NASKAH
KEBIJAKAN NASIONAL
PENGELOLAAN TERUMBU KARANG
DI INDONESIA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN............................................................................................................ 5
1.1 Latar Belakang......................................................................................................................... 5
1.2. Ruang Lingkup........................................................................................................................5
1.3 Proses Penyusunan .................................................................................................................. 6
1.4. Maksud, Tujuan dan Sasaran.................................................................................................... 7
1.5. Landasan Hukum.....................................................................................................................8
1.6. Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang.......................................................................... 11
1. INTRODUCTION.......................................................................................................... 20
1.1. BACKGROUND ................................................................................................................... 20
1.2. Scope..................................................................................................................................... 20
1.3. Formulation Process. ............................................................................................................. 21
1.4. Aim, Objective and Target ..................................................................................................... 22
1.5. Basis of Law.......................................................................................................................... 23
1.6. The Management of Coral Reefs Problems............................................................................. 25
PARTISIPAN...................................................................................................................... 41
KATA PENGANTAR
Indonesia memiliki sumberdaya terumbu karang seluas kurang lebih 42.000 Km2, atau 17%
dari luas terumbu karang dunia, dan menduduki peringkat terumbu karang terluas ke-2 di
dunia setelah Australia. Jika ditinjau dari kandungan keanekaragaman hayati, terumbu
karang Indonesia mengandung 70 genera dan 450 spesies karang dan diakui sebagai pusat
keanekaragaman hayati dunia.
Ekosistem terumbu karang memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar bagi
masyarakat Indonesia, baik sebagai sumberdaya perikanan maupun sebagai salah satu
tumpuan pariwisata bahari. Disamping itu, secara tidak langsung ekosistem ini dapat pula
berperan sebagai penahan abrasi pantai dan pemecah gelombang. Secara ekologis
ekosistem terumbu karang merupakan sentra keanekaragaman hayati laut, daerah asuhan,
pemijahan dan tempat mencari makan biota lain. Sayangnya, pertumbuhan penduduk yang
sangat pesat yang otomatis harus diiringi dengan peningkatan pemenuhan kebutuhan telah
menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam laut tanpa memperdulikan
kelestariannya. Kondisi terumbu karang Indonesia seperti yang dilaporkan dari hasil
penelitian P3O-LIPI (1996) menunjukkan bahwa 40% dalam keadaan rusak, 34% dalam
keadaan sedang, 22% dalam keadaan baik dan dengan kondisi sangat baik hanya 5%.
Program penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Terumbu Karang merupakan salah satu
prioritas program pengembangan kelembagaan COREMAP. Naskah ini diharapkan dapat
menjadi panduan bagi dan rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh para pembuat
kebijakan dan pengambil keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya untuk
mengelola sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan. Pada dasarnya kebijakan ini
diarahkan untuk dapat menjawab beragam isu dan permasalahan pada pengelolaan
terumbu karang yang selama ini terjadi di Indonesia. Terdapat tiga isu utama yang harus
diperhatikan, yaitu (1) degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan
pembangunan ekonomi masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan
hak maupun kewajiban antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Naskah ini mengetengahkan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang yang disusun
dengan mengacu kepada kondisi ekosistem terumbu karang saat ini dan kebijakan-
kebijakan yang sudah ada, baik itu kebijakan yang langsung berhubungan dengan
pengelolaan terumbu karang (seperti Kebijakan KLH 1993-1996, dan kebijakan-kebijakan
negara lain) maupun kebijakan umum (seperti kebijakan pengelolaan pesisir dan laut,
kebijakan kelautan atau kebijakan pemerintah/GBHN).
Penyusunan naskah ini dilakukan melalui berbagai tahapan, mulai dari persiapan, studi
literatur, analisis pengembangan sampai penyusunan konsep kebijakan itu sendiri.
Rancangan naskah ini sudah didiskusikan dan disosialisasikan ke berbagai pihak yang
berkepentingan baik di tingkat nasional maupun di daerah, melalui serangkaian lokakarya di
daerah (Irian Jaya, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Riau, Sumatera
Barat, NusaTenggara Barat) yang ditutup dengan Lokakarya Nasional di Jakarta. Jadi
naskah ini sudah mengakomodasikan aspirasi daerah dan nasional.
Tersusunnya Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah kami pada kesempatan ini
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada :
1. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) Institut Pertanian Bogor
2. Prof.DR. Aprillani Soegiarto
3. DR. Alec Dawson Shepperd
4. Ir. Adi Sumardiman SH
dan semua pihak yang telah ikut membantu penyelesaian naskah ini.
Diharapkan agar naskah kebijakan nasional terumbu karang di Indonesia ini dapat
digunakan sebagai acuan dalam menyusun program-program pengelolaan terumbu karang
secara lestari.
1. PENDAHULUAN
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya
alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang
yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia saat ini
adalah 42.000 Km2 1 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300
Km2. Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah
Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al 1998).
Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia
merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron,
1995).
Sumberdaya terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan
salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam
ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung, seperti
pemanfaatan ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari dan lain-lain, maupun manfaat tidak
langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, keanekaragaman hayati dan
tempat mengasuh, tempat mencari makan dan tempat pemijahan bagi biota lainnya.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat pesat yang diiringi dengan
eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan
kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya terumbu karang. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi umum terumbu karang
dunia yang hampir 36 % dalam keadaan kritis akibat eksploitasi yang berlebih, 22 %
terancam pencemaran dari limbah darat dan erosi serta 12 % terancam dari pencemaran
(Bryant, 1998). Di Indonesia menurut penelitian P3O-LIPI yang dilakukan pada tahun 1996
menunjukkan bahwa 39,5 % terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5 % dalam
keadaan sedang, 21,7 % dalam keadaan baik dan hanya 5,3 % dalam keadaan sangat baik.
Apabila tidak ada upaya nasional untuk menghentikan laju degradasi terumbu karang
tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan degradasi terumbu karang akan semakin luas
dan besar. Menyadari akan hal tersebut maka penyusunan kebijakan nasional pengelolaan
terumbu karang merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk
mengurangi atau menghentikan laju degradasi terumbu karang yang dari waktu ke waktu
semakin luas dan besar.
