Anda di halaman 1dari 4

Komunikasi Ikhwan dan Akhwat

by ridwansyahyusufachmad
Bagaimana mensolidkan kinerja ikhwan dan akhwat , karena selama ini sering kali
antara ikhwan dan akhwat bermaksud menjaga interaksi, namun terkadang ada hal hal
yang seharusnya dikomunikasikan namun tidak di lakukan sehingga seringkali muncul
masalah atau kesalahpahaman ikhwan dan akhwat ?Masalah klasik yang hampir tidak
pernah usai hingga saat ini, bagaimana agar komunikasi ikhwan dan akhwat berjalan baik
dengan tetap menjaga hijab. Saya masih berpikir kenapa masalah ini bisa muncul. Akan
tetapi ketika saya mencoba merenung, kejadian ini bisa terjadi akibat idealisme yang
masih tinggi dari para kader dakwah yang betul betul ingin menjaga hatinya dari segala
fitnah yang bisa merusak keberkahan dakwah. Tentu ini adalah hal positif bagi dakwah
kampus yang kita cintai ini. Tapi perlu kita evaluasi terkait apakah batasan yang terlalu
rigit ini membuat komunikasi terhambat dan berakibat pada menurunnya produktifitas
dakwah. Jika memang tidak berakibat negatif, tentu itu merupakan kabar baik, dan
mungkin Anda bisa memberikan solusi yang baik untuk mengatasi kendala ini. Saya akan
mencoba memaparkan pandangan saya terkait problematika ini dengan latar belakang
saya di kampus “ikhwan” ITB. Ketika membaca buku men from mars and women from
venus, saya mulai sedikit memahami karakter ikhwan dan akhwat dari segi psikologi.
Saya mencoba melalukan beberapa pengamatan kepada teman-teman saya di ITB terkait
fenomena ini. Rapat demi rapat, kepanitiaan demi kepantiaan hingga sekarang dalam
badan pengurus harian GAMAIS, saya baru memahami bagaimana seorang pria berpikir
tentang perempuan dan perempuan berpikir tentang pria.Untuk para pria, perlu Anda
pahami bahwa perempuan relatif lebih peka dan sensitif ketimbang pria. Perempuan lebih
tertata dalam menyusun agenda, maka sering kita lihat perempuan lebih rapih dalam
segala hal. Karena mereka melakukan sesuatu dengan perencanaan, baik itu jangka
pendek atau panjang. Perempuan yang bekerja biasanya lebih rajin ketimbang pria, ini
mengapa kita mulai melihat para perempuan yang telah menjadi profesional atau pejabat,
karena mereka rajin dalam menjalankan tugas. Satu hal yang perlu diingat oleh para pria
adalah perempuan tidak suka di khianati dan perempuan itu butuh kepastian. Untuk para
perempuan, perlu saya sampaikan bahwa pria memang cenderung egois dan self-oriented.
Seorang pria lebih bisa menghabiskan waktunya sendirian ketimbang perempuan. Dan
seorang pria ketika sudah masuk keduniannya akan sulit untuk diganggu. Sebutlah
seorang pria yang sedang badmood dan ia memilih untuk sendiri untuk mengembalikan
mood nya, maka ia akan sangat terganggu sekali jika ada yang menggangu, bahkan
sebuah sms bisa membuat mood nya lebih parah. Sehingga seringkali ia mengabaikan
panggilan yang ada. Saya menyebutnya, pria mempunyai gua sendiri yang dimana hanya
ia yang memahaminya, dan seorang perempuan sepertinya harus menunggu pria ini
keluar gua nya baru bisa memanggil pria ini. Pria relatif lebih ingin diperhatikan dan
dipahami, karena sedikit ”sentuhan” saja bisa membuat seorang pria berpikir terbalik 180-
o. Oleh karena itu, seorang perempuan kiranya perlu memahani mengenai kebutuhan

