Asisten:
Novie Nuridasari
G1A007125
Kelompok VIII
Anggota:
1. Fickry Adiansyah N. G1A009008
2. Istiani Danu Purwanti G1A009018
3. Noni Minty Belantric G1A009028
4. Tessa Septian A. G1A009038
5. Prabawa Yogaswara G1A009048
6. Wily Gustafianto G1A009058
7. Miftahul Falah Yuni A. G1A009068
8. Amrina A. F. G1A009078
9. Dhyaksa Cahya P. G1A009088
10. Fawzia Merdhiana G1A009098
11. Nurtika G1A009105
Oleh :
Kelompok VIII
1. Fickry Adiansyah N. G1A009008
2. Istiani Danu Purwanti G1A009018
3. Noni Minty Belantric G1A009028
4. Tessa Septian A. G1A009038
5. Prabawa Yogaswara G1A009048
6. Wily Gustafianto G1A009058
7. Miftahul Falah Yuni A. G1A009068
8. Amrina A. F. G1A009078
9. Dhyaksa Cahya P. G1A009088
10. Fawzia Merdhiana G1A009098
11. Nurtika G1A009105
Novie Nuridasari
G1A007125
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Obat Antituberkulosis Dan Obat Anti Asma
C. Tujuan Praktikum
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan
obat anti asma
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antituberkulosis.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antituberkulosis.
3. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis.
4. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antiasma.
7. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.
8. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus.
9. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.
10. Mahasiswa mampu membuat peresepan untuk obat antituberkulosis dan
obat antiasma.
BAB II
ISI
A. Definisi
Obat antituberkulosis adalah obat yang digunakan untuk mengobati
penyakit tuberkulosis yang memiliki efek bakterisid dan bakteriostatik
terhadap kuman tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis. Obat yang
digunakan terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok lini pertama dan lini
kedua. Kelompok lini pertama isoniazid, pirazinamid, rifampisin, etambutol
dan streptomisin. Kelompok lini kedua adalah antibiotik golongan
fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat (Gunawan, 2007).
Obat antiasma adalah obat yang digunakan penderita asma, terdiri dari
obat pengontrol (controller/antiinflamasi) dan obat pelega
(reliever/bronkodilator). Obat pengontrol terdiri dari agonis beta 2 kerja
lambat, antileukotrin, inhalasi kortikosteroid, dan teofilin lepas lambat. Obat
pelega terdiri dari kortikosteroid sistemik, agonis beta 2 kerja cepat,
metilxantin, dan antikolinergik (ipratropium bromide) (Manaf, et al,2007).
B. Pembahasan OAT
Komponen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digolongkan atas dua
kelompok, yaitu kelompok obat lini pertama (isoniazid,fifampisin, etambutol,
streptomisin, dan pirazinamid) dan obat lini kedua (antibiotik golongan
fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat) (Istiantoro,et al, 2007). Pada praktikum kali ini membahas
obat lini pertama.
1. Rifampisin
a. Sediaan Obat
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam kapsul 150 mg dan 300
mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi
yang mengandung 100 mg/5 mL Rifampisin (Istiantoro,et al, 2007).
b. Cara Pemberian Obat
Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Istiantoro,et al, 2007).
c. Dosis obat
Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg
ialah 400 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60
mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgB/hari dengan dosisi
maksimum 600 mg/hari (Istiantoro,et al, 2007).
d. Farmakokinetik
Tabel 1. Farmakokinetik Rifampisin Sumber : Katzung, 2007.
Absorbsi Saluran cerna
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi Urine,keringat,air mata
e. Farmakodinamik
Rifampisin terutam aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.
Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase. Rifampisin
dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi
diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan
pada kuman (Istiantoro,et al, 2007).
f. Indikasi
Penyakit TB tetapi dikombinasikan dengan OAT lain dan
penyakit kusta (Istiantoro,et al, 2007)..
g. Kontraindikasi
Obat ini sebaiknya jangan digunakan bagi pasien yang
mengalami gangguan hepar, alergi terhadap rifampisin (Istiantoro ,et
al, 2007).
h. Interaksi Obat
Pemberian PAS ( Paraaminosalisilat) bersama rifampisin akan
menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak
cukup. Rifampisin mungkin juga mengganggu metabolisme vitamin D
sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang seperti osteomalasia.
