Anda di halaman 1dari 6

Cakrawala Pendidikan ke Depan

Ditulis oleh Satrya pada tanggal:08/04/2010 di Opini | 0 Comment |

Oleh: ERWAN SURYANEGARA

BHINEKA TUNGGAL IKA. Satu baris kalimat yang terpatri pada sehelai pita yang dicengkram
kuat dua cakar sang Garuda, yang di dadanya melekat perisai Pancasila, sebagai lambang negara
tercinta ini. Tampaknya, kebhinekaan itu terus menjadi persoalan di negeri ini, baik itu politik,
hukum, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, maupun budaya. Tepatnya, belum sempat satu
persoalan rampung diatasi, muncul persoalan baru. Bahkan, banyak pula sebuah persoalan terus-
menerus menjadi persoalan, yang seakan tak dapat terselesaikan. Salah satunya “pendidikan”.

Sebenarnya di negeri ini jumlah Lembaga Perguruan Tinggi yang dikenal sebagai LPTK
(Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), baik berbentuk Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
maupun Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP), cukup banyak. Keberadaan lembaga tersebut
tentunya dimaksudkan guna menjawab persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan di Indonesia
ini. Dan, tidak terbantahkan banyak pakar pendidikan kita lahir, atau berasal dari lembaga
tersebut. Namun “bola panas” dunia pendidikan Indonesia masih terus menggelinding, dan IKIP
diganti identitasnya menjadi Universitas Negeri, kecuali IKIP Bandung, yang masih tetap
mempertahankan inisial “pendidikan” menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), walau
sering diplesetkan menjadi Universitas Pasti IKIP.

Banyak sudah pendapat yang dilontarkan, termasuk upaya-upaya yang dilakukan guna
pembenahan pendidikan di negeri ini. Menyoal upaya pembenahan pendidikan, jelas yang
pertama dan utama sebagai pengemban tanggung jawabnya adalah negara, dalam hal ini tentunya
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama penyelenggara negara. Merekalah yang harus
memulai atau mengawali pembenahan pengelolaan pendidikan.

Belum Proporsional
Berbicara profesionalitas, apresiasi terhadap pendidikan belumlah baik dan memadai. Salah satu
indikatornya setiap seleksi peran ijazah atau sertifikat masih sangat dominan, akibatnya kinerja
orang-orang yang lolos seleksi pun menjadi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan. Guru atau
dosen memang merupakan salah satu dari sekian banyak tugas keprofesian. Menjadi guru atau
dosen sebagai sebuah kerja profesi semestinya, dan memang harus, menarik minat serta
menggiurkan. Mengingat beban tugas dan tanggung jawab bagi mereka yang mengemban tugas
keprofesian ini tidak ringan, sudah selayaknya imbalan, dan fasilitas penunjang yang mereka
terima juga harus lebih atau minimal proporsional, artinya tidak dengan hanya sekedar “rayuan
gombal” seperti sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Jadi, memperhatikan kenyataan akan
rendahnya imbalan atau layanan fasilitas seperti yang diterima guru atau dosen saat ini, maka
kita atau negara juga jangan terlalu banyak menuntut mereka.

Bila dibandingkan profesi lainnya, seperti dokter atau tenaga paramedis, kehidupan guru atau
dosen bagai “api jauh dari panggang”. Guru atau dosen tidak mungkin sibuk di tempat
prakteknya di rumah, seperti seorang dokter yang banyak melayani pasien di tempat prakteknya
dibandingkan di rumah sakit, tempatnya bekerja.

Intinya, selama negara masih belum berkeinginan memperlakukan para profesional secara
proporsional, kecil harapan negeri ini memiliki para profesional di berbagai bidang.
Ya, setelah Indonesia merdeka, peristiwa politik 1966, dan reformasi 1998, adakah pemimpin
kita yang bertanya seperti Kaisar Hirohito, setelah Jepang habis dibom Sekutu, berapa jumlah
guru yang tersisa?

Profesionalitas seseorang sangat bergantung pada kompetensi yang dimilikinya, dan sejauh mana
dia mampu mengembangkannya secara maksimal. Sistem ranking, kelas unggul, dan sekolah
unggul yang ada, mungkin perlu dikaji ulang seberapa besar manfaatnya. Semula penerapannya
bertujuan untuk memotivasi siswa dalam belajar, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan
pencapaian tujuan siswa yang memang termotivasi cenderung kecil.

Bahkan, dampak yang mencengangkan; ada sejumlah guru atau sekolah yang tega membocorkan
kunci jawaban ujian kepada siswanya, demi mencapai apa yang ditargetkan, yakni bisa dikatakan
sebagai sekolah unggul karena nilai angka siswanya memang besar!

