Anda di halaman 1dari 4

ALERGI OBAT http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-yxbp223.htm
Ariyanto Harsono, Anang Endaryanto
 
BATASAN
Alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui
reaksi imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah
pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi simpang obat (adverse drug
reaction), yang meliputi toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat.
Toksisitas obat adalah efek obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat
adalah efek obat selain� khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau interaksi
dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak berhubungan dengan sifat
farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada populasi dengan penyebab yang tidak
diketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena
proses non imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
 
PATOFISIOLOGI
Alergi obat dapat terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :
�        Reaksi hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya berinteraksi
membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast di jaringan atau sel
basofil di sirkulasi.
�        Reaksi antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang dilapisi
antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem monosit-makrofag.
�        Reaksi kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
�        Reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah
reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang
tersering melalui tipe I dan IV. Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat tersering
penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan pirazolon. Obat lainnya yaitu
asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan, dilantin, tridion. Namun demikian yang paling
sering dihubungkan dengan alergi adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi
pada paparan pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu
beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak
dapat langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk bersifat
sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk ikatan kovalen dengan
protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini akan tetap utuh selama diproses didalam
makrofag dan dipresentasikan pada sel limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul
besar misalnya insulin, antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung
merangsang sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai panjang. Setelah
paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody dan aktifasi sel imun dalam
masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20 hari.
 
GEJALA KLINIK/Symptom
Gejala kilinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam
obat dapat menimbulkan berbagai gejala pada seseorang, dapat berbeda dengan orang lain, dapat
berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering,dapat
berupa gatal, urtika, purpura, dermatitis kontak, eritema multiforme, eritema nodusum, erupsi
obat fikstum, reaksi fotosensifitas, dermatitis eksfoliatif, erupsi vesikobulosa dan sidroma Steven
Johnson.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan tepat dan segera adalah reaksi anafilaksis, karena
adanya hipotensi,spasme bronkus,sembab laring,angioudema atau urtikaria generalisata. Demam
dapat merupakan gejala tunggal alergi obat atau bersama gejala lain yang timbul beberapa jam
setelah pemberian obat tetapi biasanya pada hari 7-10 dan menghilang dalam waktu 48 jam
setelah penghentian obat atau beberapa hari kemudian. Demam disebabkan karena pelepasan
sitokin. Beberapa obat dapat sebagai pirogen langsung misalnya amfoterisis B, simetidin,
dextran, besi kalsium dan dimerkaprol. Mekanismenya belum jelas pada anak, epinefrin dapat
menimbulkan demem karena bersifat vasokostriktor, dengan demikian menghambat pengeluaran
panas tubuh. Demikian juga pemberian atrofin serta fenotiasin dapat menimbulkan demam
dengan menghambat pembentukan keringat. Beberapa obatseperti alupurinol, azatioprim,
barbiturat, produk darah, sefalosporin, hidroksiurea, yodida, metildopa, penisilamin, penisilin,
fenitoin, prokainamid dan kuinidin sering menimbulkan demam tanpa disertai gejala alergi lain.
 
Tabel 1. : Klasifikasi alergi obat menurut gejala klinis
Anafilaksis Sembab laring , hipotensi , bronkospasme
Erupsi kulit Urtikaria/angioudema , pruritus , ruam makulopapular, erupsi
obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis,eritema nodusum,
eritema multiforme,sindroma Steven Johnson, nekrolisis
epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi fotosensitif.
Kelainan hematologi Anemia hemolitik,netropenia,trobositopenia.
Kelainan paru Pneumonitis interstitialis/aveolaris,edema paru/fibrosis paru.
Kelainan renal Nefritis interstitialis,glomerulonefritis,sindroma nefrotik.
Penyakit Serum  
Demam obat  
Vaskulitis sistemik  
Limfadenopati  
 
CARA PEMERIKSAAN/DIAGNOSIS
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat. Dasar diagnosis obat yang
terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal penting. Gejala klinis umumnya tidak khas,
kecuali beberapa bentuk erupsi� kulit seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi
anafilaksis yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat atau metabolitnya. Uji in vivo
berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan
prosedur rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui apakah benar ada hubungan
antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan
bagian dari perjalanan penyakitnya sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis
dan uji laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal penting
yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan efek farmakologi obat, biasanya terjadi beberapa hari
setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang
beberapa waktu setelah penggantian obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang
obat yang sama atau dengan struktur obat yang sama (Tabel 2). Gambaran fisik terutama erupsi kulit ada
pola gambaran tertentu untuk masing-masing obat (Tabel 3).
 
Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai
sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap
sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan
dengan cara desensitisasi.
Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan� pengobatan khusus. Untuk pruritus,
urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin,
loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan
dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari;� > 6
tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari;� > 6
tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2
kali/hari;� > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis
sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson,
vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan
suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan
perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis eksfoliatif,
nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai
keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari
dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan
dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian
Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan
dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi
anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan
untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah
ditentukan. Pemilihan� sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip
umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih
mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep
lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis.
Sediaan� semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya
steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh
memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher,
ketiak dan selangkangan..

Patogenesis
Reaksi alergi secara definisi adalah reaksi yang diperantarai oleh respon immun.
Sebuah obat dapat menyebabkan berbagai respon immun, dan sebagai faktor
penentu antigen dapat berasal dari sebuah obat. Sebagai contohnya faktor penentu
utama antigen dan penentu lainnya telah diidentifikasikan untuk penicillin (gambar
1). Sel T berperan utama dalam menunda reaksi hipersensitivitas, termasuk
antibiotik yang menyebabkan erupsi maculopapular ( gambar 2). Sedangkan obat
yang sepesifik terhadap antibodi IgE menyebakan reaksi urtikaria (gambar 3)

Anda mungkin juga menyukai