Disulfiram sebagai obat bagi pecandu alkohol dan probenesid sebagai
obat anti inflamasi penderita asam urat dapat menghambat ekskresi
rifampisin melalui ginjal (Istiantoro,et al, 2007).
i. Efek samping Obat
Rifampisin dapat menimbulkan warna merah pada urin,keringat
dan air mata namun tidak berbahaya. Efek samping lainya seperti
nefritis,trombositopenia dan gangguna fungsi hati (Katzung, 2007).
2. Isoniazid
a. Sediaan Obat
Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga
dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti
piridoksin (vitamin B6).TB vit B6 sudah mengandung isoniazid dan
vitamin B6 dalam satu sediaan, sehingga praktis hanya minum sekali
saja. TB vit B6 tersedia dalam beberapa kemasan untuk memudahkan
bila diberikan kepada pasien anak-anak sesuai dengan dosis yang
diperlukan.TB Vit B6 tersedia dalam bentuk:
1) Tablet
Mengandung INH 400 mg danVit B6 24 mg per tablet.
2) Sirup
Mengandung INH 100 mg danVit B6 10 mg per 5 ml, yang
tersediadalam 2 kemasan :
Sirup 125 ml
Sirup 250 ml
b. Cara Pemberian Obat
Oral (bentuk injeksi dapat digunakan untuk pasien yang tidak
dapat menggunakan sedían oral maupun karena masalah absorbsi).
c. Dosis obat
Anak-anak < 4 tahun :
Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 10 – 20 mg/kg/hari
dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal 300 mg/hari) atau 20 – 40 mg/kg
(maksimal 900 mg/ dosis) dua kali seminggu selama 9 bulan.
Pengobatan infeksi TB aktif :
Terapi harian 10 – 15 mg/kg/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal
300 mg/hari).
Dua kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 20 – 30 mg/kg
(maksimal 900 mg). DOTS adalah program pemerintah untuk
mengatasi penyakit TBC. Dalam pelaksanaan TBC diperlukan 5
komponen yaitu komitmen politis, diagnosis sputum mikroskopis
bermutu, pengobatan jangka pendek diawasi PMO, ketersediaan OAT
yang bermutu, laporan baku untuk menilai hasil kinerja.
Dewasa :
Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 300 mg/hari atau 900
mg dua kali seminggu selama 6-9 bulan pada pasien yang tidak
menderita HIV (terapi 9 bulan optimal, terapi 6 bulan berkaitan
dengan penurunan biaya terapi) dan 9 bulan pada pasien yang
Pengobatan infeksi TB aktif : Terapi harian 5 mg/kg/hari diberikan
setiap hari (dosis lazim : 300 mg/hari); 10 mg/kg/hari dalam 1 – 2
dosis terbagi pada pasien dengan penyakit yang telah menyebar. Dua
kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 5 mg/kg (maksimal
900 mg); terapi 3 kali/minggu : 15 mg/kg (maksimal 900 mg).
d. Farmakokinetik
Nama Obat Farmakokinetik
Isoniazid Absorbsi Lambung
Distribusi Kesemua cairan tubuh
dan bahan kaseosa
(jaringan nekrotik seperti
keju)
Metabolisme Hepar
Ekskresi Urin
e. Farmakodinamik
Isoniazid menghambat sintesis dinding sel dari basil
tuberculosis. Obat ini biasanya diresepkan bersama agen anti
tuberkulosis lainnya. Mula kerja dan waktu untuk mencapai kadar
puncak untuk pemakaian oral dan intramuscular dari isoniazid adalah
sama. Neuropati perifer merupakan reaksi yang merugikan dari
isoniazid; sehingga piridoksin, vitamin B6 biasanya dipakai bersama
isoniazid untuk mengurangi kemungkinan terjadinya neuropati.
Dengan meminum alcohol bersama obat ini dapat meningkatkan
terjadinya neuropati perifer. Jika fenitoin dipakai bersama isoniazid,
maka efek fenitoin dapat berkurang. Antasid mengurangi absorbs
isoniazid. (Joyce, 1996)
f. Indikasi
Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
g. Kontraindikasi
Obat dapat menginduksi timbulnya penyakit hati.
