Anda di halaman 1dari 15

TINGKAT AIR TERSEDIA DAN INTERVAL PENAMBAHAN AIR Mar 27, '08

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BABY CORN 1:07 PM


(HASANUDDIN YUSUF) for everyone

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air untuk keperluan usaha pertanian akan semakin terbatas, yang dengan

sendirinya akan menjadi faktor penghambat utama dari produksi tanaman yang

dibudidayakan pada masa yang akan datang. Petani sebagai salah satu kelompok

pengguna air terbesar perlu mendapatkan informasi dan penyadaran akan perlunya

bertani yang hemat air. Dengan mengubah pola pikir yang menjadikan air sebagai faktor

produksi yang dianggap harus tersedia dengan sendirinya setiap musim tanam, ke arah

yang menitikberatkan air sebagai sarana produksi yang terbatas ketersediaannya.

Sehingga petani akan menyadari bahwa penggunaan air haruslah digunakan secara hemat

dan efisien.

Baby corn yang biasanya ditanam setelah penanaman padi di lahan tadah hujan

atau di lahan kering (kadang dijadikan sebagai hasil sampingan dari pertanaman jagung)

sering dihadapkan pada permasalahan tentang ketersediaan air. Sehingga diduga sebagai

salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya produksi per luasan lahan dari suatu

pertanaman baby corn di Indonesia. Ditambah lagi oleh terbatasnya penggunaan varietas

yang berdaya hasil tinggi, baik yang bersari bebas maupun hibrida, penggunaan jarak

tanam yang tidak teratur (khususnya di lahan kering), dan pemupukan yang belum

didasarkan atas ketersediaan unsur hara dalam tanah dan kebutuhan tanaman, misalnya
dengan pemupukan urea (N) yang berlebihan tanpa dibarengi dengan pemupukan P dan

K (Anonim, 2008).

Rendahnya produksi tersebut terlihat dari produktivitas tanaman jagung dan baby

corn di Indonesia yaitu sebesar 34,50 kw ha-1 dan Sulawesi Selatan sebesar 24,19 kw ha-1

(Biro Pusat Statistik, 2005). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa produksi baby corn

masih tergolong rendah untuk memenuhi permintaan pasar maupun aspek kontinyuitas

dari produksi yang dinilai belum stabil, sehingga kadang tidak tersedia produksi yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sementara baby corn permintaannya di pasar

domestik maupun di luar negeri semakin bertambah. Di Eropa misalnya, setidaknya

dibutuhkan 600 ton per bulan baby corn yang siap diimpor dari negara-negara penghasil

(Tim Penulis PS, 2002).

Produksi maksimal baby corn yang dicapai pada tahun 1997 oleh PT. Nusantara

Agroswadaya Industri (NAI) yaitu sebesar 5,3 t ha-1 pada lahan basah atau sawah. Hasil

yang dicapai di tingkat petani masih berkisar 1-3 t ha-1 (Rukmana, 2000). Sedangkan

produksi baby corn di Brebes pada tahun 2001, diperoleh hasil untuk luasan 1 ha sebesar

1 ton jagung kupasan (Anonim, 2001).

Tanpa mengabaikan hasil sampingan tanaman jagung, kini banyak petani

menanam baby corn secara khusus. Meskipun pemeliharaannya lebih sulit daripada

jagung biasa, namun banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha penanaman

baby corn. Keuntungan itu antara lain karena umur panen yang lebih cepat serta

kerapatan populasi per luasan tanam yang lebih besar. Selain daripada itu akan
meringankan beban petani, karena ternak lebih menyukai sisa hijauan yang berasal dari

tanaman itu sebagai makanannya karena lebih mudah dicerna.

Selain itu kandungan gizi disetiap 100 g bagian baby corn yang dapat dikonsumsi

mengandung 89,0 g kadar air, 0,2 g lemak, 1,90 g protein, 8,20 g karbohidrat, 0,60 g abu,

28,0 mg kalsium, 86,0 mg fosfor, 0,1 mg besi, 64,0 IU vitamin A, 0,05 mg thiamin, 0,08

mg riboflavin, 11,0 g asam askorbat, dan 0,3 mg niasin (Anonim, 2006).

