Anda di halaman 1dari 6

Alergi http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/alergi.

htm

Oleh: AsianBrain.com Content Team

Alergi adalah sebuah reaksi yang dilakukan tubuh terhadap masuknya


sebuah"benda asing". Ketika sebuah substansi tak dikenal masuk, antigen, tubuh
serta merta akan meningkatkan daya imunitasnya untuk bekerja lebih giat. 

Normalnya, sistem kekebalan tubuh akan memproteksi tubuh dari daya rusak yang
dilakukan benda asing tersebut, bakteri atau racun. Akan tetapi, jika tubuh
melakukan reaksi berlebihan atas substansi pelemah tersebut,
terjadihipersensivitas. 

SIFAT-SIFAT ALERGI :

1. Pencetus suatu alergi disebut allergen. Debu, pollen, tumbuh-tumbuhan


tertentu, obat-obatan, jenis makanan spesifik, bulu serangga, virus, atau
bakteri, tergolong dalam hal ini.
2. Reaksi yang terjadi bisa timbul di satu titik, seperti di kulit, bulu mata, atau
mungkin juga di sekujur tubuh.
3. Biasanya timbul satu atau beberapa gejala pengiring yang mengikuti reaksi
alergi.
Dalam kasus tertentu, reaksi alergi diidap si penderita sepanjang hidupnya. Setiap
tahun di Amerika Serikat, sekitar 400 orang meninggal akibat
penggunaan penisilin yang salah kaprah. Juga 50 orang meninggal akibat alergi
saat disengat lebah dan gigitan semut. Namun perlu diingat, sebagian besar alergi
adalah hal yang umum terjadi dan akibat yang ditimbulkan tidak begitu serius.
Tingkat parahnya penderita alergi tergantung daya tahan tubuh.

TERJADINYA REAKSI ALERGI :

A. Sel darah putih merupakan sistem imunitas tubuh paling utama. 

1. Saat antigen memasuki tubuh, secara otomatis seluruh jaringan tubuh akan


melakukan suatu proses kompleks untuk mengenali benda asing tersebut.
2. Sel darah putih menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan antigen.
Proses ini disebut sensitisasi.
3. Antibodi bekerja dengan mendeteksi dan merusak substansi yang
menyebabkan penyakit.  Pada reaksi alergi, antibodi dikenal sebagai
immunoglobulin E, atau IgE.
B. Antibodi  ini memerintah "para mediator" untuk memproduksi semacam zat yang
mampu mengurangi kadar kimia dan hormon yang dimiliki antigen. 

1. Mediator yang umum dikenal diantaranya adalah Histamine.


2. Mediator mempunyai efek meningkatkan aktivitas sel darah putih. Inilah
yang memungkinkan terjadinya gejala yang mengikuti.
3. Jika hadirnya mediator dirasa sudah cukup, reaksi alergi bisa dikatakan telah
berakhir.
C. Reaksi alergi sebenarnya sebuah keunikan bagi kita. Tubuh sudah pasti akan
mengenali antigen jika sewaktu-waktu akan menyerang kembali.

D. Macam-macam pencetus alergi yang dikenali oleh umum :


1. Jenis makanan tertentu, vaksin dan obat-obatan, bahan berbahan dasar
karet, aspirin, debu, bulu binatang, dan lain sebagainya.
2. Sengatan lebah, gigitan semut api, penisilin, kacang-kacangan. Biasanya
reaksi yang ditimbulkan akan berlebihan dan bisa mengakibatkan alergi
serius di sekujur tubuh.
3. Penyebab minor; suhu udara panas ataupun dingin, dan kadar emosi yang
berlebihan.
4. Sering kali, allergen secara spesifik sukar untuk diidentifikasi meskipun di
masa lampau pernah mengalami gejala serupa.

E. Alergi tidak berkaitan dengan garis keturunan si penderita. Bisa jadi satu


anggota keluarga terkena alergi, sementara yang lain tidak pernah terkena. 

F. Orang-orang tertentu yang mudah terjangkiti reaksi alergi:

1. Pernah mengalami alergi tertentu pada masa sebelumnya.


2. Penderita asma
3. Orang yang mengalami gangguan pada saluran pernapasannya.
4. Penderita polip
5. Penderita infeksi pada sinus, telinga, atau pangkal tenggorokan.
6. Orang yang memiliki kulit sensitif

PENGOBATAN :

Ada beberapa cara untuk mengobati reaksi alergi. Pilihan tentang pengobatan dan
bagaimana cara pemberian disesuaikan dengan gejala yang dirasakan. 

A. Untuk jenis alergi biasa, seperti reaksi terhadap debu atau bulu binatang,
pengobatan yang dilakukan disarankan adalah:

1. Prescription antihistamines,
seperti cetirizine (Zyrtec), fexofenadine(Allerga), dan Ioratadine (Claritin),
dapat mengurangi gejala tanpa menyebabkan rasa kantuk. Pengobatan ini
dilakukan sesaat si penderita mengalami reaksi alergi. Jangka waktu
pemakaian hanya dalam satu hari, 24 jam.  
2. Nasal corticosteroid semprot. Cara pengobatan ini dimasukkan ke dalam
mulut atau melalui injeksi. Bekerja cukup ampuh dan aman dalam
penggunaan, pengobatan ini tidak menyebabkan efek samping. Alat semprot
bisa digunakan beberapa hari untuk meredakan reaksi alergi, dan harus
dipakai setiap hari. Contoh: fluticasone  (Flonase),mometasone (Nasonex),
dan triamcinolone (Nasacort).
B. Untuk reaksi alergi spesifik. Beberapa jenis pengobatan yang dapat dilakukan
untuk menekan gejala yang mengikuti :

1. Epinephrine
2. Antihistamines, seperti diphenhydramine (Benadryl)
3. Corticosteroids
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan
Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang
masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi
jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi
tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan
komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type
Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang

Jenis Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan Jaringan


Hipersensitivitas Patologik dan Penyakit
Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya  (amin
Hipersensitivitas vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)
cepat

Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi & fagositosis sel


Reaksi melalui permukaan sel atau Pengerahan leukosit (neutrofil,
antibodi matriks antigen makrofag) atas pengaruh komplemen
ekstraseluler dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam
sinyal reseptor hormone)

Tipe III Kompleks imun Pengerahan dan aktivasi leukosit atas


Kompleks imun (antigen dalam pengaruh komplemen dan Fc-R
sirkulasi dan IgM atau
IgG)
Tipe IV (melalui 1. CD4+ : DTH 1. Aktivasi makrofag, inflamasi
sel T) 2. CD8+ : CTL atas pengaruh sitokin
Tipe IVa 2. Membunuh sel sasaran direk,
inflamasi atas pengaruh sitokin
Tipe IVb

terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).


(Baratawidjaja, 2006).

1. B. Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas Tipe I


Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit
setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai
anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi
lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian
reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh
tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna,
diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau
hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi
antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen.
Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil,
dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi
tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast
melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang
menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel
inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga
mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
(Rengganis dan Yunihastuti, 2007).

Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif
(mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.

1. Mediator jenis pertama


Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.

-       histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan
saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.

-       Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of


anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.

1. Mediator jenis kedua


Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid
membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan
lipoksigenase.

-       Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan


tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.

-       Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien.


Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive
substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos
dibandingkan dengan histamin.

1. Mediator jenis ketiga


Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)
1. C. Nutrisi dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti
alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau
berbagai organ target: kulit (urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas
(rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem
kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat
alergi makanan biasanya timbul  setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa disertai
gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme, hingga
gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro et.al, 2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi.
Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun,
tidak semua protein dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab
tersering alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang.
Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan,
ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang setelah pasien menghindari makanan
tersebut, dan melakukan eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan,
dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat
lama.

Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1


telah diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II
dianggap sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang
mengandung Pen a1 (tropomiosin).
Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan
manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya
disebabkan oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen
yang dimakan dapat menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh,
karena distribusi random IgE pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis
dan Yunihastuti, 2007). .

1. D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi


Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien
benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk
mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi
timbulnya gejala.

Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.

1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya


keterkaitan penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan
paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3)  Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi,
namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa
hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE
spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel)
hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab
keluhan pasien.
5)  Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan
diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi
dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti,
2007).
1. E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi
Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan
harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari
bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.

Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan


ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik
yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah
dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah
penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen,
sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada
orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat
berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit
ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit.
Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh
histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi
menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan
fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam
lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

ASI berisi substansi alamiah yang membantu maturitas usus bayi sehingga melindungi
terhadap reaksi alergi, meningkatkan pertumbuhan postnatal dari epitel intestinal dan
maturasi fungsi mukosa, serta menjaga keseimbangan Th1 dan Th2 yang menyebabkan
penurunan risiko terjadinya alergi.
Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan mengalami alergi, karena maturitas barier
imunitasnya belum sempurna, sehingga belum dapat melindungi tubuh dengan
maksimal. Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum
dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama
makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan
barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi
akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga
menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil
sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini 
berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien
dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi
normal.

Ibunya Siti yang mengalami pilek, hidung gatal, bersin-bersin, dan juga menderita
asma, dengan gejala sesak nafas dan mengi, menunjukkan bahwa ibunya Siti juga
memiliki riwayat alergi. Mekanisme alergi pada ibunya Siti juga tetap diperantarai
histamin, namun, alergi pada ibunya Siti bermanifestasi pada saluran pernafasan.
Contohnya, bronkokonstriksi yang menyebabkan sesak nafas dan mengi (ekspirasi
berbunyi) adalah akibat dari kerja histamin yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus. Sedangkan pilek, hidung gatal, dan bersin, adalah upaya mukosa dan
sekretnya untuk menyingkirkan alergen yang masuk ke saluran pernafasan. Asma,
dalam hal ini adalah alergi bronkus yang dikhawatirkan menurun, memang mempunyai
kemungkinan diturunkan. Dengan mempunyai hanya satu orang tua yang memiliki
riwayat alergi saja, anak telah memiliki risiko alergi sebesar 20-40%.

Syok anafilaktik yang terjadi ketika ibunya Siti disuntik merupakan salah satu reaksi
alergi hebat akibat pelepasan histamin yang diantaranya ditandai dengan penurunan
kesadaran dan penurunan tekanan darah. Apabila dijumpai syok anafilaktik, hendaknya
pada pasien segera diberikan antagonis fisiologis histamin, yaitu berupa injeksi
adrenalin.

Apabila dijumpai pasien dengan kecurigaan penyakit alergi, maka pertama kali
dilakukan anamnesis, kemudian pemeriksaan fisik dan laboratorium, kemudian tes kulit
yang sederhana. Apabila belum ditemukan penyebab yang pasti, barulah dilakukan tes
provokasi.

Dalam kasus, kemungkinan besar pasien alergi terhadap makanan tertentu seperti
udang dan kepiting, karena gejala-gejala alergi yang ada timbul setelah pasien makan
makanan tersebut. Penatalaksanaan yang paling baik untuk alergi adalah menghindari
alergennya. Namun apabila diperlukan, dapat digunakan antihistamin, obat-obat
kortikosteroid, serta imunosupresan yang seluruhnya digunakan untuk menekan respon
sistem imun yang berlebihan yang terjadi pada reaksi alergi.

Anda mungkin juga menyukai