Anda di halaman 1dari 4

Haidar Bagir

“Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”

(Imam Ja’far al-Shadiq)

“Orang-orang yang paling rahim adalah yang memaafkan padahal sebetulnya ia


mampu membalas dendam”

(Imam Husayn)

“Agama adalah cinta dan cinta adalah agama”. Imam Ja’far sesungguhnya hanya sedang
mengungkapkan prinsip dasar, yang melandasi semua ajaran-ajaran dan prinsip agama
Islam. Memang, siapa bisa membantah bahwa di atas semuanya Islam adalah agama cinta?

Karena itu, apa saja yang dilakukan oleh para pendahulu agama ini tak mungkin dapat
dilihat dengan benar kecuali dengan kaca mata cinta. Bukan hanya ketika Nabi Saw
mengampuni orang-orang Tha’if yang memprosekuisnya, atau ketika ia memaafkan semua
kafir Quraisy yang menindasnya justru ketika ia gilang gemilang menaklukkan mereka di
Fath Makkah, tapi bahkan ketika ia Saw memerangi mereka. Penghukuman, peperangan,
bahkan pembunuhan adalah bukan saja bagian dari kecintaan kepada kemanusiaan dan
upaya menyelamatkannya dari kerusakan yang dibuat orang-orang yang telah menganiaya
diri (fitrah)-nya, tapi juga bagian dari kecintaan kepada pelakuknya. Ia harus dihukum
agar mendapat pelajaran demi perbaikan dirinya. Bahkan jika ada yang harus dibunuh,
maka tujuannya adalah mencegahnya dari lebih jauh menganiaya diri sendiri, yang akan
menyengsarakannya di dunia dan di kehidupan yang lain kelak setelah kematiannya.

Persis inilah yang dilakukan Imam Husayn ketika ia meninggalkan Makkah untuk pergi ke
Kuffah, dan akhirnya syahid di tengah perjalanan – Karbala – bersama nyaris semua
anggota keluarga dan segelintir pengikut setianya. Peristiwa Karbala, karena itu, pasti
bukan persoalan ambisi untuk berkuasa.

Imam Husayn, seperti ayahnya, pastilah seorang fataa. Seorang ksatria sufi. Ungkapan
Nabi Muhammad Saw – laa fataa illaa ‘ali (tak ada ksatria seperti Ali) – tentu tak kurang-
kurang sesuai untuk putranya ini. Karena, bukankah Nabi yang sama mengatakan tentang
sang putra, bahwa ia Tuan dari seluruh martir (sayyid al-syuhada)? Tapi, seperti fataa,
bukan saja dia adalah ahli perang dan pemberani didikan sang “singa” (haydar) Ali. Tapi,

2
seperti ayah, ibu, dan kekeknya pula, dia adalah teladan “penyangkalan diri” sempurna,
dan symbol puncak kecintaan kepada Tuhan.

Inilah katanya:

“Butalah mata seseorang yang tidak menganggap bahwa Engkau mengawasinya.


Marugilah perniagaan seseorang yang belum memperoleh cinta-Mu sebagai
labanya”

Atau:

“Apakah gerangan yang diperoleh seseorang yang kehilangan Diri-Mu. Masih


adakah kekurangan bagi seseorang yang mendapatkanmu?”

Memang, fataa sama sekali bukan hanya ksatria perang yang sakti mandraguna dalam
menaklukkan musuh-musuhnya. Sama sekali tak bisa diperbandingkan dengan itu semua,
fataa adalah penakluk diri sendiri, ego angkara-murka yang selalu cenderung mendorong
kea rah pembangkangan kepada Allah. Dia tentu adalah mujahid. Tapi bukan hanya
mujahid dalam peperangan, melainkan mujahid al-nafs (ksatria perang melawan diri
sendiri). Itu sebabnya dikatakan, tak ada peperangan di medan tempur (jihad ashghar
atau jihad kecil) yang dilakukan tanpa didahului peperangan – hati melawan nafsu
angkara-murka (jihad besar atau jihad akbar).

Tidak, bahkan lebih dari itu. Ayatollah Jawad Amuli menyebut jihad melawan hawa nafsu
sebagai jihad pertengahan (jihad aswath). Sedangkan jihad akbar adalah jihad antara
cinta melawan rasio, antara syuhud melawan filsafat. Dan kemenangan dalam jihad
puncak ini sama dengan keberhasilan cinta menaklukkan rasio, keberhasilah syuhud
menaklukkan filsafat.

Lalu, Ayatullah Amuli pun menegaskan bahwa jihad Imam Husayn di Karbala meliputi dua
jenis cinta: cinta pada allah, serta cinta dan pengorbanan bagi manusia. Memang, sebagai
seorang fataa seperti ayahnya, dia adalah sayyid al-fityan, symbol keberanian,
kedermawanan, dan ketanpa-pamrihan. Seperti kata Nabi Saw kepada Ali as (yang dikutip
banyak sufi): “Wahai Ali, seorang fataa adalah orang yang jujur, percaya, amanah,
pengasih, pelindung kaum papa, amat dermawan dan santun, gemar berbuat amal-amal
baik, dan berpenamplinan sederhana.” Seorang fataa memiliki harga diri (muruwwah).
2
Bukan saja harga diri di depan orang lain, melainkan harga diri sebagai manusia, yang tak
hendak menurunkan kemanusiaannya dengan menganiaya fitrahnya. Seorang fataa,
meneladani Tuhannya, mendahulukan kasih saying atas kemurkaan. Seperti Tuhan yang
siap mengampuni semua dosa, ia tak putus asa terhadap orang-orang. Dan ini sama sekali
tak bertentangan dengan prinsip keadilan. Seperti dikatakan Reza Shah-Karemi, dilihat
dari perspektif ontologism, kasih saying adalah satu aspek keadilan.

Bukan hanya Islam, bahkan (atau, seharusnya, tentu) mazhab Syi’ah, adalah mazhab cinta.
Bukankah, kalau kita harus menyebut satu saja cirri mazhab ini, tentulah mesti “wilayah”?
Wilayah adlah kepemimpinan, ketundukan kepada pemimpin. Tapi wilayah juga berarti
kecintaan, pengasihan. Kecintaan dan pengasihan kepada pimpinan, sekaligus kecintaan
pemimpin (waliy) kepada yang dipimpinnya. Kecintaan pemimpin sebagai perpanjangan
tangan Wali-Puncaknya, yaitu Allah Swt.

Orang boleh mengira bahwa lawannya cinta adalah kebencian. Sehingga, untuk mencintai
seseorang, atau mencintai Allah, kita harus membenci musuh-musuh orang itu atau musuh-
musuh Tuhan. Tapi, hemat saya, lawannya cinta bukanlah kebencian. Cinta adalah
keseluruhan. Tak ada ruang di luar cinta. Tak ada lawan kata untuk cinta. Kalaupun mesti
ada kosa kata “kebencian” maka itu hanya layak ditujukan kepada perbuatan, bukan
kepada orang-orang. Kita boleh, bahkan harus, benci kepada perbuatan buruk. Tapi tetap
oleh kecintaan kita agar tak ada manusia apapun yang terus terjebak ke dalam keburukan.
Kita harus membenci perbuatan orang, kita tentu saja boleh memperingatkan, bahkan
menghukum jika diperlukan. Tapi, kebencian kepada perbuatan buruk, peringatan, bahkan
hukuman tetap harus diteteskan dari sumber cinta.

Seperti kata Dr. Ibrahim Ayati:

“Imam Husayn bangkit demi suatu sasaran yang luhur. Bukanlah sasarannya agar
Yazid berhenti berkuasa dan sebagai gantinya dialah yang memerintah. Denan
kata lain, dia tak mempunyai unek-unek pribadi dengan Yazid. Dia mendukung
kebenaran dalam bentuk apapun ia tampil, dan melawan kepalsuan, baik itu
dipimpin Yazid atau siapapun.”

Karena itu, sudah pasti, Karbala bukan persoalan kebencian. Karbala boleh jadi
melibatkan kejahatan dan kekejian terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan, tapi tetap
saja ia adalah persoalan cinta. Persoalan cinta Tuhan, dan melebur (kembali) ke dalam
Dia. Persoalan memafkan, dan bukan kebencian. Persoalan memafkan, dan menjadi
kesedihan. Karbala adalah tentang kita belajar cinta kepada Tuhan, dari Tuan-Nya para
penghulu syuhada ini. Seperti Iqbal saja, kita bisa berkata: “Peran Husayn di Karbala
2
begitu agungnya sehingga ia memupuskan gagasan-buas tentang kekejaman dan
keberdarah-dinginan. Gelombang darah Husayn, kata penyair anak-benua pecinta keluarga
Nabi ini, telah menciptakan taman yang menyimbolkan pengorbanannya bagi pelestarian
kebebasan dan kebernaran. Persis seperti yang diungkapkan Zaynab as, di tengah bau
anyir darah keluarga Imam Husayn di padang Karbala: “Aku mencium harum bau surga di
sini.” Sehingga, seperti kata Rumi tentang peristiwa ini:

“… kalau ini persoalan menyawang (dunia ruhani), kenapa tidak berani, kenapa
tak menyokong (orang lain), kenapa tak berkorban diri, dan sempurna terpuas?”

Semoga Allah Swt membuka dada kita selapang-lapangnya untuk dapat merasakan luapan
cinta Imam Husay, dan meneladaninya, meski mungkin besarnya Cuma setetes disbanding
samudera yang dibentangkannya.

“Bumi bergetar, berguncang; langit meraung-raung

Ini bukan perang, ini adalah pengejawantahan cinta”

“Kesusahan syahadah, dengar! Adalah hari suka cita.

Yazid bahkan tak peroleh sejarah cinta ini

Kematian adlah hujan untuk anak-anak Ali”

“Kesusahan syahadah adalah seluruh musim hujan penuh suka cita

Yazid tak temukan jejak-jejak cinta ini

Untuk dibunuh adlah keputusan Imam sendiri

sejak mula-mula sekali”

“Surga adalah kediaman mereka

dalam kejayaan mereka telah mangkat ke surge

Mereka telah malih fana dalam Tuhan

dengan-Nya mereka telah jadi Dia”

(Abdul-Lathif dari Bhit, 1689-1752)

Anda mungkin juga menyukai