1
Estimasi dari nilai total terumbu karang Indonesia yang paling kecil
Naskah kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang ini disusun sebagai panduan dan
rambu-rambu yang harus diperhatikan bagi para pembuat kebijakan dan pengambil
keputusan dalam melakukan tugas dan kewenangannya dalam mengelola sumberdaya
terumbu karang secara berkelanjutan. Pada dasarnya Naskah kebijakan ini diarahkan untuk
dapat menjawab beragam isu dan permasalahan pada pengelolaan terumbu karang yang
selama ini terjadi di Indonesia. Terdapat tiga isu utama yang harus diperhatikan, yaitu (1)
degradasi terumbu karang yang semakin besar, (2) kebutuhan pembangunan ekonomi
masyarakat pesisir secara khusus, dan (3) pembagian kewenangan hak maupun kewajiban
antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Sesuai dengan lingkupnya sebagai kebijakan nasional, maka dokumen ini tidak menyajikan
jenis-jenis kegiatan pengelolaan yang spesifik. Dokumen ini sengaja tidak memberikan
rincian kegiatan apa yang harus dilakukan (misalnya membuat mooring buoy, dll), karena
hal-hal tersebut merupakan keputusan dan pilihan yang nantinya harus diambil oleh para
pemegang kepentingan (stakeholders) di daerah yang tentunya akan disesuaikan dengan
situasi, kondisi dan karakteristik daerah masing-masing. Dokumen ini memberikan rambu-
rambu atau hal-hal yang harus diperhatikan apabila satu wilayah/daerah akan menyusun
suatu rencana program pengelolaan terumbu karang. Dengan pendekatan demikian
diharapkan dokumen ini dapat menjadi satu dokumen yang selalu berguna (living document)
karena rambu-rambu yang ada di dalamnya dapat selalu disempurnakan (atau bahkan
direvisi) sesuai perkembangan nasional.
Penyusunan dokumen ini dilakukan melalui berbagai tahapan, mulai dari persiapan, studi
literatur, analisis pengembangan sampai penyusunan Naskah kebijakan itu sendiri.
Tahapan-tahapan tersebut dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain pertemuan,
diskusi, konsultasi publik (nasional dan daerah), rapat tim kerja, dan lokakarya (nasional dan
daerah). Selain itu dalam rangka penyempurnaan Naskah tersebut telah diadakan berbagai
pertemuan, diskusi, lokakarya baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Proses alur
penyusunan Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia ini dapat
dilihat pada Lampiran 1.
TIDAK ADA
KEBIJAKAN ?
ADA
TID
AK IMPLEMENTASI
KEBUTUHAN KEBIJAKAN
YA
OKE NASIONAL PENGELOLAAN TERUMBU
KARANG INDONESIA
MATCHING
SOSIALISASI DAERAH
SOSIALISASI NASIONAL
KONSEP KEBIJAKAN
KONSEP DAN STRATEGI
KEBIJAKAN NASIONALNASIONAL
KONSEP KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL
Gambar 1. Pendekatan Penyusunan
PENGELOLAAN
PENGELOLAAN TERUMBU
Kebijakan
TERUMBUKARANG
Nasional
KARANGINDONESIA
INDONESIA
Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia
1. Sebagai bahan acuan atau masukan dalam rangka pembuatan peraturan bagi
lembaga pemerintah dan pemerintah daerah yang berwenang
2. Sebagai arahan dan panduan bagi pengelolaan sumberdaya terumbu karang, dan
Diharapkan tujuan tersebut dapat dilakukan melalui perencanaan dan implementasi yang
melibatkan semua stakeholders secara aktif. Pengelolaan terumbu karang yang lestari dapat
berhasil melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan, hukum dan pengaturan administrasi yang
sangat tergantung pada situasi kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau
daerah tersebut.
Adapun sasaran kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang Indonesia ini adalah :
1. Meningkatnya kesadaran dan peran stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang
secara lestari
4. Terciptanya suatu mekanisme dan landasan pengelolaan data ilmiah tentang potensi,
bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan daya dukung lingkungan pada ekosistem
terumbu karang.
1. Pidana Umum : Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 (KUHP) dan ketentuan hukum
acara pidana pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981.
5. Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1992, tentang Daftar Bidang Usaha yang
Tertutup bagi Penanaman Modal (Lampiran 1 No. 56, Bidang Usaha
Pemanfaatan dan Pengusahaan Sponge (Bunga Karang) yang Tertutup dalam
rangka Undang-Undang PMA, PMDN dan Non PMA/PMDN).
h. Surat Edaran
Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain: pemanasan
global (global warming), bencana alam seperti angin taufan (storm), gempa teknonik (earth
quake), banjir (floods) dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti El-Nino, La-Nina
dan lain sebagainya.
Segenap permasalahan (kecuali yang diakibatkan oleh alam) yang menjadi penyebab
terjadinya degradasi terumbu karang pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor
pendorong yang menjadi akar permasalahan terjadinya degradasi tersebut. Berdasarkan
hasil identifikasi dan analisis terdapat 10 (sepuluh) faktor yang menjadi akar permasalahan,
yaitu: (1) inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang diambil; (2) metode pengelolaan
yang kurang memadai; (3) instrumen hukum dan penegakan peraturan perundangan yang
belum memadai; (4) kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang arti penting dan nilai
strategis terumbu karang dari berbagai kalangan (elit politik, pengusaha, publik); (5)
kemiskinan; (6) keserakahan; (7) kapasitas dan kapabilitas pengelola yang kurang
memadai; (8) permintaan pasar/tingkah laku konsumen; (9) faktor budaya/adat
istiadat/kebiasaan; serta (10) status wilayah terumbu karang yang terbuka untuk umum.
Berdasarkan permasalahan pengelolaan terumbu karang, maka berikut ini akan dijelaskan
lebih lanjut landasan penyusunan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang.
Landasan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) berdasarkan isu-isu nasional, dan (2)
berdasarkan isu-isu daerah.
Degradasi terumbu karang baik ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun perubahan
kondisi alam menyebabkan hilangnya sebagian aset nasional, yaitu terjadinya penurunan
produktivitas sumberdaya terumbu karang (seperti penangkapan dan pariwisata) dan
keanekaragaman hayati yang dimilikinya (seperti volume dan jenis karang serta biota
penghuninya). Berkurangnya produktivitas sumberdaya terumbu karang yang diakibatkan
oleh terjadinya degradasi terumbu karang semakin memperburuk posisi masyarakat pesisir
yang hidupnya sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut.
Pemerintah telah lama menyadari dan telah menaruh perhatian terhadap kondisi tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penelitian dan proyek-proyek pengelolaan terumbu
karang dari tahun ke tahun. Namun demikian, kegiatan-kegiatan tersebut belum mampu
mencegah bahkan mengurangi laju degradasi terumbu karang yang semakin lama semakin
tidak terkendali.
Salah satu faktornya adalah bahwa penegakan hukum terhadap berbagai peraturan yang
ada tidak pernah dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Hal tersebut diperburuk
lagi oleh ketidakjelasan wewenang dan tanggungjawab dari berbagai instansi pemerintah
terhadap pengelolaan sumberdaya itu.
Belum berhasilnya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah selama ini
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu;
1. Minimnya pemahaman terhadap nilai-nilai yang tidak tampak dan total nilai ekonomis
yang sebenarnya dari ekosistem terumbu karang,
2. Rendahnya upaya koordinasi diantara berbagai instansi pemerintah baik secara
horizontal maupun vertikal,
3. Terumbu karang belum menjadi isu utama dalam agenda politik para pemimpin
bangsa,
4. Kurangnya pengalokasian dana bagi pengelolaan terumbu karang,
5. Lemahnya pendekatan metode dan strategi maupun lobi yang dilakukan oleh
berbagai kelompok pemerhati masalah lingkungan dalam pengelolaan terumbu
karang,
6. Program pengelolaan yang hanya mengandalkan satu jenis pendekatan, yaitu
pengelolaan daerah konservasi (taman nasional, dll).
7. Kurangnya konsistensi dan lemahnya penegakan hukum.
8. Belum menempatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang
Oleh sebab itu kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang secara nasional
harus meliputi berbagai aspek berikut ini:
Namun harus disadari pula bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal selain
memberikan peluang juga menuntut adanya tanggung jawab dari masyarakat tersebut.
Apabila masyarakat diberikan atau menuntut hak atau legitimasi terhadap pengelolaan
sumberdaya terumbu karang di wilayahnya, maka mereka juga harus menerima dan
menjalankan kewajiban atau tanggungjawabnya untuk mengelola sumberdaya tersebut
secara berkelanjutan. Kewajiban atau tanggung jawab tersebut mempunyai arti bahwa
masyarakat harus dapat turut memikul beban biaya yang diperlukan untuk memulihkan
kembali sumberdaya tersebut agar tetap lestari. Biaya pengelolaan yang harus dipikul
tersebut dapat meliputi berbagai hal seperti; penyediaan infrastruktur pengelolaan,
pelaksanaan penegakan hukum, pemantauan kualitas sumberdaya, pengurangan unit-unit
penangkapan ikan, pengurangan daerah-daerah penangkapan ikan, berkurangnya
pendapatan dalam waktu tertentu, bantuan-bantuan teknis, administrasi, penciptaan
berbagai alternatif mata pencaharian, dan lain sebagainya.
4. Pemerintah maupun Pemerintah Daerah tetap tidak akan lepas tangan karena ada
beberapa hal yang tanpa adanya campur tangan Pemerintah akan sulit untuk
ditanggulangi sendiri oleh masyarakat, seperti ledakan jumlah penduduk, bantuan-
bantuan teknis lainnya, penciptaan berbagai peluang untuk mengurangi tekanan
terhadap sumberdaya, dsb. Pemerintah tetap berkewajiban untuk menanggulangi
berbagai masalah yang sulit ditangani oleh masyarakat.
Untuk dapat menjawab berbagai isu dan kepentingan daerah tersebut, maka kebijakan yang
diperlukan dalam pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan berbagai hal berikut:
2
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya dianjurkan namun bukan
“kepemilikan secara mutlak”
Perlu diperhatikan bahwa tidak seluruh masyarakat pesisir dapat memetik keuntungan
secara sama (equal), bahkan tidak semua masyarakat secara bersungguh-sungguh
berupaya untuk mengelola terumbu karang secara berkelanjutan. Sebagian besar
masyarakat pesisir mungkin tidak memiliki perhatian maupun kemampuan untuk mengelola
sumberdaya tersebut. Oleh sebab itu, tiap propinsi maupun kabupaten/kota harus secara
selektif memberikan hak/mandat pada mereka yang menunjukkan kesungguhannya. Disisi
lain Pemerintah Daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dapat pula memberlakukan peraturan
yang akan menguntungkan masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah nelayan miskin
misalnya dengan melarang beroperasinya alat tangkap non-tradisional dalam batas
jurisdiksinya (kurang dari 4 mil laut atau 12 mil laut).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang ada sekarang ini belum mampu
menunjang penyelesaian berbagai isu dan permasalahan yang ada. Oleh karena itu
kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang ini diharapkan dapat mempertimbangkan
bahwa pengelolaan terumbu karang sebagai bagian dari ekosistem wilayah pesisir tidak
dapat dipisahkan dari upaya pengelolaan berbagai sumberdaya lainnya seperti hutan
mangrove, padang lamun, dan lahan basah lainnya. Sehingga kebijakan yang disusun
sebagai pedoman program-program pengelolaan terumbu karang dapat juga dipakai
sebagai acuan untuk pengelolaan sumberdaya alam lainnya yang terdapat di wilayah
pesisir. Oleh karenanya kebijakan pengelolaan terumbu karang di Indonesia harus
dirancang untuk menjawab dua kepentingan utama yaitu;
Sejalan dengan adanya otonomisasi daerah yang berkembang saat ini, maka penyusunan
kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang harus memperhatikan implikasi dari
diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut, maka jurisdiksi pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan di daerah sampai pada batas 12 mil laut. Sehingga desentralisasi, baik
dalam perencanaan maupun pengelolaan menjadi sangat esensial dan mutlak harus
dilaksanakan. Latar belakang permasalahan ataupun isu yang harus dihadapi, berbagai
kepentingan dan persepsi dari stakeholders utama yang harus dikompromikan agar tercapai
resolusi terhadap konflik yang timbul, semuanya berbeda dari satu tempat ke tempat lain,
dari daerah satu ke daerah lainnya.
Prinsip-prinsip dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan dalam mengelola
sumberdaya terumbu karang telah tersedia dan dapat dengan mudah dipelajari. Tetapi
pengalaman dan pemahaman terhadap kiat-kiat yang diperlukan untuk menjalankannya
dalam upaya pengelolaan tidaklah dengan mudah dapat dibawa dari satu tempat ke tempat
lainnya. Upaya pengelolaan wilayah pesisir yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu
pengetahuan, kebijakan, hukum dan administrasi dan sangat tergantung pada situasi dan
kondisi sosial, ekonomi dan politik di tiap wilayah tersebut.
Secara garis besar, peranan Pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang dapat dirinci
sebagai berikut:
Sumberdaya terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir
yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti
hutan mangrove, padang lamun, dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu kebijakan
pengelolaan terumbu karang secara nasional harus memperhatikan serta menggunakan
pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu. Selain itu, sejalan dengan perkembangan
politik nasional, maka kebijakan tersebut juga harus sejalan dengan pelaksanaan Undang
Undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, kebijakan
yang diajukan merupakan upaya untuk membantu pelaksanaan otonomi daerah dalam
mengelola sumberdaya terumbu karang di tiap-tiap daerah.
Kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang disusun dengan didasari oleh beberapa
prinsip yaitu:
3
Kalimat ini perlu disesuaikan dengan mengikutsertakan Kabupaten sesuai dengan UU No. 22/99
4
Kalimat ini perlu disesuaikan dengan mengikutsertakan Kabupaten sesuai dengan UU No. 22/99
5
Apakah yang dimaksud adalah peraturan “baru”?
Kedelapan prinsip tersebut ditambah dengan asas desentralisasi, baik dalam perencanaan
maupun implementasi menjadi suatu hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan.
Latar belakang dan isu yang harus dikaji, serta perbedaan persepsi dan minat dari sebagian
besar pemegang kepentingan (stakeholders) yang harus dikompromikan sangatlah berbeda
dari satu tempat ke tempat lainnya. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi
cenderung mudah diperoleh dari berbagai sumber di dunia ini. Pengetahuan mengenai hal-
hal tersebut dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Namun
pengalaman dan kiat-kiat pengelolaan wilayah pesisir dan terumbu karang yang terdapat di
dalamnya tidaklah mudah, untuk dapat dibawa dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pengelolaan sumberdaya pesisir yang berhasil merupakan gabungan dari ilmu
pengetahuan, kebijakan, hukum dan pengaturan administrasi yang sangat tergantung pada
situasi kondisi sosial, ekonomi dan politik dari tiap propinsi atau daerah tersebut.
KEBIJAKAN – 1
KEBIJAKAN – 2
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam, dalam hal ini ekosistem terumbu karang dan
implementasi otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam
menyusun dan melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang
yang komprehensif sangat perlu untuk dikembangkan dengan cara meningkatkan hubungan
kerjasama antar institusi pemerintah. Pengertian program yang komprehensif disini adalah
program pengelolaan yang disusun dengan memperhatikan keseimbangan dan keselarasan
antara kebutuhan pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat setempat, kelestarian
ekosistem dan pertimbangan nilai-nilai kearifan masyarakat lokal serta tetap memperhatikan
pula kepentingan nasional. Selain itu dengan meningkatnya peranan pemerintah daerah
sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah secara otomatis akan meningkatkan pula peranan mereka dalam
mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya.
KEBIJAKAN – 3
Menyusun rencana tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk
mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya alam
pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian fungsi
ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan
KEBIJAKAN – 4
Selama ini salah satu akar permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang adalah
kurangnya kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah dan
masyarakat. Permasalahan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dapat secara
efektif diatasi apabila seluruh pihak yang terkait dapat bekerjasama. Kebijakan ini diarahkan
untuk melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam penciptaan suatu mekanisme
kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah dan
pemerintah daerah dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Mekanisme yang
diinginkan ini meliputi seluruh aspek utama dalam sistem pengelolaan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pemantuan pengawasan dan penegakan hukum.
Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan kesadaran mengenai pentingnya
ekosistem terumbu karang dan perlunya keberadaan mekanisme pengelolaan yang
kondusif.
KEBIJAKAN – 5
KEBIJAKAN – 6
KEBIJAKAN – 7
Ketersediaan dana dalam pengelolaan eksosistem terumbu karang menjadi faktor penentu
keberhasilan pelaksanaan berbagai program pengelolaan yang lestari. Sehingga perlu
adanya kesepakatan komitmen yang tegas baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah
dalam menyediakan dana untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Penggalian
berbagai sumber dana dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang ini bisa bersumber
dari dalam negeri maupun dari luar negeri tanpa adanya suatu ikatan. Penggalian dana
juga dapat diperoleh dari masyarakat, sehingga ketersedian dana untuk melakukan kegiatan
pengelolaan ekosistem terumbu karang sudah menjadi tanggung jawab semua pihak.
Rumusan Naskah kebijakan umum yang dijabarkan melalui tujuh rumusan Naskah
kebijakan tersebut di atas merupakan satu kesatuan utuh upaya mencegah keberlanjutan
degradasi ekosistem terumbu karang di Indonesia. Diharapkan kebijakan tersebut dapat
menjadi panduan dalam melaksanakan pengelolaan terumbu karang sehingga kuantitas dan
kualitas ekosistem terumbu karang Indonesia terjaga.
1. INTRODUCTION
1.1. Background
Indonesia is the biggest archipelagic nation in the world and has a corresponding potential
from natural marine resources. These resources include coral reef resources, which are
widespread in Indonesian waters. The area6 of Indonesian coral reef is 42,000 Km2) or 16.5
% of the global area of coral reef of 255,300 Km2. Australia has a coral reef area of 48,000
Km2 (Bryant, et al 199). Based on the above estimation Indonesia ranks second in the world
for the area of coral after Australia. However, from the point of view of biodiversity, Indonesia
is the coral biodiversity center of the world with 70 genera and 450 species (Veron, 1995).
Coral reef resources and all living organisms existing within it provide a valuable natural
resource. The potential use of coral reef ecosystems is enormous and various, either for
direct use, such as fish and other biota, water tourism, etc, or other indirect use, such as
resisting coastal abrasion, wave breaker, biodiversity and sanctuaries, food sources and
habitats biota.
Combined with increasing global population, which is becoming more critical together with
the large-scale exploitation of natural resources without considering their sustainability,
have reduced the quality of the environment, including coral reef resources. This could be
seen from general condition world’s coral reefs where almost 36 % is in critical condition due
to exploitation, 22 % threatened by pollution from land waste and erosion and 12 %
threatened from pollution (Bryant, 1998). According to P3O-LIPI research undertaken in
1996 has shown that 39.5% of Indonesia’s coral reef is in a damaged condition, 33.5 % in a
medium condition, 21.7 % in a good condition and only 5.3 % very good condition.