Hipersensitifitas terhadap isoniazid atau komponen lain dalam
sediaan, penyakit hati akut, riwayat kerusakan hati selama terapi
dengan isoniazid.
h. Interaksi Obat
Dengan obat lain :
1) INH dapat memperkuat efek samping fenitoin (obat antiaritmia)
misalnya nistagmus dan ataksia sebab INH menghambat
metabolisme fenitoin. Sebab sifat dari fenitoin absorbsinya sangat
lambat di saluran cerna. (Yati,2008)
2) Meningkatkan efek/toksisitas : penggunaan bersama disulfiram
menyebabkan reaksi intoleransi akut. Disulfiram adalah
antioksidan yang digunakan secara luas dalam industry karet,telah
terbukti sebagai penyebab rasa tidak enak yang hebat pada pasien
yang minum alkohol. Disulfiram diabsorbsi dengan cepat dan
sempurna dari saluran pencernaan. Kecepatan eliminasinya sangat
lambat, karena itu akan efeknya dapat bertahan untuk beberapa
hari sampai dosis terakhir. Dan obat ini dapat berinteraksi dengan
obat lain. (Yati,2008)
4) Dengan Makanan :
Harus digunakan satu jam sebelum atau dua jam sesudah makan
pada keadaan lambung kosong; peningkatan asupan makanan
yang mengandung folat(sayuran,kacang polong,biji bunga
matahari), niasin, magnesium. Tidak diperlukan pembatasan
makanan yang mengandung tyramin (obat yang efeknya mirip
dengan perangsangan saraf adrenergic atau mirip efek
neurotransmitter norepinephrine dan epineprin).
3. Pirazinamid
a. Sediaan Obat
Bentuk sediaan obat tablet oral. Satu tablet Pirazinamid ada
yang terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg (Gunawan,
2007).
b. Cara Pemberian Obat
Cara pemberiannya dalam satu hari atau beberapa kali sehari.
Lama pemberian rejimen Pirazinamid bekerja dalam dosis terbagi 3
sampai 4 dosis perhari. Tetapi sebagian besar merekomendasikan
dikonsumsi sekali sehari 1-2 jam sebelum makan (Gunawan, 2007).
c. Dosis obat
Dosis oral adalah 20-35 mg/kg BB/hari (Gunawan, 2007).
Tabel 3. Dosis obat INH oral sesual berat badan, Sumber : Pedoman
Penanggulangan TB 2007
d. Farmakokinetik
Tabel 4. Farmakokinet Pirazinamid. Sumber : Gunawan, 2007.
Absorbsi Saluran cerna (usus)
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi filtrasi glomelurus
Half Time 9-10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal
dan hati yang sehat. Waktu paruh pirazinamid
ini mungkin berkepanjangan pada pasien
dengan fungsi ginjal atau hati terganggu.
Bioavaibilitas (99.0±16 9)%
e. Farmakodinamik
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazionat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Secara in vitro
pertumbuhan kuman tuberculosis dalam monosit dihambat sempurna
pada kadar pirazinamid 12,5 µg/ml. mekanisme kerja obat ini belum
diketahui. Pirazinamid bersifat bakteriostatik atau bakterisidal
terhadap Mycobacterium tuberculosis, tergantung pada konsentrasi
obat dicapai pada tempat infeksi (Gunawan, 2007).
f. Indikasi
Pirazinamid diindikasikan untuk pengobatan awal tuberkuIosis
aktif pada orang dewasa dan anak-anak yang dikombinasikan dengan
obat antituberkulosis lainnya. Rekomendasi dengan menggunakan
enam-bulan regimen untuk pengobatan awal TB aktif , yang terdiri
dari isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid diberikan selama
2 bulan, diikuti dengan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan. Pada
pasien dengan infeksi HIV bersamaan, mungkin pasien memerlukan
pengobatan yang lebih lama. Pirazinamid sering kali penting dalam
terapi pengobatan tuberkulosis. Pirazinamid seharusnya hanya boleh
digunakan secara kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dengan
cara yang efektif (Muthaiah, et al, 2010).
g. Kontraindikasi
Pirazinamid merupakan kontraindikasi pada orang dengan
kerusakan hati yang berat, orang dengan hipersensitivitas pada obat
pirazinamid, dan penderita gout (Muthaiah, et al, 2010).
h. Interaksi Obat
Pirazinamid mengganggu uji ketonuria dengan reagen ACETEST®
KETOSTIX®. Pada tes urin mengenai ketonuria, penggunaan
pirazinamid akan menghasilkan warna pink-coklat sehingga
menggangu pemeriksaan dan interpretasi data (Papastavros, 2002).
i. Efek samping Obat
Efek samping yang paling umum dan serius dari penggunaan
pirazinamid adalah kelainan hati. Pirazinamid merupakan
hepatotoksik (Chang, et al, 2008).
Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala
penyakit hati yang dapat timbul pada kira-kira 15%, dengan ikterus
pada 2-3% pasien dan kematian akibat nekrosis hati pada beberapa
kasus. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Oleh
karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pemakaian Pirazinamid dimulai. Pemantauan terhadap transaminasi
serum juga perlu dilakukan secara berkala selama pengobatan dengan
pirazinamid berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati, pengobatan
dengan pirazinamid harus dihentikan. Pirazinamid tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini
menghambat eksresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya
arthritis pirai. Efek samping pada kelainan gastrointestinal antara lain
reaksi hati. Hepatotoksisitas timbul tergantung dosis yang diberikan,
dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Efek samping pada
gastrointestinal lainnya adalah anoreksia, mual dan muntah
(Gunawan, 2007).
Efek pada Hematologi dan limfatik adalah anemia sideroblastik
dan trombositopenia dengan hiperplasia eritrosit, vakualisasi eritrosit
dan peningkatan kadar serum besi serum yang jarang terjadi. Dampak
buruk pada mekanisme pembekuan darah juga telah jarang dilaporkan
(Papastavros, Dolovich, Holbrook, et al, 2002).
Juga ditemukan Efek samping lain yaitu: artralgia ringan dan
mialgia. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, dan gatal-
gatal. Efek samping lain seperti Demam, jerawat, fotosensitivitas,
porfiria, disuria dan nefritis interstisial jarang terjadi (Papastavros,
2002).
4. Etambutol
a. Sediaan Obat
Sediaan di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250
mg dan 500 mg.ada pula sediaan yang telah dicampur dengan
isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (Istiantoro, et al, 2007).
b. Cara Pemberian Obat
Cara pemberian melalui oral (Istiantoro, et al, 2007).
c. Dosis obat
Dosis harian 15-20 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 1250 mg/hari
pada anak
d. Farmakokinetik
Tabel 5. Farmakokinetik Etambutol. Sumber : Istiantoro, et al, 2007
Absorbsi Saluran cerna
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi Melalui ginjal dalma bentuk Urin, metabolit,
derivate aldehid dan asam karboksilat.
Half Time 2,5-3,6 jam
e. Farmakodinamik
Mekanisme kerja etambutol menghambat sintesis metabolic sel
sehingga metabolism sel terhambat dan sel mati. Obat ini hanya aktif
terhadap sel ynag bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Etambutol juga dapat menghambat arabinosil transferase
mikrobakterium, yang dikode oleh operon embCAB (Katzung, 2007).
f. Indikasi
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada
resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat ditinggalkan.
Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun,
neuritis optik, gangguan visual (DEPKES,2005).
g. Kontraindikasi
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol
dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal
ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan
gagalginjal adalah 2HRZ/4HR.Selain itu pemberian etambutol harus
hati-hati diberikan kepada pasien denagn penyakit DM karena pasien
dengan penyakit DM sering terjadi komplikasi retinophaty diabetika
karena dapat memeperberat kelainan ini (MENKES, 2009).
h. Interaksi Obat
Etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat
tuberculosis lain karena jika debrikan secara tunggal dapat
menyebabkan resistensi (Istiantoro, et al, 2007).
i. Efek samping Obat
Etambutol jarang menimbulkan efek samping.dosis harian
sebsar 15 mg/kgBB menimbulkan efek toksik minimal.Pada dosis ini
kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.Efek samping lain
adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit
kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungklin juga
halusinasi.Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi.Reaksi
anafilaksis dan leucopenia jarang dijumpai.Etambutol dapat
menurunkan khasiat urikosurik, terutama pada pemakain bersama
isoniazid dan piridoksin. Etmbutol pada orang DM dapat menurunkan
OHO (Istiantoro, et al, 2007).
5. Streptomisin
a. Sediaan Obat
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang
mengandung 1 atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara
pemberian yang direncanakan. (Manaf, et al,2007)
b. Cara Pemberian Obat
Suntikan Intra Muskular merupakan cara yang paling sering
diberikan. Pemberian obat dilakukan sebelum makan untuk
menghindari efek samping berupa mual (Davies, 2008).
c. Dosis obat
Obat ini diberikan secara intra muskular dengan dosis 15 mg/kg
(maksimal 1 g) sehari ; dosis diturunkan pada pasien dengan berat
badan di bawah 50 kg, pada usia diatas 40 tahun atau pasien dengan
kerusakan ginjal. Konsentrasi obat dalam plasma harus diukur pada
pasien dengan kerusakan ginjal dan harus digunakana secara hati-hati.
