Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemikiran politik telah menjadi persoalan yang paling banyak digeluti oleh

kaum intelektual muslim selama abad 19 dan 20. Hal ini disebabkan oleh semangat

perjuangan nasionalisme yang tengah berlangsung di kalangan rakyat muslim di

berbagai negeri untuk memperoleh kemerdekaan politik dan kebebasan dari

kolonialisme dan imperialisme Barat pada saat itu. Meskipun demikian, hengkangnya

Barat dari dunia Islam, tidak berarti tercabutnya pengaruh pemikiran-pemikiran yang

dibawa oleh kaum imperialis tersebut. Akibatnya, terjadilah dinamika pemikiran

politik di kalangan cendikiawan muslim pasca imperialisme tersebut.

Itulah sebabnya, abad 20 menjadi abad perubahan yang besar dalam dunia

Islam. Dengan menggunakan bentuk-bentuk pengalaman Islam yang bersifat

konservatif, fundamentalis, adaptasionis, dan individualis, umat Islam menempatkan

diri mereka dalam suatu konteks transformasi yang sangat cepat. Tentunya tidak

mengherankan jika abad ini merupakan masa interaksi antara unsur-unsur tradisi

Islam dengan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Barat.

Paling tidak terjadi tiga model proses transformasi pemikiran barat yang

kemudian berinteraksi dengan unsur-unsur tradisi Islam, sebagaimana diungkapkan

oleh John Obert Voll, yaitu :

1
2

1. Transformasi modern1 .

Modernisasi dan pemikiran politik Barat yang teraplikasikan secara

gradual semasa imperialisme fisik di berbagai belahan dunia, baik melalui jalur

edukatif maupun politik, dengan sistematis berbaur dengan tradisi-tradisi lokal

penduduk setempat. Pengaruh transformasi modern terhadap dunia Islam terasa

kuat meskipun banyak pihak secara apologis menafikan hal tersebut, akan tetapi

pengaruh transformasi modern terhadap kehidupan muslim itu sendiri jelas

mengindikasikan adanya pengaruh tersebut, bahkan menjadi unsur kunci dalam

kebangkitan Islam.

Sehubungan dengan hal di atas, John L. Esposito secara komprehensif

menjelaskan hubungan antara Islam dan dunia Barat, dan di antaranya ia

menyatakan bahwa,

Para pembaharu Islam itu berikhtiar membangun kontinuitas antara warisan


Islam dan perubahan modern. Pada satu sisi, mereka mendasarkan argumentasi-
argumentasi yang prinsipil pada Wahyu dan sejarah Islam dan mengidentikkan
diri mereka sendiri dengan para pendahulunya, kaum revivalist yang mendahului
gerakan modernisasi. Pada lain pihak, mereka menampung pemikiran-pemikiran
Barat dan lembaga-lembaganya secara bebas.2
2. Transformasi sekularisme3 .

Hingga saat ini, banyak orang yang masih beranggapan bahwa sekulerisme

adalah bagian yang tidak terpisahkan dari modernisasi. Dengan kata lain,

terbentuknya suatu masyarakat modern haruslah menempuh fase sekularisasi dan

1
John Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia
Modern, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1997), Cet. Ke-1, hal. 347
2
John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-
1, hal. 77
3
John Obert Voll, op. cit., hal. 347-349
3

masyarakat modern adalah masyarakat sekular. Dalam hal ini Voll berpendapat,

bahwa jika modernisme diartikan sebagai tidak dipentingkannya struktur-struktur

dan konsep-konsep tradisional dalam masyarakat modern, maka anggapan tersebut

dapat diterima. Tapi akan menjadi tidak benar, jika modernisme diartikan dengan

tidak dijadikannya agama sebagai kekuatan yang vital dalam kehidupan politik

dan budaya oleh masyarakat modern.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dalam hal ini berpendapat bahwa

sekularisme di dunia Islam hanyalah menjadi fase perkembangan intelektual yang

didominasi oleh konseptualisasi Barat yang berada di antara ungkapan-ungkapan

tradisional dan kontemporer tentang pemikiran Islam yang lebih autentik.