Pengelolaan Pendidikan
Perekrutan dan kesejahteraan guru atau dosen, pengawas sekolah atau mata pelajaran, serta
kurikulum, gedung sekolah, buku pelajaran, badan akreditasi, peran masyarakat atau swasta,
standar mutu pendidikan, dan seabrek persoalan pendidikan lainnya, seolah tak kunjung
menyusut melainkan terus menumpuk, semakin rumit, dan kompleks. Demikian pula anggaran
pendidikan, yang tampaknya sulit bergerak naik, bila dibandingkan anggaran lainnya, terutama
dalam pembangunan pada pemerintahan daerah.

Sebetulnya kunci persoalan di atas, berada pada bagaimana kita mengelola pendidikan ini.
Keberadaan jumlah sekolah-sekolah negeri, sudah terlalu banyak sehingga cukup membebani
dunia pendidikan kita, dan ini seharusnya tidak perlu terjadi. Negara pun harus memikul beban
biaya pendidikan yang besar. Di samping itu, disadari atau tidak, sekolah swasta yang memang
dibutuhkan peran sertanya sebagai mitra pemerintah dalam membangun SDM menjadi terjepit,
dan sulit dapat berkiprah lebih jauh, terutama sekolah-sekolah swasta yang kurang “bonafid”.
Ironisnya sekolah-sekolah tersebut hanya menjadi bahan cemoohan bukan diupayakan untuk
dibantu dan didukung agar dapat mandiri dan berkembang.

Menurut saya, ke depan, sekolah dasar dan menengah negeri jumlahnya tidak perlu banyak,
terutama di kota-kota besar. Sekolah negeri hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang lemah
secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang anaknya memiliki bakat atau
prestasi luar biasa. Tepatnya, bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk bersekolah di
sekolah negeri, maka negara berkewajiban membiayai semua kebutuhan pendidikannya.

Untuk masyarakat yang tingkat ekonominya masuk kategori menengah maka mereka harus
memilih sekolah swasta, sedangkan bagi masyarakat yang tingkat ekonominya di atas kelompok
menengah, selain harus memilih sekolah swasta mereka pun harus ikut memberikan bantuan
yang dapat mendorong sekolah swasta yang bersangkutan menjadi lebih berkemampuan dan
berkualitas. Dengan kondisi pengelolaan pendidikan yang demikian maka anggaran pendidikan
yang jumlahnya berkisar 20% sudah bisa mencukupi kewajiban negara membiayai pendidikan,
termasuk di dalamnya dapat dialokasikan dana subsidi bagi pengembangan guru dan siswa
sekolah swasta.

Dengan jumlah sekolah negeri yang sedikit, tetapi memiliki fasilitas pendidikan yang merata,
lengkap, dan canggih, tentu kebutuhan tenaga guru PNS pun menjadi sedikit. Nah, dengan
kebutuhan tenaga guru PNS yang sedikit ini jelas akan mendorong tingkat persaingan menjadi
tinggi. Bila tingkat persaingan menjadi guru PNS tinggi, maka sistem perekrutan guru dapat
diperketat guna mendapatkan tenaga pendidik yang benar-benar berkualitas.

Jika jumlah sekolah dan guru negeri sedikit, maka memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat
meningkatkan kesejahteraannya antara 4 sampai 5 kali lipat dari penghasilan guru seperti
sekarang. Lalu, pemerintah atau penyelenggara pendidikan memberikan perumahan bagi guru
dan tenaga kependidikan lainnya, yang mana lokasinya tidak boleh jauh dari sekolah tempat
mereka mengajar atau bekerja.

Bekas gedung-gedung sekolah negeri, yang tidak termasuk dari jumlah sekolah negeri yang
dioptimalkan, dapat diswastanisasikan, sedangkan siswanya diatur sesuai dengan kemampuan
ekonomi orang tuanya, termasuk siswa-siswa di sekolah swasta perlu didata ulang. Untuk siswa
sekolah swasta yang memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri harus ditawarkan, dan diberi
kesempatan satu tahun ajaran untuk mempertimbangkan kepindahannya ke sekolah negeri. Bagi
guru PNS yang tidak lolos dalam seleksi ulang guru sekolah negeri, kepada mereka negara
memberikan pensiun dini, dan diprioritaskan untuk dapat mengikuti seleksi guru sekolah swasta.

Era otonomi daerah, seperti sekarang ini adalah saatnya bagi khususnya Pemerintah Daerah
untuk sungguh-sungguh berpihak kepada dunia pendidikan di wilayahnya masing-masing,
karena generasi muda inilah yang nantinya akan memegang dan menjalankan tongkat estafet
dalam menumbuhkembangkan potensi yang ada di daerahnya masing-masing. Sehingga era otda
tidak lagi terkesan hanya sebagai ajang bagi-bagi “kursi” kekuasaan di daerah.

Negara, dalam hal ini pemerintah, membiayai atau menanggung dana pendidikan anak atau siswa
dari masyarakat yang lemah secara ekonomis, masyarakat pedesaan, dan masyarakat yang
anaknya memiliki bakat atau prestasi luar biasa, seperti yang disebutkan di atas tidak dapat
disamakan dengan program yang ada (bhineka subsidi) seperti yang dilakukan selama ini.

Program raskin, alokasi dana dampak kenaikan BBM, dan lain sebagainya adalah ibarat
masyarakat dininabobokan dengan terus-menerus di beri “ikan” bukan mata “kail”, yang
cenderung bermuatan politis atau merupakan upaya “meredam” kemungkinan adanya gejolak
sosial, ekonomi, dan politik belaka. Jika masyarakat hanya dibuai-buai atau diberi ikan, tentu
tidak akan menyelesaikan masalah. Hal mendasar yang dibutuhkan masyarakat adalah kail,
karena dengan bekal mata kail inilah nantinya dapat menjadi sarana dalam berupaya memberi
arti dalam hidup dan kehidupannya.

Pendidikan gratis dan atau sekolah gratis, kini tampak marak menjadi bualan politik calon
legislatif pun calon kepala daerah kepada masyarakatnya. Namanya bualan tentu ada korbannya,
siapa lagi kalau bukan sebagian besar masyarakat pemilihnya. Logika apa yang dipakai, sehingga
berani mengumbar janji “Pendidikan Gratis Indonesia Cerdas”…misalnya!

Isu pendidikan gratis dipolitisasi, dijadikan jargon, sekedar “kelakar betok” satu istilah
“Palembangan”. Di wilayah Batanghari Sembilan, ketika datang “musim buah”, segala
sesuatunya menjadi ramai, hangat, aktual, menarik, melibatkan banyak orang, dapat kesempatan
menarik untung baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setelah musim kemarau berlalu, musim hujan menjelang, dan seperti biasanya musim buah pun
silih berganti. Kalau, kemarin musim mangga, duku, kini musim durian datang. Dusun-dusun
tadinya sepi, berubah ramai karena ada transaksi borong-memborong duren, mulai dari putik
bunga hingga gelantungan buah-buah duren yang memang sudah hampir masak, dan terutama
tentunya tumpukan buah duren yang hanya tinggal diangkut, siap diekspor ke luar dusun.

Di Palembang, pasar-pasar, kaki-kaki lima, dan beberapa sisi jalan pun menjadi bernuansa dan
beraroma durian. Para penjual durian itu ada yang membikin pondok-pondokan, tetapi ada pula
yang memanfaatkan bak mobil-mobil pik-upnya. Dalam kondisi demikian, tidak sedikit mereka
yang memanfaatkanya guna menarik utung, termasuk para penarik retribusi baik yang resmi
maupun yang gelap. Ada yang berencana untuk biaya sekolah anaknya, mungkin juga untuk beli
teve baru, kulkas baru, motor baru, atau wong rumah baru. Hanya para pasukan kuning yang
terpaksa mengelus dada, karena musim durian berarti membludaknya sampah-sampah, adalah
konsekuensi tambahan bagi beban tugas mereka.

Demikian pula suasana pemilihan caleg dan kepala daerah, ilustrasi di atas tidak jauh berbeda
dengan kondisi jelang pemilihan di banyak daerah. Tampak dari masing-masing bakal calon
telah mulai meneriakkan atau mengkampanyekan kesiapannya akan maju mencalonkan diri
dalam kompetisi politis tersebut. Teriakan-teriakan itu ada yang disampaikan secara langsung
dalam kegiatan “klise” (tergantung dari sudut pandang) seperti jumpa kader atau simpatisan, dan
atau banyak pula yang memanfaatkan media komunikasi visual grafis – elektronik, seperti
baligho, spanduk, poster, kalender, pamlet, leaflet, koran, majalah, buku, radio, teve, termasuk
fasilitas dunia maya bagi kampanyenya.

Bukan hanya umbar janji “Pendidikan Gratis,” “Sekolah Gratis” dijadikan isu pendidikan yang
menjadi laris manis (bukan “seksi”), tema kesehatan dengan “Berobat Gratis, Masyarakat Sehat”
juga dijadikan jejampi menarik jelang pemilukada pun pemilu caleg. Pertanyaannya, salahkah?