(Istiantoro, et al, 2007)
d. Farmakokinetik
Tabel 6. Farmakokinetik Streptomisin. Sumber : Istiantoro, et al, 2007
Absorbsi Eritrosit dan Plasma
Distribusi Seluruh cairan ekstrasel
Metabolisme Hepar
Ekskresi Filtrasi glomerulus
Half Time 2-3 jam
e. Farmakodinamik
Streptomisin adalah sintesis protein inhibitor. Ia mengikat ke
protein S12 dari subunit 30S ribosom bakteri, campur dengan
pengikatan formil-methionyl-tRNA ke subunit 30S. Hal ini untuk
mencegah inisiasi sintesis protein, mengganggu permeabilitas
membran dan menyebabkan kematian sel-sel mikroba. Manusia
struktural ribosom berbeda dari bakteri, sehingga memungkinkan
selektivitas antibiotik ini untuk bakteri. Namun pada konsentrasi
rendah Streptomisin hanya menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini
dilakukan oleh ribosom untuk membujuk prokariotik mRNA salah
membaca (Katzung, 2007)
f. Indikasi
Streptomisin sebagian besar diguanakan sebagai Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Namun, dalam bentuk kombinasi dengan obat
lain, bersama dengan doksisiklin (salah satu jenis antibiotik
tetrasiklin) dapat digunakan pada pengobatan brucellosis dan
enterococcal endokarditis (Manaf, et al, 2007).
g. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap streptomycin atau komponen lain
dalam sediaan atau penggunaan untuk ibu hamil. Streptomisin
merupakan obat yang diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Streptomisin tetap dapat
diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal (Davies, 2008)
h. Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan amfoterisin (salah satu jenis
antifungi) dapat meningkatkan nefrotoksisitas. Streptomisin dapat
meningkatkan efek/toksisitas perpanjangan efek dengan senyawa
depolarisasi dan nondepolarisasi neuromuscular blocking (Davies,
2008)
i. Efek samping Obat
Efek Samping Streptomicin, dapat menyebabkan gangguan
penedengaran dan gangguan keseimbangan. Untuk penggunaan
Streptomisin sebagai OAT dapat digantikan dengan Etambutol
sebagai kelanjutan terapi (Davies, 2008)
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan (Davies,
2008).
C. Pembahasan Obat Antiasma
Ada enam komponen dalam pengobatan asma, yaitu : (Sundaru dan
Sukamto, 2007)
1. Penyuluhan kepada pasien
2. Penilaian derajat beratnya asma
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Dasarnya, obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mnegendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain
sebagai pencegah (controller) dan penghilang gejala (reliever) sehingga asma
dapat terkendali (Sundaru dan Sukamto, 2007). Obat anti asma yang akan
dibahas adalah obat aminofilin dan MDI.
1. Amilofilin
a. Sediaan
Aminofilin merupakan jenis obat yang termasuk dalam
golongan xantine. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan tablet 100
mg dan sirup untuk diminum secara oral, ampul dan vial masing-
masing 10 ml (setara 250 mg) dan 20 ml (setara 500 mg) untuk
diberikan secara injeksi intravena, dan supositoria untuk diberikan
melalui rectal (U.S National Library of Health, 2009).
b. Cara Pemberian
Obat ini dapat diberikan secara oral, supositoria rectal, maupun
dengan cara injeksi intravena. Biasanya obat ini diberikan dalam
selang waktu 6, 8, atau 12 jam. Untuk pemberian secara oral,
minumkan tablet atau sirup dalam keadaan lambung yang kosong,
kira-kira 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan (U.S
National Library of Health, 2009).
Pada pemberian obat per rectal, pasien diminta untuk berbaring
dengan bagian tubuh kiri di bawah dan bagian kanan tubuh di atas.
Kemudian tekuk lutut hingga setinggi dada, lalu masukkan obatnya ke
dalam rectal sedalam 1,5-2,5 cm untuk bayi dan anak-anak atau 2,5
cm pada orang dewasa. Diamkan obat di dalam rectal kira-kira sampai
15 menit, setelah itu lakukan aktifitas seperti biasa (U.S National
Library of Health, 2009).