dasar pria ini untuk membentuk pola komunikasi yang baik. Pada kasus nyata, bisa kita
ambil contoh dua buah kisah yang saya akan beri pandangan point of view yang harus
diambil. Kisah pertama, sekelompok ikhwan dan akhwat yang berada dalam sebuah
kepanitiaan. Dimana mereka biasa menjalankan rapat rutin untuk membahas segala
sesuatu. Pada suatu ketika, ketua panitia dihadapi pada sebuah kondisi dimana butuh
keputusan cepat, padahal saat itu waktu sudah menunjukan pukul 19.00, dan keputusan
harus sudah ada malam itu juga. Sehingga ketua panitia ( ikhwan tentunya ), memutuskan
untuk mengumpulkan seluruh panitia ikhwan untuk membahas masalah tersebut, dan
terselesaikanlah masalah itu. Esok siangnya seluruh panitia rapat kembali ( ikhwan dan
akhwat ), dan ketua panitia menceritakan kejadian malam hari itu, setelah mendengar
cerita itu, pihak panitia akhwat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan,
akhwat merasa hanya sebagai pelaksana keputusan dan berbagai keluhan lain. *pada
kasus ini akhwat merasa di khianati dalam arti tidak diberi kepercayaan untuk ikut
berpikir bersama, atau merasa dilangkahi dalam mengambil keputusan.*pria ketika sudah
mengerjakan sesuatu relatif keasikan sendiri sehingga lupa bahwa ada pihak akhwat yang
perlu dilibatkanKisah kedua, seorang ketua muslimah di sebuah lembaga dakwah
mencoba meng-sms seorang ketua LDK di waktu pagi hari ( sekitar waktu tahajud ),
akhwat ini mengetahui bahwa sangat tidak ahsan untuk meng-sms seorang ikhwan pada
waktu tersebut, akan tetapi, karena sebuah masalah yang perlu dibahas segera, dengan
segala pertimbangan dan kebulatan hati, ia memutuskan untuk meng-sms ketua LDK ini
dan meminta diadakan rapat mendadak pagi itu untuk membahasa hal yang penting.
Akan tetapi, dikarenakan ketua LDK ini sedang dilanda masalah pribadi yang membuat
dirinya tidak ingin diganggu untuk sementara waktu, maka ia tidak membalas sms ketua
muslimahnya. Mungkin dikarenakan, berbagai miscall yang dilontarkan oleh akhwat ini,
ketua LDK ini akhirnya memutuskan untuk membalas sms akhwat ini dengan asalan saja
dan seakan menggantungkan keputusan. Hingga akhirnya akhwat ini mengancam sesuatu
sehingga ketua LDK itu memutuskan untuk mengadakan rapat di pagi harinya. Setelah
menjalani rapat, akhwat ini meminta berbicara terhadap ketua LDK, dan mengungkapkan
kekecewaannya kepada ketua LDK ini dan mengatakan bahwa ketidakpastian yang ketua
LDK berikan membuat ia tidak tenang.*perempuan tidak suka ketidakpastian yang
berlarut, butuh ketegasan sikap. Saya merekomendasi kepada para pria untuk sesegera
mungkin membalas sms akhwat dengan baik untuk menghindari konflik seperti
diatas.*pria yang sedang dilanda masalah tidak ingin diganggu, bahkan ketika kadar
masalahnya cukup tinggi, ia tidak ingin diganggu oleh amanah dakwah, ia lebih memilih
sendiri dan tidak bertemu dengan orang orang untuk sementara waktuDengan memahami
karakter masing-masing ini, saya berharap Anda dapat mencoba mulai mengaplikasikan
hal untuk memahami kekurangan masing-masing. Bermula dari pemahaman ini,
selanjutnya saya akan memaparkan bagaimana cara lain untuk membangun komunikasi
yang baik dengan tetap menjaga batasan yang ada.

