Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PENGAYAAN KEPANITRAAN KLINIK MADYA LABORATORIUM NEUROLOGI Approach Management Patient with Hemiparesis

Oleh: Aissyiyah Nur An Nisa 0610710006 Pembimbing: dr. Widodo,Sp.S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2012 DAFTAR ISI JUDUL...........................................................................1 DAFTAR ISI....................................................................2 ALGORITME...................................................................3 MANAJEMEN HEMIPARESIS..........................................7 RESUME..15

2.4

Kerusakan

REFERENSI ......................................................18 PERTANYAAN................................................................... 19

ALGORITME1,3-9

Hemiparesis

ABC tidak terganggu

ABC terganggu Penatalaksa naan ABC

Onset hemiparesis

Mendadak

Bertahap

Intermitten

dengan tanda facial paraysis atau n. cranialis lainnya CT scan kepala Riwayat trauma

tanpa tanda facial paraysis atau n. cranialis lainnya Tidak ada riwayat trauma

Spinal cord concussion atau spinal cord contussion

-imobilisasi -steroid -operasi CVA ICH, 3 thrombosis


Ada auricular fibrillation atau sumber emboli lain: CVA emboli

Riwayat HT Tidak ada riwayat HT

Tidak ada: CVA thrombosis

Lanjutan riwayat trauma

CT:lesi hiperdens bikoveks EDH operasi

CT:lesi hiperdens bikonkaf SDH

Lanjutan tanpa riwayat trauma CT: eksklusi CVA hemorrageCVA iskemik -antiplatelet -trombolitik -antikoagulan -operasi

CT:lesi hiperdens CVA hemorrage konsevatif operatif

Lanjutan hemiparesis onset bertahap Demam Abses serebri Diagnosa dengan CT scan dengan kontras/ MRI -antibiotik -drainase/ -eksisi -steroid bila edema serebri -terapi fokus infeksi primer Ensefalitis Hanya ensefalitis ec HHV yang ada terapinya dengan asiklovir Tumor otak Butuh pemeriksaan MRI/CT scan dengan kontras -suportif -operasi Multiple sclerosis Butuh pemeriksaan MRI -simptomatik -menghambat perjalanan penyakit Tanpa demam

Lanjutan onset hemiparesis intermiten

Migrain -simptomatik -profilaktik

TIA -Skoring ABCD2 -antitrombotik -manajemen faktor risiko stroke

Epilepsi Perlu EEG -OAE

MANAJEMEN HEMIPARESIS Pada umumnya kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan pyramidal sesisi. Ketiga istilah yang bermakna kelumpuhan sesisi badan itu digunakan secara bebas, walaupun hemiparesis sesungguhnya berarti kelumpuhan sesisi badan yang ringan dan hemiplegia atau hemiparalisis berarti kelumpuhan sesisi badan yang berat.2 Pada pasien dalam 10 menit pertama harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh segera. Pemeriksaan ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) serta tanda-tanda vital harus dilakukan. Pada pasien dengan ABC tidak stabil perlu dilakukan pemberian oksigen, pemasangan intravenous line, serta pengambilan sampel darah.3 Berdasarkan onsetnya, hemiparesis dikelompokkan menjadi onset mendadak, bertahap, dan intermitten. Pada