If there isn’t a national effort to stop the degradation of Indonesia’s coral reefs, then perhaps
the degradation of coral reefs will be greater and larger. The national policy on coral reef
management must be developed by government to reduce or stop the degradation of coral
reef before it becomes to great.
1.2. Scope
In the context of sustainable coral reef management , a basic framework that is integrated
and solid is required as a manual or guideline for stakeholders to manage this resource.
The framework should form the basis of the national policy, to be adopted and implemented
by relevant government institutions and supported by all levels of society This framework is
required because existing laws and regulations for the management of coral reefs
Indonesia are not yet comprehensive or complete enough in order to manage natural
resources
This National Policy concept for the Management of Coral Reef has been developed as a
guideline for policy and decision makers to assist them in undertaking their duties and
authority with respect to coral reef management. At the lowest level this policy concept is to
assist in addressing the issues and problems associated with coral reef management in
Indonesia. There are 3 important issues, which should be considered: (1). Increased coral
reef degradation, (2). The need for economic development, specifically coastal
communities, (3). The rights and responsibilities of the Central Government, Regional
Governments and communities.
6
lowest estimate of the area of coral reef in Indonesia.
In accordance with the scope of the national policy , this document does not specify
specific management activities. This document does not detail activities that should be
undertaken (e.g. types of mooring buoy, etc), because of those activities are decided and
chosen by stakeholders in accordance with the specific situations, conditions and
characteristics of each location. This document provides guidelines or factors that should
be considered if a region or area is planning to manage their coral reefs. Therefore this
document is a living document that should be updated (or revised) in accordance with
national development.
National Policy Concept for the Management of Coral Reefs has been is formulated to refer
to the present condition of coral reef ecosystems and existing policies, as well as policies
that are directly related to coral reef management (i.e. Environment policy 1993-1996, and
policies from other countries) or general policies (e.g. marine and coastal management
policy, marine policy and government policy/GBHN). The National Policy Concept for the
Management of Coral Reef of Indonesia is outlined in Figure 1
NO
POLICY?
YES
NO
IIMPLEMENTATION
MATCHING
R E GSIOOSNI A L ISSO
ACS I ADLAI ZE A
RTAIHO N
NSAOTSIIOANL A
I SLASSO
I CNIAASLIIO
ZN A ILO N
AT
C O N C E P T OKKFOONNA
SSE
TEPIPOKK
NEEABBLIIJPJAA
OKKLAA
INCNYDDAFAN
ONRSSTTTRHRAEATTMEEG II A
AGN NNG
AAE
SSM
I IOE
ONNNATALLO F C O R A L
PPEENNGGEELLOOLLAAARAN ENE FTTSEERO RUF
UMMIBN
BUD
UOKKA NARERASAINN
AGG IINNDDOONNEESSIIAA
Figure 1. The approach for preparing the National Policy for the Management of Coral Reef
of Indonesia
Based on the above scope the aim for formulating the National Policy Concept for the
Management of Coral Reef of Indonesia was as follows:
While the objectives on formulating the national policy on the management of coral reef in
Indonesia are :
It is expected this objective can be applied through active involvement of all stakeholders in
planning and implementation. Successful coral reef management is a combination of
science, law and administration which depends on the social, economic and political
situation in that province or area.
The target for the national policy for the management of coral reef of Indonesia are:
b. The following laws concerning conservation and are related to the coral reef ecosystem:
c. The following laws concerning are sectoral Regulations which related to the existence of
coral reef ecosystem:
d. The following laws are concerned with Area Regulation and linked to the coral reef
ecosystem:
e. The following laws concerning criminal law which related to the existence of coral reef
ecosystem:
1. General Criminal Law: Law No. 1 of 1946 (KUHP) and regulation on procedural
criminal law of Law No. 8 of 1981.
2. Particular Criminal Law: Law No. 9/1985 (Fisheries), Law No. 5/1990 (Resources
Conservation), Law No. 23/1997 (Environment), Law No. 5/1960 (Agricultural), Law
No. 11/1967 (Mining), Law No. 5/1984 (Industry), Law No. 9/1990 (Tourism), Law
No. 4/1992 (Housing and Placement), Law No. 16/1992 (Quarantine), Law No.
21/1992 (Sail), Law No. 23/1992 (Chemicals-Health), Law No. 24/1992 (Spatial),
Law No. 36/1999 (Cable-Telecommunication), Law No. 41/1999 (Forestry) and Law
No. 12/Drt of 1951 (Weapon and Explosive Materials) and other procedural criminal
law within particular laws.
f. The following laws concerning Administration and Government Regulation which related
to the existence of coral reef ecosystem:
3. Government Regulation No. 25 of 2000 concerning Province and Sub district/ City
Authority as Autonomy Regional.
4. Presidential Decree No. 43 of 1978, dated 15th December 1978 concerning CITES
Ratification.
5. Presidential Decree No. 32 of 1992 concerning the List of Closed Business for
Investing (Encl. 1 No. 56, Closed Business of Utilization and Sponge exertion
according to Law of Foreign Investment Plant, Domestic Investment Plant and Non
Foreign-Domestic Investment.
h. Circular Letter
1. Circular letter of PPLH Minister No. 48/MNPPLH/4/1979, dated 30th April 1979
concerning Prohibition to take coral reef which could damaged marine ecosystem,
(it is directed towards to all Governors in Indonesia)
Several researches and studies into the utilization of coral reef resources have shown that
the degradation of coral reefs is generally caused by two principal causes, that is human
activity (anthrophogenic causes) and natural causes. Human activities causing the
degradation of coral reefs are: (1) coral mining and taking, (2). Catching fish using tools and
destructive methods, (3). Over fishing , (4). Water Pollution, (5). Coastal development , (6)
development of surrounding areas.
While the degradation of coral reefs through natural causes includes: global warming,
storms, earthquakes, floods, tsunamis and others, i.e. El-Nino, La-Nina, etc.
All of the problems (except those caused by natural factors) which lead to the degradation of
coral reef can be traced back to the root of the problem Based on identification and analysis
there are 10 (ten) factors, which became root of problems: (1). Inconsistence in the
application of policy ; (2). Insufficient management ; (3). Law enforcement agencies and
regulations are inadequate ; (4). The lack of awareness and knowledge concerning the
importance and strategic value of coral reefs from various groups parties (i.e. politician,
entrepreneurs public); (5). poverty; (6). greed; (7). the capacity and capability to manage ;
(8). Market demand/ consumer behavior; (9). culture/customs/manners; and (10). The status
of coral reef areas open to the public.
The following is derived from the problems facing the management of coral reefs and
explains the foundations upon which the National Policy for managing Coral Reefs has been
developed. These foundations include: (1) national issues and (2) region issues.
The degradation of coral reefs is a result of changes in human activity and natural
conditions. These changes have resulted in the loss of part of our national assets, resulting
in reduced productivity of coral reef resources (i.e. fishing and tourism) and reduction in our
biological diversity (i.e. volume and kind of coral and biota). The reduced coral reef
productivity, caused by the degradation of coral reefs, aggravates the condition of the
coastal communities that are dependent on these natural resources.
The Government has been aware of the condition of the coral reefs for a long time and has
raised its concern over the current condition of coral reefs. This problem has been raised
by researchers and projects involved in coral reef management over several years.
However, this awareness has not yet prevented the degradation of coral reefs, which
continues.
One factor is that existing laws and regulations have not been consistently and continuously
enforced. This has been made worse by the poorly defined authority and responsibility given
to Government Institutions to manage coral reef resources.
1. The lack of awareness of the value and the real of economic benefits arising from
coral reef ecosystems,
2. The weak horizontal and vertical co-ordinating capacity within and between
government institutions,
3. Coral reefs have not yet become a priority issue in the political agenda of the
Nation’s leaders.
5. The poor lobbying skills of environmental groups interested in the conservation and
management of coral reefs.
8. Coastal communities have not yet been involved in the management of coral reefs.
Therefore the Government’s National Policy to manage coral reefs should include the
following:
2. Government should clarify and improve the various of laws and regulations which
relate to the management of coral reef resources.
8. The Government’s attitude towards the role and function of Non Government
Organizations e.g. NGO, higher education institutions, community and private
sectors, etc.
Introduction of Act 22/1999 on Regional Government has created the opportunity for
local communities to secure greater rights to manage natural resource within their region,
especially to manage coral reef resources.. However, it should be realized that this has
increased the responsibility of local communities. If communities claim and obtain rights or
legitimate control, to manage coral reef resources in their area, they should also accept the
obligation or responsibility to continuously manage these coral reefs. The obligation or
responsibility given to communities means that communities must take on the burden of the
sustainable use of the resource. Costs incurred include those for, management, law
enforcement, monitoring resources quality, decreasing the number of fishing units,
decreasing the size of fishing areas, decreased income at different times, technical
assistance, administration, creation of alternative generating income (AIG), etc.
2. This authority also has an implication in that the community (for a specific area/
region) has exclusive rights to the coral reef resources in their area. The definition
of area is based on the guidelines under Law No. 22/1999 and several of the
regulations.
3. Communities have the right to manage, with others parties (private sector), to gain
income in order to “repay” costs incurred to sustainably conserve their resources.
Some of the costs will be borne by government.
To answer these issues and regional interests, a National Policy on coral reef management
should pay attention to the following:
It is noted that not all the coastal communities should receive equal benefits from or be
involved in continuous management. Most coastal communities may have no interest or
capability to manage the resource. Therefore each Province and sub-district (Kabupaten /
City) must give the right to those people who have shown interest in managing the coral
reefs. In addition, Regional Governments (Province and Sub-district/ City) should also put in
place the laws and regulations which are beneficial to those coastal Communities which
comprise a majority who are poor fishermen, i.e. laws to prohibit the use of non-traditional
fishing gear in jurisdiction border (less from 4 miles or 12 miles).
It could be concluded that the existing policy could not support or solve the main issues.
Therefore the National Policy for coral reef management should consider the management
7
Delegation of authority and responsibility for management and use of resources is recommended and not “absolute
ownership”.
of coral reefs as part of the coastal ecosystem and not separated from other resources
management activities, i.e. mangrove, sea grass, and other wetland. This Policy is a manual
for the implementation of strategies and programs to manage coral reefs and could also be
used as a guideline for other coastal resources management activities . Therefore the
National Policy on the management of coral reefs in Indonesia should be designed to
answer two basic needs:
2. the need to manage coral reef resources nationally, to address conflict over its use,
and to obtain a balance between utilization and conservation.
The National Policy for the management of coral reefs must take note of the implications of
law No. 22 of 1999 concerning Regional Government. This law states that the jurisdiction of
Regional Governments in the management in coastal and marine areas is 12 miles. With
decentralization, both planning and management are essential and must be implemented by
Regional Governments. Problems or issues must be addressed and resolved through
conflict resolution mechanisms by discussing the various primary stakeholders interests and
perceptions at local and regional level because the problems and issues differ from location
to location and region to region.
The science and technological principles, which could be used for the management coral
reefs are readily available and easily learned. However, experience and knowledge from
one site is not easily applied to another site. The successful management of coastal
resources has to be through the integration of science, policy, law and administration taking
consideration of the social, economic and political situation in each area.
The National Policy on the management of coral reefs must create conditions for “voluntary
partnership” between Government and Regional Government (Province and
Kabupaten/City), where each Province and Kabupaten/City have important role to plan,
manage and maintain the coral reef conservation in their area. In the meantime the
Government provides funds to assist the Provinces or Kabupaten/City to organize and
improve the administration of management programs that will and was formerly done by
Province8. Provinces9 may receive the funds from Government to develop and implement
management programs in accordance with the existing national regulations. The
regulations10 should also refer to the international environment regulations.
As a broad outline, Government role in the management of coral reefs should be as follow:
8
The text needs to be modified to include Kabupaten under Law 22/99.
9
The text needs to be modified to include Kabupaten under Law 22/99.
10
Presumably means “new” regulations?
Coral reef resources form an integral part of coastal and marine natural resources in the
region; their management cannot be separated from the management of other natural
resources such as: mangrove forestry, sea grass beds, and coastal wetlands. Because of
this, the National Policy for the management of coral reefs must consider using an holistic
and integrated approach. In addition, this National Policy must be in line with national
political development and therefore a National Policy on coral reef management must be in
accordance with the implementation Act No. 22/1999 on Regional Government. The policy
presented will provide a framework to assist the implementation of regional autonomy in the
management of coral reef resources in each and every region.
The National Policy for the management of coral reefs is based on the following principles:
These eight principles and the basis of decentralization whether the planning or
implementation are, of great importance and must be undertaken. The background and
issues must be studied, along with the differences in perception and interests of the majority
of stakeholders for which compromises must be pursued, differ greatly from one locality to
another. Scientific knowledge and technological principles are relatively easy to obtain from
various sources in this world. This Knowledge is relatively easy to transfer from one locality
to another. However, the experience and activities in the management of coastal zones and
coral reefs are not that easy to transfer from one locality to another. Successful management
of coastal and coral reef resources is a consolidation of science, policy, law and
administrative arrangements, which intimately depends on the social, economic and political
conditions in each province or region. Therefore the national policy for the coral reef
management in Indonesia is to:
The objective of the National Policy for the management of coral reefs is a coral reef
ecosystem management with a balance between conservation and utilization, and brought
about in an integrated and synergistic manner by the central and regional governments, civil
society, private sector, higher education institutions and non-government organizations.
This Policy forms one in respon to and anticipation the various issues and problems, which
are the main causes of the increasing degradation of coral reef ecosystems in Indonesia.
The National policy concept on coral reef management is clarified in seven sub-policies,
each of which has specific objectives, which was the basic judgment during formulation.
POLICY - 1
The objective of the policy concept is to conserve, protect and improve the condition of coral
reefs. This policy concept demonstrates the Indonesian government’s commitment towards
communities whose survival depends on the utilization of the natural resources contained in
coral reef ecosystems. However, this commitment includes efforts to conserve, protect and
improve the quality, whether it be environmental quality or the quality of human resources,
through awareness of and conformity to national laws and regulations and to various
international and national standards to which Indonesia is a party to.
POLICY - 2
Develop the capacity and capability of the Central Government and Regional
Governments, strengthening cooperation amongst institutions in order to be
able to prepare and implement programs on the management of coral reefs
ecosystems based on a principle of balance between utilization and
conservation of natural resources conforms with the traditional wisdom, the
biophysical characteristics and regional development needs.
In the framework of managing natural resources, in this case coral reef ecosystems and the
implementation of regional autonomy, the capabilities of regional government and central
government in the preparation and implementation of comprehensive programs on the
management of coral reef ecosystems must be developed through increased collaboration
between government institutions. The interpretation of comprehensive Programs are those
management programs which take into consideration the balance and harmony between
regional economic development, local community and ecosystem conservation needs, and
considers the local community wisdom, while still paying attention to national priorities. In
addition, enhancing the role of Regional Governments, in accordance with Act No. 22/1999
on Regional Government, will automatically increase their involvement in the management of
natural resources in their region
POLICY - 3
Prepare spatial and management plans for coastal and marine areas, in order
to sustain of coral reef ecosystems and nationally important coastal marine
resources along with the ability to guarantee the sustainable ecological
function of coral reefs and regional economic growth.
This policy highlights the responsibility that Act No. 22/1999 confers on Regional
Government to manage coral reef ecosystems and other coastal natural resources under
their jurisdiction. They must prepare -spatial and management plans. The final objective of
this policy is to maintain the sustainability conservation of coastal natural resources that are
of national importance, including coral reef ecosystems, and sustaining the ecological
function of coral reefs and economic growth in an area. This Policy targets the need for
regional government to manage special areas in coastal regions (such as national parks,
conservation areas and other parks) to maintain sustainability and still guarantee economic
growth in the area.
POLICY - 4
One root problem in managing coral reef ecosystems is the lack of cooperation, coordination
and partnership between national government, regional governments and communities. The
problems faced in the management of coral reef ecosystems can be effectively overcome
when all stakeholders cooperate. This Policy aims to encourage involvement of all levels of
society in creating a mechanism for cooperation, coordination and partnership between
Central Government and Community, Central Government and Regional Government in the
management of coral reef ecosystem. The mechanisms should cover all major aspects of a
management system, which includes planning, implementation, evaluation, supervision and
law enforcement. To be able to achieve this there is need to develop awareness about the
importance of coral reef ecosystems and the need for the existence of conducive
management mechanisms.
POLICY - 5
One of main factors why coastal communities undertake activities, that destroy coral reef
resources, is their low prosperity. The low-income levels of coastal communities forces
community members to be involved in activities which meet their basic needs without
considering environment of sustainability especially coral reef ecosystems. Based on this
judgment the welfare and quality of life of coastal communities has to be improved through
the development of the local economy, while still taking into consideration natural resources
conservation principles and sustainable uses.
POLICY - 6
The development of science and technology, research, information systems, education and
training forms a fundamental requirement that must be undertaken to support the
management of coral reef ecosystem immediately. There must be an increasingly active role
of the private sector in science and technology, research, information system, training and
education. The development of these activities also need to involve international institutions.
The aim of this Policy is to increase private sector and international collaborative support to
enhance the understanding of coral reef ecosystem characteristics, to transfer
environmentally friendly technology and to increase the human resources available to
support improved coral reef ecosystems management.
POLICY - 7
Availability of funding for coral reef ecosystem management is an important fact for the
successful implementation of the conservation management program. There is, therefore, a
need for a strong commitment from the Central Government and Regional Government to
provide funds for coral reef ecosystem management. Various sources of non-binding (grant)
funding for coral reef management can be sourced from both national and international
arenas. Funding could also be obtained from the community so that the availability of funds
for coral reef ecosystem management becomes the responsibility of all parties.
The formulation of the general policy framework, which has been clarified in seven policy
concepts described above forms a unified effort to prevent the progressive degradation of
Indonesia’s coral reef ecosystems. It is expected that these policies will provide guidelines
for the implementation of coral reef management, so that the quantity and quality of coral
reef ecosystems is safeguarded.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES
ADB. July 1997. Project Preparation Document. Coral Reef Rehabilitation and
Management Program. Final Report, T.A.No.2535-INO.
ADB. June 1997. Project Preparation Document. Coral Reef Rehabilitation and
Management Program. Final Report: ANNEX, T.A.No.2535-INO.
Bappeda Propinsi SULSEL. 1995. Kondisi dan Permasalahan Terumbu Karang di Propinsi
SULSEL.
Bappeda Propinsi SULSEL. 1997. Studi Social Ekonomi : Masyarakat Kawasan Konservasi
Terumbu Karang di Pulau Kapoposang Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten
Pangkep. Ringkasan Hasil Penelitian.
Carter, J.A. March 1997. Guideline on assessment, protection, and rehabilitation of coastal
habitat in eastern Indonesia. Technical Report.
Dahuri, R., J.Rais, S.P.Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 hal.
ESD. 1995. Sustainable Financing Mechanisms for Coral Reef Conservation. Preceedings
of a Workshop Series No.9.
K.L.H. Technical Team for Coral Reef Ecosystem Conservation and Management. July
1992. National Seminar Strategy on Coral Reef Ecosystem Conservation and
Management. Kantor MNLH, Jakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1996. Indonesia’s Marine Environment Policy.
Kantor MNLH, Jakarta.
Kenchington, R.A. and Crydget E.T. Hudson. 1988. Coral Reef Management Handbook. 2nd
Edition. 321p.
KmenLH. 1993. Pengelolaan dan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang. Lokakarya, Kapal
Kerinci:11-13 September 1993. 35 hal.
Komnas Pengkajian SDP Laut. 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
NJSR. April 1989. Netherlands Journal of Sea Research. Vol.23 – No. (2).
P3O-LIPI. 1999. Potensi dan Kendala dalam Pengelolaan Terumbu Karang : Pedoman
untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Desa S.Pinang Kec.Kota XI.
Proceedings of the Sixth International Coral Reef Sysposium Townsville, Australia. Volume
1: Plenary Addresses and Status Reviews, p:63-95.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1998. Daftar Makalah-makalah Konferensi
Nasional tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu. PKSPL-
IPB, Bogor.
Salm, Rodney V. 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and
Managers. 301p.
Status of Coral Reefs of the World 1998. Hodgson, Gregor. Reef Check and Sustainable
Management of Coral Reefs, p:165-173.
Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan
Lautan. Volume 1, No.2, 1998 ISSN 1410–7821. Hal:44-52.
Sullivan, Kate., Laith de Silva, Alan T.White, Mervyn Wijeratne. 1995. Environmental
Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka.
Thailand Coastal Resources Management Project. Vol. 1: A National Coral Reef Strategy
for Thailand : STATEMENT OF NEED.
Thailand Coastal Resources Management Project. Vol. 2: A National Coral Reef Strategy
for Thailand : POLICIES AND ACTION PLAN.
The World Bank. March 1998. Project Appraisal Document on a Proposed Loan in the
amount of US$6.9 Million and a Grant from the Global Environment Facility Trust
Fund in the amount of SDR 3.1 Million (US$4.1 Million equivalent to the RI for a Coral
Reef Rehabilitation and Management Project. Report Mo:17333-IND. (unpublished).
UNDP. October 1996. Malacca Strait Environmental Profile. Draft. UNDP. October 1996.
Malacca Strait Environmental Profile. Draft.
Veron, J.E.N. 1995. Corals in space and time: biogeography and evolution of Scleractinia.
Australia Institute of Marine Science. Cape Ferguson, Townsville Queensland.
Bakau : Jenis marga pohon yang mampu hidup dan tumbuh di air
payau atau tanah payau; sering termasuk komunitas
biologis yang subur yang didukung oleh hutan bakau atau
beberapa jalur bakau.
Komprehensif : Menyeluruh
Lamun : Sejenis ilalang laut yang hidup di dasar laut berpasir, tidak
begitu dalam dimana sinar matahari masih dapat menembus
Lingkungan Hidup : Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Mata Pencaharian Alternatif : Mata pencaharian yang dipilih sebagai mata pencaharian
pengganti bagi mata pencaharian yang sekarang sedang
dilakukan; dalam konteks ini mata pecaharian alternatif
tersebut adalah mata pencaharian yang dalam kegiatannya
mempertimbangkan pemanfaatan dan kelestarian ekosistem
terumbu karang.
Organisasi
Non Pemerintah : atau Non-Governmental Organization (NGO). NGO
merupakan semua organisasi yang bukan bagian dari
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, kecuali bila
dinyatakan lain, meliputi Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), koperasi, lembaga pendidikan dan serikat pekerja.
Pemanfaatan
berkelanjutan : Pemanfaatan atau pemakaian organisme, ekosistem, atau
sumberdaya terbaharukan pada laju yang tidak melampaui
kemampuan memperbaharui dirinya.
Peran Serta Masyarakat : Atau keterlibatan warga partisipasi dalam perencanaan oleh
orang yang bukan perencana profesional atau pegawai
negeri. Ini merupakan suatu proses dimana masyarakat
sehari-hari ikut ambil bagian dalam mengembangkan,
mengurus dan mengubah rencana komprehensif lokal dan
peraturan-peraturan yang ada hubungannya. Warga ikut
berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan yang mempengaruhi masyarakatnya.
Peraturan Non Formal : Peraturan-peraturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis,
yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, seperti Sasi,
Panglima Laut dan sebagainya.
Prosedur : adalah tahap dan mekanisme yang harus dilalui dan diikuti
untuk menyelesaikan sesuatu.
Sumberdaya Alam : Sumberdaya lahan dan laut yang relevan dengan potensi
penggunaannya, misalnya iklim, air, tanah, lepas pantai,
dekat pantai, hutan, dsb.
Terumbu Karang : Struktur dalam laut dangkal daerah tropis yang tahan
terhadap gempuran ombak sebagai hasil proses-proses
penyemenan dan konstruksi kerangka koral hermatipik,
ganggang berkapur, dan organisasi lain yang
mensekresikan kapur. Terumbu karang merupakan
ekosistem dengan produktivitas dan keanekaragaman
hayati sangat tinggi, sebanding dengan hutan tropika basah.
Dikenal tiga macam terumbu karang, (1) terumbu karang
pinggiran, (2) terumbu karang penghalang, dan (3) atol.
Wilayah Pesisir : Daerah pertemuan antara daratan dan laut, dengan batas
ke arah darat meliputi bagian daratan, baik yang kering
maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut
yang dicirikan oleh tetumbuhan yang khas. Batas pesisir ke
arah laut mencangkup batas luar dari paparan benua dan
perairan di atasnya yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses alami yang terjadi di daratan, seperti sedimentasi,
dan aliran air tawar, maupun proses-proses yang
disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti sedimentasi
akibat penggudulan hutan dan pencemaran akibat kegiatan
industri dan pertanian.
WWF : World Wide Fund for Nature, salah satu organisasi swasta
internasional terbesar yang melakukan aktivitas dalam
pelestarian lingkungan.
PARTISIPAN