Proses komunikasi yang efesienKomunikasi yang dilakukan antara ikhwan dan akhwat
perlu diefesienkan sedemikan rupa, agar tidak terjadi fitnah yang mungkin bisa terbentuk.
Saya akan mengambil contoh sms seorang ikhwan ke akhwat, dalam dua versi dengan
topik yang sama, yakni mencocokan waktu untuk rapat.
Versi 1
Ikhwan : assalamu’alaikum ukhti, bagaimana kabarnya ? hasil UAS sudah ada ?
J Akhwat : wa’alaikum salam akhie, alhamdulillah baik, berkat do’a akhie juga, hehehe,
UAS belum nih, uhh, deg deg an nunggu nilainya, tetep mohon doanya yah !!
Ikhwan : iya insya Allah didoakan, oh ya ukhti, kira kira kapa yah bisa rapat untuk bahas
tentang acara ?
Akhwat : hmhmhm… kapan yah ? akhie bisanya kapan, kalo aku mungkin besok siang
dan sore bisaI
khwan : okay, besok sore aja dech, ba’da ashar di koridor timur masjid, jarkomin akhwat
yang lain yah
Akhwat : siap komandan, semoga Allah selalu melindungi antum
Ikhwan : sip sip, makasih yah ukhti, GANBATTE !! wassalamu’alaikum
Akhwat : wa’alaikum salam

Versi 2
Ikhwan : assalamualaikum, ukh, besok sore bisa rapat acara ditempat biasa ? untuk bahas
acara
Akhwat : afwan, kebetulan ada quis, gimana kalo besok siang aja?
Ikhwan : insya Allah boleh, kita rapat besok siang di koridor timur masjid, tolong jarkom
akhwat, syukron, wassalamu’alaikum

Dari dua contoh pesan singkat ini kita bisa melihat bagaimana pola komunikasi yang
efektif dan tetap menjaga batasan syar’i. Pada versi 1 kita bisa melihat sebuah
percapakan singkat via sms antara ikhwan dan akhwat yang bisa dikatakan sedikit “lebai”
( baca “ berlebihan ), sedangkan pada versi 2 adalah percakapan antara ikhwan dan
akhwat yang to the point, tanpa basa basi. Sebenarnya bagaimana kita membuat batasan
tergantung bagaimana kita membiasakannya di lembaga dakwah kita saja. Perlu adanya
leader will untuk membangun budaya komunikasi yang efesien dan “secukupnya”.Dalam
hal percakapan langsung, seorang ikhwan dan akhwat sangat diharapkan untuk menjauhi
percapakan berdua saja, walau itu di tempat umum. Saya menyarankan agar salah satu
ikhwan atau akhwat meminta muhrimnya (sesama jenis kelamin) untuk menemaninya.
Dengan itu diharapkan pembicaraan menjadi terjaga dan meminimalkan kesempatan
untuk khilaf. Dengan melakukan pembicaraan yang secukupnya ini sebetulnya dapat
lebih membuat pekerjaan menjadi lebih cepat dan efektif. Karena setiap pembicaraan
yang dilakukan tidak ada yang sia sia, semua membahas tentang agenda dakwah yang
dilakukan.Selain itu perlu kiranya kita mengurangi waktu ikhwan dengan akhwat untuk
bekerja bersama pada waktu dan tempat yang sama. Sebutlah untuk pekerjaan mengepak
sembako untuk baksos, saya merekomendasikan agar kegiatan dilakukan terpisah. Jangan
ikhwan dan akhwat sama sama melakukan sebuah aktifitas, contohnya lagi ikhwan dan
akhwat bersama sama menimbang gula, ikhwan memasuki gula ke plastik dan akhwat
menimbang dan mengikat plastik.