Besarnya potensi yang terlihat dari usaha tani baby corn ini tidak serta merta

menaikkan minat petani untuk membudidayakan sayuran jenis ini. Untuk mengatasi hal

tersebut maka perlu dilakukan sosialisasi mengenai peluang usaha tani yang sebaiknya

ditunjang oleh hasil-hasil penelitian yang diharapkan bisa membantu menaikkan produksi

di kalangan petani yang membudidayakan komoditas ini nantinya. Sebab, produksi suatu

pertanaman tidak hanya ditentukan oleh maraknya penanaman dari suatu komoditas,

tetapi perlu diperhatikan sinergi dari faktor lingkungan dan genetik dari tanaman.

Salah satu faktor lingkungan yang memberikan pengaruh yang besar terhadap

penurunan produksi suatu tanaman dan dari segi ekologi merupakan pembatas utama

pada lingkungan darat atau di lingkungan perairan adalah air (Odum, 1993). Peranan air

akan memberikan dampak negatif apabila terjadi kekurangan (deficit) atau kelebihan air

di lingkungan tanaman. Stres air (kekeringan) pada tanaman dapat disebabkan oleh dua

hal : (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran, dan (2) permintaan air yang

berlebihan oleh daun, dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air oleh akar

tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup (jenuh) (Hardjadi dan Yahya, 1987).
Karena adanya kebutuhan air yang tinggi dan pentingnya air, tumbuhan

memerlukan sumber air yang tetap untuk tumbuh dan berkembang. Setiap kali air

menjadi terbatas, pertumbuhan berkurang dan biasanya berkurang pula hasil panen

tanaman budidaya. Jumlah pengurangan hasil panen ini dipengaruhi oleh genotype,

kehebatan kekurangan air dan tingkat perkembangan (Gardner et al., 1991). Hasil

penelitian dari Shaw (1983) dan Aldrich et al., (1975) dalam Anonim (1996),

menunjukkan bahwa setiap penambahan 25 mm air ke dalam tanah, akan memberikan

hasil biji jagung 600-1000 kg ha-1. Lanjut dikemukakan bahwa jagung membutuhkan air

kira-kira 372 kg per 1 kg jagung kering, sementara untuk sorgum membutuhkan air 271

kg untuk hasil yang sama.

Hasil penelitian lain yang dilakukan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan oleh

Faridah (2003), menunjukkan besarnya nilai kebutuhan air tanaman jagung pada berbagai

umur tanam bervariasi antara 1,98 sampai 7,22 mm hari-1. Sedangkan penelitian

mengenai kebutuhan air tanaman sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) yang dilakukan

oleh Prabowo et al (1999), menunjukkan bahwa kebutuhan air minimum per musim bagi

tanaman sorgum adalah 264 mm per musim dengan produksi 0,97 t biji sorgum ha-1 dan

kebutuhan maksimalnya adalah 488 mm per musim dengan produktivitas 3,27 t biji

sorgum ha-1.

Hal tersebut menggambarkan bahwa ketersediaan air bagi tanaman sangatlah

penting untuk diketahui. Cara mengetahui besarnya kebutuhan air suatu tanaman dapat

dilakukan dengan menumbuhkan tanaman pada kondisi lingkungan terkontrol (dengan

penggunaan rumah kaca). Hal ini dilakukan agar penentuan pemberian dan kehilangan air
pada suatu tanaman, dapat lebih mudah diketahui. Namun memiliki kekekurangan, sebab

bias dari percobaan dengan lingkungan terkontrol kadangkala berbeda bila nantinya

ditumbuhkan di lingkungan luar yang mana pengaruh unsur-unsur abiotik seperti suhu,

cahaya, tanah, dan air yang lebih kompleks berikut kompetisi yang terjadi baik secara

internal maupun secara eksternal yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dan

perkembangan suatu tanaman.

Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengetahui kebutuhan air bagi

suatu tanaman yaitu dengan mendasarkan kebutuhan air dengan suatu konsep air tersedia.

Air tersedia, merupakan perbedaan antara jumlah air dalam tanah pada kapasitas lapang

(field capacity) dan jumlah air dalam tanah pada persentase perlayuan permanen

(permanent wilting point) (Gardner et al, 1991). Alasan penggunaan konsep ini

disebabkan oleh mudahnya penentuan kisaran nilai air tersedia oleh tanah sebagai media

tanam.

Penelitian dari Wuryantari et al, (1995) dengan menumbuhkan dua varietas

sorgum manis pada berbagai jumlah air yang diberikan, yaitu masing-masing 120%,

100%, 80%, 60%, dan 40% kapasitas lapang menunjukkan laju pertumbuhan dan

produksi terbaik diperoleh pada kisaran air antara 60-80% dari kapasitas lapang. Hal ini

mempertegas kedudukan air sebagai salah satu faktor lingkungan yang penting

diperhatikan, karena air merupakan penyebab utama variasi hasil tanaman, terutama

didaerah tropik seperti Indonesia (Hardjadi dan Yahya, 1987).


Pentingnya air tidak hanya dilihat dari sisi jumlah air yang tersedia saja, tetapi

lebih pada pendistribusian air tersebut. Hal ini penting kaitannya dengan kebutuhan

tanaman yang berbeda, mulai pada saat tanaman berkecambah hingga panen yang

sekaligus mengakhiri siklus hidup dari tanaman yang dibudidayakan. Untuk

mengatasinya, diperlukan penambahan air (baik dari curah hujan maupun dari sumber

irigasi) yang intervalnya disesuaikan dengan pola kebutuhan tanaman agar air yang

digunakan untuk mengganti kehilangan air dapat lebih efisien penggunaanya. Sehingga

sumber daya air kita yang semakin hari semakin menurun akibat efek pemanasan global

dapat digunakan dengan lebih bijaksana dan terarah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

tingkat air tersedia dan interval penambahan air yang ideal terhadap pertumbuhan dan

produksi baby corn.


Hipotesis

1. Terdapat salah satu tingkat kadar air tersedia yang memberikan pengaruh terbaik

terhadap pertumbuhan dan produksi baby corn.

2. Terdapat salah satu interval penambahan air yang memberikan pengaruh terbaik

terhadap pertumbuhan dan produksi baby corn.

3. Terdapat interaksi antara tingkat kadar air tersedia dan interval penambahan air yang

memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi baby corn.

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat air tersedia dan interval

penambahan air yang ideal bagi pertumbuhan dan produksi tanaman baby corn.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam efisiensi

penggunaan air pada pertanaman baby corn khususnya pada lahan kering.
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanaman Baby Corn

Baby corn sebenarnya adalah nama lain dari tongkol jagung yang dipetik pada

waktu masih muda, sehingga struktur dan fungsi yang ada pada baby corn sama dengan

tanaman jagung (Tim Penulis PS, 2002).

Setelah biji ditanam, biji akan menyerap air dari sekelilingnya dan calon tanaman

mulai tumbuh. Jika ujung koleoptil muncul dari permukaan tanah, maka pemanjangan

ruas yang pertama berhenti dan daun mulai muncul dari koleoptil. Di bawah kondisi

panas dan lembab, ujung koleoptil muncul 4-5 hari setelah tanam. Sebaliknya pada

kondisi dingin dan kering, koleoptil baru muncul dua minggu atau lebih. Selain oleh

kondisi lingkungan tersebut, perkecambahan dipengaruhi juga oleh dalamnya penanaman

dan jenis tanah (Muhadjir dalam Subandi et al., 1988).

Menurut Muhadjir dalam Subandi et al., (1988), stadia pertumbuhan sebelum

keluar bunga betina (silking) dapat diidentifikasi dengan menghitung jumlah daun yang

telah sempurna (telah terlihat pangkal daunnya). Stadia pertumbuhan setelah silking

dapat diidentifikasi pada perkembangan bijinya. Stadia pertumbuhan mulai tanam sampai

dengan masak fisiologis disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Stadia pertumbuhan jagung

Kode
Keterangan
Stadium
Stadia 0 Saat tanam sampai pemunculan dari permukaan tanah
Stadia 0.5 Daun ke-2 telah tumbuh sempurna
Daun ke-4 telah tumbuh sempurna, calon bunga jantan sudah mulai
Stadia 1.0 dibentuk pada ujung calon batang, tetapi masih berada di bawah
permukaan tanah
Daun ke-6 telah tumbuh sempurna, ruas-ruas di bawah daun ke-5, 6,
Stadia 1.5 dan 7 mulai memanjang, ujung batang (titik tumbuh) sudah berada
di atas permukaan tanah
Daun ke-8 telah tumbuh sempurna, laju pertumbuhan daun dan
Stadia 2.0
batang cepat, calon bunga jantan berkembang cepat
Daun ke-10 telah tumbuh sempurna, calon bunga betina mulai
Stadia 2.5 terbentuk dan berkembang pada buku ke 6-8 di atas permukaan
tanah
Daun ke-12 telah tumbuh sempurna, empat helai daun terbawah
mulai mati, batang dan calon bunga jantan tumbuh dengan cepat,
Stadia 3.0
akar udara mulai tumbuh pada buku pertama di atas permukaan
tanah, calon bunga betina berkembang cepat
Daun ke-14 telah tumbuh sempurna, perkembangan bunga jantan
Stadia 3.5 mendekati ukuran penuh, rambut-rambut pada bunga betina mulai
berkembang, akar-akar udara dari buku ke 2 mulai berkembang
Daun ke-16 telah tumbuh sempurna, ujung bunga jantan mulai
Stadia 4.0 muncul, ruas-ruas batang dan rambut-rambut bunga betina
memanjang dan berkembang cepat
Rambut-rambut mulai muncul, polen mulai terbentuk, daun dan
bunga jantan telah sempurna, pemanjangan ruas-ruas batang
Stadia 5.0
terhenti, tangkai tongkol dan kelobot mendekati pertumbuhan
penuh, seluruh rambut akan terus memanjang sampai dibuahi
Disebut stadia blister; tongkol, kelobot dan janggel telah sempurna,
Stadia 6.0 pati mulai diakumulasi ke endosperm, bobot kering biji meningkat
dan akan berlangsung sampai stadia 9.0
Disebut stadia masak susu (dough), biji berkembang dengan cepat,
Stadia 7.0
pembelahan sel pada lapisan epidermis dari epiderm terhenti
Stadia pembentukan biji, beberapa biji mulai sempurna terbentuk, di
Stadia 8.0 dalam embryo, radikal, calon daun dan calon akar seminal mulai
terbentuk
Seluruh biji sudah terbentuk sempurna, embryo sudah masak,
Stadia 9.0
akumulasi bahan kering dalam biji akan segera terhenti
Stadia masak fisiologis, akumulasi bahan kering sudah terhenti,
Stadia 10.0
kadar air dalam biji menurun, kelobot luar mulai mengering

Kebutuhan air aktual tanaman jagung akan mengalami peningkatan seiring

dengan perkembangan fisik tanaman dan proses generatif. Pada fase awal pertumbuhan,

kebutuhan air berkisar 1,73 mm per hari, kemudian meningkat pada fase vegetatif sampai
berkisar 4,98 mm per hari, dan selama proses pembungaan mencapai 6,24 mm per hari,

kemudian menurun pada saat panen dengan laju kebutuhan air tanaman jagung berkisar

2,39 mm per hari. Koefisien tanaman (Kc) mencapai nilai tertinggi pada fase

pembungaan antara 1,00 sampai 1,13. Pemberian air 420 mm per musim secara kontinyu

pada semua fase pertumbuhan memberikan produksi tertinggi yaitu 6,703 ton ha-1

(Anonim, 1996).

Perbedaan utama baby corn dengan jagung terletak pada umur panennya.

Pemanenan baby corn dilakukan sebelum terjadi penyerbukan atau pada saat tongkol

utama belum berkembang penuh (Tabel 1. ditunjukkan pada stadia 5.0). Adapun ciri fisik

tongkol baby corn yang siap panen adalah panjang rambut antara 3-5 cm, warna rambut

putih sampai kemerah-merahan dan klobot pada tongkol telah berwarna hijau (Rukmana,

2000). Pembungaan pada jagung terjadi pada saat tanaman berumur 7-9 minggu (Sutoro

et al, dalam Subandi et al, 1988). Menunda pemetikan hanya dua atau tiga hari,

memastikan hasil yang lebih keras dan kering. Tongkol yang dipetik lambat akan kurang

manis karena gulanya diubah menjadi pati pada waktu proses kemasakan berlangsung

(Williams dan Peregrine, 1993).

Perawatan khusus yang penting dilakukan pada usaha tani baby corn adalah

pembuangan bunga jantan (detasselling), yang dilakukan setelah bunga jantan keluar

tetapi belum sempat mekar. Hal ini dimaksudkan agar penyerbukan tidak terjadi,

sehingga energi yang digunakan untuk mekarnya bunga jantan dan penyerbukan

dialihkan untuk perbanyakan tongkol. Kira-kira 5-7 hari setelah pembuangan bunga
jantan tongkol pertama akan muncul. Paling lambat dua hari kemudian tongkol pertama

sudah harus dipanen (Tim Penulis PS, 2002).

Idealnya, lahan penanaman baby corn tidak terlalu jauh dengan tempat pemasaran

karena baby corn memiliki masa kesegaran yang pendek. Dalam waktu yang tidak terlalu

lama, mutu baby corn dapat menurun bila tidak segera ditangani. Umumnya baby corn

dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0-1.300 meter dari atas permukaan laut dan

dapat hidup baik di daerah beriklim panas maupun dingin, dengan temperatur antara 23 0C

- 270C. Suhu minimum yang menghambat pertumbuhan jagung adalah 30C dan suhu

maksimum 450C (Tim Penulis PS, 2002).

Intensitas cahaya matahari merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan

tanaman baby corn. Selama pertumbuhannya harus mendapat sinar matahari yang cukup.

Tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil yang

kurang baik (Sutoro et al, dalam Subandi et al, 1988). Baby corn menghendaki tanah

yang gembur, subur, berdrainase baik dengan pH 5,5 – 7,0 (Tim Penulis PS, 2002).

Hubungan Tanah - Air - Tanaman

Air dibutuhkan tanaman pada berbagai fungsi yaitu (1) air merupakan bagian

yang esensil bagi protoplasma dan membentuk 80-90% bobot segar jaringan yang

tumbuh aktif, (2) air adalah pelarut, di dalamnya terdapat gas-gas, garam-garam, dan zat-

zat terlarut lainnya, yang bergerak keluar masuk sel, dari organ ke organ dalam proses

transpirasi, (3) air adalah pereaksi dalam fotosintesis dan pada berbagai proses hidrolisis,

dan (4) air esensil untuk menjaga turgiditas, diantaranya dalam pembesaran sel,
pembukaan stomata dan menyangga bentuk (morfologi) daun-daun muda atau struktur

lainnya yang berlignin sedikit (Hardjadi dan Yahya, 1987). Air juga berpengaruh penting

pada sifat fisik tanah. Kandungan air dalam tanah sangat berpengaruh pada konsistensi

tanah, dan kesesuaian tanah untuk diolah. Begitu pula variasi kandungan air

mempengaruhi daya dukung tanah (Pairunan et al, 1985).

Sistem yang menggambarkan tingkah laku air dan pergerakan air dalam tanah dan

tubuh tanaman didasarkan atas suatu hubungan energi potensial. Air mempunyai

kapasitas untuk melakukan kerja, yaitu akan bergerak dari daerah dengan energi potensial

tinggi ke daerah dengan energi potensial rendah (Gardner et al, 1991). Dalam fisiologi

tanaman, adalah hal biasa untuk menunjukkan energi bebas yang dikandung air dalam

bentuk potensial air (ψ) yang didefinisikan sebagai energi bebas per unit volume air.

Dengan menganggap bahwa potensial air murni adalah nol pada kondisi standar.

Potensial air tanah dan tanaman dinyatakan dalam unit tekanan, baik dalam bar atau

Pascal (Pa), dimana 1 bar = 105 Pa (Fitter dan Hay, 1994).

Perakaran tanaman tumbuh ke arah yang lembap dan menarik air sampai tercapai

potensial air kritis dalam tanah. Air yang diserap dari tanah oleh akar tanaman disebut air

yang tersedia. Air tersedia merupakan perbedaan antara jumlah air dalam tanah pada

kapasitas lapang (air yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak mengalir ke bawah

karena gaya gravitasi) dan jumlah air dalam

tanah pada persentase perlayuan permanen (pada persentase kelembapan tanah ini

tanaman akan layu dan tidak segar kembali dalam atmosfer dengan kelembapan relatif

100%) (Gardner et al, 1991).


Air tersedia berbentuk larutan, yang mengandung berbagai unsur hara yang

diperlukan oleh tanaman misalnya N, K, Ca, Mg, dan S (Najiyati dan Danarti, 1996).

Jansen et al, (1990) dalam Anonim (1996) menyatakan bahwa secara umum kapasitas

lapang terjadi pada tekanan potensial tanah berkisar -10 KPa atau -0,1 bar (tekstur tanah

kasar) dan -20 KPa atau -0,2 bar untuk tekstur tanah sedang dan halus. Makin tinggi

kandungan liat makin tinggi pula kandungan air tanah pada kapasitas lapang.

Keberadaan air dalam tanah tergantung pada iklim yang ditekankan pada curah

hujan. Kebutuhan air dapat dipenuhi oleh air hujan alami atau hujan buatan maupun air

pengairan. Kebutuhan air total bagi pertumbuhan tanaman secara umum berkisar dari

500–700 mm selama satu musim. Pertumbuhan vegetatif dan reproduktif menunjukkan

tanggap yang jelas akan air. Namun, air yang banyak dalam tanah akan mengurangi kadar

oksigen dalam tanah apabila seluruh pipa kapiler tanah terpenuhi oleh air (Moenandir,

2004). Oleh sebab itu, adanya air dalam tanah belum tentu menjamin pertumbuhan

tanaman yang baik, sebab bila air berlebihan, tanah tidak mengandung udara lagi.

Padahal udara dalam tanah juga sangat diperlukan oleh tanaman. Akibatnya pertumbuhan

tanaman menjadi terganggu (Najiyati dan Danarti, 1996).

Air yang ada di dalam tanah dapat berkurang karena adanya penguapan,

perkolasi, atau diserap oleh tanaman. Apabila dalam jangka waktu tertentu tidak ada

penambahan air oleh hujan atau oleh irigasi maka tanah akan mengering dan tanaman

akan segera memperlihatkan pengaruhnya terhadap kekeringan tersebut. Mula-mula

tanaman akan layu pada siang hari dan segar kembali pada malam hari. Tetapi lama
kelamaan tanaman akan tetap layu baik siang maupun malam hari, bila tidak segera

disiram (Najiyati dan Danarti, 1996).

Air dalam tanaman berada dalam suatu keadaan aliran sinambung (kontinyu).

Kehilangan air mengakibatkan terhentinya pertambahan berat kering tanaman dan

kekurangan air yang terus menerus menyebabkan perubahan-perubahan dalam tanaman

yang tidak dapat balik dan mengakibatkan kematian. Hal ini terjadi sangat cepat dalam

keadaan panas dan kering untuk tanaman-tanaman yang strukturnya tidak sesuai untuk

mencegah kehilangan air (Hardjadi, 1993). Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan

pengairan yaitu pemberian air secara sengaja dan teratur pada sebidang lahan tanaman

(Moenandir, 2004).

Tujuan pengairan ialah menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman. Umumnya

pemberian air disesuaikan dengan periode kritis tanaman. Kebutuhan air bagi pengairan

dapat ditentukan oleh adanya penghitungan kelembaban air tanah dan air yang tersedia,

serta penghitungan tingkat ketersediaan air (oleh data meteorologi). Dengan kata lain,

pengairan akan efektif apabila diberikan sebelum kelembaban tanah dapat menghambat

pertumbuhan tanaman. Jelasnya air diberikan pada 60% dari air yang tersedia artinya

60% kadar air diantara kapasitas lapang dan titik layu permanen (Moenandir, 2004).

Pengurangan hasil akibat kekurangan air telah lama diteliti oleh para peneliti di

bidang agronomi. Untuk hasil panen biji, ketepatan waktu kekurangan air itu sama

pentingnya dengan tingkat kekurangan tersebut. Dimana spesies tertentu seperti jagung,

apabila mengalami kekurangan air yang hebat selama 4 hari pada tingkatan tertentu dari

daur reproduktif dan dua minggu berikutnya merupakan periode paling peka terhadap
kekurangan air. Komponen hasil yang menunjukkan penurunan paling drastis adalah

jumlah biji per tongkol (Gardner et al, 1991).

Dengan kata lain, ketersediaan air dalam tanah akan mempengaruhi besarnya

potensial air dalam daun. Berkurangnya potensial air dalam daun menurunkan laju

fotosintesis. Hal ini berhubungan dengan kombinasi beberapa proses seperti : (1)

penutupan stomata secara hidroaktif akan mengurangi suplai CO2, (2) dehidrasi kutikula,

dinding epidermis, dan membran sel, sehingga mengurangi aviditas dan permeabilitasnya

terhadap CO2, (3) bertambahnya tahanan sel mesofil daun terhadap pertukaran gas, dan

(4) menurunnya efisiensi fotosintesis. Hal ini berhubungan dengan proses biokimia,

aktivitas enzim dalam sitoplasma, dimana fotosintesis merupakan proses hidrolisis yang

memerlukan air (Hardjadi dan Yahya, 1987).

Anda mungkin juga menyukai