Anda di halaman 1dari 5

KRISIS ENERGI, BIOFUEL DAN PANGAN

Subejo
Dosen Fak. Pertanian UGM, PhD Student The University of Tokyo, Ketua IASA Pusat jepang

Beberapa laporan internasional menyebutkan bahwa sampai dengan taraf


tertentu, berbagai krisis saling pengaruh mepengaruhi. Awalnya muncul krisis energi
juga telah menjadi salah satu penyulut krisis pangan global. Dan akhir-akhir ini
kembali mencuat kerisis keuangan dunia.
Di tingkat internasional, isu krisis energi dan perumusan energi alternatif juga
menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam G8 Summit yang yang berlangsung
antara 7-9 Juli 2008 di Hokaido Jepang.
Telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk mencari berbagai sumber
energi alternatif dalam mengatasi persoalan serius membumbungnya harga bahan
bakar minyak di pasar dunia yang semakin tidak terkendali. Sejak dua-tiga tahun
terakhir, seiring dengan adanya indikasi maningkatnya harga minyak di pasar dunia,
beberapa negara mulai mengambil kebijakan untuk mempromosikan biofuel. Pada
awalnya biofuel dipandang sebagai pihan yang jitu selain sebagai alternatif
kelangkaan bahan bakar minyak juga dipandang “lebih ramah lingkungan” atau
“greener” serta dikampanyekan sebagai sustainable energy.
Beberapa negara yang sangat agresif mengembangkan biofuel diantaranya
Amerika Serikat, Brasil dan negara-negara Eropa. Untuk sumber bahan baku,
Amerika Serikat memiliki pilihan utama pada jagung dan kedele, sedangkan Brasil
memilih menggunakan tetes tebu yang ditanam secara besar-besaran dengan
mongkonversi hutan di kawasan Amazon.
Dalam konteks Indonesia, populatitas biofuel juga mendapatkan sambutan yang
cukup baik. Untuk menggencarkan pengembangan biofuel, pemerintah pusat telah
membentuk Tim Nasional Bahan Bakar Nabati (BBN). Sebagai implementasinya
telah muncul investor lokal dan investor asing utamanya dari Jepang yang
mengembangkan biofuel dengan bahan baku bervariasi diantaranya kelapa sawit, ubi
kayu, jagung, tebu dan jarak.
Dalam satu terakhir, mulai muncul perdebatan yang semakin sengit antara sisi
positif dan negatif explorasi sumber daya untuk memasok biofuel. Penggunaan bahan
baku yang juga merupakan bahan pangan dipandang sangat membahayakan
ketahanan pangan. Selain itu ekspansi lahan-lahan kawasan hutan sebagaimana yang

-1-
dikembangkan di Brasil untuk tebu dan juga kelapa sawit di Indonesia diindikasikan
justru berdampak pada pemanasan global karena emisi gas buang yang sangat besar.
Pemilihan biofuel sebagai alternatif sumber energi baru di tengah
membumbungnya harga minyak dunia serta indikasi dampak negatif dan
kemungkinan ancaman kelangkaan dan kenaikan harga pangan menjadi isu yang
sangat strategis.
Kebijkan nasional akan energi alternatif perlu dikaji dan diimplementasikan
secara komprehensif sehingga pengembangan biofuel di masa mendatang bisa
dipromosikan secara otimal tanpa mengorbankan kepentingan lainnya.