Saya merekomendasikan agar hal seperti ini tidak terjadi, karena proses ini
memungkinkan adanya kesempatan untuk khilaf. Kita tidak akan pernah mengetahui isi
dari pikiran dan hati seseorang. Oleh karena itu diperlukan regulasi yang tepat untuk
menjaga kader dari hal hal yang bisa merusak keberkahan dakwah. Untuk kasus kerja
bersama baksos, bisa saja menjadi ikhwan mengerjakan di bagian pengepakkan beras dan
gula, akhwat mengerjakan pengepakkan susu dan minyak.

Regulasi tidak tertulis

Adanya regulasi tidak tertulis, atau mungkin tertulis jika cocok dengan budaya di LDK
masing-masing, akan tetapi saya merekomendasikan kepada Anda agar regulasi terkait
hubungan ikhwan dan akhwat bersifat tidak tertulis saja. Regulasi ini adalah ketentuan
yang “memaksa” para kader untuk mengikutinya, dan bentuk sangksi yang diberikan
berupa sangksi moral saja. bentuk regulasi ini seperti etika ketika rapat yang bisa
dimaktubkan dalam mekanisme rapat, di GAMAIS kami membuat beberapa ketentuan
rapat, yakni terkait posisi dan waktu rapat yang diperbolehkan, seperti hijab dengan jarak
2-3 meter antara ikhwan dan akhwat, rapat antara ikhwan dan akhwat tidak boleh
dilakukan setelah maghrib, dan sebagainya. Regulasi lain terkait, pembatasan hubungan
ikhwan akhwat melalui pertemuan tatap muka, sms, maupun telepon diatas pukul 21.00
hingga subuh, kecuali dalam keadaan darurat, dan lain-lain.Bentuk dan penerapan
regulasi ini perlu disesuaikan dengan kondisi kader di Lembaga dakwah. Saya memang
sedikit moderat terkait hal ini, sehubungan dengan jumlah kader baru yang semakin
membludak¸sehingga butuh waktu untuk pemahaman, akan tetapi bagi kader inti akan ada
ketentuan khusus.

Pemanfaatan media terbuka bersama


Media bersama yang dimaksud seperti mailing list (milist), papan komunikasi (pakom),
yahoo!conference, dan lainnya. Media ini bersifat terbuka dan bisa digunakan dan di
akses bersama, sehingga pembicaraan yang dilakukan akan seputar pada inti
permasalahan. Sebutlah pembicaraan pemimpin ikhwan dan akhwat seputar IP Kader,
dengan media terbuka bersama ini akan membuat mereka akan membahasa hanya tentang
IP kader dan solusinya. Akan tetapi jika pembicaraan tanpa media pembatasnya, maka
bisa jadi pembicaraan antara dua pemimpin ini menjadi curhat masalah IP mereka
masing-masing.

Penyesuaian dengan iklim Lembaga Dakwah


Dari semua kebijakan dan tata etika komunikasi ikhwan dan akhwat ini perlu adanya
wiseness dari pihak pemimpin untuk menyesuaikan dengan kondisi masa kampus dan
kader di Lembaga Dakwah. Jangan sampai komunikasi yang dilakukan antara ikhwan
dan akhwat justru membuat objek dakwah menjadi takut untuk bergabung bersama kita,
dan justru me-demarketisasi lembaga dakwah kita. Kebijakan yang diterapkan di
GAMAIS memang moderat, dan tidak terlalu rigit terkait hal ini. Pertimbangan yang
dilakukan mengingat GAMAIS sedang membangun pendekatan dan kepercayaan secara
masif kepada objek dakwah. Hal ini memang sedikit menuntut kami menjadi moderat
akan beberapa hal yang bisa di tolerir. Seperti rapat yang tanpa hijab fisik, lalu ikhwan
dan akhwat jika bertemu tidak selamanya harus saling membelakangi, cukup tidak
bertatapan, dan lain lain. Memang ini menjadi tantangan tersendiri untuk memastikan
kemoderatan ini tidak berdampak pada rusaknya keberkahan dakwah, akan tetapi kami
berhasil membangun image bahwa GAMAIS tidak angker dan eksklusif

Anda mungkin juga menyukai