk bernaung, bertahan hidup, mengasuh anak, melakukan
produksi ekonomi, dll. Begitu sentralnya kebutuhan ini tidak melulu berbanding lurus
dengan kondisi kemampuan finansial kaum urban untuk memenuhi kebutuhan ini.

Selanjutnya permukiman kumuh di kota memiliki beragam bentuk, besaran, sejarah


dan budaya politik, serta terdapat beragam istilah juga yang digunakan untuk
menyebutnya. UN-HABITAT sendiri mendefinisikan rumah tangga kumuh sebagai
sekelompok orang yang hidup di bawah satu atap di kota, dan tidak memiliki satu atau
lebih dari lima kondisi berikut:

1. Rumah dari bahan permanen di lokasi yang tidak rawan bencana


2. Area huni yang layak, sehingga tidak lebih dari tiga orang yang berbagi kamar
3. Akses ke air bersih yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam harga yang
terjangkau
4. Akses ke sanitasi yang layak
5. Kepemilikan lahan yang aman dan legal sehingga tidak rawan penggusuran
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 7
BENGKEL KAJIAN PART II

Di berbagai tempat, permukiman kumuh dan ilegal dibedakan melalui:

PERMUKIMAN KUMUH: Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjukkan area


dengan kualitas perumahan yang buruk, infrastruktur yang tidak memadai, dan kondisi
lingkungan yang terus menurun. Akan tetapi, penghuni biasanya memiliki kepemilikan
lahan yang terjamin, baik sebagai pemilik, penghuni atau penyewa resmi atas tanah
tersebut.

PERMUKIMAN ILEGAL: Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan area


dimana terdapat penduduk yang mendirikan rumahnya di atas lahan yang bukan
miliknya, atau tidak memiliki ijin mendirikan atau menyewakan bangunan, dan
biasanya membangun tanpa mengikuti aturan tata kota yang berlaku.

Permukiman Kumuh di Asia (tahun 2001)


Kawasan Total Populasi Total Populasi Kota % Total Populasi % Total
(Jutaan) (Jutaan) Total Kumuh Populasi Kota
Populasi (Jutaan)
Asia Timur 1,364 533 39,1 193,8 36,4
Asia Tengah 1,499 429 29,6 253,1 59,0
Asia Tenggara 530 203 38,3 56,8 28,0
Asia Barat 175 115 65,7 29,7 25,7
Total Asia 3,519 1,280 36,4 533,4 41,7

Sumber: UN-HABITAT, State of the World’s Cities 2006/2007, 2006

Solusi Solutif di tengah Badai Hambatan

Untuk solusi penanggulangan fenomena urban itu sendiri akan terbagi menjadi 2, yaitu
fase preventif dan fase recovery. Fase preventif akan lebih diarahkan terhadap
optimalisasi pembangunan daerah dan efektifnya otonomi daerah. Pembangunan
daerah disini adalah proses pemberdayaan komunitas dan potensi produktif di wilayah
pedesaan (Craig and Mayo, 1999). Kemudian disambung oleh Mosher (1974), dan
Bertrand (1958) bahwasanya pembangunan pedesaan diartikan sebagai
pembangunan usaha tani atau pembangunan pertanian. Jadi jelas optimalisasi
kemampuan tani itu lebih cocok di daerah pedesaan bukan di daerah perkotaan.
Kemudian kemampuan itu pun harus berkembang juga hingga tahapan pemasaran,
manajemen, organisasi, dan administrasi.

Kemudian untuk pembangunan pedesaan diharapkan memiliki sebuah paradigma


pembangunan yang fokus dan konsisten dijalankan. Untuk paradigma pembangunan
pedesaan sendiri terbagi menjadi 11 bagian, yaitu Bottom-Up (Demand Driven),
integrated (Convergence), Human Right, Sustainability (Commitment), Empowerment,
Self Reliance (Locality), Democration and Participation, cooperation and Collaboration,
Comprehenship, Capacity Building, Networking, Otonomi (Outonomus). (Thomas Kuhn,
1970).
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 8
BENGKEL KAJIAN PART II

Selanjutnya adalah fase recovery, yakni pembangunan terhadap kaum urban langsung
atau sebut saja warga miskin kota. Gubernur DKI jakarta sendiri telah menggulirkan
program PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan). Untuk tahun ini saja
anggaran APBD dianggarkan sebesar 8,3 miliar untuk 16 koperasi keuangan kelurahan.
Apabila program ini dapat berjalan dengan optimal maka tingkat kemiskinan diyakini
dapat menurun. Kemudian usaha lain yang harus dipikirkan adalah kebijakan dari
Pemprov untuk mempush Depdiknas mengenai optimalisasi kampus, via akademisi
kampus dan mahasiswa. Kebijakan tersebut untuk mewajibkan kampus untuk
membuat program Community Development terhadap komunitas masyarakat miskin
yang ada di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai