Anda di halaman 1dari 2

Pembajakan Kapal Sinar Kudus, Lebih Memerlukan Banyak Perhatian

Salah satu isu yang sekarang sedang hangat adalah isu mengenai terorisme dan
jaringannya yang sedang gencar melakukan ancaman bom, maupun bomnya.
Belum genap satu bulan yang lalu, terjadi bom buku di Kantor Berita Radio 68H, lalu
bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon, dan ancaman ledakan bom di
Serpong. Bom di Serpong tersebut bahkan bertotal 150 kg. Pemerintah dan aparat
bergerak cepat untuk mengatasi masalah terorisme. Para tersangka ditangkap dan
langsung ditahan untuk diperiksa. Bom di Mapolrestabes Cirebon pun dengan sigap
diselesaikan.

Selain isu itu, ada isu lain yang sebetulnya terkait keamanan warga negara yang
sedang dipertaruhkan. Yaitu penyanderaan kapal Sinar Kudus oleh para perompak
Somalia. Awak kapal Sinar Kudus sudah disandera selama satu bulan lebih,
tepatnya sejak 16 Maret 2011 lalu. Hingga sekarang, dengan kondisi yang semakin
melemah, mereka belum juga dibebaskan. Meski harus ada prosedur negosiasi
lainnya untuk meminimalisir korban di dalam kapal, pemerintah tergolong lambat
menanganinya dibandingkan saat pemerintah menangani teroris pengancam
melalui bom.

Hal ini menjadi pertanyaan juga bagi kami, kenapa terjadi perbedaan tindakan pada
dua kasus ini? Apakah karena menyangkut orang banyak sehingga penanganannya
lebih cepat?

Terkait ancaman bom, presiden sudah menerapkan siaga satu bagi ancaman-
ancaman terorisme yang belum tentu akan terjadi lagi. Apalagi siaga satunya itu
merupakan siaga satu nasional, berarti daerah-daerah pelosok pun aparat
keamanannya harus siaga satu. Bukankah itu menjadi kisah yang memilukan bagi
orang yang sedang disandera. Nyawa mereka terancam karena sudah kehabisan
pangan, dan sudah dalam kondisi kritis. Buat apa lama-lama bernegosiasi jika
akhirnya para tawanan itu harus gugur terlebih dahulu?

Dengan kekuatan militer Indonesia dan dukungan dari PBB untuk segera
melepaskan diri dari masalah perompakan, seharusnya pemerintah sudah dapat
dengan cepat mengatasi masalah ini. Walau berbeda konteks dengan terorisme di
Indonesia, keduanya sama-sama merupakan masalah warga negara yang berdaulat
di Republik Indonesia. Sayangnya, penanganan terhadap kedua masalah itu
terkesan berbeda kutub.

Bila ingin mengkritisi pemerintah, hal itu terlihat bahwa pemerintah kita lambat
mempersiapkan diri dan lambat merespon. Masalah perompak somalia itu sudah
berlangsung cukup lama, beberapa kapal dagang negara lain bahkan cukup sering
diberitakan dibajak. Dihitung sejak penyerangan kapal perang Amerika Serikat USS
Cole oleh teroris di Pelabuhan Aden tahun 1991, jumlah kapal yang telah dibajak di
perairan Somalia lebih dari 350 unit. Sebagian besar terjadi pada empat tahun
terakhir.
MV Sinar Kudus adalah kapal pertama berbendera Indonesia yang menjadi korban
pembajakan di perairan Somalia. Kapal dari beberapa negara lain tercatat pernah
dibajak lebih dari sekali, misalnya kapal milik Arab Saudi, Singapura, Jepang, dan
Thailand. Sebagian kapal berhasil dibebaskan sebelum disandera penuh oleh
perompak, seperti MV Bunga Laurel yang berbendera Malaysia dan dibebaskan oleh
Angkatan Laut Malaysia atau MV Sam Hoo yang berbendera Korea Selatan dan
kemudian perompaknya dibawa ke Korsel untuk diadili. Pembebasan kapal dari
tangan perompak hanya dapat dilakukan sebelum perompak menguasai kapal
sepenuhnya.

Pembajakan yang terjadi, sedikit banyak bisa membuktikan bahwa dari segi
pertahanan yang kaitannya dengan perlindungan terhadap warga negara yang
melintasi sumudera di belahan dunia lain, negara ini masih lemah dan minim
antisipasi. Karena itu, kewaspadaan, koordinasi, dan pelaporan yang cepat kepada
satuan-satuan militer yang ditempatkan di area rawan akan sangat membantu
kapal menghindari pembajakan.

Anda mungkin juga menyukai