Sedangkan untuk pemberian secara intravena biasanya
dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan profesional. Jarum
suntuk dimasukkan secara perlahan ke dalam pembuluh vena pasien
untuk memasukkan aminofilin melalui jarum suntik ke dalam tubuh
pasien (MedicineNet, 2011).
c. Dosis (MIMS Indonesia, 2011)
Oral
Dewasa: umumnya 225-450 mg/KgBB/hari
Anak: >3 tahun: 12-24 mg/kgBB/hari dan terbagi menjadi 2 dosis
setelah 1 minggu.
Orang tua: sebaiknya tidak diberikan dosis untuk orang dewasa
normal, lakukan pengurangan dosis bila perlu.
Pada orang-orang dengan gangguan fungsi hepar, juga sebaiknya
dilakukan pengurangan dosis dari dosis normal untuk orang dewasa
Intravena
Dewasa: dosis umum: 5 mg/kg (untuk BB ideal) atau 250-500 mg (25
mg/ml) secara injeksi maupun dicampur dalam cairan infus selama
20-30 menit. Dosis untuk infus: 0,5 mg/kgBB/jam, maksimal 25
mg/menit.
Anak: dosis umum: sama dengan dosis untuk orang dewasa. Dosis
untuk infus: 6 bulan - 9 tahun: 1 mg/kgBB/jam, 10-16 tahun: 0.8
mg/kgBB/jam.
Untuk orang tua dan orang dengan gangguan fungsi hepar, sebaiknya
juga dilakukan pengurangan dosis.
d. Farmakokinetik
e. Farmakodinamik
Aminofilin merupakan suatu kombinasi antara teofilin dan
etilendiamine. Etilendiamine bersifat inaktif, ia hanya berfungsi untuk
meningkatkan kelarutan teofilin dalam air. Teofilin bekerja dengan
merelaksasi otot polos bronkus. Mekanisme selulernya dengan
meningkatkan Cyclic Adenosine Monophospate (cAMP) yang
merupakan suatu second messenger hormon yang mempengaruhi
aktifitas intraseluler melalui penghambatan terhadap fosfodiesterase,
antagonis terhadap reseptor adenosin, antagonis terhadap
prostaglandin, dan efek kepada kalsium intraseluler (MIMS Indonesia,
2011).
f. Indikasi
Teofilin intravena digunakan sebagai pelengkap obat agonis B2
inhalasi dan mengatur kadar kortikosteroid sistemik untuk pengobatan
gejala eksaserbasi akut dan obstruksi saluran nafas yang bersifat
reversibel seperti asma bronkial dan bronkospasme akut berat
(Hospira.Inc, 2011).
g. Kontra Indikasi
Aminofilin tidak boleh digunakan untuk pasien dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap teofilin atau komponen lain dalam sediaan
aminofilin termasuk etilendiamin (Hospira.Inc, 2011).
h. Interaksi Obat
Akitivitas kerja obat golongan xantine dapat dikurangi dengan
pemberian allopurinol, beberapa golongan obat antiarithmia (obat
untuk gangguan jantung), cimetidine (antihistamin penghambat
reseptor H2), disulfiram (obat untuk menghentikan ketergantungan
pada alkohol), fluvoxamine (obat antidepresan), interferon-alfa,
antibiotik makrolide, quinolone (antibiotik golongan floroquinolone),
kontrasepsi oral, thiabendazole (obat anti jamur dan parasit) dan
viloxazine (obat anti depresan). Sedangkan aktivitas kerja aminofilin
dapat ditingkatkan dengan pemberian fenitoin (obat anti kejang),
ritonavir (obat anti virus), rifampisin (OAT lini pertama),
sulfinpyrazone (obat untuk arthritis gout), aktivitas merokok,
kortikosteroid (obat anti inflamasi), diuretik (obat untuk memicu
pengeluaran urin), dan B2 agonis. Aminofilin berpotensi untuk
berakibat fatal seperti meningkatkan irama denyut jantung akibat
pemberian obat simpatomimetik dan halotan, terjadinya takikardi
akibat pemberian pankuronium, peningkatan risiko timbulnya kejang
akibat pemberian quinolon dan ketamin, serta terganggunya
metabolisme akibat interaksi dengan beta bloker (MIMS Indonesia,
2011).
i. Efek Samping Obat
Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri perut,
mual, muntah, diare, hilang nafsu makan, sakit kepala, gangguan
tidur, gelisah, gugup, hingga dapat juga terjadi peningkatan ekskresi
urin. Selain itu, dapat pula muncul efek samping yang serius seperti
reaksi alergi yang serius, pingsan, takikardi atau brakikardi. Akan
tetapi, kasus-kasus serius akibat efek samping aminofilin ini jarang
dijumpai (MedicineNet, 2011).