Biofuel Sebuah Pilihan


Pengembangan dan produksi massal biofuel sebagai substitusi sebagian energi
dari bahan bakar minyak alam dipandang merupakan satu solusi yang dipercaya dapat
meredakan krisis energi dunia.
Negara yang paling gencar melakukan pengembangan biofuel adalah Amerika
Serikat dan Brasil yang ditunjukkan dengan dominasinya dalam produksi bioetanol di
tingkat internasional yaitu masing-masing sebesar 46 dan 42 persen. Pengembangan
biofuel di satu sisi merupakan bidang yang cukup menjanjikan karena menjadi salah
satu solusi krisis energi namun di sisi yang lain mengandung bahaya dan resiko yang
cukup tinggi.
Sebagaimana dilansir oleh National Post, Amerika Serikat sebagai negara
penghasil pangan terbesar di dunia pada satu dua tahun terakhir ini telah melakukan
perubahan dan pergeseran pemanfaatan lahan pertanian yaitu perubahan oreiantasi
produksi tanaman pangan menjadi lahan untuk produksi bahan biofuel. Diperkirakan
sekitar 16 persen lahan pertanian yang awalnya ditanami kedele dan gandum dirubah
menjadi lahan jagung untuk memasok pabrik biofuel.
Meskipun belum tersedia statistik yang gamblang tentang tingkat substitusi
biofuel terhadap bahan bakar minyak secara nasional namun potensi dan peluang
produksi biofuel sebagai alternatif energi mendapat perhatian yang cukup serius.
Kebijakan pengembangan biofuel atau juga dikenal dengan bahan bakar nabati
di Indonesia sudah dirintis sejak 3 tahun terakhir. Pilihan ini dipandang memiliki
prospek yang baik karena dapat mengurangi subsidi negara untuk bahan bakar minyak,
membuka kesempatan kerja serta berpeluang meningkatkan pendapatan masyarakt
lokal.

-2-
Beberapa pihak menengarai perlunya kehati-hatian dalam implementasi program
pengembangan biofuel di Indonesia. Implikasi yang ditimbulkan bisa sangat fatal
apabila tidak dilaksanakan dengan pertimbangan yang komprehensif. Penggunaan
tetes tebu yang masif juga potensi mengurangi bahan baku gula sehingga pada
gilirannya mengancam stok dan membahayakan produksi gula nasional.
Selain itu penggunaan kelapa sawit secara besar-besaran akan mengancam
produksi minyak goreng sebagai salah satu produk tradisionalnya. Ketidaktepatan
strategi dan implementasinya bisa menyulut krisis minyak goreng nasional seperti
yang pernah terjadi tahun lalu.

Antara Energi dan Pangan


Terkait dengan kebijakan pengembangan biofuel, persoalan yang sangat serius
untuk dicermati adalah sumber bahan baku biofuel yang sebagain besar juga
merupakan bahan baku pangan sehingga akan terjadi persaingan yang sangat sengit.
Beberapa ahli internasional sebenarnya juga telah menengarai bahwa efektivitas
dan efisiensi biofuel masih dipertanyakan, selain karena membahayakan persediaan
bahan pangan namun juga dari aspek dampak emisi gas buang penggunaan biofuel
juga disinyalir memiliki dampak yang cukup serius terhadap peningkatan pemanasan
global dan fluktuasi perubahan iklim yang tidak terkendali.
World Bank melalui laporannya yang terbaru dalam World Development Report
2008 juga memandang bahwa konversi bahan pangan utamanya jagung menjadi
bahan biofuel di Amerika Serikat perlu dikaji lebih mendalam. Dilaporkan pada tahun
2006/2007 sekitar seperlima jagung yang dipanen digunakan untuk bahan baku etanol
namun hanya mampu mengganti 3 persen dari kebutuhan bahan bakar minyak di
Amerika Serikat.
Lebih lanjut diproyeksikan pada tahun 2010, sekitar 30 persen jagung yang
dipanen di Amerika akan digunakan oleh pabrik pembuat etanol namun hanya akan
mampu mengganti sekitar 5 persen dari total kebutuhan bahan bakar minyaknya.
Perumpamaan yang lebih kongkrit dalam hal persaingan bahan pangan dan bahan
biofuel misalnya untuk memenuhi kebutuhan satu tanki mobil sport selama satu hari
dibutuhkan etanol sebanyak 100 liter yang diproduksi dari 240 kilogram jagung.
Jumlah jagung tersebut dapat untuk digunakan memberi makan satu orang selama
satu tahun. Fakta inilah yang semakin memperjelas persaingan yang nyata antara
ketersediaan bahan pangan dan produksi biofuel.

-3-
Ternyata ada indikasi keterkaitan yang sangat erat antara membumbungnya
harga pangan dunia dengan kontribusi kebijakan pengembangan biofue. Informasi
terkini sebagaimana dilansir oleh The Guardian Newspaper edisi 4 Juli 2008 sangat
mengejutkan. Mendasarkan pada laporan World Bank yang tidak dipublikasikan
untuk umum, diketahui bahwa biofuel yang telah menyebabkan kenaikan harga
pangan dunia sampai dengan 75 persen.
Menurut The Guardian, laporan sebenarnya telah selesai pada bulan April 2008,
namun tidak dipublikasikan dengan alasan yang tidak jelas. Tanpa adanya konversi
penggunaan jagung dan gandum secara besar-besaran untuk bahan baku biofuel, stok
untuk dua komoditas tersebut diperkirakan tidak akan mengalami penurunan yang
signifikan dan kenaikan harganya hanya akan pada tingkat yang moderate.
Dengan melonjaknya harga jagung, gandum dan kedele juga diprediksi
menyulut spekulasi petani produsen besar di Amerika Serikat untuk semakin intensif
dan berkonsentrasi mengelola komoditasnya sebagai pasokan bahan baku biofuel.
Laporan juga mengestimasi bahwa kenaikan energi dan pupuk hanya
menyebabkan kenaikan 15 persen atas harga pangan dunia, sedangkan biofuel yang
diestimasikan bertanggungjawab atas kenaikan sampai dengan 75 persen terhadap
melonjaknya harga pangan.

Alternatif atau Ancaman


Isu dan popularitas pilihan sumber bahan baku untuk biofuel juga perlu
dicermati. Nampaknya perlu adanya kebijakan yang mengatur pemilihan bahan baku
biofuel yang mengarahkan semaksimal mungkin untuk dihindarkan penggunaan
bahan baku yang juga sumber pangan karena sangat bersiko dan akan menjadikan
persaingan dengan penyediaan pangan nasional.
Pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan pesisir dan daerah tandus yang
kurang sesuai untuk produksi pangan dengan introduksi komoditas sumber energi
yang tahan lingkungan kritis seperti tanaman jarak atau pemanfaatan limbah industri
pertanian seperti limbah pabrik pengolahan CPO serta pemanfaatan biomassa yang
tersedia melimpah akan menjadi strategi alternatif bagi pengembangan biofuel
nasional di masa depan.
Krisis energi yang juga bersamaan serta saling mempengaruhi dengan krisis
pangan akan menjadi ancaman serius bagi Indonesia kalau kita tidak hati-hati memilih
strategi dan insentif kebijakan yang tepat. Namun pilihan kebijakan yang tepat dengan

-4-
mempertimbangkan potensi sumber daya nasional termasuk dalam merancang bahan
baku biofuel akan satu menjadi solusi krisis energi di tanah air.
Pemanfaatan sumber bahan baku yang tersedia melimpah seperti biomasa atau
promosi pengembangan komoditas sumber minyak nabati di lahan-lahan marginal
nampaknya akan menjadi pilihan yang baik dalam pengembangan biofuel serta
mempunyai potensi yang sangat rendah untuk berkompetisi dengan sumber pangan.
Kebijakan ini akan memacu produksi energi alternatif biofuel tanpa mengancam
ketersediaan pangan nasional.
Dampak krisis energi dan krisis pangan mestinya juga dapat menjadi momentum
dan peluang bagi kebangkitan pertanian nasional jika kita mampu mewujudkan
kebijakan-kebijakan yang berpihak dan menggairahkan petani untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani serta memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia secara
bijaksana dan produktif. Kita tunggu kebijakan dan implementasi pengembangan
biofuel yang mulai berjalan, apakah akan menjadi solusi energi alteratif yang
terbarukan ataukah justru menjadi ancaman ketahanan pangan nasional.

-5-

Anda mungkin juga menyukai