Anda di halaman 1dari 4

Olahraga Bervisi Surga

Oleh: Amin Syahputra

Dalam Islam, olahraga merupakan aktivitas yang sangat penting. Bahkan beberapa cabang
olahraga seperti memanah, berenang, dan berkuda sangat dianjurkan oleh Islam. Anjuran untuk
mempelajari ketiga jenis olahraga tersebut secara tekstual dapat dilihat dari sabda Nabi Muhammad
Shalallahu alaihi wasalam. Beliau SAW bersabda, “Segala sesuatu yang tidak mengandung dzikirullah
padanya maka itu adalah kesia-siaan dan main-main, kecuali empat perkara: yaitu senda gurau suami
dengan istrinya, melatih kuda, berlatih memanah, dan mengajarkan renang.” (HR. An-Nasai no.8890. Al-
Albani menyatakan bahwa hadits itu shahih, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no.4534)

Namun, apakah ketiga cabang olahraga tersebut dianjurkan untuk ditekuni sebagai olahraga
semata? Apakah umat Islam dianjurkan untuk berolahraga cuma agar punya tubuh sehat dan kuat saja?
Atau apakah umat Islam dianjurkan untuk berolahraga supaya bisa meraih piala di bidang olahraga?
Tentu saja tidak. Sebab, olimpiade (kompetisi olahraga) di dunia ini saja baru pertama kali diadakan
pada tahun 1896, sedangkan hadist tentang anjuran berolahraga sudah ada lebih dari satu abad
sebelumnya. Oleh karena itu, "hadist olahraga" tersebut mestinya bukan dilihat secara tekstual saja,
tetapi secara kontekstual juga.

Olahraga dan Cinta

Di masa Nabi SAW keterampilan memanah, berkuda, dan berenang memang merupakan
keterampilan yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap muslim. Mengapa? Hal ini berkenaan
dengan status setiap muslim sebagai pendakwah, sebagai penebar cinta untuk dunia. Kapan dan dimana
pun berada, setiap muslim wajib melakukan aktivitas dakwah, termasuk kaum muslimin pada masa Nabi
SAW di Arab kala itu.

Allah Subhanahu Wata'ala berfirman,

َ ‫ِئك ُه ُم ْٱل ُم ْف ِلح‬


‫ُون‬ َ ‫ُون ِإلَى ْٱل َخي ِْر َو َيْأ ُمر‬
َ ٓ‫ُون ِب ْٱل َمعْ رُوفِ َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ْٱلمُن َك ِر ۚ َوُأ ۟ولَ ٰـ‬ َ ‫َو ْل َت ُكن مِّن ُك ْم ُأم ۭ ٌَّة َي ْدع‬
'Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung.' (Ali 'Imran: 104)

‫ان َخي ْۭرً ا لَّهُم ۚ ِّم ْن ُه ُم‬ ِ ‫ون ِبٱهَّلل ِ ۗ َولَ ْو َءا َم َن َأهْ ُل ْٱل ِك َت ٰـ‬
َ ‫ب لَ َك‬ َ ‫اس َتْأ ُمر‬
َ ‫ُون ِب ْٱل َمعْ رُوفِ َو َت ْن َه ْو َن َع ِن ْٱلمُن َك ِر َو ُتْؤ ِم ُن‬ ِ ‫ت لِل َّن‬ ْ ‫ُكن ُت ْم َخي َْر ُأ َّم ٍة ُأ ْخ ِر َج‬
َ ُ‫ون َوَأ ْك َث ُر ُه ُم ْٱل َف ٰـسِ ق‬
‫ون‬ َ ‫ْٱلمُْؤ ِم ُن‬
'Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.' (Ali 'Imran: 110)

‫ض َّل َعن َس ِبيلِهِۦ ۖ َوه َُو َأعْ َل ُم‬


َ ‫َّك ه َُو َأعْ لَ ُم ِب َمن‬
َ ‫ِى َأحْ َسنُ ۚ ِإنَّ َرب‬
َ ‫ِّك ِب ْٱل ِح ْك َم ِة َو ْٱل َم ْوعِ َظ ِة ْٱل َح َس َن ِة ۖ َو َج ٰـد ِْلهُم ِبٱلَّتِى ه‬ ِ ‫ْٱد ُع ِإلَ ٰى َس ِب‬
َ ‫يل َرب‬
َ ‫ِب ْٱل ُم ْه َتد‬
‫ِين‬

'Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah, yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.' (An-Nahl: 125)

Dari beberapa nash di atas, jelas terlihat bahwa dakwah adalah aktivitas yang mesti dilakukan
oleh setiap muslim. Dakwah itu sendiri adalah menyeru atau mengajak, yakni mengajak orang untuk
mentaati Allah, untuk melakukan yang ma'ruf (baik), dan untuk meninggalkan yang mungkar (buruk).
Selain itu, dakwah merupakan upaya untuk menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin (rahmat bagi
seluruh alam), yakni menebarkan cinta untuk seluruh manusia.

Hanya saja, pada praktiknya kita melihat bahwa dakwah tidak selalu disambut dengan
penerimaan. Tak jarang, dakwah justru disikapi dengan penolakan. Memang dakwah secara sunatullah
akan mengahapi banyak rintangan. Sebab, dakwah pasti akan menjadi ancaman bagi pihak yang terbuai
dalam kegelapan. Hari ini misalnya, dakwah adalah ancaman bagi keberadaan bisnis ribawi, bisnis miras-
narkoba, perjudian, prostitusi, pornografi, dan lain sebagainya. Selain itu, pastinya dakwah juga akan
menjadi ancaman bagi pemerintahan yang zalim dan penuh keserakahan. Oleh karena itu, pihak-pihak
yang merasa terancam oleh dakwah tentunya akan menolak, menghalangi, dan merintangi dakwah
dengan berbagai macam cara.

Dari Sirah Nabawiyah, kita melihat bahwa dakwah yang dilakukan oleh Nabi Saw. bersama para
Sahabat Ra. pun mengalami berbagai penolakan, halangan, dan rintangan. Penolakan tersebut ada yang
berupa penolakan secara lisan seperti cacian, makian, fitnah, atau berupa halangan dan rintangan
nonfisik saja. Namun, ada pula yang berupa rintangan fisik, seperti penganiayaan, pemboikotan, bahkan
pembunuhan. Kita melihat bahwa dakwah di masa itu begitu sulit dilakukan karena harus berhadapan
dengan rintangan fisik.

Lalu, apakah rintangan dakwah yang berupa rintangan fisik tersebut akan diatasi dengan
senyuman? Ataukah dikarenakan adanya rintangan fisik, aktivitas dakwah boleh dihentikan? Pastinya
tidak. Rintangan fisik harus dihilangkan agar aktivitas dakwah bisa terus dilaksanakan. Terlebih lagi, jika
rintangan fisik tersebut dilakukan oleh para penguasa atau negara dengan bala tentaranya, maka tentu
harus disiapkan pasukan untuk menghadapinya. Hal itulah yang kita lihat dari Nabi Saw. Setelah Nabi
Saw. dan para Sahabat Ra. berhijrah untuk mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, dibentuklah
pasukan Islam untuk menghilangkan rintangan-rintangan fisik tersebut.

Atas dasar itulah, setiap muslim mestinya memiliki fisik yang sehat dan kuat. Selain itu, setiap
muslim juga wajib memiliki keterampilan dasar untuk berperang karena sewaktu-waktu keterampilan
tersebut sangat dibutuhkan. Tak heran jika keterampilan memanah, berkuda, dan berenang sangat
dianjurkan untuk dikuasai oleh umat Islam, khususnya umat Islam pada masa Nabi Saw. Sebab,
rintangan fisik ketika itu hanya bisa dihilangkan dengan perang, sedangkan perang pada masa itu
membutuhkan keterampilan-keterampilan tersebut. Dengan kata lain, hadist anjuran berolahraga di
atas adalah hadist yang menganjurkan agar setiap muslim bukan saja memiliki fisik yang sehat dan kuat,
tetapi juga memiliki kesiapan dan kemampuan untuk berperang.

Cinta yang Dirindukan

Perang yang dilakukan oleh umat Islam di bawah komando Nabi Saw. bukanlah perang
sembarangan. Begitu pula peperangan yang dilakukan oleh umat Islam di bawah pimpinan para khalifah
dari era Kekhilafahan Umayyah, Kekhilafahan Abbasiyah, hingga Kekhilafahan Ustmaniyah (diruntuhkan
pada tahun 1924). Perang dalam Islam harus dilakukan dengan berpodaman pada syariat Islam
mengenai perang (fiqih jihad), di antaranya: tidak boleh membunuh anak-anak, orang tua, perempuan,
serta pemuka-pemuka agama yang tidak turut berperang. Segala aturan tersebut adalah syariat yang
tidak boleh dilanggar oleh umat Islam. Hal ini didasarkan pada:

‫ َوال‬،‫ َأ ِو ام َْرَأ ًة‬،‫ َوالَ َت ْق ُتلُوا َولِي ًدا‬،‫ َوالَ ُتـ َم ِّثلوا‬،‫ َوالَ َت ْغ ِدرُوا‬،‫اغ ُزوا َوالَ َت ُغلُّوا‬
ْ ،ِ‫ َقا ِتلُوا َمنْ َك َف َر ِباهلل‬،ِ‫يل هللا‬ِ ‫هللا فِي َس ِب‬ِ ‫اغ ُزوا ِباسْ ِم‬ ْ
َ ‫ َوال ُم ْن َع ِزالً ِب‬،‫َك ِبيرً ا َفا ِنيًا‬
‫ص ْو َم َع ٍة‬

"Berperanglah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur
kepada Allah. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan
perang, jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang sepuh, dan
rahib di tempat ibadahnya." (HR. Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan al-Baihaqi
17935)

َ ‫ِين ُي َقاتِلُو َن ُك ْم َواَل َتعْ َتدُوا ِإنَّ هَّللا َ اَل ُيحِبُّ ْالمُعْ َتد‬
‫ِين‬ َ ‫يل هَّللا ِ الَّذ‬
ِ ‫َو َقاتِلُوا فِي َس ِب‬
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas” (Al Baqarah: 190).

Di samping itu, yang perlu diperhatikan adalah pasukan perang umat Islam dilaksanakan di
bawah kepemimpinan atau pemerintahan Islam (khilafah), bukan perang secara perorangan/individu
ataupun kelompok. Dengan demikian, pasukan perang Islam akan dimobilisasi, dikoordinasi, dan
dikomandoi oleh Khalifah agar menjadi perang yang beradab mulia. Sebab, perang ini dilakukan untuk
menghilangkan rintangan dakwah. Sebab, perang ini dilaksanakan untuk membebaskan manusia dari
kezaliman dan keserakahan penguasa. Sebab, perang ini ditunaikan untuk menyebarkan cinta (Islam
rahmatan lil'alamin) ke seluruh dunia.

Dengan perang yang seperti itu, akhirnya tak jarang orang-orang yang berada dalam
pemerintahan nonislam justru dinantikan kedatangan pasukan perang Islam ke negara mereka.
Kedatangan pasukan Islam adalah sesuatu yang dirindukan. Sebab, mereka sadar bahwa pasukan Islam
akan memerdekakan mereka dari ketidakadilan penguasa, lalu membawa mereka kepada keadilan
pemerintahan Islam (Khilafah). Mereka sadar bahwa pasukan Islam pada akhirnya akan menghadiahkan
cinta, yakni kedamaian dan keadaan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin.

Penerimaan orang-orang non-muslim terhadap pasukan Islam di antaranya dapat kita lihat dari
sejarah. Seorang ahli sejarah Kristen bernama Profesor Thomas W. Arnold mengungkapkan fakta sejarah
tersebut dalam bukunnya “The Preaching of Islam”. Beliau mencatat bahwa keadilan Khalifah Islam
membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khalifah Islam
dibandingkan dengan dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen. Pada masa itu, wilayah
Syam (Syria, Jordan, Palestina) berada di bawah Pemerintahan Romawi Timur (Byzantium) selama 7
abad sebelum Islam datang. Sementara itu, kepemimpinan Islam saat itu diamanahkan kepada Khalifah
Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahan beliau, umat Islam cukup banyak melakukan peperangan
terhadap negara yang merintangi dakwah. Salah satu peperangan tersebut dipimpin oleh panglima
perang bernama Abu Ubaidah bin Aljarrah. Saat pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Ubaidah
mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya berbunyi:

“Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-
orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami, karena saudara-saudara lebih setia kepada
janji, lebih bersikap belas kasih kepada kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan tidak adil serta
pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium, karena mereka telah merampok harta dan
rumah-rumah kami.”*

Penduduk Emessa menutup gerbang kota terhadap tentara Heraclius (Kaisar Romawi) serta
memberitahukan kepada pasukan Muslim bahwa mereka lebih suka kepada pemerintahan dan sikap
adil kaum muslimin daripada tekanan dan sikap tidak adil penguasa Romawi. Masyaallah, begitulah
dakwah Islam. Ketika diterapkan secara sempurna, ia akan diterima oleh orang-orang karena Islam
merupakan rahmatan lil'alamin.

Allah berfirman

َ ‫َوما َأرْ َس ْلنا‬


َ ‫ك ِإالَّ َرحْ َم ًة ل ِْلعالَم‬
‫ِين‬

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh
manusia” (Al Anbiya: 107)

Dari nash tersebut, terlihat bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat. Karena itu, perlu
diketahui apa arti rahmat itu. Secara bahasa, rahmah ( ‫)رحْ َم ٌة‬ َ atau Rahmat berasal dari akar kata Rahima-
ً
yarhamu- Rahmah (‫)ر ِح َم ـ َيرْ َح ُم ـ َرحْ َمة‬
َ yang berati mengasihi atau menaruh kasihan.**
Di dalam berbagai bentuknya, kata ini terulang sebanyak 338 kali di dalam Al-quran. Kata
rahmah sendiri disebut sebanyak 145 kali. Jadi, bukankah rahmah dapat diartikan sebagia kasih sayang
atau cinta?

Dengan demikian, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah bentuk kasih
sayang atau cinta Allah kepada seluruh seluruh alam. Sementara itu, Nabi Muhammad Saw. diutus
dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin (kasih sayang atau cinta bagi
seluruh alam). Tak inginkah kita membagikan cinta itu ke seluruh dunia, sehingga kelak kita bisa
bersama-sama mendapatkan cinta abadi di surga? Wallahua'lam []

Catatan Kaki

* Arnold, T.W. 1913. "The Preaching of Islam, A History of the Propagation of the Muslim Faith". London:
Constable & Company, halaman 48

** Yunus, Mahmud. 2007. "Kamus Arab Indonesia". Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, halaman
139

Lau Bakeri, 13 Oktober 2018

Anda mungkin juga menyukai