Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN 

Hemostasis adalah kemampuan alami untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka
oleh spasme pembuluh darah, adhesi trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi,
adanya koordinasi dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah (blood
fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik, serta membentuk
thrombus sementara atau hemostatic thrombus pada dinding pembuluh darah yang
mengalami kerusakan (vascular injury). Hemostasis terdiri dari enam komponen utama,
yaitu: trombosit, endotel vaskuler, procoagulant plasma protein faktors, natural
anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen ini
harus tersedia dalam jumlah cukup, dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk
dapat menjalankan faal hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu
terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga menghambat
proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat antithrombotik. Faal hemostasis
dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan antara faktor prothrombotik dan faktor
antithrombotik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologik dan prinsip
pemeriksaan laboratorium dari masing2 faktor yang berperan dalam proses koagulasi dan
interpretasi hasilnya. 

PATOFISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM 


Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu hemostasis primer dan
hemostasis sekunder. Pada hemostasis primer yang berperan adalah komponen vaskuler
dan komponen trombosit. Disini terbentuk sumbat trombosit (trombosit plug) yang
berfungsi segera menutup kerusakan dinding pembuluh darah. Sedangkan pada hemostasis
sekunder yang berperan adalah protein pembekuan darah, juga dibantu oleh trombosit.
Disini terjadi deposisi fibrin pada sumbat trombosit sehingga sumbat ini menjadi lebih kuat
yang disebut sebagai stable fibrin plug. Proses koagulasi pada hemostasis sekunder
merupakan suatu rangkaian reaksi dimana terjadi pengaktifan suatu prekursor protein
(zymogen) menjadi bentuk aktif. Bentuk aktif ini sebagian besar merupakan serine protease
yang memecah protein pada asam amino tertentu sehingga protein pembeku tersebut
menjadi aktif. Sebagai hasil akhir adalah pemecahan fibrinogen menjadi fibrin yang
akhirnya membentuk cross linked fibrin. Proses ini jika dilihat secara skematik tampak
sebagai suatu air terjun (waterfall) atau sebagai suatu tangga (cascade). 

Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur ekstrinsik (extrinsic pathway)
dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur ekstrinsik dimulai jika terjadi kerusakan
vaskuler sehingga faktor jaringan (tissue factor) mengalami pemaparan terhadap komponen
darah dalam sirkulasi. Faktor jaringan dengan bantuan kalsium menyebabkan aktivasi
faktor VII menjadi FVIIa. Kompleks FVIIa, tissue factor dan kalsium (disebut sebagai
extrinsic tenase complex) mengaktifkan faktor X menjadi FXa dan faktor IX menjadi FIXa.
Jalur ekstrinsik berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue factor pathway inhibitor
(TFPI). Jadi jalur ekstrinsik hanya memulai proses koagulasi, begitu terbentuk sedikit
thrombin, maka thrombin akan mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa lebih lanjut, sehingga
proses koagulasi dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur intrinsik dimulai dengan adanya
contact activation yang melibatkan faktor XII, prekalikrein dan high molecular weigth
kinninogen (HMWK) yang kemudian mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa. Akhir-akhir ini
peran faktor XII, HMWK dan prekalikrein dalam proses koagulasi dipertanyakan. Proses
selanjutnya adalah pembentukan intrinsic tenase complex yang melibatkan FIXa, FVIIIa,
posfolipid dari PF3 (trombosit factor 3) dan kalsium. Intrinsic tenase complex akan
mengaktifkan faktor X menjadi FXa. Langkah berikutnya adalah pembentukan kompleks
yang terdiri dari FXa, FVa, posfolipid dari PF3 serta kalsium yang disebut sebagai
prothrombinase complex yang mengubah prothrombin menjadi thrombin yang selanjutnya
memecah fibrinogen menjadi fibrin. 

Pada pemeriksaan hemostasis, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : 


- Antikoagulan : Natrium sitrat 0,109 M dengan pernbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian
Natrium sitrat. Untuk hitung trombosit antikoagulan yang dipakai adalah Na2EDTA 
- Penampung : Bahan plastik atau gelas yang dilapisi silikon, untuk mencegah terjadinya
aktivasi faktor pembekuan 
- Semprit dan jarum : ukuran besar, paling kecil nomor 20 
- Cara pengambilan darah : Hindari masuknya tromboplastin jaringan, sebaiknya digunakan
2 semprit dimana darah pada semprit pertama dibuang karena dikhawatirkan tercemar
tromboplastin jaringan 
- Kontrol : Diperiksa 1 kontrol normal (tersedia secara komersial) dan 1 kontrol abnormal 
- Penyimpanan dan pengiriman bahan : Sampel darah segera dikerjakan, harus selesai
dalam 3 jam setelah pengambilan darah. Bila harus ditunda, plasma sitrat disimpan dalam
tempat plastik tertutup dalam keadaan beku 

Bleeding Time 

Bleeding time (BT) menilai kemampuan darah untuk membeku setelah adanya luka atau
trauma, dimana trombosit berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk
bekuan. Prinsip pemeriksaannya adalah mengukur lamanya waktu perdarahan setelah insisi
standart pada lengan bawah atau cuping telinga. Bleeding time digunakan untuk
pemeriksaan penyaring hemostasis primer atau interaksi antara trombosit dan pembuluh
darah dalam membentuk sumbat hemostatik, pasien dengan perdarahan yang memanjang
setelah luka, pasien dengan riwayat keluarga gangguan perdarahan. 

Pemeriksaan BT dapat dilakukan dengan metoda Ivy , yaitu dilakukan insisi dengan lanset
sepanjang 10 mm dan kedalaman 1 mm di lengan bawah kemudian setiap 30 detik darah
dihapus dengan kertas filter sampai perdarahan berhenti, atau dengan metoda Duke
dengan cara yang sama insisi di lokasi cuping telinga sedalam 3-4 mm. 

BT memanjang pada gangguan fungsi trombosit atau jumlah trombosit dibawah 100.000/
mm3. Pemanjangan BT menunjukkan adanya defek hemostasis, termasuk didalamnya
trombositopenia (biasanya dibawah 100.000/ mm3), gangguan fungsi trombosit heriditer,
defek vaskuler kegagalan vasokonstriksi), Von Willebrand's disease, disseminated
intravascular coagulation (DIC), defek fungsi trombosit (Bernard-Soulier disease dan
Glanzmann’s thrombasthenia) , obat-obatan (aspirin/ ASA, inhibitor siklooksigenase,
warfarin, heparin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID), beta-blockers, alkohol,
antibiotika) dan hipofibrinogenemia. Trombositopenia akibat defek produksi oleh sumsum
tulang menyebabkan pemanjangan BT lebih berat dibandingkan trombositopenia akibat
destruksi berlebih trombosit. Pasien dengan von Willebrand’s disease hasil BT memanjang
karena faktor von Willebrand merupakan trombosit agglutination protein. BT normal tidak
menyingkirkan kemungkinan terjadinya perdarahan hebat pada tindakan invasif. 

Activated Clotting Time (ACT) 


ACT pertama kali ditemukan oleh Hatterseley pada tahun 1966, adalah pemeriksaan waktu
pembekuan untuk monitoring terapi antikoagulasi Heparin, digunakan terutama pada
kateterisasi jantung dan bedah jantung terbuka CABG. Heparin adalah polisakarida, suatu
inhibitor pembekuan darah yang diberikan secara intravena karena tidak efektif diabsorbsi
dari traktus digestivus, digunakan sebagai pencegahan dan terapi tromboemboli. Heparin
memerlukan kofaktor AT III (anti trombin III), suatu antikoagulan alami pada jalur intrinsik,
untuk dapat bertindak sebagai antikoagulan. AT III bersama Heparin mengikat faktor
koagulasi yang teraktivasi dan trombin sehingga menghambat terbentuknya fibrin.
Sensitivitas pasien terhadap Heparin sangat bervariasi dipengaruhi oleh obat-obatan seperti
nitrogliserin. Resistensi Heparin dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan dan fungsi
AT III, trombositopenia, trombositosis, umur pasien, konsentrasi hemoglobin, nitrogliserin,
antikoagulan oral (memperpanjang waktu pembekuan). Hipotermia akan memperlambat
pembentukan bekuan darah. 

Monitoring sangat penting pada terapi Heparin ok bila dosis tidak mencukupi untuk
menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh darah dan bila
dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang mangancam jiwa.
Heparin dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat setelah operasi jantung
Selama operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi diluar tubuh menggunakan
mesin jantung paru, dimana kontak darah dengan permukaan artifisial mesin akan memacu
koagulasi membentuk bekuan darah, dengan dosis tinggi Heparin akan mencegah
terbentuknya bekuan darah. 

Indikasi pemeriksaan ACT adalah setelah pemberian dosis awal bolus Heparin, bedah
jantung terbuka (sebelum, selama dan beberapa saat setelahnya), tindakan kateterisasi
jantung, tindakan lain yang memerlukan antikoagulan dosis tinggi, pemeriksaan biasanya
dilakukan secara serial. ACT mengukur efek inhibisi Heparin terhadap koagulasi bukan
konsentrasi Heparin dalam darah. 

Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin dengan cara interaksi
sampel darah dengan activating agent Kaolin pada alat, kemudian secara elektronik diukur
waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah dapat berupa whole blood atau darah
sitrat. 
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi hasil ACT adalah : 
- Tidak dilakukannya pemanasan alat hingga 37º C 
- Hipotermia 
- Bahan kateter jantung dan clearing heparin flush 
- Hemodilusi 
- Jumlah dan fungsi trombosit 
Trombosit yang teraktivasi selama operasi biasanya menjadi disfungsional 
- Pemberian Protamine sulfate 
- Keadaan tertentu misalnya antibodi lupus dan defisiensi faktor pembekuan darah 

ACT diukur dalam satuan detik. Makin tinggi hasil ACT maka makin tinggi derajat inhibisi
pembekuan darah. Clotting time memanjang bila terdapat defisiensi berat faktor
pembekuan pada jalur intrinsik dan jalur bersama, misalnya pada hemofilia (defisiensi F
VIIc dan F Ixc), terapi antikoagulan sistemik (Heparin). Selama operasi CABG, ACT
dipertahankan pada batas bawah dimana pasien diharapkan tidak dapat membentuk bekuan
darah. Setelah operasi, ACT dipertahankan dalam batas 175-225 detik sampai keadaan
pasien stabil. >br>
Masa Protrombin Plasma (PT) 
Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin (F II) dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin untuk
membentuk bekuan darah. 
Pemeriksaan PT digunakan untuk menilai kemampuan faktor koagulasi jalur ekstrinsik dan
jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II (prothrombin), faktor V (proakselerin),
faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan
memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari nilai normal. 
PT diukur dalam detik. Dilakukan dengan cara menambahkan campuran kalsium dan
tromboplastin pada plasma. Tromboplastin dapat dibuat dengan berbagai metoda sehingga
menimbulkan variasi kepekaan terhadap penurunan faktor pembekuan yang bergantung
pada vitamin K dan menyebabkan pengukuran waktu protrombin yang sama sering
mencerminkan ambang efek antikoagulan yang berbeda. Usaha untuk mengatasi variasi
kepekaan ini dilakukan dengan menggunakan sistem INR (International Normalized Ratio).
International Committee for Standardization in Hematology (ICSH) menganjurkan
tromboplastin jaringan yang digunakan harus distandardisasi dengan tromboplastin rujukan
dari WHO dimana tromboplastin yang digunakan dikalibrasi terhadap sediaan baku atas
dasar hubungan linier antara log rasio waktu protrombin dari sediaan baku dengan dari
tromboplastin lokal. 

INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian
dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index. Jadi INR
adalah rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila tromboplastin baku WHO
yang digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan sediaan tromboplastin
terhadap penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Sediaan baku yang
pertama mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang peka mempunyai ISI > 1,0).
Dengan demikian cara paling efektif untuk standardisasi pelaporan PT adalah kombinasi
sistim INR dengan pemakaian konsisten tromboplastin yang peka yang mempunyai nilai ISI
sama. 

INR digunakan untuk monitoring terapi warfarin (Coumadin) pada pasien jantung, stroke,
deep vein thrombosis (DVT), katup jantung buatan, terapi jangka pendek setelah operasi
misal knee replacements. INR hanya boleh digunakan setelah respons pasien stabil
terhadap warfarin, yaitu minimal satu minggu terapi. Standar INR tidak boleh digunakan
jika pasien baru memulai terapi warfarin untuk menghindari hasil yang salah pada uji.
Pasien dalam terapi antikoagulan diharapkan nilai INR nya 2-3 , bila terdapat resiko tinggi
terbentuk bekuan, iperluakn INR sekitar 2,5 – 3,5. 
Bahan pemeriksaan PT adalah plasma sitrat yang diperoleh dari sampel darah vena dengan
antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Darah sitrat harus
diperiksa dalam waktu selambat-lambatnya 2 jam setelah pengambilan. Sampel disentrifus
selama 10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Penyimpanan sampel plasma pada suhu 2-8
oC menyebabkan teraktivasinya F VII (prokonvertin) oleh sistem kalikrein. 

PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau elektromekanik. Teknik manual
memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada
keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat
otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel
dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti. 
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang telah
diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen yang
digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2. 
Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya : 
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru
dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (misalnya Neoplastine CI
plus) 
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet
(misalnya Thromborel S). 

PT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi ekstrinsik dan bersama jika kadarnya
<30%. Pemanjangan PT dijumpai pada penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati,
kanker hati, ikterus), afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X),
disseminated intravascular coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the
newborn (HDN), gangguan reabsorbsi usus. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel
hati tidak dapat mensintesis protrombin. Pemanjangan PT dapat disebabkan pengaruh obat-
obatan : vitamin K antagonis, antibiotik (penisilin, streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol,
kanamisin, neomisin, tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin,
klordiazepoksid, difenilhidantoin , heparin, metildopa), mitramisin, reserpin, fenilbutazon ,
quinidin, salisilat/ aspirin, sulfonamide. PT memendek pada tromboflebitis, infark
miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat : barbiturate, digitalis, diuretik,
difenhidramin, kontrasepsi oral, rifampisin dan metaproterenol.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan PT adalah sampel darah membeku,
membiarkan sampel darah sitrat disimpan pada suhu kamar selama beberapa jam, diet
tinggi lemak (pemendekan PT) dan penggunaan alkohol (pemanjangan PT) >br>
Masa Tromboplastin Parsial Teraktivasi Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang berfungsi
sebagai pengganti trombosit factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia, tumbuhan dan
hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized silica atau celite. Reagen
komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal dari jaringan otak kelinci dengan
kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan
dengan aktivator micronized silica. 

Masa tromboplastin parsial teraktivasi (activated partial thromboplastin time, APTT) adalah
uji laboratorium untuk menilai aktifitas faktor koagulasi jalur intrinsik dan jalur bersama,
yaitu faktor XII (faktor Hagemen), pre-kalikrein, kininogen, faktor XI (plasma tromboplastin
antecendent, PTA), faktor IX (factor Christmas), faktor VIII (antihemophilic factor, AHF),
faktor X (faktor Stuart), faktor V (proakselerin), faktor II (protrombin) dan faktor I
(fibrinogen). Tes ini untuk monitoring terapi heparin atau adanya circulating anticoagulant.
APTT memanjang karena defisiensi faktor koagulasi instrinsik dan bersama jika kadarnya
lebih dari 7 detik dari nilai normal, maka hasil pemeriksaan itu dianggap abnormal. 

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau dengan alat otomatis
(koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan elektro-mekanik. Teknik manual
memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada
keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat
otomatis, metode ini masih dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel
dalam jumlah besar dengan cepat dan teliti. 

Prinsip dari pemeriksaan APTT adalah menginkubasikan plasma sitrat yang mengandung
semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium dan trombosit dengan tromboplastin parsial
(fosfolipid) dengan bahan pengaktif (mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite
koloidal). Penambahan kalsium akan memulai proses pembekuan (bekuan fibrin) dan waktu
yang diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dicatat sebagai APTT. 
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan trisodium
sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang
dilapisi silikon. Sampel disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma
dipisahkan dalam tabung plastik tahan 4 jam pada suhu 20 ± 5 oC. Jika dalam terapi
heparin, plasma masih stabil dalam 2 jam pada suhu 20 ± 5 oC kalau sampling dengan
antikoagulan citrate. 

Nilai normal uji APTT adalah 20 – 35 detik, bervariasi untuk tiap laboratorium tergantung
pada peralatan dan reagen yang digunakan. 
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil APTT adalah : 
- Bekuan pada sampel darah 
- Sampel darah hemolisis atau berbusa akibat dikocok-kocok 
- Pengambilan sampel darah pada jalur intravena misal pada infus Heparin. 

APTT memanjang dijumpai pada : 


1. Defisiensi bawaan 
- Jika PT normal, kemungkinan kekurangan Faktor VIII, Faktor IX, Faktor XI , Faktor XII 
- Jika faktor koagulasi tersebut normal, kemungkinan kekurangan HMW kininogen 
- Defisiensi vitamin K, defisiensi protrombin, hipofibrinogenemia. 

2. Defisiensi didapat dan kondisi abnormal seperti : 


- Penyakit hati (sirosis hati) 
- Leukemia (mielositik, monositik) 
- Penyakit von Willebrand (hemophilia vaskular) 
- Malaria 
- Koagulopati konsumtif, seperti pada DIC 
- Circulating anticoagulant (antiprothrombinase atau circulating anticoagulant terhadap
suatu faktor koagulasi) 
- Selama terapi antikoagulan oral atau Heparin 

Pasien dengan APTT panjang dan PT normal memiliki kelainan dalam jalur koagulasi
intrinsik karena semua komponen uji aPTT kecuali koalin bersifat intrinsik terhadap plasma,
sedangkan pada PT panjang dan aPTT normal terjadi kelainan dalam jalur koagulasi
ekstrinsik terhadap plasma. 

D- Dimer 
D-Dimer adalah produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan
bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik. Pada proses pembentukan bekuan
normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil
katalisis oleh trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan
melepaskan fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B ( FPA dan FPB ). Fibrin monomer akan
mengalami polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor
XIII akan terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin
akan memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D-Dimer. 
D-dimer digunakan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi yang
menyebabkan hiperkoagulabilitas, suatu kecenderungan darah untuk membeku melebihi
ukuran normal. Paling sering ditemukan pada trombosis vena dalam (DVT) yang
berhubungan dengan pembekuan darah di vena terutama di kaki yang menyebabkan
penyumbatan alirah darah di kaki sehingga menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan.
Keadaan ini dapat menimbulkan gumpalan kecil yang terpecah dan berjalan mengikuti
aliran darah menuju bagian lain di tubuh sehingga dapat menimbulkan emboli paru (PE).
sebagai positif. Pada sebagian besar kasus, bekuan darah terjadi di pembuluh vena, tetapi
dapat juga terjadi pada arteri. Kombinasi dari dua jenis trombosis ini diistilahkan dengan
tromboembolisme vena (VTE, venous thromboembolism). Bekuan darah pada arteri
koronaria dapat berasal dari aritmia jantung fibrilasi atrium atau kerusakan katup jantung
yang dapat berakibat heart attack. Bekuan dapat juga berasal dari kerusakan
aterosklerosis, pecahan bekuan menyebabkan emboli dan menyumbat arteri organ lain
seperti otak (stroke) dan ginjal. 
Indikasi pemeriksaan D-dimer adalah pasien dengan gejala DVT , PE yang biasanya diikuti
pemeriksaan PT, APTT dan jumlah trombosit untuk mendukung diagnosis. D-dimer juga
dipakai untuk membantu melakukan diagnosis DIC , yang dapat timbul dari berbagai situasi
seperti pembedahan, gigitan ular berbisa, penyakit hati dan setelah melahirkan. Pada DIC,
faktor-faktor pembekuan darah diaktifkan secara bersamaan di seluruh tubuh sehingga
menyebabkan pembekuan darah di bagian tubuh yang dapat beresiko pendarahan
berlebihan. 

g/L . Kadar D-dimer yang dihitung secara otomatis dengan analyser mempunyai Cut off
point 500 μg/L.Pemeriksaan D-Dimer menggunakan metode latex agglutination yang
dimodifikasi atau menggunakan automated coagulation analyzer (Coagulometer Sysmex
CA-500) untuk mengukur D-Dimer secara kuantitatif. Sampel darah vena dimasukan
kedalam vacutainer yang mengandung sodium citras 9:1 dan dikirim ke laboratorium tanpa
perlakuan khusus. Kemudian sampel ini disentrifugasi untuk mendapatkan supernatan
untuk dilakukan pemeriksaan kadar D-Dimer, atau supernatan dapat disimpan pada suhu
-200C stabil sampai 1 bulan. Prinsip pemeriksaan D-dimer adalah terbentuknya ikatan
kovalen partikel polystyrene pada suatu antibodi monoklonal terhadap cross linkage region
dari D-Dimer. Cross-linkage region tersebut memiliki struktur stereosimetrik yaitu epitop
untuk antibodi monoklonal terjadi dua kali, konsekwensinya satu antibodi cukup untuk
memacu reaksi aglutinasi yang kemudian di deteksi secara turbidimetrik dengan adanya
peningkatan keseluruhan. Hasil metode automatik ini sebanding metode ELISA
konvensional. Satuan untuk kadar D-dimer adalah  

Kadar D-Dimer dalam batas nilai rujukan menunjukkan tidak terdapat penyakit atau
keadaan akut yang menyebabkan pembentukan dan pemecahan bekuan, karena tes ini
mengukur aktivitas fibrinolitik dalam darah. Peningkatan kadar D-Dimer menunjukan
peningkatan produksi fibrin degradation products (FDP), terdapat pembentukan dan
pemecahan trombus yang signifikan dalam tubuh tetapi tidak menunjukkan lokasinya. D-
dimer meningkat pada post-operasi, trauma, infeksi, post-partum, eklampsia, penyakit
jantung, keganasan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan D-dimer
antara lain : 
- Hasil negatif palsu pada terapi antikoagulan 
- Hasil positif palsu pada usia tua, Rheumatoid factor, trigliserid tinggi, lipemia, bilirubin,
hemolisis sampel darah. Fibrinogen. 
Fibrinogen (F I) adalah glikoprotein plasma terlarut yang disintesis oleh hepatosit dan
megakariosit. Fibrinogen sebagai prekursor fibrin, diubah menjadi fibrin oleh thrombin
dengan bantuan serine protease thrombin selama proses pembekuan. Fibrinogen dapat
membentuk jembatan diantara trombosit dengan cara berikatan dengan protein membran
GpIIb/ IIIa di permukaan trombosit. Indikasi pemeriksaan fibrinogen adalah bila dijumpai
abnormalitas PT dan APTT, kasus perdarahan yang belum diketahui penyebabnya,
monitoring progresifitas suatu penyakit (misalnya penyakit hepar) dan monitoring terapi
DIC. 

Fibrinogen dapat diukur dalam darah vena menggunakan sampel darah sitrate atau whole
blood bila menggunakan metode viscoelastic methods seperti thrombelastometry (fungsi
trombosit dihambat dengan cytochalasin D). 

Peningkatan fibrinogen dijumpai pada infeksi akut atau kerusakan jaringan (perannya
sebagai protein fase akut), keganasan, infark miokard, stroke, inflamasi (arthritis
rheumatoid, glomerulonephritis), kehamilan, merokok sigaret, kontrasepsi oral, penggunaan
preparat estrogen. Hipertensi disertai peningkatan fibrinogen meningkatkan resiko stroke.
Beberapa klinisi melakukan pemeriksaan Fibrinogen disertai dengan C-reactive protein
(CRP) untuk menentukan resiko penyakit kardiovaskuler dan sebagai pertimbangan dalam
menangani faktor resiko lainnya seperti kolesterol dan HDL. Peningkatan fibrinogen yang
berkaitan dengan infark miokard, stroke dan penyakit arteri perifer disebabkan oleh
peningkatan viskositas, peningkatan koagulasi, peningkatan availabilitas untuk adhesi dan
agregasi trombosit. 

Penurunan fibrinogen menyebabkan penurunan kemampuan tubuh membentuk bekuan


darah yang stabil. Penurunan fibrinogen kronis berkaitan dengan penurunan produksi akibat
kelainan kongenital (afibrinogenemia, hipofibrinogenemia) atau kelainan didapat (stadium
akhir penyakit hepar, malnutrisi). Penurunan fibrinogen akut disebabkan oleh peningkatan
konsumsi fibrinogen seperti pada DIC, fibrinolisis abnormal, tranfusi darah masif dalam
waktu singkat (hemodilusi), trauma. Dikatakan DIC bila dijumpai penurunan fibrinogen
disertai pemanjangan PT atau APTT pada sepsis atau trauma. Obat-obatan tertentu dapat
menurunkan kadar fibrinogen, antara lain steroid anabolik, androgen, phenobarbital,
streptokinase, urokinase, asam valproat. 

Gangguan polimerisasi fibrin dapat diinduksi oleh infus plasma expanders yang berakibat
perdarahan hebat. Pada kasus dysfibrinogenemia, terdapat abnormalitas fungsi fibrinogen
dengan jumlah normal, hal ini disebabkan oleh mutasi gen yang mengontrol produksi
fibrinogen oleh hepar sehingga hepar memproduksi fibrinogen abnormal yang resisten
terhadap degradasi saat dikonversi menjadi fibrin. Dysfibrinogenemia dapat meningkatkan
resiko trombosis vena. Pasien dengan defisiensi fibrinogen atau gangguan polimerisasi
fibrinogen dysfibrinogenemia dapat mengalami perdarahan sehingga diperlukan koreksi
dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP), cryoprecipitate (plasma kaya fibrinogen) atau
konsentrat fibrinogen. 

Thrombin time 
Thrombin time (TT) diperoleh dengan menambahkan reagen thrombin ke plasma sitrate,
mengukur waktu sejak ditambahkannya thrombin sampai terbentuknya bekuan darah pada
suhu 37 oC, digunakan untuk mengetahui jumlah dan kualitas fibrinogen dan konversi
fibrinogen (soluble protein) menjadi fibrin (insoluble protein). Bila pasien dalam terapi
Heparin, digunakan reptilase sebagai pengganti thrombin (efek sama dengan thrombin
tetapi tidak dihambat oleh Heparin). Reptilase digunakan untuk identifikasi Heparin sebagai
penyebab pemanjangan TT. 

Sampel darah untuk pemeriksaan menggunakan darah sitrat (vacutainer bertutup biru),
dengan pengisian darah sesuai agar tercapai ratio antikoagulant terhadap darah adalah satu
bagian antikoagulan per sembilan bagian darah. Nilai normal tergantung dari kadar
thrombin yang dipakai, umumnya kurang dari 22 detik, tergantung dari metode yang
digunakan. 

Thrombin time digunakan mendiagnosis gangguan perdarahan, mengetahui efektivitas


terapi fibrinolitik. Thrombin time memanjang pada afibrinogenemia, hipofibrinogenemia
(kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/ mL), dysfibrinogenemia, sirosis hepatis, karsinoma
hepatoseluler, bayi baru lahir, terdapat inhibitor thrombin (Hepari, FDP, DIC), multiple
myeloma, procainamide-induced anticoagulant, amiloidosis sistemik). Bila TT memanjang,
pemeriksaan diulang dnegan menggunakan campuran plasma penderita dengan plasma
kontrol (perbandingan 1:1) untuk mengetahui ada tidaknya inhibitor. 

Platelet aggregation test (Test agregasi trombosit) 


Pemeriksaan agregasi trombosit digunakan untuk mengevaluasi kemampuan trombosit
untuk membentuk agregat/ clump dan mengawali terbentuknya bekuan darah. Indikasi
pemeriksaan adalah : 
- Membantu diagnosis gangguan fungsi trombosit baik kongenital (Von Willebrand’s disease)
maupun didapat, pada pasien dengan riwayat perdarahan 
- Dugaan peningkatan agregasi trombosit (DM, hiperlipidemia) 
- Monitoring terapi anti-trombosit (aspirin, ticlopidine, clpopidogrel, abciximab) paska stroke
atau heart attack 
- Deteksi faktor resiko trombosis arteri (PJK, stroke) 
- Deteksi resistensi aspirin 
- Monitoring fungsi trombosit selama operasi CABG (sirkulasi mekanik dengan mesin
jantung-paru mengaktifkan sejumlah besar trombosit dan menyebabkan dysfungsional
trombosit), kateterisasi jantung, transplantasi hepar. 
- Skrining pasien preoperasi beresiko perdarahan selama prosedur invasif, misalnya pasien
dengan riwayat perdarahan atau mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kemampuan
darah untuk membeku seperti aspirin dan NSAID. 

Persiapan pemeriksaan agregasi trombosit adalah : 


- Darah diambil dalam keadaan puasa 8 jam karena kadar lemak tinggi dalam darah akan
mempengaruhi hasil. 
- Sampel darah tidak hemolisis 
- Sampel darah disimpan dalam penampung plastik/ gelas berlapis silikon bertutup pada
suhu kamar 
- Dikerjakan dalam waktu tiga jam setelah pengambilan darah karena respons PRP
(trombosit rich plasma) akan menurun dalam tiga jam. 
- Jumlah trombosit dalam PRP lebih dari 100.000/ UL 

Prinsip pemeriksaan adalah perubahan transmisi cahaya (light transmittance changes),


yaitu penambahan agonist (aggregating agents) ke dalam PRP akan menginduksi terjadinya
agregasi trombosit sehingga transmisi cahaya melalui PRP meningkat. Agonist dapat berupa
ADP (yang umumnya dipakai), epinferin, kolagen, thrombin, ristocetin). Beberapa macam
obat yang dapat mempengaruhi hasil adalah : Aspirin, NSAID (Ibuprofen), antidepresi
tricyclic, antihistamin, beberapa antibiotika, plasma expander Dextran, Warfarin, beta-
blocker. Bila pasien mengkonsumsi obat tersebut, dianjurkan berhenti dua minggu sebelum
pemeriksaan. 

Gangguan fungsi trombosit kongenital terdapat pada : 


- Von Willebrand’s disease : berhubungan dengan penurunan produksi atau disfungsi faktor
von Willebrand 
- Glanzman’s thromboasthenia : penurunan kemampuan agregasi trombosit 
- Bernard-Soulier syndrome : penurunan kemampuan adhesi trombosit 
- Storage pool disease : penurunan kemampuan trombosit mengeluarkan substansi untuk
menginduksi agregasi 

Gangguan fungsi trombosit didapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti gagal ginjal
(uremia), myeloproliferative disorders (MPDS), leukemia akut. Gangguan fungsi trombosit
yang bersifat sementara dijumpai pada konsumsi obat aspirin dan NSAID, setelah operasi
bypass jantung (CABG) yang berkepanjangan. 

PENUTUP 
Hemostasis merupakan kemampuan tubuh untuk menghentikan perdarahan dan berfungsi
menjaga keenceran darah sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik,
serta membentuk thrombus sementara pada dinding pembuluh darah yang mengalami
kerusakan. Telah dibahas mengenai faktor-faktor yang berperan dalam koagulasi, prinsip
pemeriksaan dan interpretasi hasil beberapa pemeriksaan koagulasi. 

Anda mungkin juga menyukai