Anda di halaman 1dari 4

Kaidah Da'wah Dan Amar Ma'ruf Nahi

Mungkar

Oleh
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah.

Barang siapa yang menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran (menegakkan amar
ma’ruf nahi mungkar), maka sepatutnya dia itu :

[1] Seorang yang ‘alim (berilmu) terhadap apa yang ia suruh, berilmu terhadap apa yang ia larang

[2] Seorang yang berlemah- lembut pada apa yang dia suruh dan berlemah-lembut pada apa yang
dia larang

[3] Seorang yang bijaksana pada apa yang dia suruh dan bijaksana pada apa yang dia larang.

Maka berilmu sebelum menyuruh, berlemah-lembut di waktu menyuruh, serta bijaksana setelah
menyuruh. Kalau seandainya ia bukan seorang yang ‘alim, maka ia tidak boleh mengikuti apa yang
tidak ia ketahui. Kalau seandainya ia seorang yang ‘alim (berilmu), tetapi tidak berlemah-lembut,
maka bagaikan seorang dokter yang tidak mempunyai sikap lemah- lembut, lantas bersikap kasar
terhadap pesien, akibatnya pasien pun tidak menerimanya. Dan seperti seorang pendidik yang
kasar, maka anak pun tidak bisa menerimanya. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman kepada Musa
dan Harun :

Artinya : “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (kepada fir’aun) dengan kata-kata yang
lemah- lembut, mudah- mudahan ia ingat atau takut“ [Thoha : 44]

Kemudian, kalau da’i itu mau menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar –biasanya - maka ia mesti
akan disakiti. Oleh karena itu dia harus sabar dan bersikap bijaksana, sebagaimana firman Allah
Ta’ala :

Artinya : “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk hal-
hal yang diwajibkan (oleh Allah)“. [Lukman : 39].

Sesungguhnya Allah telah memerintahkan nabi- Nya (Muhammad) untuk bersabar menghadapi
siksaan kaum musyrikin di berbagai tempat di Al Quran, padahal beliau itu adalah pemimpin
orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Maka pertama sekali, hendaklah seseorang menjadikan urusannya karena Allah dan tujuannya
adalah menta’ati Allah pada apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Dan mencintai
kemaslahatan manusia atau menegakkan hujjah terhadap mereka. Apabila ia mengerjakan
perbuatan yang disebutkan di atas karena ingin mencari kedudukan untuk dirinya dan golongannya
serta merendahkan orang lain, maka perbuatan itu menjadi hamiyah (fanatik golongan atau
hizbiyyah) yang tidak diterima Allah.

Begitu juga kalau dia mengerjakanya karena mencari sum’ah (reputasi / ingin didengar orang) dan
riya’ (disimulasi / ingin dilihat orang), maka perbuatan itu akan menjadi sia-sia. Kemudian apabila
perbuatannya itu dibantah atau dirinya disakiti atau dikatakan terhadap dirinya, bahwa dia itu
adalah orang yang salah dan tujuannya salah, maka dia mencari pertolongan (pendukung) untuk
memenangkan dirinya sendiri, sehingga syeitan pun mendatanginya.

Pertama-tama perbuatannya itu adalah karena Allah, kemudian dia dimasuki oleh hawa nafsu,
dengan hawa nafsu itu ia mencari orang yang akan menolongnya terhadap apa yang telah
menyakiti dirinya. Kadang-kadang dia bersikap melampaui batas terhadap orang yang telah
menyakitinya itu.

Demikianlah halnya orang-orang yang memiliki perkataan (pemikiran) yang sesat. Jika setiap
orang dari mereka meyakini bahwa kebenaran ada pada dirinya dan (merasa) dia lah yang berada
di atas sunnah. Maka kebanyakan dari mereka memiliki unsur hawa nafsu dalam sikapnya itu
untuk mempertahankan wibawa atau kedudukannya dan seluruh apa yang di nisbahkan kepada
dirinya. Mereka tidak berniat, bagaimana kalimat Allah ini menjadi tinggi, bagaimana agama ini
seluruhnya hanya untuk Allah. Akan tetapi mereka marah kepada orang yang menyelisihi mereka,
miskipun orang tersebut seorang yang mujtahid yang diberi uzur serta tidak dimarahi Allah. Dan
mereka senang (ridho) terhadap orang yang setuju dengan mereka miskipun dia seorang yang
bodoh, tujuannya jelek, tidak mempunyai ilmu serta tidak mempunyai niat baik.

Maka tindakkan ini mengakibatkan kepada perbuatan memuji orang yang tidak dipuji Allah dan
Rasul-Nya, dan mencela orang yang tidak dicela Allah dan Rasul- Nya dan jadilah loyalitas dan
permusuhan mereka berdasarkan hawa nafsu belaka, bukan berdasarkan agama Allah dan Rasul-
Nya.! Inilah kondisi orang-orang kafir, mereka tidak mencari kecuali (memenuhi) hawa nafsu
mereka. Dan berkata : “ Ini teman kita dan itu musuh kita “ . Mereka tidak akan melihat kepada
loyalitas karena Allah dan Rasul-Nya dan permusuhan karena Allah dan Rasul-Nya. Dari sinilah
tumbuhnya fitnah di antara manusia.
Allah berfirman :

Artinya :”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah“.[Al Anfaal :39]

Apabila agama itu seluruhnya tidak dimurnikan untuk Allah, maka timbullah fitnah. Padahal
pokok dasar agama itu adalah mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berloyal demi
Allah, bermusuhan karena Allah, dan beribadah hanya karena Allah. Minta pertolongan dengan
Allah. Takut kepada Allah. Harapan hanya kepada Allah, memberi karena Allah dan tidak
memberi juga karena Allah. Pokok-pokok ini hanya bisa diwujudkan dengan cara mutaba’ah
(mengikuti) Rasulullah e yang mana suruhannya adalah suruhan karena Allah dan larangannya
adalah laranga n karena Allah. Permusuhannnya adalah permusuhan karena Allah. Ketaatannya
adalah keta’atan karena Allah…
Orang yang mengikuti hawa nafsu, akan dibutakan dan ditulikan oleh hawa nafsu itu sendiri.
Sehingga, ia tidak bisa mengingat hal-hal yang merupakan mi lik Allah dan Rasul-Nya dan tidak
mampu mencarinya (tidak mampu mencari hal-hal yang merupakan milik Allah dan Rasul-Nya –
pent). Dia tidak ridho karena keridhoan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak marah karena kemarahan
Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi dia ridho bila mendapatkan sesuatu yang diridhoi oleh hawa
nafsunya, dan marah bila menemukan sesuatu yang bisa membangkitkan kemarahan hawa
nafsunya.

Dalam keadaan seperti itu, dia juga mempunyai segelintir syubhah agama !!! yaitu (merasa)
sesungguhnya yang dia ridhoi dan yang dia benci adalah karena sunnah, karena haq (kebenaran)
dan karena agama !!!. Jika ditakdirkan bahwa yang dia pegang itu adalah semata- mata kebenaran –
agama Islam– sedangkan tujuannya (niatnya) bukanlah menjadikan agama ini seluruhnya karena
Allah, dan bukan menjadikan kalimat Allah itu menjadi tinggi, akan tetapi tujuannya (niatnya)
adalah hamiyah (ta’ashub atau hizbiyah) terhadap dirinya dan golongannya, atau tujuannya riya’
(disimulasi) supaya dia diagung-agungkan dan disanjung-sanjung, atau dia melakukan hal tersebut
supaya dikatakan pemberani, atau karena kepentingan dunia. Maka perbuatan itu bukan karena
Allah, dan bukan pula jihad di jalan Allah. Lalu bagaimana (jadinya), jika orang yang
mendakwakan kebenaran dan sunnah itu, seperti lawannya juga; pada dirinya ada kebenaran dan
kebatilan, ada sunnah dan bid’ah, dan pada diri lawannya juga ada kebenaran dan kebatilan, ada
sunnah dan bid’ah.

Inilah keadaan orang-orang yang sesat (ahli bid’ah) di mana mereka memecah belah agama
mereka sendiri, sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok. Sampai-sampai sebagian
mereka mengkafirkan sebagian yang lain, sebagian mereka menfasiqkan sebagian yang lain. Oleh
karena ini Allah Ta’ala berfirman tentang mereka :

Artinya : “Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka)
melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah (mengibadati) Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat;
dan yang demikan itulah agama yang lurus“.[ Al Baiyinah : 4-5]

[Dinukil dari kitab Minhaajus Sunnah Vol : 3, hal : 64, oleh Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul
Halim Ibnu Taimiyah, diterjema hkan oleh Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam]
_________
Foote Note.
Sumber : http ://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1505&bagian=0

Anda mungkin juga menyukai