Anda di halaman 1dari 5

c 

   

JAKARTA: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa di Indonesia tidak


mungkin diterapkan sistem monarki, karena akan bertabrakan baik dengan konstitusi maupun
nilai demokrasi.

Untuk itu pemerintah terkait dalam penyusunan rancangan undang undang (RUU) tentang
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) optimistis bisa menemukan satu
kerangka yang bisa menghadirkan sitem
nasional atau keutuhan NKRI dan keistimewaan Yogyakarta yang harus dihormati.

³Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai
demokrasi,´ kata Presiden Yudhoyono dalam rapat terbatas untuk mendengarkan laporan dan
presentasi dari Mendagri
tentang kemajuan dalam penyiapan empat RUU di Kantor Presiden hari ini.

SBY mengatakan Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi, karenanya nilai
demokrasi tidak boleh diabaikan. Untuk itu, terkait penggodokan RUU tentang Keistimewaan
Provinsi DIY pemerintah akan memprosesnya bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk mendapatkan satu UU yang tepat dan diperlukan.

Dalam penggodokannya, jelasnya, pemerintah berpijak pada tiga dasar. Pertama, pilar sistem
nasional yaitu negara kesatuan RI yang dalam UUD telah diatur dengan gamblang.

Kedua, memahami keistimeawan DIY dari sejarah dari aspek lain yang memang harus
diperlakukan secara khusus, sebagaimana diatur dalam UUD. Ketiga, bahwa Indonesia
merupakan negara hukum dan demokrasi. (ln)

http://arsipberita.com/show/publik/2010/11/26/sby -tak-mungkin-ada-monarki-di-
indonesia.html/


á 

³     


 ,´ kata Presiden Yudhoyono dalam rapat terbatas untuk
mendengarkan laporan dan presentasi dari Mendagri tentang kemajuan dalam penyiapan
empat RUU di Kantor Presiden hari ini.

Analisa Saya, pernyataan yang dilontarkan oleh SBY tersebut adalah keliru, bahkan
sangat keliru. Hal ini dikarenakan SBY tidak ingat akan pasal 18A ayat 1 UUD 1945 yang
menghargai kekhususan dan keragaman daerah. Satu-satunya Keistimewaan DIY yang
diberikan oleh negara adalah penetapan gubernur dan wakil gubernur, yang masing-masing
otomatis dijabat oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam. Jika hal ini dihapus oleh SBY, maka SBY
mengingkari sejarah dan tidak menghargai jasa rakyat dan Keraton Yogyakarta dalam fase
pembentukan NKRI. Berdasarkan sejarahnya, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I
pada tahun 1755 sejak disepakati Perjanjian Giyanti 13 Pebruari 1755. Sejak saat itu Kerajaan
Yogyakarta menjadi wilayah protektorat. Protektorat ( VOC[1755]-[1799]; Franco-Nederland
[1800-1811]; EIC [1811-1816]; Hindia Belanda [1816-1942]; Kekaisaran Jepang [1942-
45];dan Republik Indonesia [1945-50]) dengan hak dan kewenangan mengatur
pemerintahannya sendiri. Sebelum Kemerdekan Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda
mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur
rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir
Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47. Secara resmi pada tahun 1950,
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (dan Kadipaten Pakualaman ) menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia , yaitu sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenai
konteks keistimewaan pada masa awal kemerdekaan Indonesia, hal itu jelas tercantum dalam
Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan HB IX dan Paku Alam (PA) VIII. Amanat itu
menyatakan penggabungan diri Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam
NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur
wilayahnya. Amanat itu dijawab Presiden Soekarno dengan menyerahkan Piagam Kedudukan
kepada HB IX dan PA VIII sebagai tanda persetujuannya pada 6 September 1945 (tertanggal
19 Agustus 1945). Hal itu juga tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, sebelum perubahan,
yang menyatakan, negara menghormati daerah yang memiliki status istimewa.

Di sisi lain ada fakta, bahwa walikota DKI Jakarta tidak pernah ditetapkan melalui
pemilihan. Melainkan ditetapkan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
(Baperjakat) dan dilantik Gubernur DKI Jakarta sebagai walikota. Dan itu tidak pernah ada
orang yang mempertanyakan itu tidak demokratis. Melihat fakta bahwa walikota DKI tidak
pernah ditetapkan melalui Pemilu, yang ini sama saja dengan pemilihan Gubernur dan wakil
Gubernur di DIY, maka SBY seharusnya mengoreksi pendapatnya dan memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang demokrasi dalam pemikirannya. Sehingga ditemukan titik
terang atas persoalan ini. Jangan sampai terjadi disintegrasi Bangsa atas pendapat Bapak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Selain itu sistem kerajaan maupun kesultanan
yang masih dipakai di sejumlah daerah di Indonesia sebetulnya tidak lebih sebatas nilai
budaya yang pernah dianut daerah tersebut, untuk itu selayaknya bangsa ini memahaminya
sebagai kekayaan bangsa yang patut pula dilestarikan.
á ááá


  

  

  




V
V

 

  

 
 

 

 

  ! á !á"#á$á

%á á 



&  ' 

 V
V

Anda mungkin juga menyukai