Anda di halaman 1dari 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 LATAR BELAKANG Masalah Infeksi Nosokomial pada tahun terakhir ini telah menjadi topik pembicaraan di banyak negara. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Dimana resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada

pasien yang dirawat di Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah Sakit tersebut. Berbagai prosedur penanganan pasien memungkinkan petugas terpajan dengan kuman yang berasal dari pasien. Infeksi petugas juga berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien (Hartono, 1985). Rumah sakit merupakan tempat segala macam jenis penyakit. Rumah sakit merupakan gudang kuman-kuman patogen. Kuman yang biasa mondok di rumah sakit umumnya kebal terhadap antibiotika, bahkan terhadap banyak antibiotika. Pengenalan infeksi nosokomial menjadi sangat penting pada akhir akhir ini, karena infeksi tersebut terjadi atau diperoleh pasien ketika dirawat di rumah sakit, sedangkan kita sebagai petugas pemberi jasa pelayanan kesehatan tidaklah menghendaki terjadinya keadaan demikian. Kasus infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi ketika pasien dirawat di rumah sakit) di seluruh dunia ratarata 9% dari 1,4 juta pasien rawat inap di sluruh dunia. Infeksi nosokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Di Indonesia, data akurat tentang angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit belum ada, penelitian yang dilakukan di 11

rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Telah diketahui bahwa pengelolaan infeksi nosokomial menimbulkan biaya tinggi, baik yang ditanggung pihak penderitamaupun pihak Rumah Sakit; bahkan di Amerika, infeksi nosokomial termasuk dalam 10 besar penyebab kematian (Thamrin, 2000). Di negara maju, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolok ukur mutu pelayanan rumah sakit. Izinoperasi suatu rumah sakit bisa dicabut karena tingginya angka kejadian infeksi nosokomial; pihak asuransipun tidak mau membayar biaya lebih yang ditimbulkan akibat infeksi nosokomial sehingga pihak penderita sangat dirugikan. Dari literatur dapat dilihat betapa seriusnya masalah ini di Amerika. Angka kejadian infeksi nosokomial rata-rata 6%; rata-rata tambahan hari rawat adalah 4 hari, dengan tambahan biaya $ 1.800 per kejadian infeksi. Angka kematian infeksi nosokomial mencapai 60.000 pertahun dengan pengeluaran biaya pelayanan tambahan $ 4 Miliard pertahun (Thamrin, 2000). Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang

menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai

tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial (Thamrin, 2000). Sekarang ini hampir pelayanan kesehatan di Indonesia melupakan tentang bahaya infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang terjadi di Rumah Sakit di Indonesia. Padahal infeksi ini sangat rawan terjadi terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Resiko infeksi nosokomial selain terjadi pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit, dapat juga terjadi pada para petugas Rumah Sakit tersebut. Infeksi petugas sangat berpengaruh pada mutu pelayanan karena petugas menjadi sakit sehingga tidak dapat melayani pasien. Pengetahuan tentang pencegahan infeksi sangat penting untuk petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang rawan untuk terjadi infeksi. Cara penanggulangan dalam penularan infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah hal yang harus diperhatikan dalam mengatasi infeksi nosokomial. Namun selain itu, alat medis yang menjadi salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam penularan infeksi tersebut. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas pengaruh alat medis terhadap penyebaran infeksi nosokomial. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan dalam penggunaan alat medis memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien, sehingga petugas harus sangat berhati-hati dalam penggunaannya. Dapatlah kita bayangkan bagaimana perasaan pasien seandainya dia

mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya telah diperberat oleh penyakit lain yang justru diperolehnya ditempat yang diharapkannya untukmeringankan atau mengobati penyakit yang dideritanya.Oleh karena itu peran berbagi komponen

sangatlah penting dalam pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit, salah satunya adalah peran dokter muda.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nosokomial 2.1.1 Definisi Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara baik droplet maupun airbone, dan dengan kontak langsung. Di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya, infeksi dapat terjadi antar pasien, dari pasien ke petugas, dari petugas ke petugas, dari petugas ke pasien dan antar petugas. Dengan berbekal pengetahuan tentang patogenesis infeksi yang meliputi interaksi mikroorganisme dan pejamu, serta cara transmisi atau penularan infeksi, dan dengan kemampuan memutuskan interaksi antara mikroorganisme dan pejamu maka segala kemampuan memutuskan interaksi antara mikoorganisme dan pejamu, maka segala bentuk infeksi dapat dicegah. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan saat di dalam rumah sakit, infeksi muncul setelah 48 jam setelah terjadi kontak di rumah sakit baik dengan peralatan atau sarana dan prasarana maupun juga dengan petugas rumah sakit tersebut (Ramah, 2001). Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut sebagai infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh

mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya. Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Sedangkan infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada waktu pasien dirawat di Rumah Sakit. Infeksi nosokomial biasanya terjadi setelah pasien dirawat minimal 3 x 24 jam di rumah sakit. Bisa saja ini merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab langsung atau tidak langsung terhadap kematian pasien. Mungkin saja di beberapa kejadian, Infeksi Nosokomial tidak menyebabkan kematian pasien. Akan tetapi ia menjadi penyebab penting pasien dirawat lebih lama di Rumah Sakit. Infeksi nosokomial tidak saja menyangkut penderita tetapi juga yang kontak dengan rumah sakit termasuk staf rumah sakit, sukarelawan, pengunjung dan pengantar. Suatu Infeksi dikatakan di dapat rumah sakit apa bila : 1)Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. 2) Pada waktu penderita dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. 3) Tanda-tanda klinik tersesut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak dimulainya perawatan. 3)Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya. 4)Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah terdapat tanda-tanda infeksi dan dapat dibuktikan infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.5

2.1.2 Sejarah Pengendalian Infeksi Di Rumah Sakit Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis bekerja di bagian kebidanan di sebuah rumah sakit di Vienna, Austria. Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di antara ibu di bangsal yang dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi dibandingkan bangsal yang dilayani oleh bidan. Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini terjadi karena mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah belajar otopsi (bedah mayat), dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia memerintahkan dokter dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum memeriksakan ibu tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian menurun menjadi serupa dengan bangsal yang dilayani oleh bidan. Dengan masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk menguranginya. Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus untuk penyakit menular. Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu mengurangi penularan. Tetapi dengan peningkatan mortalitas (angka kematian) di 1960-an, Departemen Kesehatan di AS pada 1970 mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasikan semua pasien yang diketahui tertular infeksi menular. Namun kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain. Perhatian pada masalah ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985, kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan pada 1985. 2.1.3 Epidemiologi Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-

penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%. Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan 88.000 kasus infeksi setiap nosokomial tahunnya.

menimbulkan

kematian

sebanyak

Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat, karena itu diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien. 2.1.4 Rantai Penularan Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi (terutama Odha yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan. Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi (Wenzel, 2004).

Penyebab Infeksi nosokomial Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan parasir, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan jarang disebabkan oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi nosokomial tergantung dari patogenesis atau virulensi dan jumlahnya. Patogenesis adalah kemampuan mikroba menyebabkan penyakit, patogenitas lebih jauh dapat dinyatakan dalam virulensi dan daya invasinya. Virulensi adalah pengukuran dari beratnya suatu penyakit dan dapat diketahui dengan melihat morbiditas dan derajat penularan, Daya invasi adalah kemampuan mikroba menyerang tubuh. Jumlah mikroba yang masuk sangat menentukan timbul atau tidaknya infeksi dan bervariasi antara satu mikroba dengan mikroba lain dan antara satu host dengan host yang lain (Depkes RI, 2001) Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit, pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik tindakan invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien mempunyai

resiko terhadap infeksi nosokomial. Adapun sumber infeksi tindakan invasif (operasi) adalah :

1. Petugas

Tidak/kurang

memahami kebersihan

cara-cara

penularan, tidak tidak tidak

tidak/kurang menguasai

memperharikan cara

perorangan, tindakan,

mengerjaklan aseptik dan

memperhatikan/melaksanakan

antiseptik,

mematuhi SOP (standar operating procedure), Menderita penyakit tertntu/infeksi/carier 2. Alat : Kotor, tidak steril, rusak / karatan, penyimpangan kurang baik 3. Pasien: Persiapan diruang rawat kurang baik, Higiene pasien kurang baik, Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi), Sedang mendapat pengobatan imunosupresif 4. Lingkungan :Penerangan/sinar matahari kurang cukup, Sirkulasi udarah kurang baik, Kebersihan kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang), Terlalu banyak peralatan diruangan -Banyak petugas diruangan (Wenzel, 2004). 2.1.5 Cara penularan Infeksi Nosokomial Infeksi silang (Cross Infection) Disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection,Auto infection) Disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan kejaringan lain.

10

Infeksi lingkungan (Enverenmental infection) Disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit. Misalnya : lingkungan yang lembab dan lain-lain (Depkes RI 2001). Menurut Jemes H,Hughes dkk yang dikutip oleh Misnadiarli 1994 tentang

model cara penularan, ada 4 cara penularan infeksi nosokomial yaitu : 1)Kontak langsung antara pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien 2)Kontak tidak langsung ketika obyek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan menjadi kontaminasi dan tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. 3)Penularan cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai keudara (air borne). 4)Penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang membawa kuman (Susilo, 2006). 2.1.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial Infeksi pada dasarnya terjadi karena interaksi langsung maupun tidak langsung antara penderita (host) yang rentan mikroorganisme yang infeksius dan lingkungan sekitarnya (Environment). Faktor-faktor yang saling mempengaruhi dan saling berhubungan disebut rantai infeksi sebagai berikut :

Adanya mikroorganisme (Agent) yang infeksius mikroba penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun parasit. Penyebab utama infeksi nosokomial biasanya bakteri dan virus dan kadanga-kadang jamur dan jarang oleh parasit. Peranannya dalam infeksi nosokomial tergantung antara lain dari patogenesis atau virulensi dan jumlahnya.

11

Adanya portal of exit/pintu keluar. Portal of exit mikroba dari manusia biasanya melalui satu tempat, meskipun dapat juga dari beberapa tempat. Portal of exit yang utama adalah saluran pernapasan, daluran cerna dan saluran urogenitalia.

Adanya porta of entry / Pintu masuk Tempat masuknya kuman dapat melalui kulit, dinding mukosa, saluran cerna, saluran pernafasan dan saluran urogenitalia. Mikroba yang terinfesius dapat masuk ke saluran ceran melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi seperti: E.coli, Shigella. Mikroba penyebab rubella dan toxoplasmosis dapat masuk ke host melalui placenta.

Terdapatnya cara penularan. Penularan atau transmission adalah perpindahan mikroba dari source ke host. Penyebaran dapat melalui kontak, lewat udara dan vektor. Cara penularan yang paling sering terjadi pada infeksi nosokomial adalah dengan cara kontak. Pada cara ini terdapat kontak antara korban dengan sumber infeksi baik secara langsung, tidak langsung maupun secara droplet infection.

Penderita (host) yang rentan. Masuknya kuman kedalam tubuh penderita tidak selalu menyebabkan infeksi. Respon penderita terhadap mikroba dapat hanya infeksi subklinis sampai yang terhebat yaitu infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian. Yang memegang peranan sangat penting adalah mekanisme pertahanan tubuh hostnya. Mekanisme pertahana tubuh secara non spesifik antara lain adalah kulit, dinding mukosa dan sekret,

12

kelenjar-kelenjar tubuh. Mekanisme pertahanan tubuh yang spesifik timbul secara alamia atau bantuan , secara alamia timbul karena pernah mendapat penyakit tertentu, seperti poliomyelitis atau rubella. Imunitas buatan dapat timbul secara aktif karena mendapat vaksin dan pasif karena pemberian imuneglobulin (Serum yang mengandung antibodi). Lingkungan sangat

mempengaruhi rantai infeksi sebagai contoh tindakan pembedahan di kamar operasi akan lebih kecil kemungkinan mendapatkan infeksi luka operasi dari pada dilakukan ditempat lain. Selain pembagian faktor-faktor diatas, infeksi nosokomial juga

dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen. Faktor endogen adalah faktor yang ada didalam tubuh penderita sendiri antara lain umur, jenis kelamin, daya tahan tubuh dan kondisi lokal. Faktor eksogen adalah faktor dari luar tubuh penderita berupa lamanya penderita dirawat, kelompok yang merawat, lingkungan, peralatan tehnis medis yang dilakukan dan adanya benda asing dalam tubuh penderita yang berhubungan dengan udarah luar (Roeshadi, 2005). Kondisikondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya beberapa keadaan tertentu : 1.Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit/pasien, sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih penyakit dari pada ditempat lain. 2.Pasien mempunyai daya tahan tubuh rendah, sehingga mudah tertular. 3.Rumah sakit sering kali dilakukan tindakan invasif mulai dari sederhana misalnya suntukan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam melakukan tindakan sering kali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik dan antiseptik. 4.Mikroorganisme

13

yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik, akibat penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional. 5.Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien, yang dapat menularkan kuman patogen. 6.Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman (Susilo, 2006). 2.1.7 Penyakit Penyakit yang disebabkan Infeksi Nosokomial A. Infeksi saluran kemih Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian. Organisme yang biaa menginfeksi biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter. Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan teknik septik dan aseptik. B. Pneumonia Nosokomial Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Kuman penyebab infeksi ini tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella,dan Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung,

14

kerongkongan, dan perut. Keberadaan organisme ini dapat menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke traktus respiratorius bagian bawah. Dari kelompok virus dapat disebabkan oleh cytomegalovirus, influenza virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan corona virus.

Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory syncytial virus dan influenza. Pada pasien dengan sistem imun yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita tuberkulosis yang tinggi, kebersihan udara harus sangat diperhatikan. C. Bakteremi Nosokomial Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi nosokomial, tetapi dengan resiko kematian yang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus. Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter atau infus. D. Infeksi Nosokomial lainnya 1. Tuberkulosis Penyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi- drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah identifikasi yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan negatif dalam ruangan.

15

2. Diarrhea dan gastroenteritis Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella, Vibrio Cholerae dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus lebih banyak disebabkan oleh golongan enterovirus, adenovirus, rotavirus, dan hepatitis. 2.2 Peranan Dokter Muda dalam Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Peranan dokter muda sebagai salah satu petugas yang terlibat dalam kegiatan dan tindakan-tindakan dalam Rumah Sakit sangat penting dalam menjaga tidak terjadinya dan mencegah terjadinya infeksi nosokomial dengan melakukan perlindungan terhadap diri, seperti mencucui tangan sebelum dan sesudah memegang pasien, memakai sarung tangan saat sedang menangani pasien, dan sebagainya. Secara umum dokter muda tersebut harus memiliki kualifikasi umum : punya interest, wakil kelompok besar, punya wibawa,komunikatif, ahli dalam bidangnya, dan tekun; dan secara khusus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidang : epidemiologi,bakteriologi penyakit infeksi, antibiotika, antiseptik - desinfektan, disposal, hospital architecture, psikologi, dan cukup mengenal masalah UPF. Ada tiga hal yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial yaitu : 1. Adanya sistem surveilan yang mantap. Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sistematik dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan dan

16

pengendalian. Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Perlu ditegaskan di sini bahwa keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan penderita secara benar (the proper nursing care).Dalam pelaksanaan surveilan ini, perawat sebagai petugaslapangan di garis paling depan, mempunyai peran yang sangat menentukan. 2. Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan, merupakan hal yang sangat penting adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas; standar ini meliputi standar diagnosis (definisi kasus) ataupun standar pelaksanaan tugas.Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini, peran dokter muda besar sekali. 3. Adanya program pendidikan yang terus menerus. Seperti disebutkan di atas, pada hakekatnya keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar dan mengajar yang terus menerus.Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial ini. Jadi jelaslah bahwa dalam seluruh lini program pengendalian infeksi nosokomial, dokter muda mempunyai peran yang sangat menentukan. Sekali lagi ditekankan bahwa pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh

17

peralatan yang canggih (dengan harga yang mahal) ataupun dengan pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan bahaya resistensi), melainkan ditentukan oleh kesempurnaan setiap petugas dalam melaksanakan perawatan yang benar untuk penderitanya. 2.7 Cara Mencegah Infeksi Nosokomial

Dengan menggunakan Standar kewaspadaan terhadap infeksi antara lain :

Cuci Tangan

Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan bahan terkontaminasi

Segera setelah melepas sarung tangan

Di antara sentuhan dengan pasien

Sarung Tangan

Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan yang terkontaminasi

Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka

Masker, Kaca Mata, Masker Muka

Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung, dan mulut saat kontak dengan darah dan cairan tubuh

Baju Pelindung

18

Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh

Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat berkontak langsung dengan darah atau cairan tubuh

Kain

Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan kulit/selaput lendir

Jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di area perawatan pasien

Peralatan Perawatan Pasien

Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah kontak langsung dengan kulit atau selaput lendir dan mencegah kontaminasi pada pakaian dan lingkungan

Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali

Pembersihan Lingkungan

Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi peralatan dan perlengkapan dalam ruang perawatan pasien

Instrumen Tajam

Hindari memasang kembali penutup jarum bekas

Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai

19

Hindari membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum bekas dengan tangan

Masukkan instrument tajam ke dalam tempat yang tidak tembus tusukan

Resusitasi Pasien

Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain untuk menghindari kontak langsung mulut dalam resusitasi mulut ke mulut

Penempatan Pasien

Tempatkan pasien yang mengontaminasi lingkungan dalam ruang pribadi / isolasi. 8,11

20

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Dokter muda termasuk pada faktor eksogen dalam penyebaran infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat dikendalikan dan angka kejadiannya dapat diturunkan dengan sepertiganya. Dengan biaya pengendalian yang murah dapat dihemat hari rawat dan biaya pelayanannya. Dengan pengendalian infeksi nosokomial dapat dijaga dan ditingkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Pengendalian infeksi nosokomial tidak terlalu sukar, asal setiap petugas rumah sakit khususnya Dokter Muda dapat memahami dan menyadari peranannya masing-masing dan pengendaliannya dilakukan dengan terencana, terkoordinir serta terkendali. Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang

menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Mutu pelayanan di Rumah Sakit dapat berpengaruh karena pasien bertambah sakit akibat infeksi nosokomial. Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang

menguntungkan seperti yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat, pasien akan datang dalam keadaan yang semakin

21

parah, sehingga perlu perawatan yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial. Sementara itu jenis infeksi yang dialami dapat berupa berbagai jenis infeksi yang baru diketahui misalnya infeksi HIV / AIDS atau Ebola dan infeksi lama yang semakin virulen, misalnya tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan. Mutu pelayanan di Rumah Sakit dapat berpengaruh karena pasien bertambah sakit akibat infeksi nosokomial. Pengetahuan tentang pencegahan ineksi sangat penting untuk petugas Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang sangat berbahaya. Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas pertama dalam pemberian pelayanan yang bermutu. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan mencegah infeksi memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, karena mencakup setiap aspek penanganan pasien. Upaya pencegahan penularan infeksi di Rumah Sakit melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sampai petugas kesehatan sendiri. Peran pimpinan adalah penyediaan sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran petugas adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi. Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu dilakukan pelatihan yang menyeluruh

22

untuk meningkatkan kemampuan petugas dalam pencegahan ineksi di Rumah Sakit. Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dalam metode Universal Precautions atau dalam bahasa Indonesia Kewaspadan Universal ( KU ) yaitu suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi. Dasar KU adalah cuci tangan secara benar, penggunaan alat pelindung, desinfeksi dan mencegah tusukan alat tajam, dalam upaya mencegah transmisi mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh. Strategi inti meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam KU adalah dengan pelatihan KU di seluruh Indonesia sehingga merupakan langkah strategis dalam peningkatan kemampuan petugas / SDM. untuk penyebarluasan pengetahuan tentang KU melalui pelatihan diperlukan pengembangan pedoman pelatihan yang dapat digunakan di seluruh Indonesia. 3.2 Saran Saran disini ditujukan untuk semua komponen jasa pelayanan dirumah saki, termasuk doter muda,antara lain : Eliminasi dan kurangi perkembangan agen penyebab infeksi dan faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial. Penyebaran infeksi nosokomial terutama dari udara dan air harus menjadi perhatian utama agar infeksi tidak meluas.

23

Mengurangi

prosedur-prosedur

invasif

untuk

menghindari

terjadinya infeksi nosokomial.

24

DAFTAR PUSTAKA Hartono. Mengenal Alat Kesehatan dan Kedokteran. Jakarta, 1985 : Heins Von Hare. Horan TC et al. CDC definitions of nosocomial surgical site infections, 1992 : A modification of CDC definition of surgical wound infections. Am J Infect Control, 1992, 13:606608. Janas, Sutoto, Punjabi HN. Infeksi Nosokomial Saluran Cema (INCS) pada Penderita Anak di Rumah Sakit Khusus Peayakit Menular, Jakarta.Medika (Sept) 1985; 11(a) : 851-8. Mayon-White RT et al. An international survey of the prevalence of hospitalacquired infection. J Hosp Infect, 1988, 11 (Supplement A):4348. Susilo Surachmad, Sutoto, Josodipuro K. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita Penyakit Menular. (Infeksi Nosokomial dan Pencegahannya).Dep Kes RI, Jakarta 2006. Suwarni, A. Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta; 2001. Thamrin, Hasbullah, 2000, Pengendalian Infeksi di RS Persahabatan Jakarta. Usman Chatib Warsa. Aspek Mikrobiologi Infeksi Nosokomial. Majalah Informasi Kesehatan No. 19, Januari 1987. Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious diseases, second ed, Boston; 2004.

25

26

Anda mungkin juga menyukai