Sehingga, sekularisme tidak dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan

pengalaman Islam. Hal ini juga disebabkan terkonsentrasikannya pemikiran

cendikiawan muslim modernis kepada wacana reinterpretasi tradisi-tradisi Islam

tradisional ke dalam pengertian-pengertian modern yang didorong oleh pengakuan

mereka terhadap validitas ajaran Islam yang komprehensif.

Salah satu data faktual tentang reaksi negatif terhadap sekularisme adalah

reaksi ulama al-Azhar terhadap karya Ali Abd Raziq, Al-Islam wa al-Ushul al-

Hukm.4

3. Transformasi radikalisme5 .
4
Kegagalan Ali Abd Raziq (w. 1966) dalam mengembangkan pemikiran-
pemikiran politik sekularnya, karena ia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan
itu, bahkan seandainya ia memiliki kesempatan pun, nampaknya reaksi ortodoks yang
keras (ulama al-Azhar) akan mencegahnya untuk melakukannya. Kegagalan tersebut
dapat menjadi data faktual tentang kegagalan sekularisme di dunia Islam.
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20, (Bandung : Penerbit Pusataka, 1988), Cet. Ke-1, hal. 105
Kritik terhadap pemikiran-pemikiran Ali Abd Raziq dapat juga dilihat dalam karya
Dr. Muhammad Abdul Qadir Fariz, Sistem Politik Islam (Jakarta : Robbani Press,
2000), Cet. Ke-1, hal. 186-200
5
John Obert Voll, op. cit., hal. 350-352
4

Marxisme dan Leninisme dalam beberapa tahun di abad ke-20 telah

memberikan bagian yang subtansial dari dasar-dasar ideologis dalam prespektif

radikalisme yang termodifikasi dengan ideologi-ideologi lain yang sejalan.

Radikalisme juga turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran politik yang

berkembang di dunia Islam, hanya saja tradisi-tradisi lokal dan tradisi-tradisi

Islam membentuk radikalisme di dunia Islam sedemikian rupa sehingga tidak

merepresentasikan Marxisme atau pun Leninisme secara total. Di antara ide Marx

atau Lenin yang sering ditolak oleh kaum “kiri” Islam adalah konsep konflik

kelas6 . Sehingga muncul variasi-variasi baru dalam radikalisme di dunia Islam.

Bahkan, Voll menilai bahwa ketika sosialisme radikal mampu membangkitkan

dukungan mayoritas penduduk, hal itu terjadi karena adanya pemimpin-pemimpin

yang kharismatik atau karena emosi kebangsaan dari pada karena ideologi

radikalnya.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menegaskan bahwa sosialisme

radikal yang berkembang di dunia Islam adalah ideologi yang telah teradaptasi

dengan tradisi-tradisi Islam, sehingga radikalisme yang muncul di kalangan

6
Marx berpendapat bahwa riwayat dari setiap masyarakat adalah sejarah
pertentangan kelas, sebagaimana yang ia nyatakan dalam pembukaan buku
“manifesto komunis” yang dikarangnya bersama Engels, seperti yang dikutip oleh
Andi Mu’awiyah Ramli, dalam buku “Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis” : ... sejarah dari setiap masyarakat yang ada
sampai sekarang adalah sejarah pertentangan kelas. Orang merdeka atau budak,
bangsawan atau jembel, tuan dan pelayan yang ditindas dan yang menindas berada
dalam pertentangan yang tajam, mereka melangsungkan pertentangan yang tidak ada
akhirnya ....
Andi Mu’awiyah Ramli, Peta Pemikiran Karl Marx, (Materialisme Dialektis
dan Materialisme Historis), (Yogyakarta : LKiS, 2000), Cet. Ke-1, hal. 145-146
5

muslim adalah radikalisme yang masih dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip

ajaran Islam.

Interaksi antara pemikiran-pemikiran Barat dan tradisi-tradisi Islam, seperti

yang telah penulis uraikan di atas, pada akhirnya membentuk tiga aliran pemikiran

politik yang berkembang di dunia Islam7 , yaitu :

1. Kelompok konservatif : Mereka yang tetap mempertahankan integrasi antara Islam

dan negara, yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu :

a. Tradisionalis, yakni kelompok yang tetap mempertahankan tradisi praktik dan

pemikiran politik Islam klasik/pertengahan.

b. Fundamentalis, yakni kelompok yang ingin melakukan reformasi sistem sosial

dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang

dibuat manusia. Oleh karenanya kelompok ini menilai :

reformasi yang dikehendaki Islam tidak dapat dilaksanakan melalui khutbah-


khutbah saja. Kekuasaan politik juga penting untuk mencapainya. Inilah
pendekatan Islam. Dan konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa negara
harus dibentuk berdasarkan pola-pola Islami. Inilah ketentuan keimanan Islam
dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Konsep Barat mengenai pemisahan
agama dari politik (sekularisme) adalah asing bagi Islam ; dan penganutan
paham ini adalah pembangkangan hakiki dari konsep politik Islam.8

2. Kelompok modernis : Mereka yang beranggapan bahwa Islam mengatur masalah

sosial hanyalah masalah dasarnya saja, sedangkan teknis pelaksanaannya boleh

saja mengadopsi sistem Barat yang sudah jelas kualitasnya.

7
Masykuri Abdillah, "Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam Sebuah
Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern", Tashwirul Afkar, VII, 2000, hal. 75
8
Abul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,
(Bandung : Mizan, 1998), Cet. Ke-6, hal. 33
6

3. Kelompok sekular : Mereka yang ingin memisahkan Islam dari sistem negara,

karena mereka menilai bahwa Islam adalah sama dengan agama lain, tidak

mengatur masalah keduniaan. Untuk lebih jelasnya, Ali Abd Raziq menyatakan :

Nabi Besar Muhammad S.A.W. adalah semata-mata seorang utusan (Allah)


untuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi
tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak
mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan.
Dia adalah Nabi semata seperti halnya para nabi sebelumnya. Dia bukan raja,
bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan
duniawi.9
Ketiga aliran pemikiran tersebut di atas, secara umum menjadi karakteristik

pemikiran politik Islam yang dikembangkan oleh para cendikiawannya. Transformasi

pemikiran Barat yang berkembang di dunia Islam serta varietas pemikiran politik di

kalangan muslim sebagai respons terhadap pemikiran-pemikiran tersebut, menjadi

ciri umum dalam masyarakat musilm di berbagai wilayah pada abad ke-20, termasuk

di Indonesia.

Awal abad ke-20, adalah masa munculnya gerakan-gerakan dan pemikiran

politik di Indonesia, khususnya gerakan dan pemikiran politik umat Islam di

Indonesia, yaitu dengan berdirinya Sarekat Islam (1911-1942). Bahkan Sarekat Islam

diidentikkan dengan perkembangan gerakan dan pemikiran politik di Indonesia.10

Sarekat Islam sebagai sebuah organisasi independen yang mengembangkan program

9
Ibid., hal. 142
10
Untuk pemaparan lengkap tentang dinamika perkembangan Sarekat Islam
sejak berdiri hingga berakhir, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
(1900-1942), (Jakarta : LP3S, 1996), Cet. Ke-8, hal. 114-170. Lihat juga Bahtiar
Effendi, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta : Paramadina : 1998), Cet. Ke-1, hal. 63-69
7

politik yang menuntut kemerdekaan dan hak bangsa Indonesia untuk menentukan

nasibnya sendiri, secara internal mengalami berbagai perkembangan dan pergolakan.

Penulis menilai bahwa pergolakan yang terjadi dalam tubuh Sarekat Islam

tidak lain disebabkan adanya tranformasi pemikiran yang berkembang di dunia Islam

pada masa yang sama. Sehingga tidak mengherankan jika Sarekat Islam pernah

menjadi organisasi yang sangat modernis, fundamentalis, dan radikal, hingga

akhirnya berhadapan vis a vis dengan kekuatan nasionalis sekular yang dibawa oleh

kaum modernis yang berpendidikan Barat. Tampaknya pertarungan ideologi tersebut

terus terjadi hingga saat ini.