D. Aplikasi Klinis
1. Tuberkulosis
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sumber penularan TB adalah
pasien TB BTA positif, melalui droplet nuclei (percikan dahak saat
pasien batuk atau bersin. (Depkes, 2009).
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri dengan bentuk
batang, tahan asam, bersifat aerobik, dan bersifat patogen maupun
saprofit. Tempat masuk bakteri ini adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. (Price, 2006).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala lain seperti dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2009).
Untuk dapat melakukan diagnosis TB, perlu dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis untuk menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan, berupa Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS).
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. Berikut adalah bagan
alur diagnosis TB paru : (Depkes, 2009)
Gambar 1. Bagan Alur Diagnosis TB Paru
Sumber : Depkes, 2009.
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena (Depkes, 2009) :
1. TB paru
2. TB ekstra paru
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Depkes,
2009) :
1. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau oengobatan lengkapm
didiagnosis kambuh dengan BTA positif.
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4. Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.
Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan.
Pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya rasistensi kuman terhadap OAT (Depkes, 2009).
Paduan OAT berdasarkan World Health Organization (WHO) dan
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD):
1. Kategori 1 :
2HRZE/4H3R3
2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
2. Kategori 2 :
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
2HRZES/HRZE/5HRE
3. Kategori 3 :
2HRZ/4H3R3
2HRZ/4HR
2HRZ/6HE
2. Asma Bronkial
Menurut “United States National Tuberculosis Association”
1967, asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadapa
berbagai macam rengsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari
saluran napas (Alsagaff, 2010).
Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis, dan derajat
penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena
pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa kelainan imunologi
(Alsagaff, 2010).
Menurut Kaliner (1980) meninjau asma dari segi klinis dan
imunologi serta menganjurkan definisi asma bronkial sebagai berikut:
asma bronkial ialah suatu penyakit yang berdasarkan adanya kepekaan
saluran napas yang berlebihan berupa penyumbatan (obstruksi)
saluran pernapasan yang dapat pulih kembali (irreversibel) dan diikuti
oleh perubahan- perubahan patologi sebagai berikut (Alsagaff, 2010):
1. Bronkospasme
2. Sembab mukosa
3. Infiltrasi sel radang
4. Sekresi mukosa
5. Pengelupasan (desquamasi) sel epitel permukaan
6. Penebalan membrane basalis
7. Hyperplasia sel goblet
E. Evaluasi
1. Perbedaan dari sediaan Obat Anti Tuberkulosis- Kommbinasi Dosis
Tepat (OAT-KDT ) dan kombipak (Departemen Kesehatan, 2004).
No OAT-KDT OAT KOMBIPAK
Pro :
Nama: Nn. Minty/50kg
Alamat : Perum Berkoh Indah Blok A4 No 26 Pwt Selatan
Telp: (0281) 637901
Pro :
Nama : Ibu Amrina/50kg
Umur: 30th
Alamat: Jl.DR.
Sunan Kalijaga Gg
FIKRY ADIANSYAH III Berkoh Pwt
DOKTER UMUM Telp: (0281) 637789
SIP : 008/DU/BMS/2011
Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok cikadu (0281) 637890
Pro :
Nama : Bp Gugi/50kg
Umur: 40th
Alamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt barat
Telp : (0281) 637678
DR. NONI MINTY BELANTRIC
DOKTER UMUM
SIP : 028/DU/BMS/2011
Perum Berkoh Indah blok A4 no 26 Pwt Selatan (0281) 637901
Pro :
Nama : Bp Dhyaksa/50kg
Umur : 50th
Alamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt barat
Telp : (0281) 637012
DR. AMRINA A. F.