onset mendadak diperiksa adakah tanda-tanda facial paralysis atau parese nervus cranialis lainnya. Bila didapatkan maka perlu digali adanya riwayat trauma dan dilakukan CT scan kepala. Bila didapatkan riwayat trauma kemungkinan terdapat Subdural Hematoma atau Epidural Hematoma.1 Subdural Hematoma pada CT scan nampak sebagai gambaran berbentuk bulan sabit (bikonkaf) antara tulang dan otak melalui seluruh hemisfer, melintasi garis sutura, hiperdens pada akut. Isodens pada subakut, dan intensitas rendah pada kronis. Operasi dilakukan karena ditemukan defisit neurologis. Operasi dapat dilakukan dengan burr holes atau formal craniotomy dan evakuasi clot. Epidural Hematoma pada CT scan nampak sebagai lesi hiperdens convex (berbentuk lensa) dan tidak melintasi garis sutura. Evakuasi harus segera dilakukan bila didapatkan penurunan GCS < 9, pupil anisokor, atau volume > 30cc.4,5 Pada pasien yang tidak didapatkan riwayat trauma bila didapatkan riwayat hipertensi kemungkinan adalah suatu CVA ICH atau trombosis. Bila tidak ada riwayat hipertensi dan ada auricular fibrillation atau sumber emboli lainnya kemungkinan CVA emboli, namun bila tidak ada yaitu CVA trombosis.1 Bila CVA didapatkan lesi hiperdens pada CT scan, maka terdapat CVA hemorrhage. Penatalaksanaan umum meliputi penatalaksanaan ABC, pemeriksaan tanda-tanda vital, status neurologis, monitor jantung, mengontrol demam,

oksigen bila terdapat hipoksia, akses intravena normal saline dengan tetesan lambat, serta mengontrol nyeri, mual, muntah, dan kejang. Bila sistolik > 200mmHg atau MAP >150 mmHg tekanan darah perlu diturunkan dengan target 15% per hari. Hiperosmolar terapi diberikan pada pasien dengan peningkatan TIK serius yaitu dengan manitol 20% atau saline hipertonis. Indikasi operasi yaitu hematoma serebellar diameter > 3cm dengan komprei batang otak atau hidrosefalus, perdarahan dengan lesi struktural yang dapat diterapi dengan operasi (aneurisme atau AVM), hematoma lobar sedang hingga luas yang dekat dengan dengan permukaan korteks. faal Penatalaksanaan konservatif memperbaiki

hemostasis, mencegah vasospasme otak akibat perdarahan (nimodipine), dan neuroprotektan.6,7 Pada stroke iskemik penggunaan agen antitrombotik (antiplatelet atau antikoagulan) dan agen trombolitik masih menjadi andalan pada terapi stroke iskemik akut. Pemakaian trombolisis rt-PA intravena pada stroke iskemik akut harus memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. Operasi dapat dilakukan dengan carotid end arterectomy atau carotid angioplasty and stenting. Pencegahan komplikasi adalah tahap pertama dari rehabilitasi. Pasien yang membutuhkan rehabilitasi perlu dikirim ke fasilitas rehabilitasi yang tepat.6,7 Pada hemiparesis onset mendadak tanpa facial paralysis atau tanda parese nervus cranialis lainnya

kemungkinannya adanya spinal cord concussion atau spinal cord contusion. Sebelum di rumah sakit harus dilakukan kontrol tekanan darah, oksigen, imobilisasi. Selama 8 jam awal trauma diberikan metilprednisolon, kontrol tekanan darah, suhu tubuh, dan kateterisasi intermitten. Operasi segera dilakukan pada cord compression dan unstable spine injury. Tujuan dari operasi adalah dekompresi, koreksi deformitas, and stabilisasi spinal cord.4,5 Hemiparesis onset bertahap dengan riwayat demam kemungkinan abses serebri atau ensefalitis. Diagnosis abses biasanya dibuat berdasarkan temuan neuroimaging dengan CT scan dengan kontras atau MRI. Penatalaksanaan abses serebri harus dilakukan segera yang meliputi penggunaan antibiotika selama 6 minggu, tindakan bedah (drainase atau eksisi), mengatasi edema serebri dengan steroid (bersifat kontroversi, diindikasikan pada kasus yang signifikan), dan pengobatan fokus infeksi primer. Tindakan bedah diindikasikan pada kasus lesi dengan diameter > 2,5 cm, terdapat efek massa yang signifikan, lesi dekat dengan ventrikel, kondisi neurologis yang memburuk, setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak mengecil.7 Pada ensefalitis akibat enterovirus, herpesvirus, dan beberapa arbovirus, PCR sensitif dan spesifik untuk diagnosis. Selain itu juga bisa dilakukan identifikasi IgM terhadap virus

10

spesifik pada CSF. EEG sering tidak normal dengan periodic lateralizing epileptiform discharges (PLEDS) yang biasanya pada ensefalitis HSV. Saat ini hanya terapi untuk ensefalitis karena Human Herpes Virus yang ada. Pengobatan asiklovir diberikan minimal selama 14 hari dan dilanjutkan sampai CSF PCR negatif.5 Pada hemiparesis onset bertahap tanpa demam kemungkinannya tumor otak atau multiple sclerosis. MRI yang diperkuat dengan galodinum merupakan pilihan dalam mendiagnosis tumor otak. CT scan dengan kontras menjadi pilihan pada pasien dengan alat pacu jantung atau implan. Lumbal pungsi untuk Terapi mengeksklusi suportif keterlibatan dengan edema. tumor leptomeningeal. untuk pemberian Antikonvulsan

kortikosteroid dan antikonvulsan. Kortikosteroid digunakan mengurangi vasospasme profilaksis tidak diindikasikan kecuali ada riwayat kejang. Terapi definitif dilakukan dengan operasi, radioterapi, dan kemoterapi.5 Pada multiple sclerosis MRI adalah alat diagnosis paling sensitif. Terapi pada multiple sclerosis ialah simptomatis dan immune modulating. Terapi simptomatis meliputi manajemen lelah, spastisitas, gangguan neurobehavioral, gangguan paroksismal, nyeri, disfungsi buli, dan disfungsi serebellum. Terapi immune modulating bertujuan untuk memperlambat perjalanan penyakit yang meliputi manajemen

11

eksaserbasi, relapsing dan remitting serta progresivitas penyakit. Pasien dengan Secondary Progressive Multiple Sclerosis diberikan terapi interferon, steroid jangka panjang intravena, kemoterapi oral dosis rendah, ataupun kemoterapi intravena. 5,6 Bila onset hemiparesis intermitten, kemungkinannya migrain, TIA, atau epilepsi. Salah satu varian migrain yaitu hemiplegic migraine. Hemiplegic migraine dideskripsikan sebagai tipe migraine yang terdiri dari sakit kepala berulang yang terkait dengan hemiparesis atau hemiplegic unilateral, yang pada waktu itu diikuti mati rasa atau kesemutan ipsilateral, dengan atau tanpa gangguan bicara. Gejala migraine lain didapatkan. Defisit neurologis menghilang dalam hitungan menit sampai jam atau membaik dengan awal fase sakit kepala. Terapi bertujuan untuk menghilangkan faktor pencetus, manajemen akut serangan, dan pencegahan jangka panjang. Pada hemiplegic migraine terapi akut meliputi antiemetik, NSAID, dan analgetik non narkotik. Triptan dan ergotamine dikontraindikasikan. Terapi profilaksis diberikan berdasarkan keparahan serangan. Penghambat beta, trisklik dosis rendah, antikonvulsan, dan penghambat kanal kalsium dapat diberikan. Acetazolamide sering diberikan pada pasien hemiplegic migraine, namun manfaatnya dalam menurunkan frekuensi dan keparahan serangan masih dipertanyakan.8

12

Semua pasien dengan kecurigaan TIA sebaiknya dilakukan penilaian faktor risiko dengan menggunakan skor ABCD2. Pasien yang teridentifikasi berisiko tinggi (skor > 4) sebaiknya dirawat pada stroke unit untuk mendapatkan penilaian yang cepat dan terapi yang tepat. Pasien berisiko tinggi sebaiknya dilakukan pemeriksaan screening vaskuler. Terapi antitrombotik berupa agen antiplatelet sebaiknya bersifat individual, bergantung pada profil risiko pasien. Sedangkan dengan pemberian antikoagulan gaya hidup secara (berhenti rutin tidak direkomendasikan. Manjemen faktor risiko stroke dilakukan perubahan merokok, memperbaiki diet, menghindari alkohol, meningkatkan aktivitas olahraga secara reguler), penurunan tekanan darah 1 minggu setelah TIA, terapi antiplatelet, terapi antikoagulan (diberikan pada pasien pasca TIA dengan atrial fibrilasi atau cardioemboli stroke akibat kelainan katup jantung), penurunan kadar kolesterol, dan manajemen diabetes.7 Carotid endarterectomy (CEA) diindikasikan pada stenosis arteri carotid simptomatik yang bermakna (> 50%). Sedangkan untuk pasien dengan risiko tinggi operasi, carotid angioplasty dengan pemasangan stent dilakukan pada beberapa pusat pelayanan kesehatan.9 Diagnosis epilepsi ditegakkan berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Tujuan utama dari terapi epilepsi

13

adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, antara lain dengan menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE. Prinsip terapinya yaitu OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi telah dipastikan, setelah pasien dan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan, pasien dan atau keluarganya telah diberi tahu tentang kemungkinan efek samping OAE yang akn timbul. Terapi dimulai dengan monoterapi sesuai dengan jenis bangkitan atau sindrom epilepsi, dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila dengan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambakan OAE ke dua. OAE ke tiga diberikan bila kedua OAE pertama tidak dapat mengatasi bangkitan. Pasien dengan bangkitan tunggal bisa direkomendasikan untuk terapi bila dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, pada CT scan atau MRI otak ditemukan lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, dijumpai kelainan yang mengarah ke adanya kerusakan otak pada pemeriksaan neurologis, terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung, riwayat bangkitan simptomatik, riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, dan infeksi SSP, serta bangkitan

14

pertama berupa status epileptikus. Efek samping OAE perlu diperhatikan, juga interaksi farmakokinetik antar OAE.

RESUME Pada pasien dalam 10 menit pertama harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh segera. Pemeriksaan ABC (Airway, Breathing, dan Circulation) serta tanda-tanda vital harus dilakukan. Berdasarkan onsetnya, hemiparesis dikelompokkan menjadi onset mendadak, bertahap, dan intermitten. Pada onset mendadak diperiksa adakah tanda-tanda facial paralysis atau parese nervus cranialis lainnya. Bila didapatkan maka perlu digali adanya riwayat trauma. digali adanya riwayat trauma dan dilakukan CT scan kepala. Bila didapatkan riwayat trauma kemungkinan terdapat Subdural Hematoma atau Epidural Hematoma. Pada pasien yang tidak didapatkan riwayat trauma bila didapatkan riwayat hipertensi kemungkinan adalah suatu CVA ICH atau trombosis. Bila tidak ada riwayat hipertensi dan ada auricular fibrillation atau sumber emboli lainnya kemungkinan CVA emboli, namun bila tidak ada yaitu CVA thrombosis. Hemiparesis onset mendadak tanpa facial paralysis atau tanda parese nervus cranialis lainnya kemungkinannya adanya spinal cord concussion atau spinal cord contusion. deformitas, and stabilisasi spinal cord.

15

Hemiparesis

onset

bertahap otak

dengan atau

riwayat multiple

demam sclerosis.

kemungkinan abses serebri atau ensefalitis, bila tanpa demam kemungkinannya atau epilepsi. Bila didapatkan tanda-tanda Subdural Hematoma atau Epidural Hematoma perlu dilakukan pemeriksaan CT scan kepala serta pemilihan keputusan operasi. Penatalaksanaan CVA hemorrhage dengan terapi konservatif dan operatif sesuai dengan indikasi klinis pasien. CVA iskemik. Sedangkan pada CVA iskemik pemilihan agen antitrombotik dan agen antitrombolitik memegang peranan penting pada fase akut yang dilanjutkan dengan terapi rehabilitasi. Pada spinal cord concussion atau spinal cord contusion perlu dilakukan imobilisasi segera. Selama 8 jam awal trauma diberikan metilprednisolon, kontrol tekanan darah, suhu tubuh, dan kateterisasi intermitten. Operasi segera dilakukan pada cord compression dan unstable spine injury. Penatalaksanaan abses serebri meliputi penggunaan antibiotika selama 6 minggu, tindakan bedah (drainase atau eksisi), mengatasi edema serebri dengan steroid (bersifat kontroversi, diindikasikan pada kasus yang signifikan), dan pengobatan fokus infeksi primer. Pengobatan ensefalitis karena infeksi HHV, asiklovir diberikan minimal selama 14 hari dan dilanjutkan sampai CSF PCR negatif. Penatalasanaan tumor tumor Hemiparesis onset intermitten, kemungkinannya migrain, TIA,

16

otak meliputi terapi suportif dengan pemberian kortikosteroid dan antikonvulsan dan terapi definitive dengan operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Terapi pada multiple sclerosis ialah simptomatis dan immune modulating. Terapi pada hemiplegic migraine bertujuan untuk menghilangkan faktor pencetus yang terdiri dari terapi akut dan profilaksis. Penatalaksanaan TIA dengan scoring ABCD2, terapi antitrombotik, dan manajemen faktor risiko stroke. Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, antara lain dengan menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, mencegah timbulnya efek samping OAE. OAE diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip terapi.

17

REFERENSI

1. Collins RD. 2003. Algorithmic Diagnosis of Symptoms


and Signs: A Cost Effective Approach. 2nd Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

2. Sidharta, Priguna dan Mahar Mardjono. 2008.


Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

3. Bartelmo J, et al. 2006. Mastering ACLS. 2nd Edition.


Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

4. Mazzoni P, Pearson TS, Rowland LP. 2006. Merritt's


Neurology Handbook. 2nd Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

5. Samuel MA, et al. 2004. Manual of Neurologic


Theraupetics. 7th Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

6. Biller J. 2009. Practical Neurology. 3rd Edition.


Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins

18

7. Purnomo, Hari dkk. 2010. Pedoman Diagnosis dan


Terapi. Malang: Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf RSU Dr. Saiful Anwar.

8. Srinivasa R, Rahul K. 2010. Migraine Variants and


Beyond. Supplement of Journal of the Association of Physicians of India Volume 58

9. Lynn J, Newton HB, Rae-Grant AD. 2004. The 5Minute Neurology Consult. 1st Edition. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins PERTANYAAN 1. Kapan hemorrhage? Perdarahan dengan jumlah yang sedikit atau gangguan yang minimal Perdarahan yang luas dan dalam Pasien dengan gangguan yang sangat parah operasi tidak diindikasikan pada CVA

2. Bagaimana indikasi, dosis, dan cara penggunaan


neuroprotektan pada kasus stroke? Citicholin Indikasi: Stroke iskemik dalam 24 jam pertama dari onset Stroke hemoragik intraserebral Dosis dan cara pemberian: Bisa diberikan dalam 24 jam sejak awal stroke

19

Stroke iskemik: 250 1000 mg / hari iv, terbagi


dalam 2 3 kali / hari selama 2-14 hari Stroke hemoragik: 150 200 mg / hari iv, terbagi dalam 2-3 kali / hari selama 2 14 hari 3. Bagaimana pengendalian peningkatan TIK pada stroke fase akut?

Head up 20-300 Hindari penekanan vena jugular, pemberian cairan glukosa, dan hipertermia

Osmoterapi atas indikasi: mannitol 0,25 0,5 gr/kgBB selama <20 menit, diulang tiap 4-6 jam dengan target 310 mmHg mOsm/L; bila perlu diberikan furosemid dengan dosis inisial 1 mg/kgBB iv; kortikosteroid tidak direkomendasi pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan bila tidak ada kontraindikasi

4.

20

Anda mungkin juga menyukai