Uraian-uraian tentang pemikiarn politik yang berkembang di berbagai negara-

negara muslim serta awal perkembangan pemikiran politik di Indonesia di atas,

penulis maksudkan untuk dapat kiranya memberikan gambaran tentang dinamika

pemikiran politik yang muncul di Indonesia pada setiap fase perkembangan sosial

politik bangsa Indonesia, sejak masa pergerakan hingga saat ini. Karena pemikiran

politik dalam sebuah fase perkembangan sosial politik suatu bangsa tidak akan

pernah terlepas dari pemikiran-pemikiran yang berkembang pada fase sebelumnya.

Pada setiap fase perkembangan sosial politik bangsa Indonesia lahir tokoh-

tokoh politik dari kalangan umat Islam yang memiliki corak dan bentuk pemikiran

yang berbeda-beda yang mewakili salah satu dari tiga tipologi pemikiran politik di

atas, yaitu konservatif, modernis, dan sekular, sebagaimana yang telah penulis

jabarkan di atas. Akan tetapi, ada di antara tokoh-tokoh tersebut yang memiliki

wawasan pemikiran yang begitu luas sehingga gagasan-gagasan yang dilontarkan


8

tidak terpaku pada corak atau bentuk pemikiran tertentu, di antaranya adalah

Abdurrahman Wahid.

Abdurrahman Wahid adalah tokoh intelektual yang fenomenal dalam

perkembangan pemikiran agama, sosial, atau pun politik di Indonesia. Eksistensinya

pun semakin diperhitungkan sejak keterlibatannya dengan realitas politik Indonesia

pasca Orde Baru, terlebih setelah menjabat sebagai Presiden RI untuk masa Jabatan

1999-2004 melalui suatu proses pemilu yang demokratis sesuai dengan konstitusi

yang ada.

Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang sering "mengundang"

kontroversi di kalangan cendikiawan, tidak sedikit wacana-wacana sosial, politik, dan

keagamaan yang ia lontarkan menjadi topik perdebatan di antara mereka. Bahkan, ia

sering dianggap tidak konsisten dalam menggagas sebuah wacana, baik yang

diungkap secara verbal dalam berbagai forum diskusi, seminar, dan lain sebagainya,

atau pun yang ia tuangkan dalam karya-karya tulisnya. Dalam sebuah tulisan

mengenai Islam dan Demokrasi, Abdurrahman Wahid menyatakan, bahwa ". . .

dorongan untuk memperjuangkan demokrasi dan persamaan adalah agama Islam.

Bahwa sebagai seorang muslim yang meyakini kebenaran agamanya, saya percaya

Islam memerintahkan tegaknya demokratisasi . . ."11.

Akan tetapi, bersamaan dengan pendapat di atas, ia juga menyatakan

"Demokrasi dapat dipetik dari ajaran agama apa pun, selama hal itu merupakan

perncerminan dari teologi yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai

11
Abdurrahman Wahid, "Agama : Antara Keyakinan dan Kelembagaan",
Media Indonesia, (Jakarta), 17 Maret 1999, hal. 7
9

kepercayaan masing-masing bukanlah menjadi masalah, karena hal tersebut

diserahkan sepenuhnya kepada para teolog dari masing-masing agama atau

kepercayaan. Dengan cara seperti inilah, maka penganut agama dapat

memperjuangkan demokratisasi secara bersama-sama"12 Lain dari pada itu, wacana

yang sama pada tulisan lain, ia menyatakan pendapatnya, bahwa " . . . UUD 1945

menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara di negeri ini, dan bukan

hanya Islam. Dengan kata lain, hukum kita hanyalah pembukaan dan batang tubuh

UUD 1945. Sedangkan perundang-undangan kita berdasarkan keputusan DPR-MPR

RI, dan tidak harus bergantung pada syari'ah Islamiyah."13

Penulis menilai, bahwa perubahan-perubahan pendapat yang dilontar-kan oleh

Abdurrahman Wahid, nampaknya lebih didorong oleh sikap pluralis yang menjadi

ciri khas pemikirannya. Sehingga, tatkala ia melihat dirinya sebagai seorang muslim,

maka diungkaplah intensinya tentang nilai-nilai ajaran Islam. Tetapi, pada saat ia

menyadari bahwa ada penganut agama lain di sekitarnya, maka sikap pluralisnyalah

yang mencuat.