DOKTER UMUM
SIP : 078/DU/BMS/2011
Jl. Sunan Kalijaga gg III berkoh Pwt
(0281) 637789
Pro :
Nama : An. Isti/15kg
Umur: 10th
Alamat: Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt
Telp : (0281) 637567
DR. WILY GUSTAFIANTO
DOKTER UMUM
SIP : 058/DU/BMS/2011
Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari
Pwt barat (0281) 637678
Pro :
Nama : Bp. Fikry/50kg
Umur: 60th
Alamat: Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok Cikadu
Telp : (021) 637890
Pro :
Nama : An. Gugi/15kg
Umur: 10th
Alamat : Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt barat
Telp : -
DR. NURTIKA
DOKTER UMUM
SIP : 018/DU/BMS/2011
Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt
(0281) 637567
Pro :
Nama :Nn. Fawzia
Umur: 20th
Alamat: Jl. Kenanga blok P-9 Pwt
Telp : (0281) 637528
DR. TESSA
DOKTER UMUM
SIP : 098/DU/BMS/2011
Jl. Kenanga GTSI blok P-9, Purwokerto
(0281) 637528
Pro :
Nama : Bp. Awa/50kg
Umur: 60th
Telp: (021) 637234
Pro :
Nama : Bp Gugi/50kg
Umur: 40th
Alamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt barat
Telp : (0281) 637678 BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, and Mukty, H. Abdul. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Asma Bronkial. Surabaya : Airlangga University.263-265.
Amin, Zulkifli, Asril Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tuberkulosis
Paru. Jilid III. Edisi V. Jakarta : InternaPublishing. 2230-2238.
Anonim. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat FDC Untuk Pengobatan Tuberkulosis
Di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Anonim. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Chang, Kwok C, et al, 2008. Hepatotoxicity Of Pyrazinamide: Cohort And Case-
Control Analyses. AJRCCM.20 : 355-388.
Davies, George R. 2008. Pharmacokinetics And Pharmacodynamics In The
Development Of Anti-Tuberculosis Drugs. Tuberculosis Journal.88:S65-
S74.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberculosis
Fixed Dose Combination. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2005.Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Tuberculosis. Jakarta:Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Frida, E., Ibrahim, S., Hardjoeno. 2006. Analisis Temuan Basil Tahan Asam Pada
Sputum Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek Tuberkulosis.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.12.
Gunawan, Gan Sulistya. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik
Dan Leprostatik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 613-
620.
Herman, Nurhayati, et al. 2008. Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan Obat
Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dengan Kombipak pada
Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas
Kecamatan Jatinegara, Pulogadung dan Matraman Jakarta Timur. J Respir
Indo.28(3).
Hospira.Inc (2011, Maret 29). Drugs.com Drug Information Online. Retrieved
April 14, 2011, from http://www.drugs.com/pro/aminophylline-
injection.html
Istiantoro,et al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik Dan
Leprostatik. Jakarta: Farmakologi FK UI.613-620.
Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta:
EGC.
Manaf, et al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2
Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
MedicineNet, Inc (2011, April 14). MedicineNet.com, We Bring Doctor’s
Knowledge to You. Retrieved April 14, 2011, from
http://www.medicinenet.com/aminophylline-injection/article.htm
Mentri Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan
Tuberculosis. Jakarta :Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
MIMS Indonesia (2011, Januari 13). MIMS Indonesia. Retrieved April 14, 2011,
from http://www.mims.com/Page.aspx?menuid=mng&name=aminophylline&
CTRY=ID&brief=false#Actions
Muthaiah, Muthuraj, et al, 2010. Molecular Epidemiological Study Of
Pyrazinamide-Resistance In Clinical Isolates Of Mycobacterium
Tuberculosis From South India. Int. J. Mol. Sci.11: 2670-2680.
Papastavros, Tina, et al, 2002. Adverse Events Associated With Pyrazinamide
And Levofloxacin In The Treatment Of Latent Multidrug-Resistant
Tuberculosis. CMAJ.167(2):131-6.
Price, Sylvia A., Mary P. Standridge. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Tuberkulosis Paru. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 852-
861.
Scherer, Luciene C. et al. 2011. Comparison Of Two Laboratory-Developed PCR
Methods For The Diagnosis Of Pulmonary Tuberculosis In Brazilian
Patients With And Without HIV Infection. BioMed Central Journal.
11(15):1-27.
Sundaru, Heru dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi
4 Cetakan kedua.Tuberkulosis. Jakarta : FKUI.248.
U.S National Library of Medicine (2009, Februari 01). MedlinePlus Trusted
Health Information for You. Retrieved April 14, 2011, from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a601015.html
Yati, 2008. Farmakologi dan Terapi.Tuberkulostatik Dan Leprostatik. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.613-616.
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Tuberkulostatik dan Leprostatik. 613-616.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Adrenergik. 63-64. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Lokal. 517-518. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Hipnotik-Sedatif Alkohol. 160. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta