Rancangan umum yang terkandung dalam agama dapat diungkapkan dalam beberapa
kalimat. Menurut sebuah ungkapan, “Sebagaimana kita mengerahkan segenap daya upaya
kita terhadap sebuah mobil, demikian pula halnya dengan agama dalam memperlakukan
manusia.”
Maksudnya; dalam memproduksi sebuah mobil, kita mesti melewati beberapa fase berikut:
1. Menemukan (jati diri) manusia. Seseorang yang lupa pada jati dirinya niscaya akan
kehilangan jalan, pembimbing, dan tujuan hidupnya. Dalam keadaan demikian, ia
telah menjelma menjadi seekor binatang. Tujuan hidup yang ada dalam pikirannya
hanyalah mencari dan memenuhi kesenangan dan kenikmatan duniawi serta materi. Ia
tak ubahnya seonggok mayat. Kebenaran apapun tidak akan sanggup menggoreskan
pengaruh pada diriinya. Ia menjadi begitu buas bak seekor serigala, licik seperti seekor
rubah, maling layaknya seekor tikus, sementara hatinya membatu. Karenanya, jati diri
yang hilang harus segera dicari dan ditemukan kembali, sehingga seseorang mampu
menemukan dan mengenali dirinya sendiri.
Salah satu upaya agama berkenaan dengan kondisi semacam itu adalah memberi
penjelasan kepada manusia tentang potensi dan kemampuan yang bersemayam dalam
dirinya. Selain itu, agama juga akan mengenalkan seseorang pada hakikat
keberadaannya sendiri.1 Dalam al-Quran, kita dapat menjumpai penjelasan Islam
tentang hakikat manusia. Al-Quran mengatakan:
● Engkau adalah khalifah (wakil) Allah di jagat alam ini. Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (al-Baqarah: 30)
● Segenap yang ada di langit dan di bumi diciptakan demi kepentinganmu. Tidaklah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu
apa yang di langit dan apa yang di bumi. (Luqman: 20)
● Engkau (manusia) adalah pemegang amanat Ilahi. Dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. (al-Ahzab: 72)
1
Muhsin Qiraati, Ushuluddin (Jakarta; Penerbit Cahaya, 2004), hlm 39
● Dalam dirimu bersemayam ruh Allah yang ditiupkan-Nya. Dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku. (al-Hijr: 29)
Melalui perumpamaan berbagai burung dan nasib yang menimpa orang-orang yang
merugi, al-Quran hendak memberi contoh dan teladan agar manusia mampu
mengetahui adanya sejumlah potensi dan kemampuan terpendam dalam dirinya.2
Sehingga ia bisa berfikir jernih dan bertanya kepada dirinya sendiri: “Jika kehidupan
saya ini hanya demi mengejar materi, berfoya-foya, dan memenuhi tuntutan nafsu
kebinatangan semata lantas apa gunanya berbagai kecerdasan, potensi, dan harpan
yang terdapat dalam diri saya?”
2. Mengeluarkan barang tambang (jati diri manusia) yang telah ditemukan tersebut.
Setiap manusia harus dibebaskan dari berbagai belenggu kelaliman, kebodohan,
penyimpangan, syirik, dan sejenisnya. “Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)
2
Muhsin Qiraati, Mencari Tuhan (Jakarta; Penerbit Cahaya, 2001), hlm 23