Metoda atau tarikat untuk merawat naluri dasar itu, menurut Tuhan, sangat
bersahaja. Ialah, jangan makan berlebihan. Kulu wasyrobu, wa (lakin) la tusrifu.
Makan dan minumlah, (tetapi) jangan berlebihan.
Keberlebihan dalam soal-soal keduniaan ini saja yang menjadi sumber segala
malapetaka hidup manusia. Ya malapetaka mental, malapetaka ekonomi, malapetaka
politik, pergaulan, kebudayaan, peradaban maupun malapetaka keakhiratan atau
yang disebut fenomena neraka.
Kalau yang akhirat-haqiqiyah atau rohaniah, misalnya berwirid, kata Allah, lakukanlah
sebanyak-banyaknya. Namun dataran akhirat-syar'iyyah pun, menurut Allah, musti
dibatasi. Misalnya, salat subuh ya dua rakaat saja, dhuhur empat rakaatlah. Tak usah
tanya.
Termasuk kenapa salat sehari harus lima waktu. Sekali lagi tak usah tanya.
Sebaiknya kita belajar memasuki alam 'kasyaf' betapa nikmatnya pasrah kepada
Allah. Kecuali kalau Allah juga boleh bertanya kepadamu: kalau Ente salatnya tiga kali
sehari, Aku juga ambil dua batang jari tanganmu, supaya perangaimu menjadi lucu.
Jadi kalau yang syariat untuk akhirat saja jangan berlebihan, maka apalagi makan,
minum, berpakaian, membeli ke supermarket, menjabat sesuatu, menguasai modal,
memiliki perusahaan, menghimpun wilayah bisnis, dan lain sebagainya.
Nah, karena tradisi kita adalah tradisi berlebihan, maka yang kita produk adalah juga
festival keberlebihan permanen. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak rajin belajar
menakar kebutuhan yang pas dan sehat. Dalam berindustri, kita mengideologikan
mekanisme untuk memacu manusia, agar melampiaskan nafsu membeli dan memiliki
apa saja yang jangan sampai para konsumen memiliki ilmu untuk mengerti batas-
batas yang sehat mengenai apa yang diperlukannya. Dalam berpolitik kita mau
berkuasa secara belebihan, sehingga yang kita tradisikan adalah juga sikap defensif
yang berlebihan, curiga yang berlebihan, su'udhdhon yang berlebihan, melotot dan
menuding yang berlebihan.
Akhirnya di seluruh negara ini yang berlangsung adalah akumulasi dan kompleksitas
keberlebihan di segala bidang. Nafsu pemilikan duniawi berlebihan. Nafsu
berkuasanya berlebihan. Hipokrisinya berlebihan.
Maka makhluk yang bernama cinta, yang bersemayam secara permanen di dalam diri
manusia, akhirnya menjadi 'binatang' liar. Ia mencari pemenuhan ke sana ke mari,
tanpa suluh, tanpa bimbingan. Sangat banyak hal tak bisa dijawab, tak bisa dijelaskan
secara rasional, tak bisa diatasi. Ia membawa manusia lari menyebar ke berbagai
macam bentuk dan modus 'ecstacy'.
Ada ecstacy langsung yang chemical. Ada ecstacy kultural melalui konsumtivisme
estetika fatalistik. Ada ecstacy psikis melalui perilaku-perilaku anti teori. Ada ecstacy
spiritual melalui kursus pernapasan, tarikat antah berantah.
Di antara ribuan kristal-kristal cinta yang liar mengembara itu, terdapat beberapa
yang tak berhenti pada klenik paranormal atau kosmos kebatinan yang tanpa
cakrawala teologi dan teosofi -- sehingga kehilangan alamat di tengah kosmos.
Mereka mencoba menguak alam 'kasyal' dan mencoba memasuki wilayah 'bayan' dan
atau 'mubin'.
Manusia pada dasarnya juga sangat lemah, telinganya bisa disusupi kotoran,
penglihatannya juga bisa dipeleseti oleh bias-bias. Tetapi bagaimanapun Allah telah
senantiasa menyebarkan amsal-amsal, dari terbalik-baliknya logika suprastruktur
sampai sodomi anak-anak penyemir sepatu. Allah selalu menghamburkan ilmu-Nya
dan para makhluk tinggal memetiknya dari udara. Cara menangkapnya benar atau
tidak, yang ditangkap murni atau tidak, selalu bersifat relatif. Tapi yang baik selalu
tetap bisa disortir untuk dijadikan bahan antisipasi, bahan menghikmahi dan acuan
untuk mempersiapkan diri terhadap ''the coming days of kalau-kalau''.
Tanggal lima adalah hari penyerbuan. Tanggal enam adalah hari pembalasan.
Tanggal tujuh adalah hari perbenturan. Tanggal tujuh belas dan dua puluh adalah hari
kematian. Dijelaskan ''ini lho biyang dari semua ini''.
Yang jelas marilah memasuki hari-hari di depan ini dengan persediaan cinta murni
yang sebanyak-banyaknya serta dengan kewaspadaan yang setinggi-tingginya.
Daerah-daerah bawah sudah telanjur lembab sehingga tak gampang disulut api. Tapi
wilayah atas sangat rawan bakar. Namun di antara semua itu terdapat satu hal yang
pasti benar dan pasti baik: rekayasa nuklir itu, apapun yang terjadi, demi Allah,
jangan teruskan. Siapa pun engkau, sehebat apapun engkau, demi Allah jangan
lakukan. Naru jahannam, kholidina fiha. Tak usah kutulis buku besar tentang tasauf,
teologi, kimia, biologi, peradaban nurdan peradaban nar -- untuk memohonmu tak
meneruskan itu.