Uraian di atas, hanyalah sebagian kecil dari pemikiran-pemikirannya yang

"nyleneh", dan masih banyak lagi pendapat-pendapatnya yang lain yang tertuang

dalam berbagai tulisan-tulisannya yang akan penulis uraiakan dalam pembahasan

karya ilmiah ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


12
Ibid.
13
M.M. Alfan Alfian, "Pemikiran Politik Gus Dur", Amanah, No. 51 Th. XIII,
7 Februari-7 Maret 2000, hal. 69
10

Ada beberapa permasalahan yang dapat penulis identifikasi dalam

pembahasan pada karya ilmiah ini, di antaranya :

1. Beragamnya pemikiran politik Abdurrahman Wahid, tentunya mendorong para

pengkajinya untuk melakukan tipologi terhadap pemikiran-pemikiran tersebut.

Apakah ia seorang tradisionalis, moderat, ataukah sekuler ?

2. Pemikiran-pemikiran politik Abdurrahman Wahid tentunya dilatarbelakangi oleh

pemikiran-pemikiran politik dari para pendahulunya. Lalu siapakah dari antara

mereka yang mendominasi pemikirannya ?

3. Ide-ide Abdurrahman terkesan mencakup segala hal, baik yang berkenaan dengan

bidang politik, agama, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Tentunya dalam

melontarkan ide-ide pemikirannya ini, ada ciri khusus yang menjadi landasan

corak berpikirnya.

4. Sebagai seorang Nahdiyin, Abdurrahman Wahid, tentunya mewarisi tradisi-tradisi

pemikiran yang menjadi khazanah para ulama atau pun kiyai di kalangan NU.

Akan tetapi, dalam beberapa pemikirannya, ternyata ia sering bersebelahan dengan

tradisi pemikiran itu dan bahkan bertolak belakang. Hal ini dapat dipastikan

mendapat tanggapan dari para ulama atau kiyai yang ada disekitarnya.

Dari masalah-masalah yang telah penulis identifikasikan dalam pembahasan

karya ilmiah ini, tidak seluruhnya penulis uraikan. Oleh sebab itu, penulis hanya

membatasi pembahasan pada masalah-masalah berikut :


11

a. Pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid dalam bidang politik, terutama

mengenai Islam, politik dan negara, Islam dan demokrasi, serta respons sosial

politik Indonesia.

b. Sekularisasi dalam pemikiran-pemikiran politik Abdurrahman Wahid mengenai

Islam, politik dan negara, Islam dan demokrasi serta respons sosial politik

Indonesia dan pembelaannya terhadap kelompok non Islam.

Setelah penulis membatasi masalah pada pembahasan-pembahasan di atas,

selanjutnya penulis rumuskan masalah tersebut dalam rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah pemikiran politik Abdurrahman Wahid mengenai Islam, politik

dan negara, Islam dan demokrasi, serta respons sosial politik Indonesia ?

