Anda di halaman 1dari 2

Mungkin sebulan, baru aku pulang Sah. Jam di telepon genggam Mardi terbaca 7.

09 am ketika ia sudah selesai sarapan. Jaga Aini, sambungnya sambil melirik anak perempuan yang terlihat sangat nyenyak tidurnya. Jangan lupa ajari terus ia mengaji, suaranya merdu kudengar. Ia Yah. Tapi kok karena suaranya merdu. Karena memang kewajiban. Yah... Yah jawab Aisah yang duduk di samping Aini sambil memunguti ujung-ujung tikar pandan yang lepas dari anyamannya. Benar katamu.. Maksud aku, kalau bagus suaranya dan pasih Tajwidnya, bisa jadi Qori ia nanti. Terus, kalau Aini suka, kelak kita suruh ia jadi ustadzah saja. Tak susah lagi ia cari kerja nanti. Sahut Mardi dengan suara yang dilembut-lembutkan. Pandai-pandailah Kau tahan-tahan ia. Aku pulang nanti, pasti aku belikan sepeda. Sambung Mardi. Tas yang bersisi berberapa potong pakaian yang sudah dimasukkan Aisah tadi malam diambil dan sigantungkan Mardi di bahu kanannya. Ya, mudah-mudahan di Medan usahaku lancar. Kali ini bener-benra lembut suaranya. Amin.. dicium Aisah tangan kanan Mardi yang dikelilingi urat-urat yang seolah hendak keluar dari kulitnya. Tapi kulihat Bapak kok semakin hitam ya, hi.. hi.. Ya, tambah manis kan? Hendak memastikan manisanya, ia peluk Aisah. Seolah gula yang harus melekat lidah, baru dapat dirasakan manisnya, Mardi pun memeluk istrinya. Lama juga. Sampai terpeleset tali tas dari bahunnya. Maklumlah, sekarang aku sering ke lapangan Sah. Ya sudah. Hati-hatilah Ayah. Jangan banyak makan sambal-sambal. Nanti magnya kambuh lagi. Setelah dipakainya sepatu kulit yang tak pernah berdandan semir itu, keluarlah Mardi dari pintu. Aku pergi ya. Assalamualaikum.... Waalaikum salam... Hati-hati Yah, sahut Aisah yang berdiri saja di bibir pintu. Ia perhatikan Mardi dari ujung rambut sampai kaki berangsur-angsur menjauh. Sampai punggungnya pun hilang samar-samar.

Meyeberangalah Mardi dan berdiri ia di bawah pohon mahoni. Menunggu angkot. Tak lama menunggu, terlihatlah mobil biru semodel Kijang atau Panther di belakang becak yang mengklakson-klaksonnya. Ia lambaikan tangan kirinya bermaksud menyetop angkot bertuliskan Timtak di atas atapnya itu. Naiklah ia. Di belakang kosong Bang, kata supir sambil menoleh ke Mardi. Tolong geser dulu Pak. Suruhnya pada bapak-bapak yang duduk di bangku tengah paling pinggir. Yang disebut Pak pun agak berdiri membunguk ke depan dan mempersilakan Mardi lewat dari belakangnya. Langkahi saja, katanya. Mardi melangkahi kursi yang tadi diduduki bapak itu dan langsung duduk di tengah-tengah pada kursi paling belakang. Maaf Buk, sapa Mardi pada ibu-ibu yang duduk paling pinggir kiri. Kemudian ia tersenyum kecil pada seorang berbaju merah muda di samping kanannya. Mahasiswa sepertinya. Kemiskinan telah menjodohkannya dengan pekerjaannya sekarang.

Anda mungkin juga menyukai