Sesungguhnya patut disyukuri dan semoga memang muncul dari kesadaran yang hakiki
(nawaitu), bila pendidikan dan kesehatan menjadi perhatian utama dari beberapa kandidat dewan
terhormat juga kandidat pemimpin, iyakah…? Karena, harus dipahami makna pendidikan gratis
itu, artinya menyeluruh untuk jenjang dan ragam jenis pembelajaran, termasuk kursus, les-privat,
kuliah di perguruan tinggi, dan sebagainya, sangupkah mereka memenuhi sesuai janjinya?
Jangan, setelah terpilih berobah haluan..hana-hitulah, alasannya…!

Jujur saja, sebetulnya penerapan istilah “gratis” yang “pasaran” itu, sangat tidak tepat bagi dunia
pendidikan, bahkan cenderung merendahkan hakikat pendidikan yang memiliki konsep dua arah,
hak dan kewajiban. Sementara gratis itu bersifat satu arah, artinya pihak yang menggratiskan
tidak berhak menuntut, dan pihak yang digratiskan tidak pula memiliki kewajiban.

Misalkan, di suatu mall pada counter yang menjual alat-alat dapur tertulis: “Membeli satu
produk, gratis 1 lusin gelas”. Maka, pihak pengelola tidak bisa serta merta mengharuskan setiap
pengunjung membeli produk yang mereka jual, demikian pula sebaliknya dengan adanya
gratisan 1 lusin gelas itu, bukan berarti setiap pengunjung menjadi berkewajiban harus membeli
produk yang ditawarkan oleh pengelola mall.

Sehingga, penggunaan atau penerapan sekolah atau pendidikan gratis itu tidak benar, sebab
sudah jelas dan sesuai dengan semangat pasal 31 ayat 2 UUD 1945 sebagai rambu-rambunya,
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib pula
membiayainya.” Pada kalimat tadi tidak sedikit pun mengisyaratkan adanya makna “gratis”,
karena di situ jelas ada hak dan sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak, baik sebagai
warga negara maupun pemerintah.

Pendidikan ke Depan

Mengapa pendidikan bermasalah? Berbagai teori dikemukakan untuk menemukan jawaban dari
pertanyaan itu. Namun, banyak orang sering lupa bahwa masalah pendidikan yang sebenarnya
mendasar adalah bagaimana memanusiakan anak sebagai manusia melalui pendidikan.
Permasalahan pendidikan di negeri ini lebih banyak disebabkan masalah anak sebagai anak
manusia selalu diselesaikan menurut beragam kepentingan orang tua/orang dewasa. Harus
disadari dan dipahami bahwa masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran
dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta
pembentukan karakter.

Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah,
karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas
harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini
akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Bangsa ini
telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya
memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya
tindak kekerasan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri
(narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan
buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya.

Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the
oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi
tugas sebanyak-banyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa
menjadi pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek
sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, akibatnya peserta
didik cenderung belajar hanya untuk sekolah.

Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke depan pendidikan harus
berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan
peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta
belajar. Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari bahwa
belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara seimbang dan menyeluruh,
kemudian mengaplikasikannya secara nyata dalam proses pembelajaran. Dengan demikian
proses pembelajaran dapat berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi anak sebagai anak harapan
negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.

Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai pada tahun 2004 dengan nilai
4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu
tidak salah, bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa tidak
ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya terletak pada penerapan
standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta didik dapat disamakan dengan produk
teknologi sehingga perlu diberi standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan
seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih mengunakan paradigma
pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan jelas menghakimi siswa (masalah anak yang
diselesaikan dengan kepentingan orang dewasa).

Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar kelulusan, karena fungsi
standar mutu pendidikan yang tepat adalah sebagai target capaian ideal dari suatu proses
pembelajaran. Sehingga skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana
hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas Kabupaten/Kota, sekolah, dan
terutama guru dalam melakukan KBM. Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan
ternyata setelah dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah ditetapkan,
maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya untuk langkah selanjutnya perlu
disusun dan diambil langkah-langkah strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki
kinerja segenap jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya,
karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya peserta didik.

Sekali lagi inilah masalahnya, kita cenderung selalu melemparkan kesalahan-kesalahan kepada
orang lain, termasuk di bidang pendidikan. Sebetulnya kesalahan ada dalam pengelolaan
pendidikan, tetapi banyak orang yang ingin selalu berupaya untuk tidak terlihat salah dengan
jalan mengorbankan anak didik. Sadarkah kita bahwa anak didik yang dikorbankan itu, sering
dan selalu kita katakan, mereka adalah penentu masa depan bangsa, ironis…memang! *)

Anda mungkin juga menyukai