2. Apakah pemikiran politik Abdurrahman Wahid sekuler dan membela kelompok

non Islam ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini adalah untuk men-

dudukkan pemikiran Abdurrahman Wahid pada pososinya yang tepat. Karena

pemikiran-pemikirannya yang tervisualisasikan baik secara verbal atau tulisan sering

dianggap memarginalkan agama dalam politik dan negara, dan bahkan tindakan-

tindakan yang ia lakukan dalam mengatasi konflik-konflik di tengah masyarakat yang

dilatar belakangi isu keagamaan, sering dijustifikasi sebagai pembelaan terhadap

kelompok non muslim. Di lain pihak, dalam jumlah yang cukup signifikan, ada yang

membela dan membenarkan pernyataan serta tindakan yang dilakukan oleh


12

Abdurrahman Wahid. Bahkan wacana-wacana yang kerap tidak dimengerti oleh

masyarakat awam, sering dianggap bertitik tolak dari ketidak mengertian masyarakat

awam itu sendiri dan kemampuan Abdurrahman Wahid untuk memprediksi

permasalahan yang akan terjadi di masa mendatang.

Anggapan yang paradoks dari dua kubu di atas, tentunya bisa saja benar dan

bisa juga salah pada salah satu kubu atau pada keduanya. Oleh sebab itu, penulis

melakukan kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran politiknya, terutama

permasalahan yang telah penulis asumsikan di atas, untuk dapat mencapai tujuan

dalam penelitian ilmiah ini, yaitu mendudukkan pemikiran politik Abdurrahman

Wahid pada posisi yang sebenarnya secara proporsional.

Adapun kegunaan dari penelitian yang penulis lakukan adalah dapat

dipetakannya pemikiran-pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang nantinya dapat

digunakan khususnya oleh penulis dan umunya para pembaca karya ilmiah ini

sebagai landasan untuk memahami pemikiran-pemikirannya.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam penelitian kualitatif di mana

data yang penulis gunakan bersifat normatif dan diperoleh melalui telaah

dokumentasi berupa buku-buku, media cetak, atau dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan pembahasan. Dengan demikian metode pengumpulan data yang

penulis tempuh adalah :


13

1. Studi kepustakaan : Langkah ini penulis tempuh untuk mendapatkan data-data

teoritis permasalahan sebagai bahan analisa melalui pengkajian ter-hadap buku-

buku, media cetak, atau pun dokumentasi yang ada hubungan-nya dengan

pembahasan. Data-data yang penulis peroleh melalui langkah ini, menjadi sumber

data primer karya ilmiah ini.

2. Interview : Dalam hal ini, penulis berusaha mendapatkan data melalui wawancara

terhadap sumber-sumber data yang nantinya menjadi sumber data sekunder yang

penulis jadikan perbandingan dalam melakukan analisa.

2. Metode Pembahasan

Metode pembahasan yang penulis tempuh adalah metode deskriptif-analisis,

di mana penulis dalam pembahasan ini akan mendeskripsikan data-data yang

diperoleh secara komprehensif sesuai dengan permasalahan yang telah ditetapkan dan

kemudian melakukan analisa induktif terhadap data untuk mendapatkan teori umum

tentang permasalahan yang dibahas.

3. Metode Penulisan

Sedangkan metode penulisan yang menjadi pedoman penulis adalah metode

penulisan yang ada dalam buku "Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi"

yang diterbitkan oleh IAIN Syarif Hidayatullah, tahun 1989.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan deskripsi data dalam karya ilmiah ini, penulis menyusun

pembahasan dalam sistematika penulisan berikut :


14

Bab I merupakan pendahuluan tesis, yang meliputi ; latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II adalah tinjauan teoritis tentang politik Islam, yang meliputi bahasan :

pengertian politik Islam, dasar dan tujuan politik Islam, kegiatan berpolitik menurut

Islam, gambaran kegiatan politik pada masa Orde Baru.

Bab III menguraikan pemikiran politik KH. Abdurrahman Wahid, yang

mencakup uraian tentang ; biografi, pendidikan, dan pemikiran K.H. Abdrurrahman

Wahid, riwayat hidupnya, dan pemikiran politiknya.

Bab IV adalah kajian kritis kritis terhadap pemikiran politik KH.

Abdurrahman Wahid, yang mencakup ; pemikiran politik tentang Islam, politik dan

negara, Islam dan demokrasi, serta respons sosiaol politik di Indonesia.

Bab V merupakan bagian akhir dari pembahasan, berupa penutup yang terdiri

dari kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai