Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat

yang adil dan makmur. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak

hanya cukup pangan, sandang dan perumahan saja, tetapi justru harus diartikan

sebagai cara bersama mewujudkan masa depan tersebut.

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan

mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”. Pembangunan perumahan dan pemukiman (papan) merupakan kebutuhan

dasar manusia. Dengan demikian, ia berperan sangat strategis dalam pembentukan

watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi

kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan

dan pemukiman tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi

lebih dari itu, yaitu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan

hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menempatkan jati dirinya.1

Dalam rangka pelaksanaan visi dan misi Presiden dalam Pemilu tahun 2009,

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2010

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) II 2010-2014, dimana

salah satu permasalahan dan agenda pentingnya adalah upaya percepatan

1
Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman.

1
Universitas Sumatera Utara
pembangunan infra struktur, termasuk di dalamnya masalah pembangunan

perumahan dan pemukiman guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan papan yang

layak dalam lingkungan yang sehat. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi

presiden tersebut dilakukan pembangunan ribuan unit rumah sederhana (RS) dan

rumah sangat sederhana (RSS) termasuk pula pembangunan Rumah Susun Sederhana

Sewa (Rusunawa) sebanyak 50 ribu unit dan Rumah Susun Milik (Rusunami)

sebanyak 25 ribu unit bagi kebutuhan masyarakat berpenghasilan menengah

kebawah, dengan tingkat penghasilan di bawah Rp. 4.500.000 per bulan, melalui

peran serta swasta atau kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private

Partnership).2

Guna menindak lanjuti Perpres nomor 6 tahun 2010 tersebut, pemerintah telah

menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2010 tentang percepatan

pembangunan rumah susun di kawasan perkotaan, khususnya pembangunan

Rusunawa dan Rusunami sebanyak seribu Tower Apartemen Murah untuk Rakyat

(Pro Populis) sampai dengan tahun 2015 dengan mendapatkan subsidi dan insentif

dari Pemerintah/Pemda. Pembangunan Rusuna ini diprioritaskan di kawasan

perkotaan dengan jumlah penduduknya di atas 1,5 juta jiwa.

Kebijakan percepatan pembangunan perumahan dan pemukiman serta Rumah

Susun tersebut sangat bijaksana, mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni

tersebut terus meningkat. Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pemukiman

2
Perumnas, Pengembangan Penyelenggaraan Rumah Susun Sederhana Perum Perumnas
Divisi Usaha, Edisi Kedua, 18 Maret 2009, hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


sangat erat kaitannya dengan kependudukan seperti jumlah penduduk, laju

pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa per keluarga. Hal tersebut

merupakan masalah yang dihadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia seperti

Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Semarang. Menurut AP Parlindungan,

pembangunan Rumah Susun, terutama di wilayah perkotaan merupakan suatu

keharusan, sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan

permintaan akan papan yang semakin tinggi.3 Hal ini berkaitan pula dengan

kecenderungan berpindahnya rakyat ke perkotaan akibat urbanisasi. Diperkirakan

sekitar 50 persen penduduk Indonesia dalam tahun 2020 akan bertempat tinggal

di perkotaan, atau kurang lebih sekitar 120 juta jiwa. Menurut Arie. S. Hutagalung,

kelima kota besar di Indonesia akan memerlukan tanah sekitar 8000 Hektar tiap

tahunnya4 Menurut Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tentang RPJM tersebut di atas,

jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah tinggal sebanyak 4.338.864

di tahun 2010. Menurut Majalah Legal Review, ada sekitar enam juta keluarga

di Indonesia yang belum sejahtera papan, ditambah 800 ribu keluarga per tahun yang

membutuhkan rumah.5

Rumah Susun dibangun sebagai upaya pemerintah guna memenuhi

masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain

itu, hal ini juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan

3
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan
Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju Bandung, 2001, hlm. 91.
4
Arie. S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 1998, hlm. 2.
5
Majalah Legal Review, Edisi Februari 2010, hlm.20.

Universitas Sumatera Utara


lahan yang sangat sulit didapat di wilayah-wilayah kota-kota besar di negara

berkembang, seperti Indonesia yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi

seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Medan. Di samping

itu, pembangunan Rumah Susun juga dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan

kumuh. Menurut lampiran Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tersebut di atas

menyebutkan bahwa di wilayah perkotaan telah meningkat luas pemukiman kumuh

dari 40.053 hektar pada tahun 1996, menjadi 67.500 hektar pada tahun 2010.

Pembangunan Rumah Susun juga akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas

dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat

menekan unefisiensi (high cost economy) di dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Guna memenuhi kebutuhan penting masyarakat perkotaan tersebut di atas

dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS).

Pembangunan Rumah Susun adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang

layak bagi rakyat terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang

menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya dan untuk meningkatkan daya

guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian

sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan

seimbang.6 Perumahan yang layak adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat

teknik, kesehatan, keamanan, keselamatan dan norma-norma sosial budaya.

Dalam sejarah pembangunan Rumah Susun di Indonesia, penyelenggara

pembangunan rumah (developer) Perumnas (BUMN) telah membangun Rumah


6
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara


Susun Sederhana (Rusuna) dalam rangka peremajaan kota melalui pendekatan

“membangun tanpa menggusur” di sepuluh propinsi sejak tahun 1999 sebanyak

16.870 unit Rusuna jual dan Rusuna sewa telah dibangun antara lain di Propinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hal

ini dilakukan Perumnas dalam rangka mengantisipasi kecenderungan meningkatnya

arus urbanisasi ke kota, terutama dari golongan masyarakat berpenghasilan menengah

ke bawah serta sulitnya mendapatkan lahan murah di perkotaan sebagai kewajiban

pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup serta

kehidupan masyarakat secara utuh melalui pemerataan penyediaan perumahan yang

layak huni dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat seperti yang tercantum

dalam Propenas 2000-2010 (sudah dicabut dengan UU Nomor 25 Tahun 2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.7

Menurut Suli Suwarni, penyelenggara pembangunan rumah susun milik

swasta (developer) yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) di Jakarta pada

tahun 2008 terdapat 4000 unit SRS mewah/condominium/apartemen yang sedang

dipasarkan (dijual/disewakan) dan disusul dengan 4000-5000 unit Satuan Rumah

Susun (SRS) mewah/condominium/apartemen yang sedang dibangun.8 Menyadari

kenyataan seperti itu perlu adanya jaminan kepastian hukum atas kepemilikan hak

7
Sumber : Perumnas, Pengembangan, Penyelenggaraan Rumah Susun Sederhana Perum
Perumnas, Divisi Usaha, Edisi Pertama, 18 Juli 2003, hlm. 9-10.
8
Suli Suwarni, Hak Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun Bagi Orang-orang Dihubungkan
Dengan UUPA, Tesis S2 UNPAD, Bandung, 2004, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


atas tanah SRS, bagi kepentingan pembeli/investor Rusuna/condominium/apartemen

tersebut, termasuk bagi kepentingan investor asing.

Besarnya minat pihak developer/pengembang swasta untuk berpartisipasi

membangun rumah susun didorong oleh beberapa faktor.9 Pertama, adanya kepastian

hukum setelah pemerintah mengesahkan UURS yang antara lain mengatur

kepemilikan SRS. Kedua, pemerintah mengkampanyekan agar masyarakat mau

tinggal di rumah susun. Ketiga, besarnya jumlah orang asing (ekspatriat) yang

menginap di hotel berbintang dalam jangka panjang (long stay guest). Rumah susun

dalam hukum Indonesia dewasa ini merupakan rumah yang dibentuk dengan sistem

condominium sebagaimana ditemukan dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun yang menyebutkan : “sistem

pemilikan perseorangan dan hak bersama (condominium). Dengan sistem

condiminium ini terdapat pemilikan individual dan juga pemilikan bersama.10 Dalam

sistem condominium ini terdapat pemilikan individual atas satuan rumah susun yang

merupakan hak penghuni. Di samping itu terdapat hak pemilikan bersama atas tanah

dimana bangunan tersebut terletak (common areas), hak milik bersama atas sarana-

sarana bangunan (common elements) misalnya corridor, lift, instalasi listrik, kebun,

tempat rekreasi, kolam renang, lobi, garasi dan lain sebagainya yang dapat digunakan

bersama oleh para penghuni.

9
Dewan Pengkajian Masalah Perumahan dan Pemukiman Real Estate Indonesia, Era Baru
Bisnis Real Estate, Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 20.
10
Pasal 1 ayat (4), (5) dan (6) UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara


Dengan sistem kondominium ini, jelas sulit sekali memisahkan bangunan

rumah susun dengan tanahnya. Oleh karena itu rumah susun termasuk dalam jenis

benda bukan tanah yang sifatnya tetap. Adapun sarana rumah susun yang melekat

pada setiap satuan rumah susun, disini berlaku asas aksesi, sehingga tidak ada satuan

rumah susun tanpa hak atas sarana bersama. UURS juga telah memperkenalkan suatu

lembaga pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan, yaitu Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun (HMSRS) yang terdiri dari Hak Perseorangan Atas Unit Satuan Rumah

Susun yang terdiri dari Hak Perorangan Atas Unit Satuan Rumah Susun (SRS) dan

hak bersama atas tanah, benda dan bagian bersama yang kesemuanya merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan.

Konsep pemisahan hak atas tanah dalam UUPA mengakomodasikan asas

pemisahan horizontal yang memisahkan hak kepemilikan atas tanah dengan benda-

benda yang berada di atasnya. Dengan kata lain dimungkinkan pemegang hak atas

tanah berbeda dengan pemegang hak atas bangunan atau benda-benda yang berada

di atasnya. Hal ini berbeda dengan asas pelekatan (accessie) sebagaimana yang

dimaksud Pasal 571 KUH Perdata mengatur tentang Hukum Benda, yang

menyatakan hak kepemilikan atas tanah beserta benda-benda yang melekat di atasnya

adalah juga pemegang hak atas benda-benda yang berada di atas tanah tersebut.

Dengan demikian kepemilikan hak atas tanah SRS sebagaimana diatur dalam UURS

tidak konsisten atau bertentangan dengan semangat UUPA.11

11
Pasal 1 Ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 UU Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Sri Soedewi Musjohoen Sofwan12 hak kebendaan adalah hak mutlak

atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kepada pemegang hak tersebut

kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun

juga. Jadi hak kebendaan adalah hak mutlak (hak absolut). Lawannya adalah hak

nisbi (hak person lijk) atau hak relatif. Kedua-duanya adalah hak kebendaan perdata.

Hak kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suit (hak yang

mengikuti). Artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan

siapapun juga) barang itu berada.

Kepemilikan suatu benda oleh lebih dari satu orang dapat ditemukan

pengaturannya dalam Pasal 526 dan 527 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 526 KUH

Perdata mengatur tentang kepemilikan suatu benda secara bersama yang terikat,

sedangkan Pasal 570 KUH Perdata mengatur tentang kepemilikan suatu benda secara

bersama yang bebas.

Hak milik bersama yang terikat (onvrije / geboneden mede eigendom) yaitu

jika beberapa orang menjadi pemilik (eigenaar) bersama-sama atas suatu benda

sebagai akibat adanya hubungan yang memang telah ada lebih dahulu diantara para

pemilik. Misalnya, harta gono gini/saham di perusahaan.

Hak milik bersama yang bebas (vrije mede eigendom) yaitu jika hubungan

antara para pemilik satu sama lain hanyalah semata-mata hubungan sesama pemilik

(eigenaar) bersama-sama atas suatu benda contohnya, dalam KUH Perdata diatur hak

milik bersama atas rumah susun.


12
Sri Soedewi Musjohoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara


B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan yang perlu dibahas yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun ?

2. Apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai dengan asas

pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA ?

3. Bagaimana prosedur hukum perjanjian jual beli atas satuan rumah susun ?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui status kepemilikan hak atas tanah satuan rumah susun.

2. Untuk mengetahui apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun

sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA.

3. Untuk mengetahui prosedur hukum perjanjian jual beli satuan rumah susun.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang perdata dan menambah khasanah

perpustakaan.

Universitas Sumatera Utara


2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi

ilmu pengetahuan hukum perdata tentang hukum benda dalam kaitannya dengan

hak kepemilikan atas tanah dan bangunan satuan rumah susun, juga sebagai

penambah wawasan bagi peneliti sendiri dan masyarakat luas yang berminat

dalam pembelian rumah susun.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya di lingkungan

Perpustakaan Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada

penelitian yang menyangkut judul “Analisis Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah

pada Satuan Rumah Susun”.

Dengan demikian maka secara akademis penelitian adalah asli adanya dan dapat

dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses

tertentu terjadi13. Teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

dapat menunjukkan ketidakbenarannya14. Menetapkan landasan teori pada waktu

diadakan penelitian ini tidak salah arah sebelumnya diambil rumusan landasan teori

13
DJJ. M. Wuisman, Penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203.
14
Ibid, hlm. 216.

Universitas Sumatera Utara


seperti yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang menyebutkan, “Landasan teori

adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai

sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan,

pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan

masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15

Teori itu sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling

berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu

penjelasan atas suatu gejala.16

Menurut Maria SW Sumardjono teori adalah, “Seperangkat preposisi yang

berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan

antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana

hubungan antar variabel tersebut.17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk

dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan

penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.

Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami Analisis Yuridis

Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun, sebagai kaidah hukum atau

sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

15
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 125.
17
Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta,
1989, hlm. 12.

Universitas Sumatera Utara


Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah perubahan masyarakat

harus diikuti oleh perubahan hukum18. Hukum berkembang sesuai dengan

perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum benda

harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga

dapat berlangsung secara harmonis. Perubahan hukum dalam kerangka hukum benda

dalam mengatur masalah Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun terjadi

secara tertib melalui kebiasaan dan akhirnya dikukuhkan dalam Undang-Undang.

Rumah Susun / SRS dengan sistem kondominium sebagaimana diuraikan

pada sub bab sebelumnya merupakan bagian dari Hukum Perdata, khususnya Hukum

Benda sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUHPerdata, yaitu dalam hal : 19

1. Persoalan macam serta status benda yang menjadi objek hukum yang

bersangkutan, yang dalam hukum kondominium ini tentunya ialah segala macam

yang dimiliki lebih dari seorang atau lebih dari satu pemilik dengan suatu

pemilikan bersama yang berpola apartgestelde mede-eigendom atau vrije

medeeigendom. Hukum kondominium adalah hukum yang mengatur perihal hak

milik bersama yang objeknya meskipun terwujud dalam suatu konstruksi namun

terbagi-bagi atas bagian-bagian tertentu yang masing-masing dimiliki secara

individual oleh masing-masing pemiliknya yang bersangkutan secara terpisah.

2. Persoalan penjaminan hutang yang menggunakan benda-benda tersebut.

18
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, 2006, hlm. 18.
19
A. Ridwan Halim, Sari Hukum Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Puncak
Karma, Jakarta, 1990, hlm. 138-139, 146.

Universitas Sumatera Utara


3. Persoalan pemindahtanganan benda yang bersangkutan dari satu pihak ke pihak

lain.

Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dalam pemilikan SRS,

diterbitkan tanda bukti hak berupa Sertifikat HMSRS berdasarkan Pasal 9 ayat (2)

UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun juncto Pasal 31 PP

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

PP No. 24 Tahun 1997 yang merupakan revisi atas PP No. 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari UUPA (UU No.5

Tahun 1960) tentunya menggambarkan akan menganut asas hukum adat dalam hal ini

asas pemisahan horizontal. Dengan ditempatkannya HMSRS sebagai objek

pendaftaran tanah, tentunya mengandung kekhawatiran atau ketidakkonsistenan

dalam penganutan asas kondominium, yang jelas-jelas mempergunakan asas

pelekatan vertikal seperti yang dianut KUHPerdata dulu, yang telah dinyatakan tidak

berlaku lagi pada saat UUPA diterbitkan.

Menurut Pasal 9 ayat (2) UURS Jo Pasal 31 PP No. 24 Tahun 1997 terlihat

jelas bahwa Undang-Undang Rumah Susun No. 6 Tahun 1985 masih menggunakan

asas pelekatan vertikal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 571 KUHPerdata,

sehingga SRS tidak jelas pemilikan atas tanahnya tetapi tetap diperhitungkan

berdasarkan hak atas tanah dimana SRS itu berdiri satu pemegang hak bersama atas

penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain.

Pada tahun 1992 terbit UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan

Permukiman dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang berbeda

Universitas Sumatera Utara


dengan asas kondominium yang dianut UURS. UU Perumahan dan Permukiman,

seperti tampak dari ketentuan Pasal 6 menganut asas pemisahan horizontal, dengan

memungkinkan pembangunan pemilikan rumah di atas tanah milik orang lain.

UU tentang bangunan gedung, Pasal 8 ayat (2) menganut asas pemisahan

horizontal, dengan menyatakan secara tegas bahwa setiap orang atau badan hukum

(misalnya BUMN/BUMD, PT, Instansi/perusahaan milik Negara) dapat memiliki

bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. Kepemilikan atas bangunan gedung

dan bagian gedung. Kepemilikan atas bangunan gedung dan bagian bangunan gedung

tersebut dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang

dikeluarkan Pemda (Pasal 12 PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung). Dalam Pasal 8 ayat (1) UU

tentang bangunan gedung disebutkan bahwa setiap bangunan gedung tersebut harus

memenuhi persyaratan administratif yang meliputi status hak tanah dan atau izin

pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung

dan IMB.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

disebutkan dengan tegas bahwa setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah

yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.

Penganutan asas pemisahan horizontal dari ke-2 (dua) UU tersebut adalah sejalan

dengan ketentuan Pasal 5 UUPA di atas, yang menganut asas hukum adat.

Pada beberapa negara, termasuk Australia, Selandia Baru, Singapura,

Malaysia dan Hongkong, problema penyediaan pemilikan tanah bagi pembangunan

Universitas Sumatera Utara


rumah secara horizontal dipecahkan dengan pembangunan perumahan secara vertikal

dengan menggunakan sistem Strata Title yaitu sistem yang mengatur tentang bagian

tanah yang terdiri dari lapisan-lapisan (strata), yaitu lapisan bawah dan atas dengan

strata. Strata adalah bentuk plural dari stratum diartikan sebagai berikut20 : stratum

means any part of land consisting of a space of any shape below on or above the

surface of the land, the dimensions of which are delineated.

Berdasarkan hal tersebut di Australia dikenal sistem strata title. Menurut

hukum di negara bagian New South Wales, Australia yang dimaksud dengan “Strata

title” adalah21 :

“A Strate scheme is a legal recognized arrangement whereny a building and

the land upon which it is erected is subdivided into lots or lots and common property,

the lots (units as they area commonly called) having separate title, the transfer of

which is not inherently, restricted, the common property being used by the occupiers

of the lots but owned by a body corporate as agent for the owners of the lots in

specified proportions.”

Strata title yang dimaksudkan di atas adalah suatu pengaturan hukum dimana

suatu gedung dan tanah dibagi ke dalam unit-unit dan kepemilikan properti/benda

bersama mempunyai hak milik yang terpisah, pengalihan haknya tidak sama atau

dibatasi, kepemilikan properti atau benda bersama digunakan oleh para penghuni
20
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang
Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Land Strata Act.
Singapura, hlm. 342.
21
Arie S. Hutagalung, Membangun Condominium (Rumah Susun) Masalah-masalah Juridis
Praktis dalam Penjualan, Pemilikan, Pembebanan serta Pengelolaannya, Hukum dan Pembangunan,
FHUI No. 1 Tahun XXIV, Februari 1994, hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara


unit-unit tersebut tetapi dimiliki oleh suatu badan perusahaan sebagai agen dari para

pemilik unit-unit tersebut secara proporsional. Dengan kata lain, kepemilikan

bangunan SRS dipisahkan secara tegas dengan tanah dimana bangunan Rumah

Susun/SRS tersebut dibangun.

Menurut Maria S.W. Sumardjono,22 Strata Title adalah suatu sistem yang

memungkinkan pembagian tanah dan bangunan dalam unit-unit yang disebut satuan

(parcels), yang masing-masing merupakan hak yang terpisah. Namun, di samping

pemilikan secara individual itu dikenal pula adanya tanah, benda serta bagian yang

merupakan milik bersama (common property). Di dalam UU Perumahan dan

Permukiman, common property ini disebut dengan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas

umum (fasum). Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1987 tentang penyerahan

prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan kepada Pemda

dengan komposisi 60 (bangunan) banding 40 (fasos dan fasum).

Menurut Djuhaendah Hasan23 agar terdapat kesatuan dasar pemikiran

pengaturan tentang hukum benda yang berkaitan dengan pembangunan rumah susun

di masa depan, maka akan lebih bermanfaat apabila menggunakan sistem Strata Title

dari pada menggunakan condominium. Oleh karena itu, perlu direvisi UUR agar

dimungkinkan penggunaan sistem Strata Title selain sistem Condominium dan

disesuaikan dengan kebutuhan peraturan UUPA terbaru yang telah direformasi

(Reformasi UUPA) oleh Pemerintah dan DPR sesuai dengan tuntutan masyarakat

22
Muhyanto Cs, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat
Pemilikan Rumah Susun, BPHN, Depkeh, 1993/1994, hlm. 16.
23
Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal. 341-342.

Universitas Sumatera Utara


perkotaan modern yang berkembang pesat dan dinamis terlebih pada era globalisasi

bisnis dan investasi sekarang ini.

HMSRS dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Kemungkinan tersebut

ditegaskan dalam Pasal 13 UURS yang menyatakan bahwa HMSRS sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UURS dapat dijadikan jaminan hutang dengan,

jaminan fidusia jika tanahnya hak pakai atas tanah negara.

Implikasi dari hal-hal konkret yang dibutuhkan masyarakat modern perkotaan

sekarang ini, terlebih-lebih para era otonomi daerah, globalisasi perdagangan bebas

dan investasi yang terjadi sekarang, menciptakan dinamika dan “booming”

pembangunan gedung-gedung bertingkat ke atas atau vertikal di kota-kota besar

di Indonesia. Terlihat dengan semakin banyak Ruko/Rukan, Apartemen,

Kondomonium, Flat atau Town House/Rumah Tumbuh dengan menggunakan sistem

strata title (sistem kepemilikan bangunan). Namun dalam praktiknya, Kreditur/Bank

belum dapat memberikan pinjaman kredit kepada pemilik SRS.

