J
akarta sebuah kota indah dengan ciri penduduknya yang padat dengan
dipenuhi sesak hiruk-pikuk kegiatan penyelenggaraan kehidupan. Jakarta
yang notabene adalah kota administratif atau dapat disebut sebagai ibukota
negara memiliki beberapa kelebihan dan nilai-nilai yang dapat dijadikan
alasan untuk mengunjunginya, baik faktor ekonomi, sosial, politik, budaya,
dll. Beragamnya alasan di ataslah yang membuat kepadatan atau jumlah
penduduk di Jakarta setiap tahunnya merambah naik hingga menjadi kota terpadat ke-
6 sedunia. Terhitung tahun 1870 dengan jumlah penduduk 65.000 jiwa dan pada tahun
2008 meningkat drastis dan signifikan dengan jumlah penduduk 9.146.181 jiwa.
Ditambah dengan data yang memaparkan beragamnya suku atau etnis yang
menempati kota Jakarta yang semakin memperkuat kesimpulan bahwasanya ada
faktor-faktor penarik yang menyebabkan kota jakarta terkesan memiliki nilai magis
tersendiri.
Sama halnya dengan kota-kota megapolitan lain, Jakarta menjadi sebuah sentral
perekonomian dan jantung kehidupan secara nasional. Ketidakstabilan perekonomian
Jakarta dapat berkontribusi besar untuk menghambat perekonomian secara nasional.
Berlandaskan pemahaman di atas, Pemerintah berkonsentrasi penuh untuk terus-
menerus meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonominya, khususnya Gubernur DKI
Jakarta. Pembangunan pun dicanangkan melalui RPJMD dan RPKD. Pada draft tersebut
dengan jelas termaktub sebuah visi pembangunannya dengan bunyi:
Dan diteruskan dengan sebuah penafsiran akan visi padat di atas yaitu:
1. Jakarta yang nyaman bermakna terciptanya rasa aman, tertib, tentram dan damai.
2. Jakarta yang sejahtera bermakna terwujudnya derajat kehidupan penduduk
Jakarta yang sehat, layak dan manusiawi.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 2
BENGKEL KAJIAN PART II
Coba ditafsirkan kembali mengenai point rasa aman, tertib, tentram, dan damai.
Berbicara rasa aman, tertib, tentram, damai berarti telah terciptanya sebuah kondisi
selaras tak ada sebuah konflik yang dapat membuat sebuah peristiwa pertumpahan
darah, dapat bergandeng tangan dengan prinsip multikulturalisme, semakin
menurunnya sentimen antara si miskin dan si kaya, dan terakhir kenyamanan dalam
menjalani kehidupan merupakan keniscayaan.
Selanjutnya point kedua adalah jakarta yang sejahtera dengan indikator sehat, layak
dan manusiawi. Sepertinya memang visi Jakarta ini dapat disimpulkan sebagai bagian
yang hierarki. Rasionalisasinya adalah apabila point pertama tidak terealisasi dengan
baik, optimal, dan konsisten maka akan sulit sekali untuk mewujudkan point kedua
yang notabenenya memiliki tantangan dan hambatan yang cukup besar. Sebuah
kesejahteraan memang bukan wacana baru yang didengarkan, tapi terkadang yang
lama itu tidak selalu dapat didefenisikan dengan baik dan benar sesuai kebutuhan dan
batasan masalah. Untuk visi Jakarta sendiri memilih indikator kesejahteraan sehat,
layak, dan manusiawi. Sebuah kesehatan tidak dimaknai dengan sebuah konteks
perbendaharaan kata yang sempit dengan arti sehat secara jasmani saja, melainkan
ada sebuah keseimbangan kehidupan antara jasmani dan ruhani, yang bertujuan
menciptakan manusia-manusia unggul, visioner, disiplin, dan cerdas secara sosial.
Kemudian program-program pembangunan yang nantinya akan diejawantahkan
mengharapkan akan menciptakan kondisi-kondisi kehidupan yang layak dan bersifat
memanusiakan manusia.
Biasanya dari banyaknya faktor terjadinya sebuah peristiwa migrasi desa-kota atau
sebut saja urbanisasi cenderung dipengaruhi oleh faktor ekonomi-kehidupan layak,
dan dipertegas oleh Jack (2006), yaitu:
Urbanisasi secara harfiah adalah perpindahan masyarakat dari desa ke kota (migrasi-
desa-kota). Secara teoritik urbanisasi adalah proses pertambahan penduduk pada
suatu wilayah perkotaan (urban) ataupun proses transformasi suatu wilayah
berkarakter perdesaan (rural) menjadi urban. Urban menunjukkan suatu karakter
wilayah yang padat penduduk serta fungsi-fungsi perekonomian yang heterogen (jasa,
manufaktur, dll) dan berskala besar. Sedangkan kata rural dimaknai suatu karakter
wilayah yang sepi penduduk dengan fungsi-fungsi perekonomian yang didominasi
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, serta aktivitas berbasis agro lainnya.
(http://www.ar.itb.ac.id)
Urbanisasi pun terbagi menjadi 2 macam, yakni migrasi penduduk dan mobilitas
penduduk. Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari
desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas
Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak
menetap.
Memang secara realita terjadi sebuah paradoks yang tajam yang terdeskripsi dalam
kondisi optimalnya pembangunan kota (jakarta), namun tidak diimbangi pesatnya
pembangunan daerah. Dapat ditarik sebuah kesimpulan ada sebuah Missing System
antara pusat dan daerah, meskipun otonomi daerah tidak dapat dijadikan suatu
pembenaran.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 4
BENGKEL KAJIAN PART II
Urban memang bukan fenomena baru, akan tetapi selalu menjadi permasalahan akut
yang sampai saat ini terlalu sulit untuk disiasati menjadi sebuah hal positif. Karena
realitanya tidak selamanya fenomena urban menjadi sebuah hambatan pembangunan
apabila dapat disiasati dan direncanakan melalui beberapa program-program
pemberdayaan masyarakat yang konsisten (consistensy) dan berkesinambungan
(sustainable). Urbanisasi akan memunculkan 2 sisi mata uang, dimana ada sisi positif
dan negatif. Urbanisasi itu sendiri dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi
dengan syarat ada perencanaan pembangunan yang matang. (Martha Santoso Ismail,
Representative United Nation Population Fund (UNFPA)).
Kemudian lanjutnya fenomena urban di seluruh dunia akan berlanjut dan berkembang
secara signifikan hingga tahun 2030. Untuk tahun 2008 saja sudah menyentuh angka
3,3 miliar jiwa, separuh penduduk dunia. Dan pada tahun 2030 akan melonjak sampai
angka 5 miliar jiwa. Sementara itu, United Nations (2001) memproyeksikan bahwa
penduduk perkotaan di negara-negara berkembang terus meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 2,4 persen per tahun. Angka ini merupakan dua kali lipat angka
pertumbuhan penduduk total negara-negara berkembang pada umumnya, yakni
sekitar 1,2 persen. Meski penduduk perkotaan di negara-negara maju juga meningkat
dengan angka pertumbuhan yang lebih besar daripada angka pertumbuhan penduduk
totalnya, dan juga angka urbanisasinya jauh lebih besar daripada negara-negara
berkembang, pertumbuhan perkotaan di negara-negara berkembang tetap lebih cepat
disertai dengan meningkatnya penduduk perkotaan secara absolut. Dari statement di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya fenomena urban adalah fenomena global
yang sulit untuk dihindarkan, dan akan menjadi sebuah bola salju dimana semua
masyarakat atau penduduk lebih memilih untuk tinggal di kota karena faktor penarik
dan pendorong urbanisasi. Setelah postulat itu tercetuskan maka peran pemerintah
adalah menyiasati fenomena ini dengan keseriusan pembangun kota, dan sekaligus
melakukan optimalisasi otonomi daerah.
Kalau fenomena urban di atas ditarik dalam konteks Jakarta, memang tak ada ubahnya
dengan angka-angka yang tadi dipaparkan. Untuk mobilitas penduduk saja terhitung
2,7 juta jiwa (lingkup bodetabek) dengan motivasi bekerja. Kemudian penduduk
Jakarta yang notabenenya berjumlah 9,2 juta jiwa harus menggelembung menjadi 11
juta jiwa ketika hari senin. Angka di atas mengindikasikan sebuah warning untuk
stakeholder meningkatkan pelayanan dan mutunya.
Lantas dari angka-angka di atas sesungguhnya ada banyak permasalahan yang harus
dibedah, yang pertama adalah kemiskinan yang akhirnya memunculkan istilah baru
yakni warga miskin kota, kemudian yang kedua adalah menggelembungnya angka
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 5
BENGKEL KAJIAN PART II
pekerja sektor informal dibandingkan sektor formal hingga mencapai 64% pekerja di
Jakarta. Hal ini dikarenakan kapasitas penduduk yang berbasis kemampuan rural
(agrikultur) hanya dapat teroptimalisasi di Jakarta tidak lebih dari 1%. Selanjutnya
masalah lingkungan akibat ketidakmampuan warga miskin kota untuk bertempat
tinggal di tempat yang layak sehingga menempati daerah-daerah kolong jembatan,
pinggiran sungai, dan tempat-tempat tidak layak huni yang banyak memengaruhi
pencemaran alam, menghambat proses optimalisasi sanitasi, dll. Masalah putus
sekolah dan minimnya mengenyam pendidikan juga termasuk agenda pembenahan
oleh pemerintah. Dan terakhir adalah masalah kesehatan.
Untuk pembahasan yang pertama adalah kemiskinan. Untuk awalan batasan defenisi
mengenai kemiskinan kita terbagi menjadi 3, yaitu yang pertama kekurangan materi.
Kekurangan materi disini mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai
situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Yang kedua adalah gambaran
tentang kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini
termasuk pendidikan dan informasi. Dan terakhir adalah kurangnya penghasilan dan
kekayaan yang memadai. Makna memadai disini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Dari pemaparan angka diatas dapat disimpulkan bahwasanya tingkat kerawanan kaum
urban untuk menyandang status miskin atau sangat miskin sangat terbuka lebar.
Karena realitanya sektor primer sangat kecil untuk berpengaruh untuk pembangunan
kota. Wajarlah apabila kaum urban dikatakan “berjudi” untuk dapat bertahan hidup di
jakarta. Untuk IPM (Indeks pembangunan manusia) sendiri Jakarta berada dalam angka
76,6. Kalau kita kaitkan dalam indeks internasional, Jakarta dalam posisi menengah
(66,00-79,99). Tapi angka diatas merupakan indeks hasil rata-rata dari kapasitas semua
penduduk yang tinggal di Jakarta. Tidak dapat disangkal bahwasanya fenomena “Si
miskin dan Si kaya” dengan margin sangat jauh, sehingga ketidakmampuan si miskin
dapat tertutupi oleh kemampuan si Kaya. Padahal kalau kita turun ke lapangan untuk
melihat realita secara langsung maka kaum warga miskin kota sangat berhamburan
dimana-mana.
PUSAT KAJIAN DAN STUDI GERAKAN GREENFORCE UNJ 6
BENGKEL KAJIAN PART II
Untuk angka kemiskinan sendiri di Jakarta menembus angka 323.000 ribu jiwa dengan
tingkat inflasi 3,90 (Persentase perubahan IHK Mei 2010 terhadap bulan Mei 2009).
Berarti secara prosentase, kemiskinan jakarta menembus 3,51% dan cukup banyak
menyumbangkan angka kemiskinan secara nasional apabila ditinjau dari serba
lengkapnya infrastruktur dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. Padahal dalam RPKD
2009 dijelaskan dalam misi pembangunan Jakarta, yaitu cara menggulangi
permasalahan yang terjadi di Jakarta adalah melalui:
Selanjutnya muncul sebuah pertanyaan skeptik, yaitu apabila memang visi dan misi itu
sudah terealisasi dengan baik dan benar berarti sudah tidak ada lagi angka kemiskinan
yang tinggi tersebut. Memang blueprint selalu ditorehkan dengan untaian-untaian kata
yang indah tapi sangat sulit untuk direalisasikan.
Untuk solusi penanggulangan fenomena urban itu sendiri akan terbagi menjadi 2, yaitu
fase preventif dan fase recovery. Fase preventif akan lebih diarahkan terhadap
optimalisasi pembangunan daerah dan efektifnya otonomi daerah. Pembangunan
daerah disini adalah proses pemberdayaan komunitas dan potensi produktif di wilayah
pedesaan (Craig and Mayo, 1999). Kemudian disambung oleh Mosher (1974), dan
Bertrand (1958) bahwasanya pembangunan pedesaan diartikan sebagai
pembangunan usaha tani atau pembangunan pertanian. Jadi jelas optimalisasi
kemampuan tani itu lebih cocok di daerah pedesaan bukan di daerah perkotaan.
Kemudian kemampuan itu pun harus berkembang juga hingga tahapan pemasaran,
manajemen, organisasi, dan administrasi.
Selanjutnya adalah fase recovery, yakni pembangunan terhadap kaum urban langsung
atau sebut saja warga miskin kota. Gubernur DKI jakarta sendiri telah menggulirkan
program PPMK (Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan). Untuk tahun ini saja
anggaran APBD dianggarkan sebesar 8,3 miliar untuk 16 koperasi keuangan kelurahan.
Apabila program ini dapat berjalan dengan optimal maka tingkat kemiskinan diyakini
dapat menurun. Kemudian usaha lain yang harus dipikirkan adalah kebijakan dari
Pemprov untuk mempush Depdiknas mengenai optimalisasi kampus, via akademisi
kampus dan mahasiswa. Kebijakan tersebut untuk mewajibkan kampus untuk
membuat program Community Development terhadap komunitas masyarakat miskin
yang ada di Jakarta.