Fidusia sendiri sudah diatur dengan UU Fidusia. Dengan demikian, untuk

kepastian hukum jaminan pemberian kredit dari pihak Kreditur/Bank atas

kepemilikan hak tanah pada SRS, perlu menerbitkan suatu peraturan perundang-

undangan yang menjamin kepastian hukum kepemilikan hak tanah pada SRS/gedung-

gedung bertingkat dalam kerangka hukum benda dengan konsep strata title tersebut.

Peraturan perundang-undangan ini akan membantu percepatan pembangunan

infrastruktur perumahan dan permukiman serta Rumah Susun sebagaimana yang

dimaksud dalam RPJM.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan uraian di atas, perlu dikaji lebih lanjut perihal hak milik atas

satuan rumah susun dalam kerangka hukum benda/benda tanah yang dituangkan

dalam judul : Analisis Yuridis Kepemilikan Hak atas Tanah pada Satuan Rumah

Susun.

Landasan hukum pembangunan ekonomi Indonesia dapat ditemukan di dalam

Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke-4 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial yang antara lain menegaskan :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi

dengan prinsip keadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Dalam rangka melaksanakan Pembangunan Ekonomi Indonesia guna

mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33

UUD 1945 tersebut di atas, telah diterbitkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN ini dilaksanakan secara bertahap,

yang terdiri dari Rencana Pembangunan Tahunan, Rencana Pembangunan Jangka

Menengah/RPJM, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP.

Universitas Sumatera Utara


Salah satu asas dan tujuan dari SPPN ini adalah24 berdasarkan demokrasi

dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan

serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.

Perencanaan pembangunan nasional ditujukan secara sistematis, terarah, terpadu,

menyeluruh, atau komprehensif dan tanggap terhadap perubahan-perubahan serta

diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik

(good governance).

Adapun tujuan SPPN, antara lain : a) menjamin terciptanya integrasi,

sinkronisasi, dan sinergi yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai peran

dan fungsinya masing-masing serta konsistensi dalam perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan dan pengawasan; b) menjamin transparansi penggunaan sumber daya

secara efisien, berkeadilan dan berkelanjutan; dan c) mendukung koordinasi antara

pelaku pembangunan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

Dalam rangka pelaksanan visi dan misi Presiden dalam Pemilu Tahun 2004

sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2004, Pemerintah telah

mengeluarkan Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah/RPJM (2004-2009). Salah satu permasalahan dan agendanya adalah

percepatan pembangunan infrastruktur. Termasuk didalamnya pembangunan

Perumahan dan Pemukiman serta Rumah Susun guna memenuhi kebutuhan

masyarakat akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat sebagai bentuk

24
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Universitas Sumatera Utara


tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimuat dalam penjelasan Lampiran Perpres

tersebut di atas.

Kebijakan percepatan pembangunan Perumahan dan Pemukiman serta Rumah

Susun tersebut sangat bijaksana mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni

tersebut semakin hari semakin meningkat, khususnya di wilayah kota-kota besar di

Indonesia, seperti : di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung

Pandang. Rumah susun dapat mengurangi penggunaan lahan kota yang semakin

sempit dan kumuh, mengatasi banjir dan kemacetan, penataan ruang kota yang lebih

dinamis, serta menghemat biaya transportasi di dalam mewujudkan pembangunan

kota yang dinamis.

Pembangunan ekonomi suatu negara menurut Rostow,25 yang dimuat dalam

Economic Journal dan bukunya : The Stages of Economic Growth, menjelaskan

proses tahapan pertumbuhan ekonomi. Dimulai dengan masyarakat tradisional

(traditional society), prasyarat untuk lepas landas (the preconditions for take off,

lepas landas (take off), gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity), dan masa

konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).

Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja26 tentang hukum sebagai sarana

pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang diadaptasi dari konsep Roscoe

Pound tentang law as a tool of social engenering memberikan suatu arahan dalam

pembangunan dibidang hukum, yaitu bahwa hukum harus mampu tampil ke depan

25
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Medan, 1981, hlm. 101 dan Arif Budiman, Teori
Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 25-28.
26
Djuhaendah Hasan, Op.cit, hlm. 36

Universitas Sumatera Utara


dalam memberikan arahan pembaharuan. Demikian pula seharusnya dalam hal

kepemilikan hak tanah pada SRS.

Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum merupakan sarana

pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau

ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang

diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu.

Selanjutnya, dikatakan pula bahwa baik perubahan maupun ketertiban

(keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun

maka hukum menjadi suatu yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

Menurut Sunaryati Hartono27, makna dari pembangunan hukum meliputi :

1. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik);

2. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern;

3. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada; atau

4. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama karena tidak diperlukan dan

tidak cocok dengan sistem baru.

Pembinaan hukum harus mampu menampung kebutuhan hukum sesuai

dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang berkembang ke arah

modernisasi/globalisasi. Oleh karena itu, pembaharuan dan pembentukan hukum

nasional menggantikan hukum kolonial mutlak diperlukan bagi masyarakat Indonesia

yang sedang membangun.28

27
Djuhaendah Hasan, Ibid, hlm. 2
28
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2009, hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian, pembaharuan/reformasi hukum kepemilikan hak tanah

pada SRS mutlak dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum (guna

menghindari sengketa atau conflict of interest kepemilikan hak tanah pada SRS dari

para penghuni SRS). Agar tercapai ketertiban dan kesebandingan hukum dalam

rangka terciptanya keadilan (tidak ada hukum tanpa keadilan), dalam kepemilikan

hak tanah pada satuan rumah susun.

Kepemilikan hak tanah pada satuan rumah susun merupakan sarana penunjang

yang kuat agar tujuan pembangunan nasional, khususnya pembangunan perumahan

dan permukiman serta Rumah Susun, dapat lebih mencapai sasaran untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai sila ke 5 Pancasila dan Pasal

33 UUD 1945 (Amandemen ke 4).

Dengan demikian, berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan

ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan pernah berhasil

tanpa pembaharuan hukum/reformasi hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum

adalah “pre condition for economic change”, “Crucial to the viability of new

political system and as agent of social change”.29 Demikian pula hendaknya dalam

hal kepemilikan hak tanah pada SRS dalam kerangka hukum benda ini.

29
Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Membangun Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Makalah Seminar
Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, BPHN dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003,
hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria30 yaitu,

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan

bumi di sini adalah benda tanah. Jadi, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini merupakan

landasan dibentuknya UUPA.

Selanjutnya, di dalam Pasal 3 Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) disebutkan bahwa

pengelolaan SDA yang terkandung di daratan/bumi, laut, dan angkasa dilakukan

secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Dalam butir c

menyebutkan bahwa pengelolaan SDA harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadu

dan menampung dinamika aspirasi, dan peran serta masyarakat serta menyelesaikan

konflik. Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA tersebut antara lain harus

dilaksanakan sesuai prinsip mensejahterakan masyarakat, terutama meningkatkan

kualitas sumber daya manusia Indonesia, mengakui, menghormati, dan melindungi

hak masyarakat hukum adat, dan lain-lain.

Menurut Djuhaendah Hasan31, salah satu aspek yang penting di dalam hukum

tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yanga melekat padanya.

Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat

penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala

hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Dengan

30
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, hlm. 36.
31
Djuhaendah Hasan, Op.cit, Pt. Citra Aditrya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 65.

Universitas Sumatera Utara


demikian, kepastian hukum akan kedudukan HMSRS sangat penting dalam kerangka

hukum tanah.

Di dalam hukum tanah dikenal ada dua asas. antara asas yang satu dengan

asas yang lain ternyata bertentangan, yaitu yang dikenal dengan asas pelekatan

vertikal (verticale accessie beginsel) di dalam hukum benda KUH Perdata

sebagaimana dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 571 KUH Perdata dan

asas pemisahan horizontal (horizontal scheiding beginsel) di dalam hukum

tanah/hukum agraria yang bersumber kepada hukum adat sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 5 UUPA. Hukum tanah di Indonesia menganut asas pemisahan

horizontal karena memakai dasar hukum adat.

Pasal 5 UUPA menyatakan dengan tegas bahwa : Hukum agraria yang berlaku

atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,

dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam undang-

undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan atas tanah dan

segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi

satu (Gambar a). Asas pemisahan horizontal justru memisahkan tanah dari segala

benda yang melekat pada tanah tersebut (Gambar b).

Universitas Sumatera Utara


Gambar a
SRS

Rumah
Benda tidak
susun
bergerak

TANAH

Gambar b
SRS

Rumah
susun

TANAH Benda tidak


bergerak

Asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, pokok

pangkal, fundamen, tempat untuk menyandarkan, dan untuk mengembalikan sesuatu

hal yang hendak dijelaskan.

Universitas Sumatera Utara


Sudikno Mertokusumo32 mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum

bukanlah peraturan hukum konkret melainkan merupakan pikiran dasar yang umum

sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat

dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.

Jadi, asas pemisahan horizontal merupakan alas atau dasar pemikiran yang

melandasi atau merupakan latar belakang hukum pertanahan dalam pengaturan

hukum adat dan asas ini dianut oleh UUPA. Asas pelekatan vertikal merupakan alas

pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.

Dewasa ini pengaruh asas pelekatan vertikal yang merupakan dasar hukum

pertanahan KUH Perdata masih besar dalam kehidupan masyarakat perkotaan.

Misalnya, SRS selalu menyatu dengan tanah (tanah bersama) merupakan pengaruh

alam pikiran KUHPerdata dan bukan alam pikiran UUPA ataupun hukum adat.

Di masyarakat pedesaan, anggota masyarakatnya masih berpikir berdasarkan hukum

adat, dimana pemilikan rumah terpisah dari pemilikan atas tanah. Dengan demikian,

Pembangunan Rumah Susun/SRS dalam kerangka hukum pertanahan/benda tanah

terkait dengan asas pemisahan horizontal dan asas pelekatan vertikal.

32
Djuhaendah Hasaan, Ibid, hlm. 66.

Universitas Sumatera Utara


2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstraksi dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi

operasional.33 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini

harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep

merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain seperti asas dan

standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu

dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi

mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran

penelitian untuk keperluan analitis.34

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan

beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi yaitu sebagai berikut :

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu

lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang melahirkan secara fungsional

dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-

33
Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3.
34
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara


masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian

yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.35

Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya

digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai sarana

penghubung ke jalan umum.36

Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu

memberikan kepada pemegang hak tersebut kekuasaan langsung atas sesuatu benda

dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.37

Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak

terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan

rumah susun.38

Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun,

tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.39

Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara

tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam

persyaratan izin bangunan.40

35
Pasal 1 Ayat (1) UURI Nomor16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.
36
Pasal 1 Ayat (2), Ibid.
37
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 24.
38
Pasal 1 Ayat (4) UURI No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun
39
Pasal 1 Ayat (5), Ibid.
40
Pasal 1 Ayat (6), Ibid.

Universitas Sumatera Utara


G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

dasarnya pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya,

kecuali itu maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum

tersebut untuk kemudian ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.41

Penelitian ini bersifat yuridis normatif, disebut demikian karena penelitian ini

merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan

hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.42 Di dalam

menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka sifat penelitian

yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan

sekaligus menganalisa tentang kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun

dengan semua aspek hukumnya yang terkait. Jenis penelitian yang ditetapkan adalah

memakai penelitian metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian

hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif

yang berasal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan

41
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 13.
42
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara


mencakup43 penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika

hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum

dan sejarah hukum. Dengan kata lain kepemilikan bangunan SRS dipisahkan secara

tegas dengan tanah dimana Bangunan Rumah Susun (SRS) tersebut dibangun.

Penelitian yang menyangkut sinkronisasi pemisahan horizontal yang dianut

oleh Indonesia melalui UUPA nomor 5 Tahun 1960 dimana tanah terpisah dari segala

sesuatu yang melekat pada tanah tersebut atau pemilik atas tanah terlepas dari benda

yang berada di atas tanah ini, sehingga pemilik hak atas tanah dapat berbeda dengan

pemilik benda tersebut. Berdasarkan asas pemisahan horizontal dapat disimpulkan

bahwa kepemilikan atas tanah tidak harus selalu sama dengan kepemilikan atas

rumah di atas tanah tersebut.44

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau

doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang

berhubungan dengan telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-

undangan dan karya ilmiah lainnya.

43
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hlm. 12.
44
Arie S. Hutagalung, Op.cit, hlm. 67.

Universitas Sumatera Utara


3. Sumber-sumber Data Kepustakaan

Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan

dasar, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum benda

dan satuan rumah susun.

2. Bahan hukum sekunder seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar

dan internet.

3. Bahan hukum tertier yang merupakan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian

dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Penelitian

ini akan dimulai dengan mengidentifikasikan hukum positif dibidang hukum benda

dan rumah susun serta dikaitkan dengan asas-asas dalam hukum pertanahan

di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun

Universitas Sumatera Utara


1960. Dari data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan

dengan menggunakan cara deduktif. Dari data yang dianalisis diharapkan dapat

menjawab permasalahan yang ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai