Anda di halaman 1dari 148

EKONOMI

EKONOMI
Kayuhan Jentera Kehidupan

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62651636666 Fax. +62651637777 www.eacehnias.org know.brr.go.id Pengarah Penggagas Editor

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +6263922848 Fax. +6263922035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62217254750 Fax. +62217221570

: Kuntoro Mangkusubroto : Said Faisal Baabud : Agus S Riyanto Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Ihsan Abdul Salam : Hairul Basri : Arif Ariadi Bodi Chandra

Desain Grafis

: Bobby Haryanto (Kepala) Edi Wahyono Mistono Surya Mediana Wasito

Editor Bahasa Penulis Fotografi

Penyelaras Akhir : Hanief Arie Intan Kencana Dewi Ratna Pawitra Trihadji Ricky Sugiarto (Kepala) Rudiyanto

Alih bahasa ke Inggris Editor Editor Bahasa Penerjemah : Melinda Hewitt : Margaret Agusta : Nana Nathalia T. Ferdiansyah Thajib T. Sima Gunawan

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 9786028199407

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para korban yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias yang lebih baik dan lebih aman; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negaranegara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upayaupaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Kesibukan jualbeli ikan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo, Banda Aceh, 6 September 2006. Penyelesaian proyek pembangunan PPS Lampulo, yang direncanakan sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 2000, merupakan upaya strategis pengembangan ekonomi bidang perikanan Aceh yang berkesinambungan. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar isi
Pendahuluan Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh
Lenyapnya Kejayaan Aceh Aceh dalam Impitan Konflik Aceh Menatap Pasar Global

viii 1
1 4 8

Bagian 2. Kembali ke Titik Nol


Hancurnya Sarana dan Prasarana Ekonomi Hilangnya SDM Berkualitas Pengangguran Melonjak, Lapangan Kerja Anjlok Melemahnya Perekonomian di Aceh

11
11 16 17 18

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi


Menyusun Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Program Berubah Mengikuti Tuntutan Lapangan Pengelolaan Risiko

21
22 32 46 50

Bagian 4. Bersama Membangun


Menggarap Potensi Perikanan Mengembalikan Kejayaan Sektor Pertanian Merangkul Masyarakat Sekitar Hutan Menjemput Peluang Usaha Programprogram Jangka Panjang

63
63 70 79 83 89

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan


Produk Domestik Bruto Perdagangan Lapangan Kerja dan Kemiskinan Tantangan Ekonomi PascaBRR

99
100 104 105 107

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha


Pembelajaran Utama Refleksi Penutup

113
113 124

Bibliografi Daftar singkatan

127 130

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

viii

Pendahuluan
SELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, Sang
Saka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan saranaprasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulaupulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecilmenengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangantangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handaitaulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan AcehNias yang dilandaskan pada

Pendahuluan

ix

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun AcehNias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Pemulihan AcehNias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porakporanda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelima belas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan AcehNias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan dan penanggulangan bencana di seluruh dunia. Buku berjudul Kayuhan Jentera Kehidupan ini menguak dinamika bangkitnya ekonomiusaha yang, setelah tragedi konflik Aceh, sempat semakin tertekan akibat tsunami. Subsektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kewirausahaan, rusak; bahkan tak sedikit yang musnah. Besarnya dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat, mendorong pemerintah segera merumuskan kebijakan dan strategi pemulihan perekonomian secara menyeluruh: memutarkembali jentera perekonomian masyarakat, terutama para penyintas, hingga melaju cepat.

Capaian 4 Tahun
Rehabilitasi dan Rekonstruksi
635.384 127.720
orang kehilangan tempat tinggal orang meninggal dan 93.285 orang hilang usaha kecil menengah (UKM) lumpuh

104.500 155.182 195.726

tenaga kerja dilatih UKM menerima bantuan

xi

rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur

139.195 140.304 73.869 69.979

rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

1.927 39.663

13.828 7.109

sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak

1.089 3.781

2.618 3.696

3.415 1.759

sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak

517 1.115

669 996

119 363 22 23

8 13

Jatuh Bangun Ekonomi Aceh


Lenyapnya Kejayaan Aceh
perekonomian Aceh tidak bisa lepas dari kisah sukses Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam yang dikenal dengan Sultan Iskandar Muda (16071636). Menurut Dennys Lombard (2006), zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan masa pembangunan dan kejayaan yang hebat. Sultan dikenal sangat ahli dalam membangun Kerajaan Aceh dan menjadikannya kerajaan yang kuat, besar, serta disegani oleh kerajaankerajaan lain di Nusantara dan dunia luar. Di bidang pertahanan, Aceh merupakan satusatunya kerajaan di kepulauan Nusantara yang memiliki pasukan gajah, selain pasukan berkuda. jumlah pasukan gajah Kerajaan Aceh mencapai 500 ekor. Di Asia, penguasa yang memiliki pasukan gajah, yakni kaisar di Vietnam dan raja di Ava, Burma, Raja Ayuthia (Thailand) memiliki 5.000 pasukan gajah, dan Kekaisaran Moghul Akbar di India yang memiliki sampai 15 ribu pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentaratentara muda. Kekuatan pasukan ini membuat Sultan Iskandar Muda pernah menaklukkan Deli, johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias pada 16121625.

KEjAYAAN

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Mohammad Nazar menunggang gajah dalam parade kebudayaan Aceh di Banda Aceh. Di masa lampau ekonomi Aceh pernah berjaya. Berbagai catatan sejarah melaporkan, 50 persen perdagangan lada dunia berasal dari sini. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Di bidang ekonomi, Sultan sangat piawai dan sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaannya. Dia sempat membangun saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai 11 kilometer. Pembangunan saluran tersebut untuk pengairan sawahsawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan. Berbagai catatan sejarah melaporkan bahwa 50 persen perdagangan lada dunia berasal dari Aceh. Produksi lada kala itu sekitar 150 ribu pikul setara dengan sembilan ton. Pembeli lada berasal dari aneka bangsa, namun pembeli terbesar adalah pedagang Amerika dan Inggris. Komoditas ini diekspor melalui Pelabuhan Ulee Lheue dan Meulaboh (Reid, 1969). Saat itu, Singkil juga telah dikenal sebagai kota pelabuhan. Dennys Lombard menyatakan, seorang pelaut dari Prancis, Admiral Augustin de Beaulieu, dalam perjalanannya ke Hindia Timur (16191622) menyebutkan bahwa Kota Singkil merupakan salah satu kota pelabuhan Sultan Iskandar Muda. Beaulieu menyebut Kota Singkil dengan sebutan Cinquel. Bersama Pasaman, Tiku (Pariaman) sampai ke Padang, Singkil juga merupakan salah satu daerah pemasok lada, kemenyan, kapur barus, ikan laut, dan ikan sungai. Singkil juga disebutsebut sebagai salah satu penghasil garam.

Deputi Infrastruktur Bastian Sihombing berdiskusi dengan mantan petinggi GAM Malik Mahmud tentang pembangunan jaringan infrastruktur yang menunjang pertumbuhan ekonomi, Banda Aceh, 25 Februari 2007. Foto: BRR/Ricky Sugiarto

Hasil penelitian Onghokham (1999) menyatakan kapalkapal dagang Aceh berlayar sampai ke Gujarat di India. Bahkan mata uang emas Aceh diterima di seluruh dunia sebagai salah satu patokan mata uang yang bermutu emas tinggi, seperti dolar Amerika Serikat dan yen jepang kini. Sultan juga menerapkan baitul mal, lembaga keuangan berprinsip ekonomi syariah. Dia juga melakukan reformasi perdagangan dengan menaikkan cukai ekspor untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Akhirnya, para saudagar Aceh pun tergoncang pada akhir 2004. Gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 telah meluluhlantakkan sebagian wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias. Gelombang laut yang begitu dahsyat itu juga telah menelan ratusan ribu jiwa. Denyut nadi perekonomian Aceh lantas berhenti mendadak saat gempa bumi yang disusul tsunami yang terjadi empat tahun silam. Bencana tersebut menelan semuanya yang ada di Aceh. Perekonomian Aceh benarbenar telah kembali ke angka nol.

Warga Bireun biasa menjemur pinang kualitas ekspor. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh

Ekonomi Pengawal Mula Gejolak


Meningkatnya perekonomian Hindia Belanda membuat ekonomi Aceh ikut menguat. Hal itu disebabkan oleh kehadiran tentara Belanda di Tanah Gayo pada 1904 yang diikuti para saudagar Belanda yang membuka berbagai lahan perkebunan.

Pemerintahan kolonial membangun jalur kereta api. Awalnya sebagai sarana pengangkut peralatan militer, tapi berubah jadi jalur ekonomi untuk mengangkut hasil bumi seperti karet dan minyak.

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

1904
Perkebunan kopi dibuka, menggantikan tanaman teh dan lada yang kurang disukai Belanda. Perkebunan sawit juga dibuka di Singkil. Pada 1940an, pemerintahan kolonial mulai mendatangkan pekerja penggarap dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Aceh dalam Impitan Konflik


Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Keterpurukan Aceh semakin lengkap ketika Traktat London ditandatangani antara Belanda dan Inggris pada 1824 yang isinya Inggris memberikan kekuasaan kepada Belanda terhadap kawasan Pantai Sumatera. Sebagai imbalannya, Belanda akan menyerahkan segala kuasa perdagangan kepada Inggris dan juga berjanji tidak akan menyaingi Inggris menguasai Singapura. Pemerintah Belanda yang hampir menguasai Nusantara akhirnya melakukan penaklukan ke Aceh hingga terjadi Perang Aceh (18731942). Sejarawan Pierre van der Eng mencatat, ekonomi Hindia Belanda mengalami kemacetan pada periode 18801900, sebelum kemudian menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 19001930. Patut diingat, periode 18801900 itu merupakan masa ganasganasnya perang kolonial di Aceh. Sedangkan pada kurun waktu 19001930 pertempuran yang amat menguras biaya itu sudah berakhir. Dan pada saat bersamaan, sarana transportasi di Nusantara telah selesai dibangun (Majalah Tempo, 25/XXXII 18 Agustus 2003). Penguatan perekonomian Hindia Belanda membuat Aceh ikut kecipratan. Kehadiran tentara Belanda di Tanah Gayo pada 1904 juga diikuti oleh para saudagar Belanda yang membuka perkebunan kopi di dataran yang memiliki ketinggian 1.0001.700 meter di atas permukaan laut tersebut.

Sebelum tanaman kopi, Tanah Gayo banyak ditanami teh dan lada. Lada Gayo bibitnya dibawa dari Madagaskar pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Sayangnya, Belanda lebih suka menanam kopi di Gayo dan mengakibatkan teh dan lada mulai ditinggalkan petani. Belanda juga meninggalkan perkebunan Sawit di Singkil. Pada 1940an, pemerintahan kolonial mulai mendatangkan pekerja dari jawa Tengah dan jawa Timur untuk menggarap lahan perkebunan sawit yang sampai sekarang tetap menjadi primadona di Aceh. Selain membuka perkebunan, pemerintahan kolonial juga membangun jalur kereta api. Awalnya, jalur kereta api di Aceh dibangun sebagai sarana pengangkut peralatan militer dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja atau Banda Aceh. Namun, fungsi itu berubah menjadi jalur ekonomi dengan dibangunnya jalur kereta api sepanjang Sumatera Timur sebagai wilayah penghasil minyak dan karet: mulai dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh) sampai Rantau Prapat pada 1940. Pembukaan jalur kereta api di Sumatera Selatan didasari alasan ekonomi semata dengan dimulainya pengeboran minyak di Prabumulih, Muara Enim, dan Martapura. Pada1940 jalur kereta api diperluas hingga ke Teluk Betung dan ke arah Lubuk Linggau. Meskipun didera perang yang berkepanjangan, perekonomian Aceh tetap menggeliat. Bahkan Presiden Sukarno perlu untuk meminta bantuan saudagar Aceh pada juni 1948 mendukung mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para saudagar Aceh lantas mengumpulkan emas untuk membeli pesawat Dakota yang diberi nama RI Seulawah 001 yang menjadi cikalbakal Garuda Indonesia.
Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh

1948
Presiden Soekarno meminta bantuan saudagar Aceh pada Juni 1948 untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para saudagar itu lantas mengumpulkan emas untuk membeli pesawat Dakota yang diberi nama RI Seulawah 001, yang menjadi cikalbakal Garuda Indonesia.

H A W A

L E S

1974
Ditemukan kandungan gas alam di Aceh Utara pada 1974, yang memicu konflik antara Pusat dan Aceh. Jakarta melahirkan Daerah Operasi Militer (DOM) untuk melawan Aceh yang dimotori Hasan Di Tiro dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Besarnya potensi sumber daya alam di Aceh membuat tarikmenarik pusat dan daerah semakin kencang. Konflik pusat dan Aceh diawali oleh Muhammad Daud Beureueh. Ketidakpuasan mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo ini terhadap pemerintah pusat membuat dia melawan. Perlawanannya berlangsung selama sembilan tahun, 19531962. Perlawanan Beureueh melemah, muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berdiri pada 1976 dengan Hasan Muhammad Di Tiro alias Hasan Tiro sebagai tokohnya. Perlawanan GAM ini pun ditanggapi pemerintah pusat melalui operasi militer. Baru pada 2001 terbit UndangUndang No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan suatu upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Semasa konflik, petani memiliki keresahan yang cukup besar dalam bertani. Nelayan enggan melaut dan pedagang gundah untuk berjualan. Suasana siang dan malam hari sama mencekamnya. Kondisi ini sering terjadi jika berlangsung kontak senjata antara GAM dan TNI. Dentuman senjata di malam hari membuyarkan niat petani untuk pergi ke sawah atau kebun esok harinya. Masyarakat lebih banyak menunggu di rumah sampai suasana aman. Saya dan keluarga bermukim di daerah ini semenjak 20 tahun yang lalu. Kebun kopi seluas dua hektare ini adalah lahan yang diberikan pemerintah untuk kami, ujar seorang transmigran di Dataran Tinggi Gayo. Tapi, konflik yang terjadi menyebabkan saya dan keluarga tidak bisa berkebun dengan tenang. Bahkan kami harus mengungsi ke luar Aceh, tambah transmigran tersebut mengenang masamasa sulit yang dialaminya. Lain lagi kisah seorang pedagang di salah satu kota di lintas timur Banda AcehMedan. Kontak senjata di suatu malam pada 2002 membuyarkan pembeli yang sedang nongkrong sambil minum di warungnya. Suara senjata membuat saya terkejut dan takut. Biasanya setelah itu ada sweeping yang dilakukan oleh aparat atau GAM, membuat saya takut akan terjadi sesuatu. Daripada terjadi apaapa lebih baik warung saya tutup, meskipun rugi, tutur pemilik warung kopi tersebut dengan mata yang agak berkacakaca menahan air mata yang urung keluar. Suasana Aceh yang mencekam juga menyebabkan banyak nelayan yang enggan melaut. Sewaktu saya dan rekan lain hendak melaut, terdengar dentuman senjata dari kejauhan. Kami terus mengurungkan niat untuk melaut, ujar seorang nelayan dari Pantai Barat Aceh. Suasana konflik menyebabkan turunnya produksi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Padahal sektor ini merupakan pilar utama ekonomi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB ) Aceh setelah migas. Demikian juga dengan para karyawan yang bekerja di perusahaan migas dan industri lainnya di Aceh. Tekanan konflik juga menyebabkan kenyamanan dan keamanan mereka untuk bekerja terganggu. Beberapa peristiwa hilangnya karyawan yang diberitakan

oleh media massa di Aceh dan Sumatera Utara menambah deretan panjang tentang catatan ekses konflik yang melanda Aceh. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kinerja karyawan perusahaan tersebut dan sekaligus mengganggu target produksi. Di tengah konflik, PDB Aceh sebesar 2,3 persen dari PDB nasional 2003. Pertumbuhan PDB sekitar 3,4 persen per tahun, sedangkan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Provinsi Aceh sebesar Rp 8,7 juta. Wajah perekonomian Aceh mulai berubah ketika ditemukannya kandungan gas alam di Aceh Utara pada 1974. Temuan cadangan gas Arun ini baru diproduksi pada 1977. Beroperasinya gas Arun membuat perkebunan dan pertanian kalah pamor. Kontribusi sektor pertanian pada 1979 sebesar 25,27 persen, sedangkan kontribusi sektor minyak dan gas mencapai 54,16 persen. Pada 1984, kontribusi pertanian mencapai level 16,84 persen, sedangkan kontribusi dari sektor pertambangan minyak dan gas terus meningkat mencapai 66,58 persen. Kegiatan operasional migas juga menciptakan industri hilir, seperti PT Pupuk Iskandar Muda, PT ASEAN Aceh Fertilizer, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Semen Andalas Indonesia di Lhoknga. Kehadiran industri mampu memberikan kontribusi langsung seperti penyerapan tenaga kerja, sumber pajak, dan retribusi daerah.

Pendederan Ikan Kerapu di Ujong Blang, Banda Sakti, Lhokseumawe, 25 Oktober 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Lahan sawah dan tambak di kawasan Bireuen, 9 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Ekspor neto (ekspor minus impor) cukup tinggi sekitar 42 persen dari PDB 2003 atau lebih tinggi dari tingkat nasional yang berada pada level 5,5 persen. Sementara itu, rasio penanaman modal terhadap PDB Aceh tercatat sebesar 7,5 persen pada 2003. jumlah ini kurang dari separuh tingkat rasio nasional yang mencapai 19,7 persen. Sebelum krisis rasio tersebut juga rendah sekitar 1113 persen. Selain migas, pilar ekonomi lokal di Aceh adalah sektor perikanan. Sektor ini menyumbangkan 6,5 persen dari PDB senilai Rp 1,59 triliun pada 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh, 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton per tahun, sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton per tahun pada 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD 2004). Tangkapan produk perikanan merata, baik di Samudera Indonesia maupun Selat Malaka.

Aceh Menatap Pasar Global


Babak baru dimulai ketika gempa bumi dan gelombang tsunami menyapu Aceh. Dahsyatnya bencana ini langsung menghentikan pertikaian yang sudah berlangsung sangat lama itu. Akhirnya, konflik itu diakhiri dengan perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Barangkali, ini adalah hikmah di balik bencana. Setelah terpuruknya ekonomi Aceh akibat bencana, maka bantuan yang datang dari pemerintah, LSM, dan lembaga donor lainnya sebagiannya diarahkan untuk menstimulasi aktivitas ekonomi masyarakat. Salah satu kegiatan untuk mengembalikan mata pencarian

Potensi ekonomi Aceh pascakonflik bersenjata dan bencana sangat luar biasa. Lahan sawah terbentang luas di wilayah pantai timur dan lahan perkebunan masih terhampar di wilayah barat. Produksi padi pada 2004 tercatat sebesar 1.552.083 ton gabah kering giling dengan luas panen 370.960 hektare dan ratarata produksi 4,18 ton per hektare. Luas perkebunan rakyat tercatat sekitar 572 ribu hektare dan luas perkebunan besar sekitar 197.570 hektare. Tidak hanya komoditas unggulan daerah seperti kopi arabika, pala, pinang, cengkeh, kemiri, dan nilam yang dapat berproduksi, komoditas unggulan nasional seperti karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, dan lada juga dapat berkembang dengan baik di Aceh (Pemda Aceh, 2007). Potensi dari laut tidak kalah besarnya. Wilayah tangkapan ikan di Aceh terbentang luas, dari bibir pantai sampai ke tengah Samudera Indonesia. Potensi ini masih ditambah hasil tambak di pantai timur yang sudah mulai pulih dan menggeliat kembali. Perairan laut Aceh seluas 295.370 km terdiri atas laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) 238.807 km. Potensi perairan teritorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEEI sebesar 203.320 ton sehingga totalnya sebesar 423.410 ton. Sayang, bila potensi Aceh tersebut tidak bisa semuanya dimanfaatkan oleh nelayan Aceh (Pemda Aceh, 2007). Padahal peluang Aceh menuju pasar global sangat besar. Hal ini didukung oleh letak geografis Aceh yang berada di ujung pulau Sumatera. Aceh berbatasan langsung dengan beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, dan India. Ditambah lagi jalur perdagangan laut dari Eropa dan Afrika ke Asia Timur dan jepang atau sebaliknya, selalu melewati perairan Aceh sebelum memasuki Selat Malaka. Kini, musibah bencana alam gempa dan tsunami yang menyapu Aceh telah lewat empat tahun dan tugas BRR NADNias telah usai. Dalam rentang waktu tersebut, ada banyak program yang sudah dilaksanakan dan telah menunjukkan hasilnya. Seiring dengan pulih, tumbuh, dan berkembangnya kembali ekonomi rakyat dari berbagai sektor, aktivitas masyarakat juga mulai meningkat. Nelayan kembali melaut, petani kembali ke sawah, petambak mulai menebar nener, pasar semakin bergairah, lembaga keuangan mulai hidup, jalan diramaikan oleh truk barang, serta berbagai aktivitas dan kegiatan ekonomi lainnya juga terus berkembang. Dengan semakin mapannya kondisi keamanan pascaMoU Helsinki, maka perekonomian masyarakat diharapkan terus membaik, yang akhirnya dapat menunjang perekonomian Aceh secara keseluruhan. juga banyaknya pemilik modal yang berminat berinvestasi di Aceh memberikan harapan baru untuk perkembangan ekonomi yang lebih baik.

Bagian 1. Jatuh Bangun Ekonomi Aceh

masyarakat yang hilang secara cepat melalui program padat karya (cash for work). Upaya ini dilanjutkan dengan perbaikan aset produktif masyarakat yang rusak akibat bencana agar aktivitas mata pencarian masyarakat dapat dipulihkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pada saat yang bersamaan, dirancang pula kegiatan yang menunjang aktivitas ekonomi dalam jangka panjang yang diarahkan untuk memperkuat fondasi ekonomi Aceh ke depan.

Kembali ke Titik Nol


Hancurnya Sarana dan Prasarana Ekonomi
Bumi Aceh terguncang di Minggu pagi, 26 Desember 2004. Banyak bangunan yang tak mampu bertahan dihentak gempa yang mencapai 9,1 skala Richter itu. Bencana terus berlanjut. Sekitar 15 menit kemudian, air laut tumpah ruah ke darat. Gelombang yang tingginya mencapai lebih dari tiga meter menyapu daratan. Gelombang tsunami itu menghancurkan semua yang menghalanginya. Kota Banda Aceh berantakan. Puingpuing sisa gempa dan tsunami bertebaran, menyembul di antara tumpukan lumpur hitam. Mayatmayat bergelimpangan di segenap penjuru. Sebagian mayat masih dihanyutkan Sungai Krueng Aceh. Saya sudah tiga hari tidak makan, ucap seorang penyintas sambil menangis di tempat pengungsiannya di Masjid Raya Baiturrahman. Untuk mengganjal perut, dia terpaksa mengais apa pun yang bisa dimakan di rumahrumah penduduk atau toko makanan yang selamat diterjang gelombang tsunami. Seusai bencana pada Minggu kelabu itu, tercatat 565.384 penyintas yang tersebar di 20 kabupaten kota di Aceh (TRIP 2). Kebutuhan pangan selama masa darurat sangat mendesak. Selama tiga bulan sejak gelombang tsunami datang, dibutuhkan beras Pembersihan puingpuing pascabencana di lahan pasar tradisional Lhok Nga, Aceh Besar, 12 juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Kembali ke Titik Nol

11

sebanyak 17.504 ton. Untuk 49 bulan setelah itu, diperlukan 35.008 ton beras. Di bulan ke10 hingga 20, beras yang dibutuhkan sebesar 64.182 ton. Artinya, untuk menjamin ketersediaan pangan selama 20 bulan sejak bencana dibutuhkan 116.694 ton beras.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Tsunami juga menghancurkan harapan masyarakat Aceh. Tercatat ada 5.176 usaha kecil dan menengah (UKM), 7.529 unit warung, 1.191 unit restoran, 25 unit perbankan, empat unit BPR, 20 unit lembaga keuangan mikro atau LKM, dan 195 unit pasar hilang ditelan bencana. Bahkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Collin Powel, sewaktu mengunjungi Aceh menyatakan sangat terkejut melihat langsung kehancuran yang dialami oleh Aceh. Saya sudah pernah ke medan perang dan saya sudah melalui sejumlah bencana tornadohurricane dan banyak operasi pemulihan, tetapi saya belum pernah melihat kehancuran seperti di Aceh ini, ujarnya (BBC News, 2005). Beberapa hari setelah tsunami datang, seorang pedagang, duduk termenung sambil menahan air mata dan mengisahkan peristiwa sedih pada Minggu tersebut. Toko yang dimilikinya di jalan Muhammad jam, Kota Banda Aceh, rusak dihantam tsunami. Lima buah mesin fotokopi, barang dagangan berupa alat tulis kantor, dan lainnya rusak dan musnah dibawa tsunami. Tapi, kami semua selamat. Mungkin semua ini cobaan dari Tuhan. Kerugian saya sampai puluhan juta rupiah, ujarnya dengan kepala tertunduk. Seorang pedagang kios di Simpang Ajuen jeumpit, Aceh Besar, berkisah. Kios saya hancur semuanya dihantam tsunami. Sekarang saya tidak bisa mencari nafkah lagi, sebelum kios dan bantuan modal ada, tutur dia bergetar. Hingga satu bulan setelah tsunami, uang yang dimiliki juga terkadang tidak mempunyai arti. Pasar Peunayong, pasar terbesar di Banda Aceh, hancur berantakan. Pasarpasar seperti di kawasan Neusu Kota Banda Aceh dan Pasar Lambaro, Aceh Besar,

12

Aceh Rata Tanah


Aceh diterjang gempa berkekuatan 9,1 skala Richter, 26 Desember 2004. Air laut tumpah ruah ke darat dengan tinggi gelombang lebih dari tiga meter. Kota Banda Aceh berantakan. Mayatmayat bergelimpangan.

Amin, warga Banda Aceh, mengeluh tingginya harga kebutuhan pokok. Dia tak mampu lagi untuk membeli sekilo beras untuk makanan seorang anak dan istrinya yang selamat dari bencana. Dia hanya pasrah menunggu beras

Kebutuhan Pangan
Tercatat 486 ribu penyintas yang tersebar di 16 kabupaten atau kota di Aceh. Untuk menjamin ketersediaan pangan selama 20 bulan sejak bencana dibutuhkan 116.694 ton beras.

lembaga keuangan mikro atau LKM, dan 195 unit pasar hilang ditelan bencana.

unggas.

Ikan Pun Hilang


Aset di bidang kelautan dan perikanan yang rusak parah antara lain Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee, tambak udang rakyat, saluran tambak, kapal penangkap ikan, dan permukiman nelayan di beberapa lokasi. Total kerugian Rp 2,8 triliun.

Ladang dan Ternak Tenggelam


Lahan sawah yang rusak seluas 20.101 hektare, ladang tegalan seluas 31.345 hektare, dan perkebunan yang diperkirakan seluas 56.500102.461 hektare (Data FAO dan Deptan). Ternak yang mati atau hilang adalah 78.189 ekor sapi/kerbau, 66.323 ekor domba/kambing, dan 1.742.784 ekor

Hancurnya Harapan
Tercatat 5.176 usaha kecil dan menengah (UKM), 7.529 unit warung, 1.191 unit restoran, 25 unit perbankan, 4 unit BPR, 20 unit

Bagian 2. Kembali ke Titik Nol

yang tidak terkena dampak tsunami, belum beraktivitas setelah ditinggal pedagangnya mengungsi. Akibatnya masyarakat Banda Aceh harus bersusah payah untuk mencari bahan makanan dan BBM sampai ke Indrapuri atau Saree, Aceh Besar. Padahal jarak ke lokasi tersebut cukup jauh, sekitar 30 kilometer. Minimnya pasokan kebutuhan pokok dan BBM membuat harganya melambung tinggi. Misalnya, harga mi instan sebelum bencana Rp 1.000 per bungkus meroket hingga Rp 5.000. Harga BBM per liter Rp 2.400 melonjak hingga Rp 10.000 per liter. Bahkan ada penyintas yang hanya mengonsumsi mi instan selama seminggu.

13

yang dibagikan oleh pemerintah dan LSM yang sudah datang ke Aceh. Namun, jatah beras Amin harus diperoleh dengan susah payah karena harus antre berjamjam dengan penyintas lainnya.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Di sektor pertanian, kerusakan besar juga terjadi. Tingkat kerusakan lahan yang terjadi antara lain lahan sawah seluas 20.101 hektare, ladang tegalan seluas 31.345 hektare, dan perkebunan yang diperkirakan seluas 56.500102.461 hektare (Data FAO dan Deptan). Kerusakan lahan perkebunan terdiri atas perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, cokelat, nilam, dan jahe. Adapun jumlah ternak yang mati ataupun hilang adalah 78.450 ekor sapi, 62.561 ekor kerbau, 16.133 ekor domba, 73.100 ekor kambing, dan 1.624.431 ekor unggas. Sawah saya tidak bisa lagi ditanami. Terlalu banyak lumpur yang mengandung pasir yang dibawa tsunami dari laut. Sampahsampah berupa batang kayu dan bekas reruntuhan rumah juga menumpuk di lahan sawah. Sebelum sawah tersebut dibersihkan, kami tidak mungkin dapat kembali bertani. Untuk sementara, kami cuma bisa menunggu bantuan dari pemerintah dan LSM yang mempunyai perhatian membantu membersihkan lahan sawah kami, kata petani di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Lain lagi kisah peternak Meulaboh, Aceh Barat. Saya memiliki beberapa ekor lembu dan kambing yang sebenarnya mau saya jual untuk biaya sekolah anak. Lembu dan kambing itu semua hilang dibawa tsunami. Bahkan saya juga tinggal sendiri karena tiga orang anak saya dan istri saya juga hilang ditelan gelombang tsunami, ujar peternak tersebut sambil menerawang ke langit. Di sektor perikanan, kerusakan yang terjadi juga parah. Berdasarkan informasi dari Tim Pemantau dan Satuan Tugas Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerja di lapangan sejak 28 Desember 2004, aset di bidang kelautan dan perikanan yang rusak parah antara lain Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee, Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan di Lampulo, balai benih ikan, tambak udang rakyat, saluran tambak, kapal penangkap ikan, dan permukiman nelayan di beberapa lokasi. Kerugian di sektor ini nilainya sangat besar. Selain menghitung perkiraan nilai kerusakan, juga dilakukan perkiraan nilai kerugian usaha akibat gagal produksi dan perkiraan tingkat produksi yang berjalan selama tahuntahun terakhir. Untuk perikanan tangkap digunakan nilai produksi pada 2003, sedangkan perkiraan perikanan budidaya tambak digunakan data produksi tambak usaha tradisional sebesar 500 kilogram per hektare per tahun. Total perkiraan nilai kerugian sebesar Rp 2,8 triliun yang terdiri atas produksi perikanan tangkap sebesar Rp 0,6 triliun, produksi perikanan budidaya sebesar Rp 1,6 triliun, dan usaha perikanan lainnya seperti pembibitan ikan, pabrik es, dan lainlain sebesar Rp 0,6 triliun. Nurdin, nelayan yang berdomisili di Aceh jaya, duduk termenung menatap ke laut Samudera Indonesia yang luas. Ingin rasanya ia berenang ke laut lepas untuk mencari

14

ikan, namun apa daya perahu ukuran 5 GT satusatunya warisan orangtuanya hilang ditelan tsunami. Saya tidak bisa berbuat apaapa karena keahlian saya cuma menangkap ikan, ujarnya lirih. Tambaktambak yang terbentang luas di kawasan timur Pantai Aceh hancur akibat tsunami (dari Idi Aceh Timur sampai Banda Aceh). Saya dan para petambak lainnya sudah kehilangan mata pencarian. Tambak kami tertimbun lumpur yang mengandung pasir. Begitu juga paritparitnya sudah rusak dan batasbatas tambak kami juga sudah hilang, papar seorang petambak. Bahkan petambak yang ada di kawasan barat mengatakan tambaknya sudah hilang karena garis pantai sudah berubah. Pohon kelapa yang masih tegak di laut itu sebagai bukti, bahwa sebelum tsunami tempat itu adalah daratan, ujar seorang petambak sambil menunjuk ke arah laut. Ungkapan yang disampaikan oleh petani, petambak, dan nelayan di atas memberikan makna bahwa bencana tsunami telah menghancurkan aset produktif yang mereka miliki. Upaya perbaikan dan pembangunan asetaset ini merupakan sasaran utama untuk mengembalikan mata pencarian mereka agar mereka dapat bekerja untuk melanjutkan kehidupannya.

Meski tambak sudah hancur, tak menyurutkan tekad nelayan ini untuk mencari ikan, Dayah Baro, Banda Aceh, 25 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Kembali ke Titik Nol

15

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

16

Hilangnya SDM Berkualitas


Daerah Musibah Tsunami Aceh Barat 2004. Foto: Dokumentasi BRR Kerusakan dan kerugian di bidang perikanan di atas baru sebatas kerugian secara fisik. Dampak bencana terhadap SDM sangat luas. SDM yang meninggal atau hilang pada saat bencana terdiri atas kelompok kepala rumah tangga, pegawai, karyawan, petani, nelayan, dan masyarakat biasa. Sebagian dari mereka adalah tenaga kerja yang produktif dan memiliki keterampilan yang tinggi. jumlah nelayan yang hilang dilaporkan sebanyak 14.396 orang dan jumlah petambak yang hilang atau meninggal 920 orang. Dinas Pertanian melaporkan, dari 1.457 pegawainya, sebanyak 93 orang meninggal dan 157 orang belum diketahui. Selanjutnya, dari 271 pegawai di lingkungan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NAD, 72 orang pegawai meninggal/hilang. jumlah pegawai yang hilang atau meninggal di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD sebanyak 36 orang, di Unit Pengelola Teknis (UPT) Lokasi Budidaya Ujong Batee Aceh Besar sebanyak sembilan orang, di UPT Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Ladong Aceh Besar sebanyak tiga orang, dan seorang di UPT Stasiun Karantina Ikan Sultan Iskandar Muda (Rencana Induk, 2005).

Pengangguran Melonjak, Lapangan Kerja Anjlok


Bagian 2. Kembali ke Titik Nol

Sangat sulit memperkirakan berapa banyak pekerja yang hilang, terlebih lagi untuk memperoleh data mengenai jumlah lapangan kerja yang hilang. Perhitungan di bawah ini mengasumsikan, pertama tingkat pengangguran terbuka tidak berubah. Dari jumlah penduduk sebesar empat juta orang dan diasumsikan dua persen hilang, kesempatan kerja dan orang yang tidak bekerja juga diasumsikan hilang sebesar dua persen. Artinya, tingkat pengangguran terbuka tetap sama seperti sebelum bencana, yaitu sekitar 11,2 persen. Asumsi kedua adalah dampak bencana akibat hilangnya lapangan pekerjaan. Dampak bencana terhadap tingkat pengangguran di Provinsi NAD dapat dilihat dengan beberapa skenario. Sebagai contoh, bila lapangan pekerjaan diperkirakan hilang sebesar 10 persen, itu akan mengakibatkan 220.900 orang kehilangan lapangan pekerjaan sehingga total penganggur setelah bencana menjadi 499.300 orang dan tingkat pengangguran terbuka menjadi sekitar 20 persen. Dari laporan resmi Pemerintah Indonesia, diperkirakan korban tewas mencapai lebih dari 126.000 jiwa atau lebih dari 3 persen dari penduduk Aceh dan lebih dari 93.000 orang diperkirakan hilang. Untuk memperkirakan dampak pada pasar kerja, diperkirakan jumlah yang meninggal tidak mempengaruhi tingkat pengangguran terbuka. Dengan kata lain, mereka yang bekerja dan menganggur diperkirakan samasama terpengaruh. Dari tiga skenario yang diterapkan untuk penurunan PDB, hasilnya menunjukkan bahwa bila 20 persen kesempatan untuk menciptakan kerja hilang, maka tingkat pengangguran Aceh akan naik dari 11,2 persen (angka aktual pada 2003) menjadi 29 persen. Akibatnya tingkat pengangguran nasional akan naik dari 9,5 persen menjadi 10 persen. Dampak terhadap tingkat pengangguran ini akan berkurang dengan adanya kesempatan kerja yang tercipta oleh kegiatankegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang berjalan. Dampak pada kemiskinan dianalisis dengan menggunakan ketiga skenario yang sama. Misalnya, skenario dua memperkirakan bahwa PDB nonmigas menurun 20 persen. Simulasi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin akan meningkat 600 ribu orang dan kemiskinan berdasarkan hitungan kepala akan meningkat sebesar 0,3 persen. Namun, perlu diingat bahwa simulasi ini tidak mempertimbangkan dampak positif dari pertumbuhan dan kesempatan kerja yang akan terjadi dengan adanya kegiatan rekonstruksi. Terhentinya aktivitas kegiatan ekonomi tersebut membawa dampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Dari jumlah angkatan kerja di Aceh sebanyak 2.254.155 orang, kesempatan kerja yang hilang diperkirakan sekitar 600800 ribu orang

17

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

18

Tenda di dalam ruko (rumah toko) yang hancur akibat hantaman tsunami, Banda Aceh, 8 Oktober 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

kehilangan pekerjaan akibat bencana alam, dengan perincian sekitar 300 orang di sektor pertanian, sekitar 170 ribu orang di sektor UKM, dan 130 ribu orang nelayan/petambak serta diperkirakan 60 ribu pekerjaan hilang karena kematian (Rencana Induk, 2005).

Melemahnya Perekonomian di Aceh


Dalam konteks nasional, tingkat pertumbuhan ekonomi Aceh dan Nias secara umum berada di bawah wilayah lain di Indonesia. Menurut perhitungan awal Bank Dunia, pendapatan per kapita Aceh pada 2005 menurun sebesar 32 persen. Ini diakibatkan produk domestik bruto (PDB) nonmigas Indonesia terkoreksi 40 persen. Proyeksi perekonomian Aceh sendiri menurun lima persen dan lebihlebih Nias yang turun hingga 20 persen. Terdapat tiga skenario yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2005. Pertama, dengan asumsi PDB yang berkaitan dengan PDB nonmigas menurun sebesar 20 persen dan PDB migas tidak berubah, maka pertumbuhan ekonomi Aceh akan turun sebesar tujuh persen pada 2005. Penurunan PDB Aceh sebesar tujuh persen tersebut akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi nasional berkurang sebesar 0,1 persen. Bila

proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2005 sebelumnya adalah 5,5 persen, maka dengan adanya bencana di Aceh pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan hanya 5,4 persen. Kedua, dengan kondisi yang sama tetapi PDB nonmigas turun 20 persen, pertumbuhan ekonomi nasional akan berkurang 0,2 persen (kalau asumsi semula 5,5 persen setelah bencana menjadi 5,3 persen). Skenario ketiga, dengan asumsi yang sama tetapi PDB nonmigas turun 40 persen, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan berkurang dengan 0,4 persen (semula 5,5 persen setelah bencana menjadi 5,1 persen). Akibat dari bencana ini kemampuan SDM berikut kemampuan ekonomisnya sangat terpengaruh. Seperti diketahui bahwa sekitar dua pertiga (67 persen) dari PDB nonmigas berasal dari wilayah yang terkena bencana. Berdasarkan perhitungan (sangat awal) Bank Dunia dengan menggunakan tiga skenario yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi Aceh pada 2005, PDB nonmigas menurun masingmasing sebesar 10 persen, 20 persen, dan 40 persen. Berdasarkan skenario tersebut, PDB Aceh dapat menurun sekitar 728 persen pada 2005 dibandingkan pada 2004. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,10,4 persen dari proyeksi pertumbuhan semula. Dengan asumsi PDB (nonmigas) menurun sebesar 10 persen dan migas tidak terpengaruh, pertumbuhan ekonomi Aceh akan turun sebesar tujuh persen pada 2005. Penurunan PDB Aceh sebesar tujuh persen diperkirakan dapat mengakibatkan pertumbuhan ekonomi nasional berkurang sebesar 0,1 persen. Dengan kondisi yang sama, yaitu migas tidak terpengaruh tetapi PDB nonmigas turun 20 persen, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan berkurang hingga 0,2 persen (dari semula 5,5 persen setelah bencana menjadi 5,3 persen). Dengan asumsi sama tetapi PDB nonmigas turun 40 persen, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan berkurang hingga 0,4 persen (semula 5,5 persen setelah bencana menjadi 5,1 persen). Apa pun skenarioskenario tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pula pada penciptaan kesempatan kerja. Dampak bencana alam dan gelombang tsunami juga dapat diperhitungkan dengan beberapa sektor yang erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi NAD. Beberapa sektor ini antara lain pendapatan per kapita. PDB yang berasal dari sektor migas tidak secara langsung kembali kepada penduduk Aceh, tetapi kembali lagi sebagai pendapatan bersama dan transfer lainnya dari pemerintah. Untuk mengkaji dampak dari tsunami pada pendapatan per kapita, maka pendapatan bersama yang berasal dari sektor migas (pada 2004) ditambahkan kepada PDB per kapita menggunakan skenarioskenario tadi. Penduduk Aceh diperkirakan tumbuh sebesar 15% pada 2004 dikurangi jumalah penduduk meninggal karena terkena musibah ini. Bila tidak ada tsunami, pendapatan per kapita mencapai Rp 8,7 juta (pada 2003). Dengan memperkirakan penurunan PDB nonmigas sebanyak 40 persen, maka pendapatan per kapita menurun sebanyak 32 persen.

Bagian 2. Kembali ke Titik Nol

19

Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi


dua hal pokok yang menjadi tugas utama penanganan ekonomi pascabencana. Pertama adalah menggerakkan kegiatankegiatan yang dapat memulihkan pendapatan masyarakat melalui perbaikan aset produktif yang merupakan mesin produksi dalam menciptakan pendapatan. Langkah ini perlu diambil karena aset produktif masyarakat hancur akibat bencana sehingga kemampuan masyarakat untuk memperoleh penghasilan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Agar perekonomian bergerak kembali, perputaran uang di masyarakat menjadi hal yang mutlak. Perputaran uang dan peningkatan pendapatan hanya mungkin dilakukan ketika asetaset produktif masyarakat yang merupakan mesin penciptaan pendapatan dapat berfungsi kembali. Kedua adalah pentingnya melihat gambaran besar dari sebuah sistem perekonomian. Ini penting dilakukan karena perekonomian di Aceh harus tetap berlanjut walaupun kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi selesai. Untuk itu harus ada kegiatankegiatan yang bersifat jangka panjang yang bertujuan untuk menguatkan fondasi perekonomian. Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha pun merumuskan dua misi utamanya. Pertama adalah pemulihan aset produktif masyarakat dan aset publik yang rusak akibat bencana. Misi pertama ini meliputi pemulihan lahan sawah, kebun, tambak, perahu, dan aset publik seperti pelabuhan perikanan, pembibitan ikan, pasar, hingga rumah potong hewan. Kegiatan ini dilakukan di tahuntahun awal BRR bekerja (20052006).

ADA

Nelayan merajut jala yang akan digunakan sebelum melaut, Lhokseumawe, 25 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

21

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kedua adalah penguatan landasan perekonomian berkelanjutan yang dilaksanakan pada 20072008. Beberapa program yang didesain untuk memperkuat fondasi perekonomian tersebut adalah pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo Banda Aceh, pengembangan kawasan peternakan Blang Uboubo di Aceh Besar, pengembangan sentra industri Samahani di Aceh Besar, balai latihan kerja, pembangunan Pasar Grosir Bireuen, dan pendirian Investor Outreach Office (IOO), Export Development Center (EDC) dan Klinik Kemasan Merek (KKM).

Menyusun Strategi dan Kebijakan


Hampir semua sektor ekonomi terkena dampak bencana mulai dari sektor pertanian, perikanan, ekonomi kehutanan, industri, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM), ketenagakerjaan, pariwisata sampai ke sektor kehutanan. Akibat luasnya sektor ekonomi yang terkena imbas bencana, maka fokus utama kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha diarahkan pada lima hal, yaitu memberdayakan ekonomi kerakyatan, meningkatkan nilai tambah produk UKM, memulihkan dan menciptakan aktivitas perdagangan, meningkatkan kapasitas pelaku kegiatan ekonomi dan usaha, serta mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya investasi.

22

Memberdayakan Ekonomi Kerakyatan


Titik utama kegiatan ini terletak pada pelibatan langsung masyarakat dan manfaat yang dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Pendekatan ini dilakukan karena sasaran langsung lebih efektif untuk memenuhi apa yang paling mereka butuhkan. Selain itu pelibatan masyarakat sebagai pelaksana kegiatan dapat secara langsung memberi pendapatan untuk memenuhi kebutuhannya dan memperbaiki rasa percaya diri mereka. Kegiatan ini juga memfasilitasi kebutuhan modal untuk memulai kembali usaha korban yang secara tidak langsung akan membuka kesempatan kerja. Kegiatan yang masuk kategori ini adalah rehabilitasi sawah, rehabilitasi tambak, bantuan agroinput, bantuan perahu, bantuan modal usaha, dan juga penguatan dan pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM). Pembangunan ekonomi kerakyatan juga memperoleh alokasi dana terbesar sepanjang masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Selama dua tahun pertama hampir seluruh kegiatan kedeputian masuk dalam kategori ini.

Meningkatkan Nilai Tambah Produk UKM


UKM merupakan tulang punggung perekonomian Aceh. Kunci utama dalam membangun dan memperkuat sektor UKM adalah peningkatan produksi dan nilai tambah produk UKM. Kestabilan dan kuantitas produksi sangat diperlukan tapi pengolahan lanjutan juga sangat penting. Sebab komoditas yang masih mentah akan bertambah nilainya ketika sudah melalui proses pengolahan. Nilai sebuah produk akan bertambah lagi ketika dikemas dengan lebih baik. Meningkatkan kemampuan untuk berproduksi dengan teknologi dan memperbaiki kemasan dan merek merupakan dua

hal utama yang menjadi titik fokus kedeputian untuk meningkatkan nilai tambah produk UKM. Kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan produksi misalnya pendirian unit penggilingan padi skala kecil, rumah produksi batik Aceh, sentra kerajinan tangan Samahani, dan unit pengolahan ikan. Bantuan jasa konsultasi kemasan dan merek dilakukan dengan mendirikan Klinik Kemasan dan Merek. Lembaga ini telah mendesain dan memberikan kemasan ratusan produk UKM.

Sirup olahan buah pala merupakan hasil industri rumah tangga di Blang Pidie, Aceh Barat Daya, yang cukup populer, 8 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Memulihkan dan Meningkatkan Aktivitas Perdagangan


Rusaknya pasar atau tempat masyarakat melakukan transaksi jualbeli mempengaruhi keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Permintaan yang melebihi penawaran akan memicu inflasi yang tinggi dan beban masyarakat yang terkena bencana menjadi semakin berat. Kelangkaan barang karena rusaknya infrastruktur (terutama jalan dan transportasi) serta hancurnya sentrasentra perdagangan membuat inflasi membubung tinggi dan tidak terhindarkan. Memperbaiki infrastruktur agar arus barang dan jasa mengalir lancar serta membangun kembali pasarpasar tempat transaksi jualbeli merupakan prioritas untuk memulihkan aktivitas perdagangan. Pada tahap awal, pemulihan sektor perdagangan dilakukan dengan memperbaiki pasarpasar tradisional, tempat pelelangan ikan, pembangunan gudang transito, dan membangun pasar dalam skala yang lebih besar seperti Pasar Grosir Bireuen. Selain itu,

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

23

pada 2008 kedeputian ini juga membuka pusat pengembangan ekspor yang bertujuan untuk menjajaki dan membuka peluang ekspor dan mempersiapkan pelakupelaku pasar Aceh untuk menjadi eksportir.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Meningkatkan Kapasitas Pelaku Kegiatan Ekonomi dan Usaha


Perbaikan infrastruktur, modal usaha, bantuan alat produktif, dan akses pasar saja tidak cukup untuk membangun kembali denyut nadi perekonomian Aceh. Pada akhirnya yang membedakan antara pelaku ekonomi kuat dan pelaku ekonomi lemah adalah faktor SDM. Pengetahuan dan keterampilan SDM akan menentukan tingkat produktivitas dan profitabilitas. Namun, membangun SDM tidaklah seperti membangun infrastruktur. Diperlukan keseriusan dan perencanaan yang lebih panjang serta waktu yang lebih lama, walaupun hasilnya belum tentu bisa terlihat secara kasatmata. Keberhasilan membangun SDM akan sangat ditentukan oleh motivasi, ketekunan, keseriusan dari setiap individuindividu yang terlibat. Tentu saja semuanya itu harus didukung oleh materi dan sistem pelatihan dan pengajar yang berkualitas. Umumnya peningkatan kegiatan kapasitas SDM berbentuk pelatihan dan praktek kerja (magang). Pelatihan yang diberikan seperti pelatihan membuat kue, bordir, menjahit, konstruksi, montir, komputer sampai teknik dan kiat menembus pasar ekspor. Pada tahap awal pelatihan difokuskan pada kegiatan yang dapat dipraktekkan dengan cepat dan sesuai dengan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi, seperti pelatihan tukang kayu, tukang batu bata, dan konstruksi. Tahap selanjutnya lebih ditekankan pada penyiapan pekerja terampil yang membutuhkan waktu lebih lama, bersertifikat, dan dilakukan di luar Aceh.

24

Mendorong dan Memfasilitasi Tumbuhnya Investasi


Sebuah pertanyaan besar dalam penanganan pascabencana adalah keberlanjutan kegiatan ekonomi pascarehabilitasi dan rekonstruksi. Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi, besarnya dana yang masuk, tingginya kegiatan pembangunan infrastruktur, dan banyaknya organisasi baik lokal dan internasional yang terlibat telah menggerakkan aktivitas ekonomi di wilayah bencana. Namun, setelah empat tahun ketika masa kerja BRR selesai, aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi mulai menurun, transaksi perdagangan berkurang, dan lapangan pekerjaan menyempit. Agar ekonomi terus bergerak dan berkembang, harus diupayakan sektor swasta bisa mulai tumbuh dan investasi mulai masuk, termasuk pengeluaran rutin pemerintah melalui anggaran pembangunan tetap dibutuhkan. Berbeda dengan donor atau LSM yang melakukan kegiatan karena panggilan kemanusiaan, investasi pada umumnya menggunakan pendekatan bisnis dan komersial. Artinya, kemampuan untuk dapat menghasilkan keuntungan merupakan satu syarat mutlak. Untuk menjembatani hal ini, maka dibentuk lembaga IOO yang bertugas memberikan pelayanan kepada investor, termasuk penyediaan informasi tentang potensi investasi, kemitraan dengan pengusaha lokal, bantuan pemenuhan persyaratan

Gambar 3.1 Fokus Kebijakan Pengembangan Ekonomi dan Usaha

Kapasitas Kelembagaan Ekonomi Kerakyatan Pengembangan Investasi Nilai Tambah Produk

Perdagangan Internasional

2005

2006

2007

2008

2009

dan perizinan, serta memberi masukan bagi pemerintah daerah dalam hal investasi. Selanjutnya skema lima hal yang menjadi fokus pengembangan ekonomi dan usaha disajikan pada Gambar 3.1. Strategi kedeputian ini untuk pengembangan ekonomi dan usaha adalah membangun kembali kehidupan ekonomi dan penguatan nilainilai kearifan lokal. Di samping itu, juga dilakukan pengadaan prasarana dan sarana ekonomi dan usaha serta peningkatan kualitas SDM. Ini diterapkan pada rentang waktu 20052006. Pada 2007, strategi diarahkan kepada peningkatan kegiatan ekonomi dan usaha secara terpadu melalui peningkatan produksi, penguatan kapasitas kelembagaan, serta mendorong tumbuhnya UKM dan sentrasentra ekonomi. Akhirnya, pada 20082009, strategi difokuskan untuk membangun ekonomi secara berkelanjutan dan penguatan pasar lokal untuk menembus pasar internasional. Skema strategi pengembangan bidang ekonomi dan usaha disajikan pada Gambar 3.2. Selanjutnya strategi dan kebijakan masingmasing untuk subbidang pertanian, perikanan, ekonomi kehutanan dan pengembangan usaha diuraikan berikut ini.

Pertanian
Strategi di bidang pertanian yang pertama adalah menjaga ketersediaan pangan untuk penyintas korban tsunami karena ketersediaan pangan menjadi faktor pendukung kelangsungan hidup mereka. Strategi ini dilakukan pada masa tanggap darurat yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Strategi kedua adalah memulihkan pelayanan pemerintah (instansi di bidang pertanian) dan ditujukan

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

25

Gambar 3.2 Skema Srategi Pengembangan Bidang Ekonomi dan Usaha

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

2005

2006

2007

2008

2009

Membangun ekonomi berkelanjutan Penguatan pasar lokal dan menembus pasar internasional Peningkatan kegiatan ekonomi dan usaha terpadu Peningkatan produksi Penguatan kapasitas kelembagaan pengelolaan ekonomi dan usaha Mendorong tumbuhnya sentrasentra ekonomi Mendorong tumbuhnya usaha kecil dan menengah

26

Pengadaan prasarana dan sarana ekonomi dan usaha Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Membangun kembali kehidupan ekonomi Penguatan nilainilai kearifan lokal

untuk mengembalikan fungsi instansi yang telah lumpuh akibat bencana. Alasannya, fungsi pelayanan yang kuat dapat mendorong dan memacu aktivitas pertanian secara cepat. Strategi ketiga adalah memulihkan kegiatan ekonomi pertanian yang mencakup pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, serta perkebunan. Ini merupakan strategi untuk menjaga kegiatan ekonomi pertanian tetap terus berlanjut agar dapat memenuhi permintaan pasar. Strategi keempat adalah percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur pertanian seperti jalan usaha tani, jaringan irigasi tingkat usaha tani, balai benih utama, dan balai benih. Sebab tanpa infrastruktur yang baik, kegiatan pertanian untuk skala pedesaan tidak akan berkembang. Petani tidak dapat membawa hasil panennya tanpa akses jalan. Begitu pula air tidak akan sampai ke petak sawah tanpa adanya jaringan irigasi. Strategi kelima adalah memperkuat fondasi ekonomi dengan meningkatkan produksi pertanian melalui pengembangan sentra produksi dan kawasan pertanian. Tujuannya adalah menjamin ketersediaan produk pertanian, baik segi kualitas maupun kuantitas, untuk memperkuat fondasi ekonomi secara berkelanjutan. Sementara itu kebijakan yang ditempuh adalah pertama memulihan aset produktif masyarakat dan aset publik yang rusak akibat tsunami. Hal ini dilakukan karena tingginya tingkat kerusakan lahan sawah masyarakat dan aset publik akibat bencana. Kedua,

Kebijakan ketiga adalah memulihkan dan meningkatkan kegiatan ekonomi pertanian melalui pengembangan komoditas unggulan pada sektor tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, dan perkebunan. Kebijakan ini dibuat untuk mendukung kontinuitas produk dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Terakhir adalah kebijakan pencegahan dan penanggulangan masalah pangan untuk mengantisipasi kondisi kelangkaan pangan apabila terjadi gagal panen akibat belum stabilnya sistem produksi pangan pascabencana, terutama beras sebagai makanan pokok.

Perikanan
Strategi pertama yang dilakukan adalah penataan kembali kawasan budidaya laut, air payau, dan air tawar, serta pengembangan pemanfaatan sumber daya perairan umum. Hal ini harus dilakukan karena batasbatas kawasan budidaya masih belum jelas sehingga perlu ditata ulang. Kedua, rehabilitasi atau rekonstruksi sarana dan prasarana perikanan tangkap dan pendukung lainnya yang ditujukan untuk memperbaiki atau membangun

Peralatan tangkap ikan yang disiapkan untuk melaut, Lhokseumawe, 25 Oktober 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

memperbaiki dan meningkatan sarana dan prasarana di bidang pertanian. Sarana dan prasarana tersebut sangat diperlukan untuk mendorong pulihnya aktivitas ekonomi di bidang pertanian.

27

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

kembali sarana dan prasarana yang telah rusak akibat bencana. Di samping itu, dilakukan pengembangan mutu dan nilai tambah produk perikanan yang bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar, baik dalam maupun luar negeri. Ketiga, rehabilitasi dan penataan kembali usaha budidaya tambak yang rusak akibat bencana. Strategi ini cukup penting untuk mengembalikan mata pencarian petambak yang hilang. Strategi terakhir adalah rehabilitasi pelabuhan perikanan dan pengembangan standardisasi fasilitas pelabuhan perikanan untuk mendukung bersandarnya armada tangkap (perahu dan kapal) sehingga dapat mendukung ekspor komoditas perikanan. Ekspor komoditas ini perlu ditunjang oleh agroindustri berbasis perikanan untuk memberikan nilai tambah dan diversifikasi produk. Sementara itu kebijakan di bidang perikanan pertamatama memulihkan aset pelayanan publik dan aset produktif masyarakat serta menciptakan kegiatankegiatan padat karya sebagai sumber pendapatan sementara masyarakat. Kedua, memulihkan mata pencarian dan meningkatkan pendapatan masyarakat perikanan melalui

28

Fauziah: Yang Bangkit Bersama Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami


ditinggal mati suami dan harus membesarkan lima anak tentu tidak mudah. Itulah yang dihadapi Fauziah, 45 tahun, di awalawal pascatsunami. Setahun ia menumpang di rumah orangtua karena rumahnya sendiri hilang bersama tsunami. Setahun ia moratmarit soal ekonomi, sementara harus menyekolahkan para buah hati. BRR NADNias dan Disperindag Aceh telah membuka jalan hidup Fauziah, yang kini sudah bisa menguliahkan anaknya di IAIN ArRaniry, Universitas Serambi Mekkah, dan MTsN. Dia yang tadinya hanya ibu rumah tangga yang tak tahu berbuat apa dan harus memulai usahanya dari mana, sekarang punya usaha yang tergolong sebuah industri rumah tangga yang telah menampung sepuluh tenaga kerja.

HIDUP sebagai seorang janda

Suatu hari pada Oktober 2006, Fauziah mengikuti pelatihan pembuatan keumamah (ikan kayu) yang diselenggarakan BRR bekerja sama dengan Deperindag. Pascapelatihan, memang tak seorang pun yang menindaklanjuti pengetahuan dari pelatihan itu. Namun Fauziah berpikir, dia tak boleh menyianyiakan pengalaman berharga tersebut. Sebulan kemudian, Fauziah nekat bertarung untuk memenangkan kesempatan memperbaiki penghidupannya yang telah diporakporanda tsunami. Dengan modal Rp 500 ribu, Fauziah mulai membeli ikan untuk dijadikan keumamah, dengan tak lupa mengajak perempuanperempuan tetangga. Waktu itu Fauziah telah memiliki kompor, wajan, dan kukusan bantuan BRR. Pihak Oxfam memberi

kemudahan kredit bergulir sebesar Rp 66 juta (Rp 2,5 juta per orang, tahap pertama). Begitulah, tangantangan terampil para ibu tetangga telah membantu Fauziah menyiapkan ikan tuna/tongkol hingga akhirnya dirajang memanjang sekira kelingking kanakkanak sebelum dijual. Tak hanya kompor, wajan, dan dandang, BRR pun pernah membantu Fauziah soal pengepakan. BRR mendesain kemasan melalui Klinik Kemasan dan Merek (KKM), dan Fauziah mendapat 2.500 kotak kemasannya yang sederhana tapi apik. Kemasan keumamah itu diberi nama Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami. Kenapa Cap Kapal Tsunami? Ceritanya, sewaktu ombak (tsunami) kedua datang, Fauziah sembari menggendong anak bungsunya yang berusia lima bulan menyelamatkan diri

Ekonomi Kehutanan
Strategi yang dipilih adalah merehabilitasi dan membangun kawasan pesisir, khususnya pada zona penyangga, kawasan tambak, dan hutan sesuai dengan rencana tata ruang dan karakter pantai. Strategi selanjutnya adalah memulihkan kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis sumber daya alam dengan menyediakan bahan dasar pembangunan. Tujuannya agar dapat mengantisipasi penebangan hutan yang terjadi

di atas sebuah kapal yang sampai kini bangkai kapalnya masih bercokol di atas sebuah rumah di daerah Lampulo, Kecamatan Kuta Alam. Dua tahun terakhir, Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami mulai dikenal luas. Setidaknya tujuh toko pangan terkenal di Banda Aceh, Bandara Sultan Iskandar Muda, hingga beberapa toko di Sabang, sudah ikut memasarkan ikan kayu buatan Fauziah. Produknya pun kini dipasarkan bahkan sampai ke Pulau Jawa. Ada juga konsumen yang datang langsung ke rumahnya di Jalan Kenari I, Dusun TT Pulo Lampulo Lr I, Banda Aceh. Beruntungnya lagi, sudah ada pedagang dari Thailand yang menjajaki pemasaran Ikan Kayu Cap Kapal Tsunami ke Negeri Gajah Putih itu. Fauziah yang proaktif selalu berusaha ikut pameran. Belum lama ini dalam sebuah pameran di Banda Aceh, Presiden Yudhoyono pun sempat melihat produk usaha Fauziah. Tak ketinggalan Fauziah pun sempat ikut

pameran di Penang Fair. Pada musim haji baru lalu, keumamah Fauziah pun ikut ke Tanah Suci lewat bekal yang dibawa sejumlah jemaah. Walau omzet Fauziah ratarata tak sampai Rp 4 juta per bulan, Fauziah mengaku hampir tak bisa memenuhi pesanan yang datang. Fauziah pun masih terganjal menyediakan kemasan seperti bantuan BRR. Selama ini Fauziah hanya mengandalkan kemasan palastik biasa Rp 12 ribu per 100 gram (yang dikemas kotak Rp 15 ribu per 100 gram). Itu sebabnya Fauziah berniat hendak meminjam kredit untuk mengembangkan usahanya. Dia sangat bersyukur, dua tahun ini telah bisa mempekerjakan sepuluh karyawan dengan upah merajang keumamah Rp 500/dua kilogram, lalu bisa merenovasi rumahnya (bantuan CARE, tipe 45) dengan menyulap teras rumah menjadi ruang tamu, membeli sepeda motor, dan menguliahkan dua anak.

Diamdiam, Fauziah juga mempunyai usaha sewa pakaian pengantin. Fauziah pun mengisi waktunya dengan membuka koperasi bagi perempuan yang dinamai KSM Tuna. Koperasi ini bukan atas nama kelompok tapi atas nama atas nama pribadi dan beranggotakan 50 orang. Kendati kini Fauziah telah bisa sedikit bernapas lega, tetap saja ada saatsaat kurang bagus baginya. Bila musim gelombang tinggi dan angin kencang datang, Fauziah hanya sanggup membeli 4050 kilogram ikan (normalnya100150 kilogram). Sebab saat seperti itu ikan sangat mahal. Namun prinsip Fauziah, produksi harus tetap jalan supaya tak putus dengan pelanggan. Selebihnya, Fauziah sedang mengumpulkan rupiah untuk memasok kemasan seperti bantuan BRR. Menurut Fauziah, pesanan 3.000 kotak sama dengan Rp 5 juta, mahal juga untuk pengusaha sekelas dia.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

pengembangan industri perikanan yang tangguh dan andal. Pengembangan industri ini dapat memberikan nilai tambah produk sehingga dapat diterima pasar dan juga untuk memperbaiki kualitas dan kontinuitas produk tersebut. Ketiga, mengembangkan infrastruktur perikanan yang andal guna merangsang investasi industri perikanan. Infrastruktur perikanan yang rusak perlu segera diperbaiki atau dibangun karena tanpa infrastruktur yang baik investasi akan sulit direalisasikan dan pada akhirnya aktivitas ekonomi sulit untuk berkembang.

29

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

melalui pelibatan masyarakat dan penggunaan pranata sosial dan budaya lokal dalam pelestarian hutan lindung dan pengendalian pemanfaatan hutan lainnya. Sedangkan strategi yang terakhir adalah pemulihan sistem kelembagaan pemerintahan Departemen Kehutanan serta dinas kehutanan provinsi dan kabupaten. Alasannya, bencana telah menyebabkan sistem kelembagaan lumpuh atau tidak berjalan secara optimal. Kebijakan yang pertama dijalankan adalah pemulihan kawasan pesisir, penyangga, mangrove, hutan pantai, dan hutan alam yang rusak baik akibat bencana alam maupun yang telah mengalami degradasi. Kedua, peningkatan perlindungan terhadap kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, pemulihan kembali perekonomian masyarakat yang berbasis sumber daya hutan karena masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting untuk menjaga kelestarian hutan tersebut. Tanpa perbaikan ekonomi mereka, kelestarian hutan tidak akan terjamin secara baik. Terakhir, peningkatan SDM dan tenaga teknis di bidang kehutanan.

30

Pengembangan Usaha (Industri dan Perdagangan, Koperasi, UKM, Ketenagakerjaan, dan Pariwisata)
Industri dan Perdagangan
Strategi pertama yang diterapkan adalah memulihkan kembali sarana perdagangan yang rusak akibat bencana. Tanpa perbaikan sarana perdagangan seperti pasar, aktivitas ekonomi akan terhenti atau tidak berjalan. Kedua, menumbuhkembangkan industri kecil dan menengah (IKM) yang sudah lumpuh. IKM yang sudah tidak berdaya ini perlu segera didukung secara penuh sehingga aktivitas ekonomi dapat bangkit kembali. Ketiga, membangkitkan aktivitas perdagangan juga merupakan strategi yang penting digariskan untuk mendukung bidang pengembangan usaha. Adapun kebijakan pertama yang diambil adalah mengembangkan industri kecil yang berbasis pada potensi masyarakat seperti bordir, kopiah, rencong, dan kuekue kering. Kedua, menyediakan sarana dan prasarana perdagangan untuk memasarkan produk yang berkaitan dengan kebutuhan pokok maupun hasil produksi masyarakat. Ketiga, mengembangkan sistem perdagangan dan informasi produk seperti booklet, leaflet, dan brosur. Melalui penyebaran informasi produk ini diharapkan masyarakat dan investor lebih mengenal produkproduk unggulan yang dapat dijadikan peluang investasi. Keempat, mengembangkan perekonomian yang berorientasi pasar sesuai dengan kemajuan teknologi melalui pembangunan keunggulan kompetitif. Terakhir, mengembangkan industri, perdagangan, dan investasi dalam rangka meningkatkan daya saing khususnya UKM.

Tenaga Kerja
Strategi pertama di bidang tenaga kerja adalah pembangunan lembaga pelayanan ketenagakerjaan pascabencana seperti balai latihan kerja (BLK). Alasannya BLK mempunyai fungsi untuk menciptakan tenaga terampil yang andal. Hal ini bertujuan

Sedangkan kebijakan pertama yang diambil adalah melakukan penyempurnaan berbagai perluasan kesempatan kerja melalui penciptaan berbagai peluang kerja. Ini dilakukan agar angkatan kerja atau pengangguran dapat memperoleh pekerjaan lebih cepat. Kedua, mengoordinasikan penyusunan rencana tenaga kerja dan informasi pasar kerja dengan instansi terkait (dinas tenaga kerja) yang melibatkan dunia usaha secara luas. Hal ini dirumuskan mengingat banyak angkatan kerja yang belum atau tidak mengetahui informasi kerja secara terbuka sehingga akses mereka terhadap peluang pekerjaan menjadi terhambat. Terakhir, menyelenggarakan programprogram pelatihan dan magang tenaga kerja berbasis kompetensi untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja yang bekerja sama dengan dunia usaha.

Koperasi dan UKM


Di bidang koperasi dan UKM, strategi pertama yang dijalankan adalah menyediakan insentif atau fasilitas permodalan kepada anggota koperasi. Mereka umumnya kekurangan atau tidak memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan usahanya. Kedua adalah membantu pendirian pasarpasar, baik pasar tradisional maupun pasar grosir, yang diharapkan aktivitas ekonomi masyarakat berlangsung secara baik. Ketiga adalah memfungsikan koperasi untuk pendistribusian bahan pokok di Aceh dengan dana yang tersedia. Bantuan modal yang diberikan kepada masingmasing koperasi tersebut dapat digunakan untuk menjaga ketersediaan bahan pokok. Strategi terakhir, membangun basis kelembagaan (koperasi) berdasarkan prinsipprinsip syariah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti dinas koperasi dan pemerintah daerah setempat. Adapun kebijakan yang diambil adalah meningkatkan pemberdayaan ekonomi lokal, terutama UKM dengan pembangunan jaringan dengan perusahaan besar. UKM dapat mandiri jika mempunyai mitra usaha dengan perusahaanperusahaan besar yang telah mempunyai pengalaman luas dalam mengelola perusahaannya.

Pariwisata
Strategi pertama yang diambil adalah merehabilitasi dan merekonstruksi sarana dan prasarana pariwisata. Kedua, pemugaran kawasan wisata dan pengembangan sarana objek wisata. Ketiga adalah menciptakan dan menumbuhkan atmosfer dan citra positif serta kondusif bagi pembangunan dan pengembangan pariwisata. Hal ini perlu dilakukan mengingat citra pariwisata Aceh cenderung negatif akibat konflik. Strategi terakhir adalah mengembangkan usaha ekonomi masyarakat di bidang kepariwisataan seperti wisata kuliner yang dapat mendukung kemandirian pelaku usaha tersebut.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

untuk mengurangi tekanan besarnya tingkat pengangguran pascabencana. Kedua, pelatihan teknis keterampilan berbasis kompetensi masyarakat. Adapun strategi yang terakhir adalah pemberian bekal peralatan kepada tenaga kerja yang telah dilatih agar dapat bekerja secara mandiri. Tujuannya, peserta dapat bekerja langsung mempraktekkan keterampilan yang telah diperolehnya selama pelatihan agar langsung bisa mandiri.

31

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Adapun kebijakan pertama yang diambil adalah merehabilitasi dan merekonstruksi sarana dan prasarana pariwisata yang rusak atau belum berkembang. Hal ini dilakukan untuk mendukung ekonomi masyarakat yang berkecimpung di bidang kepariwisataan. Kedua adalah mengembangkan usaha jasa dan objek pariwisata berwawasan lingkungan yang berbasiskan nilainilai dan budaya masyarakat. Ketiga adalah memberdayakan dan menguatkan pranata kelembagaan sektor pariwisata. Umumnya, kelembagaan sektor pariwisata masih lemah dan belum berkembang menjadi sektor dengan orientasi bisnis. Terakhir, merencanakan pengembangan kepariwisataan Aceh dan Kepulauan Nias.

Pengelolaan Program
Perencanaan
Salah satu fungsi Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha adalah merencanakan programprogram prioritas yang dapat dituangkan di dalam rencana kerja. Acuan utama yang menjadi dasar perencanaan ini adalah rencana induk. Penyusunan rencana program ini dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menganalisis program dan kegiatan yang disebutkan di dalam rencana induk. Hasil dari analisis ini berupa data yang harus diverifikasi kembali oleh masingmasing bidang di lapangan. Proses ini melibatkan masyarakat sebagai pelaku di lapangan. Agar penyusunan program lebih mantap, diperlukan koordinasi dengan dinas terkait secara intensif. Koordinasi ini penting karena dinasdinas terkait tersebut adalah anggota tim teknis yang menjalankan fungsi kontrol terhadap keberhasilan suatu program yang akan diimplementasikannya. Kedua, setelah melalui proses verifikasi, validasi, serta interpretasi dari program dan sasaran yang ada di rencana induk, dilakukan penyusunan program yang dituangkan di dalam rencana kerja yang dikenal dengan rencana kerja anggarankementerian lembaga (RKAKL). RKAKL ini mengacu kepada pagu anggaran yang dialokasikan di dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk masingmasing Satuan Kerja di kedeputian ini. Penentuan program prioritas tersebut berdasarkan rencana induk dengan menggunakan matrik penentuan program prioritas pengembangan ekonomi dan usaha (Gambar 3.3.). Matrik tersebut memberikan arahan apa saja yang menjadi fokus program dan kegiatan pada dua fase, yakni fase rehabilitasi dan fase rekonstruksi. Pada fase rehabilitasi (20052006), program dan kegiatan utama adalah program dan kegiatan yang telah disebutkan di dalam rencana induk dan memang dibutuhkan meskipun tidak berkesinambungan (kuadran 1). Sebaliknya program dan kegiatan yang tidak disebutkan secara jelas di dalam rencana induk dan tidak berkesinambungan (kuadran 2) harus dihindari. Contoh dari program yang termasuk dalam kuadran 1 adalah rehabiltasi sawah, rehabiltasi tambak, bantuan agroinput, perahu, ternak, dan modal.

32

Gambar 3.3 Matrik Penentuan Program Prioritas Pengembangan Ekonomi dan Usaha

TINGGI

Sangat jelas dalam rencana induk, dibutuhkan, namun tidak berkesinambungan

Sangat jelas dalam rencana induk, dan berkesinambungan

TSUNAMI

(kebutuhan) Rencana Induk Penanganan bencana

Tidak ada dalam rencana induk, dan tidak pula berkesinambungan


RENDAH

Tidak jelas dalam rencana induk, namun berkesinambungan

NONTSUNAMI

RENDAH

TINGGI

PENGEMBANGAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN

Pada fase rekonstruksi (20072008) diprioritaskan program dan kegiatan yang disebutkan di dalam rencana induk dan berkesinambungan (kuadran 4). Kemudian program yang tidak disebutkan di dalam rencana induk, namun berkesinambungan juga menjadi program dan kegiatan yang dipertimbangkan untuk dilakukan (kuadran 3). Contoh program bidang pengembangan usaha yang masuk kuadran 4 adalah rehabilitasi dan rekonstruksi balai latihan kerja yang disertai pelatihanpelatihan untuk menekan tingkat pengangguran di Aceh. Contoh program di bidang perdagangan untuk menunjang keberlanjutan aktivitas ekonomi masyarakat dalam skala yang lebih luas adalah pembangunan Pasar Grosir Bireuen. Program prioritas di bidang pertanian adalah perbaikan dan pembangunan balai benih utama dan balai benih induk untuk menghasilkan benihbenih padi dan palawija berkualitas unggul. Selanjutnya program untuk menjaga pasokan daging yang dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal dan ekspor dibangun pengembangan kawasan peternakan.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

MASA REHABILITASI

MASA REKONSTRUKSI DAN MASA DEPAN

33

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Di bidang perikanan, dilakukan pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh, untuk menunjang berlabuhnya kapalkapal ikan dengan ukuran besar (30100 GT). Kemudian, pengadaan kapal ukuran 30 GT yang dilengkapi dengan fasilitas teknologi modern yang diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkap nelayan agar nelayan tidak lagi menjadi penonton beroperasinya kapalkapal asing di Samudera Indonesia. Bahkan tidak jarang kapal asing dengan ukuran besar ini tertangkap oleh pihak keamanan karena beroperasi di kawasan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Dapat dibayangkan, betapa besarnya potensi ikan di perairan Aceh yang dikuras oleh nelayannelayan asing. Beberapa program yang masuk kuadran 3 adalah program KKM, EDC, dan IOO. KKM dirancang untuk menyediakan jasa konsultasi agar produk unggulan Aceh dapat diterima pasar lokal dan pasar ekspor. Kemasan yang dihasilkan KKM ini dapat bersaing dengan produk lainnya yang masuk ke Aceh. Sedangkan EDC ditujukan untuk mendukung pengembangan ekspor komoditas unggulan Aceh. Selanjutnya, untuk mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat dan ekonomi regional, kedeputian ini membentuk IOO yang bertujuan memfasilitasi pengusaha Aceh dengan investor dalam dan luar negeri. Masuknya investasi akan membuka lapangan kerja baru untuk menekan tingkat pengangguran dan dapat meningkatkan PAD Aceh secara berkesinambungan. Namun, ada beberapa kendala perencanaan yang dihadapi pada tahap awal (fase rehabilitasi). Perencanaan program yang didasarkan pada data kerusakan dan kerugian yang ada di dalam rencana induk cenderung sulit untuk diimplementasikan. Sementara itu, untuk mendapatkan data yang valid tentang berapa nilai kerugian dan nilai asetaset ekonomi yang rusak juga sulit untuk dilakukan dalam waktu yang terbatas. Belum lagi sulitnya menghitung berapa nilai kerugian usaha yang dialami oleh para pelaku usaha kecil sampai besar. Sebagai contoh di bidang perikanan, sulit mendapatkan datadata berapa nilai satu unit kapal yang rusak karena ukuran kapal bervariasi. Bahkan antara ukuran kapal yang dioperasikan dan surat yang terdata di instansi yang berwenang tidak sama. Begitu pula di sektor pertanian dan bidang usaha lainnya. Akibat terbatasnya waktu, kedeputian ini menggunakan data analisis kerugian dan kerusakan yang telah dianalisis ulang plus data analisis kerugian dan kerusakan dari berbagai sumber, di antaranya dari instansi pusat dan daerah. Ini dilakukan untuk mempercepat pemulihan pendapatan dan mata pencarian pada fase rehabilitasi. Selanjutnya, untuk memperkaya proses perencanaan di tahun berikutnya, pada awal 2006 dilakukan forumforum koordinasi untuk menyosialisasikan program Tahun Anggaran 2006 dan mencari masukan untuk program 2007. Di bidang pertanian dan perikanan dilakukan rapat teknis yang melibatkan pemangku kepentingan di Provinsi NAD dan Nias. Khusus untuk dana yang bersumber dari Earthquake and Tsunami Emergency Support ProgramAsian Development Bank (ETESPADB) komponen pertanian

34

Kemasan Menarik, Pembeli Melirik


ahli pemasaran belakangan ini menganggap kemasan sebagai salah satu strategi pemasaran yang penting. Menurut Hermawan Kartajaya, pakar pemasaran asal Indonesia dalam bukunya Marketing Plus 2000 Siasat Memenangkan Persaingan Global, kemajuan teknologi membuat kemasan produk kini berubah fungsi. Kemasan bukan sekadar pelindung atau wadah, melainkan juga menjual produk yang ada di dalamnya. Mau tak mau penampilan kemasan harus punya daya tarik, di samping tentu saja kualitas produk dan layanan purnajual, agar produk laris di pasaran. Menyadari peran vital kemasan produk, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias bersama Pemda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi NAD, serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi NAD berinisiatif mendirikan Klinik Kemasan dan Merek (KKM) untuk membantu para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di Aceh dalam mendesain kemasan dan merek produk mereka, agar tampil lebih modern dan bernilai jual tinggi. Dengan merek dan desain kemasan yang kreatif dan inovatif, produkproduk UKM dari NAD diyakini bakal lebih mampu bersaing di pasar nasional dan internasional sehingga dapat meningkatkan pendapatan perekonomian rakyat Aceh. Sejak Mei 2007 KKM sudah mulai menggelar layanan konsultasi dan merek untuk sebelas UKM di Aceh. Secara struktural KKM berada di bawah Kantor Penunjang Pelaku Investasi (Investor Outreach Office/IOO), unit bentukan Kedeputian Ekonomi dan Usaha BRR. Sekitar tujuh bulan berselang, tepatnya pada 5 Desember 2007, KKM resmi dibuka dengan menawarkan sejumlah layanan seperti
ftaran Penda

Sel

ek si

Pembi naan

n rnaa Penyempumasan Ke Desain

Pro

os m

nB pa Um

konsultasi kemasan, konsultasi dan pendampingan merekhak cipta, desain kemasan, pengembangan merek, serta promosi produk. Dalam menjalankan fungsinya, KKM menjalin kerja sama dengan beberapa instansi terkait antara lain Dinas Disperindag dan Dinas Koperasi untuk mengetahui data seluruh UKM yang ada di Aceh, Departemen Hak Asasi Manusia menyangkut regulasi hak kekayaan intelektual, Dinas Pengawasan Obat dan Makanan berkaitan dengan sertifikasi Departemen Kesehatan, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh untuk sertifikasi halal, serta Badan Riset dan Standardisasi menyangkut regulasi standar nasional Indonesia, barcode, dan standar ISO. UKMUKM di Aceh bisa memperoleh layanan gratis KKM dengan syarat UKM tersebut sudah beroperasi selama

lebih dari setahun, memiliki produk berkualitas, punya keinginan kuat untuk mengembangkan usahanya bersama KKM, serta bersedia diseleksi dan disurvei oleh tim KKM. Hasil seleksi dan survei tim KKM inilah yang kemudian akan menentukan, apakah suatu UKM membutuhkan pembinaan menyeluruh yang meliputi paket lengkap fasilitas layanan KKM, atau memperoleh pembinaan parsial yang UKM dapat memilih salah satu jenis layanan yang ditawarkan KKM. Meski usianya baru seumur jagung, kehadiran KKM dinilai sangat membantu keberhasilan pemasaran produkproduk UKM di Aceh. Tak heran, setelah purnabakti BRR, KKM diambil alih Pemda NAD, begitu pula nasib Investor Outreach Office (IOO) dan Export Development Center (EDC).

iP

ro du

i al

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

BANYAK

y rve Su

35

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

36

Produk Bagus, Ekspor Mulus


lama keharuman kopi Aceh tercium oleh Starbucks Coffee Company, perusahaan asal Seattle, Amerika Serikat, yang memiliki jaringan luas di dunia. Sepuluh tahun belakangan ini Starbucks menerima kiriman biji kopi dari para petani kopi asal Aceh, namun tidak jarang terdapat jurang antara kualitas biji kopi yang diharapkan Starbucks dan yang dikirim para petani kopi Aceh. Bagi perusahaan sekaliber Starbucks, kualitas adalah satu elemen yang tidak mau dikompromikannya. Perusahaan ini menyatakan akan terlibat lebih banyak dalam membantu para petani kopi di Aceh meningkatkan kualitas kopinya. Kami akui dulu memang kami kurang aktif membantu. Buying group kami di bawah payung Starbucks Coffee Trading Company (SCTC) yang ada di Swiss enggan datang ke Aceh karena kondisi keamanan yang kurang kondusif. Sekarang kondisinya telah berubah sehingga tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tidak datang ke Aceh, ungkap Scott McMartin, Direktur Coffee and Tea Education & Green Coffee Sustainability, Starbucks Coffee Company, saat bertemu Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh, dan rombongan di kantor pusat Starbucks seperti diberitakan Serambi Indonesia pada 24 September 2007. Masalah kualitas produkproduk dalam negeri sering menjadi batu sandungan memasuki pasar ekspor. Maka, untuk mendukung ekspor hasil bumi dan berbagai produk potensial Aceh ke mancanegara, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NADNias meresmikan Pusat Pengembangan Ekspor atau Export Development Center (EDC) pada 21 Februari 2008. EDC merupakan unit bidang ekspor yang dibentuk BRR dengan dukungan Pemerintah Provinsi NAD, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperdag), serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi NAD. Melalui EDC dapat diperoleh berbagai informasi seputar komoditas ekspor di Aceh, regulasi di bidang ekspor, dan tata cara ekspor yang mudah bagi para eksportir maupun pembeli dari luar negeri (buyer). Selain menjadi sumber informasi, EDC berperan sebagai mediator antara penjual dan pembeli dalam transaksi dagang, membantu para pengusaha Aceh menembus pasar internasional, di samping melakukan berbagai kegiatan pemasaran untuk mempromosikan komoditas Aceh dengan ikut berpartisipasi dalam berbagai pameran dagang nasional maupun internasional, serta memacu para produsen dan eksportir Aceh mengembangkan komoditas mereka agar lebih responsif menjawab permintaan pasar. Potensi komoditas Aceh meliputi sektor perikanan, pertanian, perkebunan, dan kerajinan rakyat dengan produkproduk ekspor yang dihasilkan antara lain kopi, damar, biji pinang, arang kayu, sapu lidi, blangkas, minyak nilam, minyak pala, minyak kelapa murni (VCO), rotan, kakao, pupuk urea, amonia, dan urea formal dehyde. Sejumlah negara yang menjadi tujuan ekspor komoditas Aceh di antaranya Kanada, Amerika Serikat, Meksiko, Inggris, Belanda, Jerman, Australia, Jepang, China, Taiwan, Thailand, India, Pakistan, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina. Kehadiran EDC diharapkan dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan bisnis ekspor, melancarkan kegiatan pelaksanaan bisnis antara eksportir dan pembeli, sehingga melepaskan ketergantungan Aceh terhadap provinsi lain dengan membuka jalur transaksi perdagangan langsung dengan para pembeli internasional.

SUDAH

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

37

Aceh Bersolek, Investor Mencolek


EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

dalam bahasa Aceh berarti jalanjalan sambil melihatlihat, sedangkan Cakradonya bermakna kabar ke seluruh dunia itulah acara yang diusung Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menyambut Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 2008 dan Tahun Investasi Aceh. Lewat acara Diwana Cakradonya yang digelar pada 1217 April 2008 itu, pintu Serambi Mekkah terbuka lebar bagi para wisatawan maupun usahawan. Setelah terpuruk akibat konflik internal puluhan tahun dan musibah gempa bumi disertai tsunami akhir 2004, Aceh bak putri yang tengah bersolek. Pembangunan kembali melalui berbagai program di bawah koordinasi BRR selama hampir empat tahun membuat mata dunia melirik provinsi terbarat di Kepulauan Indonesia ini. Jumlah para investor bakal meningkat terus dari hari ke hari, mengingat iklim investasi yang sangat kondusif di Aceh, setelah penandatanganan nota kesepahaman damai (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005 ditambah lahirnya UndangUndang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sudah sepatutnya pemda memanfaatkan peluang emas ini demi kebangkitan perekonomian Aceh. Mencermati perkembangan ke arah itu, sejak akhir 2006 BRR bersama BKPMD Provinsi NAD, International Finance Corporation (IFC), serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi NAD memprakarsai pembukaan Kantor Penunjang Pelaku Investasi atau Investor Outreach Office (IOO). IFC dan Foreign Investment advisory Service (FIAS), keduanya merupakan bagian dari Bank Dunia yang berperan memberikan pendampingan teknis kepada IOO. Tidak tanggungtanggung, mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton pun memberikan pernyataan dukungannya melalui sepucuk surat yang dikirim di pertengahan Desember 2006. Dengan moto Servicing Investor, IOO menyediakan informasi potensi Aceh kepada para calon penanam modal, mempromosikan potensi Aceh, membantu mencarikan berbagai peluang investasi bagi para calon penanam modal, mengadakan studi sektoral, membantu pengurusan surat izin, dan memberikan layanan kepada para penanam modal setelah berinvestasi di Aceh. Selain menjadi teman baik bagi para investor, IOO yang resmi dibuka pada 16 April 2007 menggoda para usahawan untuk berinvestasi di Aceh dengan menggelar aceh International Business Council I, Seminar Regulasi dan Insentif, Kongres Saudagar Aceh Serantau (bersama Kadin Provinsi NAD), serta aceh Investment Summit 2008. Sambutan dunia usaha pun begitu positif. Di setengah tahun pertamanya saja, IOO telah melayani lebih dari 40 calon investor dan mitra pengusaha dari dalam dan luar negeri seperti Malaysia, Kanada, Singapura, Thailand, India, Amerika Serikat, Belanda, Republik Ceko, dan Australia. Sejauh ini, sektorsektor usaha yang diminati di Aceh antara lain perkebunan; manufaktur; pertambangan timah, batu bara, dan bijih besi; biodiesel; pengolahan produk pertanian, dan pembangkit tenaga listrik. Dengan berbagai kemudahan investasi yang ditawarkan melalui IOO, diharapkan potensi Aceh semakin dapat dikembangkan dan pada akhirnya mampu mendongkrak perekonomian Aceh.

DIwana

38

Evaluasi dan Penyesuaian Sasaran


Setelah diamati sasaran yang tercantum di dalam rencana induk, ada yang disebutkan secara kuantitatif dan sebagian besar dinyatakan secara kualitatif. Akibatnya diperlukan interpretasi terhadap programprogram yang disebutkan di dalam rencana induk tersebut. Sebagai contoh, untuk bidang pertanian, ada program bantuan sarana pertanian dalam rangka reinisiasi produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, namun tidak disebutkan sasarannya secara kuantitatif dan sarana apa saja yang harus diganti atau diperbaiki. Di samping itu, ada kegiatan yang dibutuhkan di lapangan tapi tidak disebutkan di dalam rencana induk secara kuantitatif. Selain itu, terlibatnya masyarakat dalam penyusunan program melalui proposalproposal yang dikirim langsung maupun tidak langsung ke Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha membutuhkan penyesuaian program dan kegiatan agar selaras dengan program dan kegiatan yang disampaikan. Program yang dilaksanakan dievaluasi dengan midterm review (evaluasi paruh waktu) pada 2007. Evaluasi ini menyimpulkan bahwa diperlukan penyesuaian terhadap sasaran yang disebutkan di dalam rencana induk. Perubahan sasaran ini melalui proses audiensi dengan pemerintah daerah (dinas terkait), masyarakat, serta pemangku kepentingan lainnya. Penyesuaian sasaran ini juga diikuti dengan perubahan kegiatan dan sasaran yang diselaraskan dengan kebutuhan di lapangan. Selanjutnya, penyesuaian sasaran dan kegiatan ini diperkuat oleh Perpres RI Nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Pendanaan
Komitmen Pendanaan
Total kebutuhan membangun kembali Aceh dan Nias diperkirakan sebesar Rp 48,7 triliun. Tabel 3.1. menjelaskan kebutuhan dana yang diperkirakan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha sebesar Rp 1,49 triliun (Rencana Induk, 2005). Pada 2005, komitmen pendanaan bidang ekonomi dan usaha meningkat tajam dengan tambahan dana yang bersumber dari ADB untuk subsektor pertanian sebesar US$ 32 juta

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

dan perikanan ada mekanisme penyusunan rencana program tersendiri. ADB sebagai donor menunjuk (melalui proses tender) Konsultan UCIL (Uniconsult International Ltd.) untuk bidang pertanian dan NACA (Network of Aquaculture Centers in AsiaPasific) untuk bidang perikanan. Kedua konsultan ini menyusun Sub Project Preparation Report (SPPR), sub project appraisal report (SPAR), dan activity design report (ADR). Dokumen ini dijadikan dasar penyusunan RKAKL oleh Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha untuk dituangkan ke dalam DIPA.

39

dan perikanan US$ 30 juta. Total dana untuk kedua bidang tersebut yang mencapai US$ 62 juta diformulasikan dalam program ETESPADB komponen pertanian dan komponen perikanan. jadi, total dana yang dibutuhkan oleh bidang ekonomi dan usaha sebesar Rp 2,1 triliun.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Peningkatan komitmen terjadi pada subsektor pengembangan usaha, seperti pengembangan pinjaman dan dana bergulir yang disalurkan melalui LKM/koperasi sebesar Rp 200 miliar, pengembangan koperasi terpadu mencapai Rp 90 miliar, Tabel 3.1 Kebutuhan dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bidang Ekonomi dan Usaha dan pengembangan kelembagaan AMF Perkiraan Kerusakan sebesar Rp 20 miliar, serta pengembangan Kebutuhan Total dan Kerugian (Rp. Miliar) No. Subsektor Dana kelembagaan Klinik Kemasan dan Merek, (Rp Miliar) (Rp Miliar) Publik Privat EDC, dan IOO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. Pertanian dan Pangan Perikanan Industri dan Perdagangan Tenaga Kerja UKM dan Koperasi Pariwisata 1.490,00 4.729,00 3.988,00 230,00 23,00 165,00 1.720,00 4.752,00 4.153,00 492,10 870,90 41,10 17,00 73,30 4,80

40

TOTAL

10.207,00

418,00

10.625,00

1.499,20

Dari subsektor perikanan juga terjadi tambahan komitmen untuk membangun beberapa pelabuhan perikanan seperti Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo Banda Aceh, Pelabuhan Perikanan Pantai Idi, Aceh Timur, dan Pelabuhan Perikanan Kota Lhokseumawe. Sementara itu dari subsektor pertanian juga terjadi peningkatan komitmen pendanaan terutama untuk pengembangan kawasan perkebunan dan kawasan peternakan.

Alokasi Pendanaan
Pendanaan bidang ekonomi dan usaha pada 20052009 dialokasikan melalui mekanisme APBN mencapai Rp 2,65 triliun yang sebelumnya diprediksi di dalam rencana induk hanya Rp 1,5 triliun. Pengalokasian dana melaui mekanisme APBN ini bersumber dari dua skema pendanaan, yaitu menggunakan dana moratorium sebesar Rp 2,04 triliun dan hibah luar negeri sebesar Rp 0,61 triliun.

Realisasi Anggaran
Dana rehabilitasi bidang ekonomi dan usaha berasal dari APBN (onbudget) dan offbudget. Dana offbudget dikoordinasikan berdasarkan laporan yang masuk melalui RANdatabase yang berasal dari sumbangan perusahaan atau organisasi nasional, internasional, dan juga perorangan yang langsung disalurkan kepada masyarakat. Total dana onbudget yang dianggarkan untuk rehabilitasi serta rekonstruksi sektor ekonomi dan usaha pada 20052008 mencapai Rp 2,65 triliun. jumlah ini hanya sekitar 6,4 persen dari total pagu yang dianggarkan untuk seluruh kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD dan Nias yang mencapai sekitar Rp 42 triliun. Total anggaran yang telah direalisasikan oleh Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha sebesar Rp 2,13 triliun atau 80,2 persen dari pagu dana yang dialokasikan pada 20052008.

Tabel 3.2 Alokasi Dana Bidang Ekonomi dan Usaha dari APBN 20052008

No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Sektor
Pertanian Tanaman Pangan NAD Perkebunan NAD Peternakan NAD Kehutanan NAD Pariwisata NAD Perikanan NAD Industri Kecil Menengah NAD Perdagangan dan Investasi NAD Koperasi dan UKM NAD Tenaga Kerja NAD Pemberdayaan Ekonomi Nias

tahun 2005 2006 2007


93.047.959.000 100.827.889.000 73.967.240.000 62.983.143.000 39.245.123.000 262.850.563.000 46.907.043.000 46.435.965.000 154.852.728.000 19.386.645.000 88.786.885.000

126.500.200.00 125.441.500.000 225.470.680.000 13.385.500.000 30.985.000.000 85.592.000.000 34.510.235.000 29.660.385.000 68.648.000.000 48.721.500.000 81.340.136.500 17.693.335.500 285.133.001.000 40.534.000.000 23.250.135.500 71.753.000.000 43.887.855.500 36.355.490.000

22.176.485.000 68.455.366.000 24.301.250.000 4.118.855.000 10.997.788.000 122.761.345.000 6.509.810.000 9.478.894.000 9.940.465.000 4.971.325.000 10.434.465.000

367.166.144.000 237.931.255.000 146.989.990.000 148.442.134.500 67.936.246.500 896.215.589.000 107.336.353.000 110.149.994.500 322.138.193.000 102.756.060.500 165.237.225.000

13,74% 8,90% 5,50% 5,56% 2,54% 33.54% 4,02% 4,12% 12,05% 3,85% 6,18%

Total

546.104.000.000 842.757.954.000

989.291.183.000

294.146.048.000

2.672.299.185.000

100,0%

Pada 2005 implementasi kegiatan dilakukan oleh tujuh Satker dan pada 2006 melonjak menjadi 13 Satker. Sedangkan pada 2007 ada 10 Satker yang terdiri atas tiga Satker di bawah kendali pusat (Deputi Ekonomi dan Usaha) dan tujuh Satker regional di bawah kendali kepala regional (Deputi Bidang Operasi). Selanjutnya pada 2008 ada delapan Satker yang terdiri atas dua Satker di bawah kendali pusat (Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha) dan enam Satker di bawah kendali kepala regional (Deputi Bidang Operasi).

Keberlanjutan Dana PascaBRR


Keberlanjutan dana bidang ekonomi dan usaha sangat tergantung kepada kebutuhan pemerintahan daerah dalam mengembangkan sektor ekonomi. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh kedeputian ini adalah mengalokasikan dana pembangunan melalui multi donor fund (MDF), pada program Economic Development Financing Facilities (EDFF) sebesar Rp 500 miliar.
tahun 2005 2006 2007 2008 TOTAL

Tabel 3.3 Penyerapan Anggaran 20052008

Alokasi Rp 546.104.000.000 Rp 842.757.954.000 Rp 989.291.183.000 Rp 294.146.048.000 Rp 2.672.299.185.000

pencapaian Rp 397.915.874.120 Rp 612.946.316.970 Rp 876.792.673.232 Rp 262.281.512.545 Rp 2.149.936.376.867 72,86% 72,73% 88,58% 89,17% 80,45%

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

2008

total alokasi

41

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

42

Belajar menenun di rumah Nyak Moe, Siem, Darussalam, Aceh Besar, 24 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Program EDFF adalah untuk mendukung upaya pemerintah Aceh dalam mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pengangguran saat program rehabilitasi dan rekonstruksi berakhir. EDFF terdiri dari dua komponen yang akan dilaksanakan pada 20092012. Komponen pertama adalah program yang mendukung subproyek yang akan mengatasi masalah kritis yang mempengaruhi pembangunan ekonomi di Aceh dengan memberikan kontribusi terhadap pemulihan ekonomi pascatsunami, membangun lebih banyak lingkungan usaha yang lebih kompetitif, dan mendukung yang diperlukan untuk menciptakan peluang dan pertumbuhan lapangan kerja sektor swasta dengan sasaran masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya. Komponen kedua, akan mendanai pengelolaan proyek dan peningkatan kapasitas SDM lokal termasuk konsultan internasional dalam membantu pemerintah Aceh dalam pengelolaan proyek. Di samping itu, ada beberapa program untuk 2009 dengan nilai sekitar Rp 160 miliar yang disalurkan melalui Satker Rehabiltasi dan Rekonstruksi Provinsi NAD yang pengguna anggarannya di bawah kendali Menteri Keuangan. Program tersebut antara lain pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo (Rp 69,5 miliar), pengembangan kawasan peternakan Aceh Besar (Rp 2,4 miliar), pembangunan sentra industri kecil Samahani Aceh Besar (Rp 768 juta), pembangunan Pasar Aceh, Kota Banda Aceh (Rp 20 miliar), pembangunan kebun penelitian kopi organik

Pelaksanaan Program
Sesuai dengan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka setelah dokumen anggaran (DIPA) dan RKAKL disetujui oleh pengguna anggaran, pelaksanaan program dan kegiatannya dilakukan oleh Satker yang dibentuk Kepala Badan Pelaksana BRR. Satker dibantu oleh beberapa pejabat pembuat komitmen (PPK), bendahara, dan pejabat pembuat surat perintah membayar (SPM). Masingmasing PPK dibantu oleh beberapa staf. Sedangkan implementasi kegiatan di lapangan, Satker dibantu oleh tim teknis yang berasal dari instansi teknis terkait dan pendamping lapangan, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Pada umumnya ada dua jenis pekerjaan yang diimplementasikan oleh Satker, yakni pekerjaan kontraktual yang mengikuti mekanisme tender dan pekerjaan swakelola. Pengawasan pekerjaan kontraktual dilakukan oleh konsultan pengawas atau supervisi, sedangkan untuk pengawasan pekerjaan swakelola dilakukan oleh pendamping lapangan dan anggota tim teknis. Satker bertanggung jawab kepada kedeputian melalui para atasan langsung mereka (direktur terkait). Untuk mengendalikan pelaksanaan program tersebut agar sesuai dengan sasaran maka direktur dibantu oleh para manajer di lapangan. Pekerjaan swakelola dilengkapi dengan petunjuk teknis pelaksanaan yang disiapkan oleh kedeputian. Petunjuk teknis diperlukan untuk acuan dalam implementasi kegiatan di lapangan.

Monitoring, Evaluasi, dan Pengawasan Program


Kegiatan monitoring dan evaluasi diperlukan untuk melihat seberapa jauh sasaran pembangunan prasarana ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja dapat diserap melalui programprogram pembangunan pascabencana. Dalam jangka panjang, kegiatan evaluasi juga dimaksudkan untuk menilai apakah program yang dilaksanakan sesuai dengan upaya pemulihan yang direncanakan. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berkelanjutan dengan harapan agar pelaksanaan program tahun berikutnya lebih terarah. Pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Monitoring dan evaluasi untuk menilai keberhasilan pelaksanaan berdasarkan sistem dan mekanisme yang telah ada, keberhasilan program berdasarkan indikator kemajuan dan keluaran yang telah ditetapkan, adanya laporan hasil monitoring, dan laporan tahunan.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

(university farm) sebesar Rp 4,1 miliar, dan pembangunan laboratorium kesehatan hewan tipe A sebesar Rp 1,78 miliar. Selanjutnya untuk rehabilitasi lahan sawah yang rusak berat di Aceh jaya dan Aceh Besar dianggarkan sebesar Rp 6,4 miliar, rehabilitasi tambak yang rusak sebesar Rp 3,6 miliar, pemeliharaan kelapa sawit sebesar Rp 2 miliar, dan pembangunan cold storage di Susoh, Aceh Barat Daya, sebesar Rp 1,2 miliar.

43

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal dilakukan dengan membentuk tim monitoring setiap direktorat. Contohnya pada 2006 dibentuk tim monitoring untuk bidang pertanian, perikanan, kehutanan, dan pengembangan usaha. Sedangkan monitoring dan evaluasi secara eksternal bekerja sama dengan pihak independen seperti konsultan atau perguruan tinggi. Sebagai contoh, evaluasi program Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha pada 2006 dilakukan oleh Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda Aceh. BRR juga memiliki unit tersendiri untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masingmasing deputi. Contohnya Pusat Pengendali Mutu Konstruksi (PPMK) yang melakukan kegiatan monitoring sekaligus penjaminan mutu hasil kegiatan yang dilakukan. Hasil evaluasi PPMK disampaikan kepada masingmasing deputi untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam meningkatkan mutu hasil pekerjaan. Monitoring dan evaluasi juga dilaksanakan oleh Bappenas untuk melihat perkembangan dan kendala rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilaksanakan oleh BRR, termasuk program yang dilaksanakan kedeputian ini.

44

Pengendalian Program
Pengendalian program penting dilakukan agar sasaran yang telah ditetapkan bisa tercapai. Caranya dengan membentuk unit manajemen risiko dan penyelesaian tindak lanjut. Unit manajemen risiko merupakan perangkat manajemen yang mempunyai fungsi melakukan identifikasi terhadap berbagai hambatan dan masalah yang terjadi dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan operasional suatu kegiatan program yang direncanakan. Manfaat manajemen risiko adalah memperkecil risiko yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan. Pada pelaksanaannya, manajemen risiko adalah proses analisis dari hasil identifikasi masalah yang outputnya berupa asumsi yang akan terjadi apabila rekomendasi yang diberikan tidak dilaksanakan dan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap tindak lanjut dari yang direkomendasikan, serta tingkat risiko yang akan terjadi apabila rekomendasi tidak dilaksanakan. Selanjutnya penyelesaian tindak lanjut mempunyai fungsi mendorong, memberikan arahan, dan motivasi kepada pihak yang diperiksa. Hal ini dilakukan untuk dapat melakukan penyelesaian tindak lanjut secara tuntas temuan laporan hasil pemeriksaan baik pengawasan internal, eksternal, maupun satuan antikorupsi. Halhal yang harus diperhatikan dalam menindaklanjuti temuan hasil pemeriksaan adalah mempelajari, meneliti, kemudian memahami rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang harus ditindaklanjuti serta dukungan atau buktibukti yang harus dilampirkan. Pada periode anggaran 2005 sampai saat ini, Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha telah menerima rekomendasi temuan dari Kedeputian Bidang Pengawasan sebanyak 209 kasus dengan nilai Rp 12.977.690.156. Dari jumlah itu, temuan yang ditindaklanjuti sebanyak 141 atau sebesar 67,46 persen dengan nilai Rp 9.910.186.499 atau sebesar 76,36 persen.

jumlah rekomendasi temuan Badan Pemeriksa Keuangan sebanyak 50 kasus dengan nilai Rp 1.465.114.151. Dari jumlah itu, ada 24 kasus yang ditindaklanjuti atau sebesar 48 persen dengan nilai Rp 62.143.670 atau sebesar 4,24 persen. Sedangkan rekomendasi temuan Satuan Anti Korupsi sebanyak 77 kasus dengan nilai Rp 19.278.251.756. Hasil tindak lanjut temuan sebanyak 62 atau sebesar 80,52 persen dengan nilai Rp 19.278.251.756 atau sebesar 100 persen. Temuan di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha terkait Satker termasuk di dalamnya kepala Satker, pejabat pembuat komitmen, panitia lelang, panitia pemeriksa barang, dan rekanan serta direktorat. Beberapa contoh penyebab temuan dan solusinya misalnya panitia lelang tidak melakukan koreksi penawaran peserta lelang. Solusinya adalah deputi meminta Satker untuk lebih ketat mengawasi pelaksanaan lelang. Contoh lainnya panitia lelang lalai menyusun spesifikasi teknis dan rencana kerja dan syaratsyarat (RKS). Solusinya, kepala Satker menegur dan memerintahkan panitia agar lebih cermat dalam menyusun RKS dan spesifikasi teknis. Bila PPK dan konsultan pengawas lalai dalam mengawasi rekanan, kepala Satker harus menegurnya secara tertulis. Sedangkan bila rekanan tak bekerja sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam kontrak, kepala Satker memerintahkan PPK untuk meminta pertanggungjawaban rekanan. Bila ada keterlambatan, maka PPK meminta rekanan untuk membayar denda. Apabila kerangka acuan kerja belum disusun dengan baik, maka

Pelatihan peningkatan mutu produksi yang dibina oleh Klinik Kemasan dan Merek (KKM), Banda Aceh, 5 Desember 2007. Foto: Beni Antono

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

45

kepala Satker dan PPK harus mengkaji ulang KAK yang telah disusun dan memperbaiki secara lebih terperinci antara maksud dan tujuan program serta output yang akan diperoleh.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Selain itu, Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha bisa memberi sanksi kepada bawahannya apabila mereka mengintervensi kegiatan Satker dan mengarah penyalahgunaan wewenang.

Keberlanjutan Program
Program rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha diarahkan agar berkelanjutan meskipun BRR berakhir pada April 2009. Pada tahap awal (20052006), program diarahkan untuk memperbaiki aset produktif masyarakat yang rusak akibat bencana. Inti program adalah mengembalikan mata pencarian (livelihood) masyarakat. Sedangkan perbaikan aset publik ditujukan untuk memacu aktivitas ekonomi masyarakat terus berlanjut. Pada 20072008, program difokuskan untuk memperkuat fondasi ekonomi secara berkelanjutan. Beberapa program yang diharapkan dapat mendukung keberlanjutan ekonomi masyarakat dan ekonomi regional adalah program pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo Banda Aceh, pengembangan sentra industri kecil Samahani di Aceh Besar, Pasar Grosir Bireuen, balai latihan kerja, pengembangan kawasan peternakan Blang Uboubo di Aceh Besar serta pendirian KKM, EDC, dan IOO. Program unggulan tersebut terus dikawal dan dikoordinasikan dengan instansi terkait agar terus berlanjut dan berkesinambungan. Pemerintah daerah juga telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mendukung keberlanjutan program tersebut.

46

Berubah Mengikuti Tuntutan Lapangan


Struktur organisasi diciptakan untuk mampu menyelesaikan permasalahan di lapangan. Organisasi bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha merupakan kedeputian yang banyak mengalami perubahan struktur organisasi. Sejak 2005, kedeputian ini telah mengalami lima kali pasang bongkar struktur di bawahnya. Kisah perubahan struktur di kedeputian ini diawali dari terbentuknya BRR. Di Perpres Nomor 34 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara dinyatakan bahwa BRR dilengkapi dengan Deputi Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Usaha. Tugas kedeputian ini adalah mengelola kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang pemberdayaan ekonomi dan pengembangan usaha. Kedeputian mempunyai fungsi penyiapan dan perumusan kebijakan teknis, penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja, pemantauan dan evaluasi, dan pengkajian

Tabel 3.8. Satuan Kerja Bidang Ekonomi dan Usaha 20052008

BRRPEMBERDAYAAN 1. EKONOMI DAN USAHA NIAS BRRINDUSTRI KECIL DAN MENENGAH NAD

BRRPEMBERDAYAAN 1. EKONOMI DAN USAHA NIAS BRRDEPUTI BIDANG PEMEBRDAYAAN EKONOMI DAN USAHA BRRPETERNAKAN NAD

1.

BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN USAHA NIAS BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN USAHA WIL. I BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN USAHA WIL. II

BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 1. PENGEMBANGAN USAHA WIL. IA 2. BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN USAHA WIL. I BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN USAHA WIL. II

2.

2.

2.

3.

BRRKOPERASI DAN USAHA KECIL NAD

3.

3.

3.

BRRTENAGA KERJA 4. NAD BRRKETERSEDIAAN 5. DAN DISTRIBUSI PANGAN NAD BRRSUMBER DAYA 6. KELAUTAN DAN PERIKANAN NAD BRRPRODUKSI 7. TANAMAN PANGAN NAD

BRRPERKEBUNAN 4. NAD

BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 4. PENGEMBANGAN USAHA WIL. III BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 5. PENGEMBANGAN USAHA WIL. IV BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 6. PENGEMBANGAN USAHA WIL. V BRRBIDANG EKONOMI 7. DAN USAHA NIAS KABUPATEN NIAS BRRBIDANG EKONOMI 8. DAN USAHA NIAS KABUPATEN NIAS SELATAN 9. 10. ETESPADB PERIKANAN 2007 ETESPADB PERTANIAN 2007

BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 4. PENGEMBANGAN USAHA WIL. III BRRPEMBERDAYAAN EKONOMI DAN 5. PENGEMBANGAN USAHA WIL. V 6. BRRBIDANG EKONOMI DAN USAHA NIAS KABUPATEN NIAS

BRRKEHUTANAN 5. NAD BRRPESISIR DAN PENGEMBANGAN 6. LINGKUNGAN HIDUP NAD BRRPERDAGANGAN 7. PARIWISATA DAN INVESTASI 8. BRRINDUSTRI DAN PERTAMBANGAN

BRRBIDANG EKONOMI DAN 7. USAHA NIAS KABUPATEN NIAS SELATAN 8. ETESPADB PERIKANAN 2008 9. ETESPADB PERTANIAN 2008

9. BRRLIFE SKILL 10. 11. BRRKOPERASI DAN USAHA KECIL NAD BRRTENAGA KERJA NAD

BRRSUMBER 12. DAYA KELAUTAN & PERIKANAN NAD BRRPRODUKSI 13. TANAMAN PANGAN NAD

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

2005

2006

2007

2008

47

dan pelaporan. Adapun susunan personalia Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi diatur dengan Keppres No. 63 Tahun 2005 tentang Keanggotaan Dewan Pengarah, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi NADNias.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Awalnya, kedeputian ekonomi bernama Kedeputian Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Usaha. Kedeputian ini dibantu empat direktorat, yakni Direktorat Pengembangan Usaha, Direktorat Lingkungan Hidup, Direktorat Sumber Daya Alam, dan Direktorat Pelatihan Kejuruan. Struktur ini berdasarkan peraturan Kepala Bapel BRR NADNias nomor PER01/BRR/VII/2005. Akhir 2006, dibentuk Satker di tingkat regional di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias. Perubahan juga terjadi pada bidang ekonomi dan usaha. Regional IVI didirikan Satker BRR Ekonomi dan Usaha untuk melaksanakan program yang telah dituangkan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Rinciannya dapat lihat pada tabel 3.8. Beberapa strategi juga dirumuskan untuk menyikapi perubahan struktur organisasi ini. Pertama, reposisi sebagian program dari pusat ke wilayah, terutama program dan kegiatan yang akan membawa dampak langsung kepada kabupaten atau kota yang ada pada wilayah I sampai VI. Adapun programprogram strategis, monumental, dan bersumber dari hibah luar negeri tetap dikelola langsung oleh Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha. Beberapa program dan kegiatan yang tetap dikelola langsung Kedeputian Ekonomi dan Usaha adalah pembangunan Pelabuhan Perikanan Lampulo, pengembangan sentra industri kecil, pengembangan sentra peternakan, pengembangan kawasan perkebunan, dan program ETESPADB Perikanan dan Perikanan. Selain itu, direktoratdirektorat di kedeputian ini bertambah menjadi Direktorat Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Direktorat Pengembangan dan Usaha, Direktorat Pengembangan Ekonomi Kehutanan dan Kerja Sama Donor, Direktorat Pengembangan Pertanian, Kepala Pengendalian dan Evaluasi Program Bidang Ekonomi dan Usaha, serta Kepala Perencanaan dan Pemograman Bidang Ekonomi dan Usaha. Kemudian kedeputian melakukan distribusi SDM dari pusat ke wilayahwilayah dan dari kedeputian ekonomi dan unit pengendali program wilayah pada Deputi Bidang Operasi. Strategi ketiga adalah reposisi dan redistribusi SDM untuk memperkuat struktur yang masih ada. Mulai januari 2008, Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha juga membawahi Direktorat Fungsionalisasi dan Transisi Program dan Direktorat Pengendalian Program dan Donor, serta Kepala Kesekretariatan, Penyelesaian Aset, dan Dokumentasi. Ini dilakukan karena BRR mulai melakukan penyerahan proyekproyek yang telah selesai kepada Pemda NAD dan Nias. Sementara itu Direktorat Pengendalian Program dan Donor masih melaksanakan proyekproyek yang selesai hingga akhir 2008. Proyek tersebut di bidang pertanian, perikanan, perdagangan, ketenagakerjaan, kehutanan, dan pariwisata.

48

Menjelang berakhirnya masa tugas, Bapel BRR AcehNias mengalami dua kali perubahan struktur organisasi. Intinya, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha berada di bawah kendali Deputi Bidang Operasi. Deputi ini memiliki tiga wakil yang satu di antaranya adalah Wakil Deputi Bidang Operasi Bidang Pengembangan Ekonomi, Institusi, dan Masyarakat yang membawahi Direktorat Pengembangan Ekonomi, Direktorat Pertanian dan Perikanan, serta Direktorat Pengembangan Institusi dan Masyarakat. Menjelang berakhirnya tugas BRR pada April 2009 dan selesainya kegiatan implementasi, organisasi di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha didesain untuk menyelesaikan empat hal pokok, yakni serah terima aset, menuntaskan temuan dan administrasi, menyusun laporan akhir masa tugas, dan melakukan transisi program yang harus dilanjutkan oleh instansi terkait. Perubahan kedua adalah Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha dibantu tiga unit satuan tugas untuk melakukan penuntasan temuan dan administrasi, serah terima aset, dan tim penyusunan laporan. Perubahan struktur organisasi dan tata kerja tersebut berhubungan dengan mata anggaran dan laporan keuangan, sehingga Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha tidak lagi membawahi Satuan Kerja.

Proyek rehabilitasi lahan pertanian yang gagal dilaksanakan, Keude Unga, Aceh Jaya, 1 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

49

Pengelolaan Risiko
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Catatan perjalanan yang dilalui kedeputian ini memberikan gambaran betapa beratnya menjalankan amanah rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Hampir semua energi, waktu, pikiran, dan bahkan juga perasaan ditumpahkan untuk membuat sesuatu yang terbaik, tapi masih saja ada yang kurang dan perlu diperbaiki. Beban berat itu dimulai dari mengurai rencana induk untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi serta pengawasan, sampai kepada pelaporan. Beban berat yang dialami BRR bukan suatu pembenaran atau keinginan untuk membela diri. Namun, tantangan yang dihadapi oleh BRR barangkali juga akan dihadapi dalam melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah bencana (yang kita doakan tidak terjadi) di masa yang akan datang. Dapat dikatakan bahwa penanganan bencana ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Barangkali catatan sejarah ini bermanfaat bagi pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi selanjutnya. Beberapa kendala yang dihadapi diuraikan berikut ini.

50

Menangani Bencana dengan Mekanisme Normal


Hampir empat tahun perjalanan rehabilitasi dan rekonstruksi ini sudah dilalui. Semua pelaksanaannya dikawal oleh peraturan yang ketat seperti yang diterapkan pada situasi normal, yaitu Keppres 80 Tahun 2003 dan perubahanperubahannya serta ketentuan perundangan lainnya yang berlaku. Ada dua jenis pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh kedeputian ini, yaitu pekerjaan yang dilakukan secara tender dan swakelola. Semua program dan kegiatan diupayakan dengan pola percepatan untuk memenuhi mandat yang dituangkan di dalam rencana induk karena waktu yang diberikan hanya empat tahun. Di samping itu, tuntutan serba cepat ini juga muncul dari masyarakat dan instansi pemerintah di Aceh. Masyarakat yang kehilangan mata pencarian akibat rusaknya lahan sawah, hancurnya tambak, rusaknya pasar, hancurnya perahu, dan tidak adanya modal mengharapkan agar perbaikan aset produktifnya dapat diperbaiki secepatcepatnya. Tidak hanya itu, aset publik bidang perekonomian juga harus cepat dibangun. Namun, semua kegiatan tersebut dibatasi oleh mekanisme APBN yang sudah baku dan memiliki konsekuensi hukum atau penjara. Akibatnya staf di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha sering dicemooh dan dicaci bekerja lambat. Hanya penyerapan anggaran sebesar 80,45 persen dari pagu sebesar Rp 2,67 triliun yang dialokasikan untuk kedeputian ini yang dapat dijadikan pelipur hati untuk mematahkan pendapat bahwa kerja kedeputian ini lambat. Sisi mekanisme, APBN juga agak rumit karena waktu yang terbatas hanya satu tahun anggaran. jika program tidak selesai, uang yang sudah dianggarkan tidak dapat direalisasikan. Kondisi ini bertambah rumit karena kadang kala ada perbedaan persepsi antara Satuan Kerja dan KPPN Khusus dalam proses pencairan anggaran.

Namun, harus diakui, dari segi realiasi fisik ada beberapa kegiatan atau proyek yang melewati batas waktu yang telah dijadwalkan karena kondisi lapangan yang belum normal. Begitu pula dengan kegiatan swakelola seperti bantuan langsung masyarakat untuk perbaikan tambak dan lahan sawah, yang tidak dapat diselesaikan tepat waktu karena tingkat kerusakan yang parah, sulitnya akses mobilisasi peralatan, dan kondisi sosial masyarakat yang belum stabil. Masalah lainnya adalah auditor memakai aturan normal dalam melakukan pemeriksaan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan dalam kondisi bencana. Kondisi ini sering membuat para pelaksana bergetar dan cenderung ekstra hatihati dalam menjalankan program dan kegiatan. Akibatnya itu sangat berpengaruh pada percepatan program dan kegiatan yang dilaksanakan. Seharusnya, pemeriksaan perlu disesuaikan dengan kondisi bencana agar kegiatan tersebut bisa terlaksana. Sebagai catatan, pemerintah perlu membuat mekanisme APBN secara khusus untuk menangani wilayah yang terkena bencana.

Rentang Kendali yang Begitu Luas


Wilayah Aceh yang dilanda bencana cukup luas, mulai dari wilayah pesisir timur sampai pesisir barat, hingga Pulau Sabang dan Simeulue yang tidak luput dari hantaman bencana. Semua lokasi harus diidentifikasi dan dipantau oleh staf di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha yang jumlahnya sangat terbatas. Program perbaikan lahan sawah di Aceh Barat yang berjarak sekitar 400 kilometer dari Kota Banda Aceh, misalnya ditempuh selama lima jam perjalanan darat menyusuri Pantai Barat (LamnoAceh jaya). Namun, jika melintasi jalan di wilayah tengah (GeumpangTutut) yang memotong pegunungan Bukit Barisan, waktu tempuhnya menjadi sekitar tujuh jam. jarak tempuh ini semakin besar dan perjalanan semakin melelahkan apabila kegiatan monitoring dilakukan di Singkil, Tapak Tuan, dan Aceh Barat Daya (Abdya). Demikian juga ketika memonitor kegiatan di wilayah Pantai Timur yang dimulai dari Pidie, Lhokseumawe, Aceh Tamiang, Aceh Timur sampai ke wilayah tengah Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara memerlukan waktu cukup panjang. Bahkan untuk perjalanan ke wilayah kepulauan, seperti Simeulue, harus ditempuh menggunakan pesawat terbang yang jadwalnya tidak tersedia setiap harinya dan sering harus menunggu berharihari hanya untuk memperoleh kursi pesawat. Rentang kendali wilayah yang cukup luas ini sering menyulitkan pelaksanaan monitoring dan kunjungan lapangan sehingga dikhawatirkan ada kegiatan monitoring dan pengendalian yang kurang efektif. Kondisi ini diantisipasi oleh BRR dengan mengeluarkan kebijakan regionalisasi ke wilayah sasaran pada 2007. Namun, masih ada

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

Selain itu ada pekerjaan tahun jamak dalam mekanisme APBN, seperti pembangunan sarana fisik, yang memerlukan waktu lebih satu tahun anggaran. Pekerjaan seperti ini kerap kali terkendala karena lemahnya perencanaan dan kurangnya sosialisasi mekanisme kegiatan tahun jamak kepada Satker dan kedeputian.

51

tiga Satker yang dikendalikan langsung oleh Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha dari pusat hingga 2008, yakni Satker Pemberdayaan Ekonomi dan Pengembangan Usaha NAD, Satker ETESPADB Pertanian, dan Satker ETESPADB Perikanan.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha bersama masyarakat dan instansi terkait sebagai penerima manfaat memiliki komitmen untuk bekerja sama menyukseskan program. Namun, terkadang ada saja kendala yang dihadapi, misalnya pertemuan yang sudah dijadwalkan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tepat waktu karena perjalanan darat yang ditempuh untuk mencapai lokasi sulit untuk diprediksi. Pernah suatu hari pada 2007, sewaktu tim kedeputian melakukan monitoring ke Aceh Barat melalui jalan darat di wilayah Pantai Barat, tim mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa. Waktu itu jalan di pegunungan Babah Hiwe Aceh jaya masih belum diaspal dan licin penuh tikungan tajam. Sopir kehilangan kendali mobil dan menabrak gunung setelah mobil berputar 360 derajat untuk menghindari jurang di sisi kanan jalan. Teriakan histeris para staf mengiringi suara mobil seperti banteng melenguh kuat yang mengamuk menanduk tanah. Untungnya, semua staf selamat meskipun badan membiru dan terluka karena terhempas dan terjepit di dalam mobil. Kejadian ini menyebabkan jadwal pertemuan dengan para petani batal dan harus dijadwal ulang. Rentang kendali yang luas ini juga berpengaruh terhadap kecepatan verifikasi dan pembentukan kelompok masyarakat penerima bantuan. Sering kali, untuk mendapatkan hasil verifikasi yang benar perlu waktu sekitar 12 minggu. Itu pun sudah dibantu pendamping dan tim teknis yang ada di lapangan.

52

Rumitnya Menentukan Pemetik Manfaat


Pemetik manfaat adalah salah satu pelaku langsung rehabilitasi dan rekonstruksi di lapangan. Keberhasilan suatu program sangat ditentukan oleh peran aktif pemetik manfaat dan latar belakang mereka. Walaupun verifikasi sudah dilakukan, terkadang masih ada kendala akibat ketidakterbukaan sebagian pemetik manfaat. Hal ini menyebabkan sulitnya mengetahui apakah mereka benarbenar berprofesi sebagai nelayan, petani atau pedagang. Seorang petani yang menerima bantuan perahu, misalnya, sudah pasti tidak cakap melaut. Sebaliknya, seorang nelayan yang diberi bantuan traktor tangan tentunya tidak dapat mamanfaatkan alat ini secara maksimal untuk turun ke sawah. jika terjadi kesalahan dalam penentuan pemetik manfaat, maka dapat berakibat pada gagalnya implementasi program di lapangan. Penentuan pemetik manfaat dilakukan melalui mekanisme yang dituangkan di dalam petunjuk teknis yang sudah disiapkan. Ketua kelompok tani atau nelayan mengajukan anggota kelompoknya kepada pendamping lapangan yang ditugaskan oleh Satker (atas usulan kepala dinas terkait) untuk melakukan pendampingan rutin. Daftar anggota kelompok calon penerima bantuan harus diverifikasi kembali oleh Satker dan kedeputian. Setelah semuanya dianggap layak maka surat keputusan untuk penunjukan anggota kelompok tersebut ditandatangani oleh kepala dinas dan diusulkan ke Satker sebagai

Perajin cinderamata rencong di Gampong Baet Mesjid, Suka Makmue, Aceh Besar, 9 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

53

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

daftar anggota kelompok yang akan menerima bantuan. Prosedur ini tampaknya mudah dan sederhana, tapi jika kurang teliti hasilnya menjadi tidak optimal. Hasil pantauan selama ini agak sulit membedakan apakah seorang pemetik manfaat tersebut berprofesi sebagai nelayan atau petani karena ada pemetik manfaat yang tidak menyampaikan latar belakang secara benar. Masyarakat yang mengetahui akan adanya bantuan kepada petani lantas mengaku sebagai petani agar memperoleh bantuan tersebut. Sebaliknya, pada waktu lain, ada masyarakat yang tadinya mengaku sebagai petani beralih mengaku menjadi nelayan untuk mendapatkan bantuan perahu dan alat tangkap. Kondisi ini berpotensi memunculkan penerima bantuan ganda yang mengakibatkan hilangnya kesempatan anggota petani atau nelayan yang lain untuk menerima bantuan langsung tersebut. Komitmen para anggota kelompok sebenarnya yang menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini. Kejujuran terkadang diabaikan karena ada pemetik manfaat yang ingin memperoleh lebih banyak dengan cara yang kurang benar.

54

Mengelola Tingginya Ekspektasi


Banyak harapan dan tuntutan yang dialamatkan kepada BRR untuk melakukan penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan cepat dan sempurna. Mulai dari bantuan kemanusiaan, pembangunan infrastruktur, pemulihan ekonomi, hingga pembangunan SDM. Harus disadari bahwa BRR bukan superman atau tukang sulap yang mampu mengubah kondisi perekonomian Aceh pascabencana dalam semalam. Tugas merehabilitasi dan merekonstruksi bidang ekonomi dan usaha di daerah bencana dan konflik sangat berat, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu waktu di dalam satu seminar yang bertema membangun perekonomian Aceh pascabencana, muncul opini dari peserta seminar yang menyatakan bahwa BRR Bidang Ekonomi dan Usaha belum bisa menuntaskan persoalan ekonomi Aceh. Alasannya tingkat kemiskinan di Aceh masih tinggi. Dia mengkritik bahwa selama ini yang dikerjakan BRR tidak dapat menyejahterakan rakyat. Ini adalah suatu contoh ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi terhadap kedeputian ini yang dianggap dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan usaha di Aceh. Kenyataannya angka kemiskinan sudah menurun dari 32,6 persen pada 2005 menjadi 26,7 persen pada 2007. Penurunan ini terjadi karena berakhirnya konflik dan besarnya usaha rekonstruksi di Aceh (Bank Dunia, 2008). Persoalannya, harapan masyarakat terlalu tinggi kepada bidang ekonomi dan usaha untuk dapat menurunkan tingkat kemiskinan sampai kepada tingkat kemiskinan ratarata nasional. Hal ini tentu sulit untuk dicapai dalam masa kerja BRR yang hanya empat tahun. Penurunan kemiskinan tersebut harus menjadi tanggung jawab bersama mulai dari pemerintah, lembaga swasta sampai masyarakat. Program pemerintah dan lembaga swasta untuk mengatasi kemiskinan akan sulit untuk terlaksana apabila tidak diiringi dengan etos kerja masyarakat yang tinggi.

Di sisi lain ada masyarakat yang mengajukan proposal bantuan ke Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha dan berharap permintaan mereka segera dipenuhi terlepas dari apakah proposal mereka layak atau tidak. Mereka sulit untuk memahami bahwa penyaluran dana bantuan dibatasi oleh mekanisme APBN yang harus mengacu kepada program yang ada di dalam RKAKL. Program yang ada di dalam tahun anggaran berjalan seringkali tidak bisa memenuhi semua keinginan masyarakat. Di bidang perikanan misalnya ratusan proposal yang masuk dan dibawa sendiri oleh masyarakat ke kedeputian. Proposal ini berisikan bantuan untuk rehabilitasi tambak. Namun, program yang ada di dalam RKAKL (20052006) dan anggaran yang tersedia di dalam DIPA hanya dapat menampung rehabilitasi tambak seluas 6.447 hektare dan semua pemetik manfaatnya sudah teridentifikasi. Masyarakat lain yang mengharapkan agar tambaknya diperbaiki segera tentunya tidak dapat dikabulkan karena telah melebihi pagu anggaran yang ada. Tapi masalah ini tidak bisa dimengerti masyarakat. Mereka cenderung menganggap bahwa uang bantuan ada di dalam laci Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha yang setiap saat dapat dibuka dan langsung diberikan. Tidak jarang, staf di kedeputian ini menerima bentakan bahkan makian masyarakat karena dianggap tidak mau menyalurkan bantuan.

Fasilitator program pertanian ETESPADB memberi pengarahan kepada warga Lam Beugak, Kuta Cot Glee, Aceh Besar 14 Oktober 2008. Foto: ETESPADB/Dewi Wahyuni

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

55

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

56

Penerima manfaat tabungan simpan pinjam untuk modal usaha, Suka Makmue, Aceh Besar, 24 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Meluruskan Pemahaman yang Keliru


Bencana menyebabkan pemerintah, badan PBB, LSM, dan negara lain berduyunduyun datang ke Aceh mengulurkan bantuan sehingga para korban bencana dimanjakan oleh banyaknya bantuan kemanusiaan secara cumacuma. Kondisi ini berlanjut dalam waktu relatif lama sehingga menimbulkan satu persepsi bahwa apa pun bentuk bantuan yang diberikan merupakan bantuan kemanusiaan. Pemahaman keliru ini menyebabkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi terganggu. Masyarakat cenderung tidak memiliki tanggung jawab penuh terhadap bantuan yang diberikan. Misalnya bantuan modal bergulir yang disalurkan melalui LKM banyak yang macet pengembaliannya. Alasannya modal yang diberikan tidak perlu dikembalikan karena uang tersebut adalah bantuan cumacuma atau hibah. Padahal bantuan modal bergulir dan sistem kredit tersebut bertujuan agar kelompok dan individu lainnya yang belum menerima bantuan juga dapat menerima manfaat bantuan modal usaha tersebut. Demikian juga dengan bantuan di bidang peternakan. Sapi dan kambing yang disalurkan kepada masyarakat di kawasan peternakan bersifat bantuan bergulir. Dari jumlah sapi dan kambing yang diberikan ada hak anggota masyarakat lain. Bantuan sapi

Pemahaman yang keliru ini mempunyai dampak negatif kepada keberlanjutan program karena mempunyai efek domino. Masyarakat yang mudah terprovokasi akan ikutikutan untuk tidak peduli terhadap program yang telah disepakati bersamasama.

Menyusun Program dengan Data Terbatas


Data adalah sumber untuk penyusunan program. Program yang baik tentunya berasal dari data yang baik dan lengkap sehingga ada yang pendapat yang menyatakan bahwa perencanaan tanpa data adalah nihil. Pendapat ini memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya penyusunan perencanaan untuk menghasilkan programprogram yang baik. Data yang dihasilkan juga harus diverifikasi kembali di lapangan untuk mengetahui tingkat validitasnya. Dalam menyusun program Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha mengacu kepada rencana induk. Namun, data yang disajikan di dalam rencana induk tersebut ada yang bersifat kuantitatif dan banyak yang bersifat kualitatif. Hal ini kemungkinan terjadi karena rencana induk tersebut disusun dalam jangka waktu yang relatif singkat, sekitar tiga bulan. Tim penyusun barangkali sudah bekerja siang malam untuk dapat menyelesaikan rencana induk tersebut. Akibatnya data yang bersifat kualitatif ini perlu diinterpretasikan kembali oleh masingmasing bidang di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha. Keterbatasan waktu penyusunan rencana induk tersebut mengakibatkan kegiatan yang dilaksanakan menjadi dilematis. Di satu sisi kondisi bencana menggiring pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi untuk melakukan semua proses kegiatan dengan pola percepatan. jika tidak cepat untuk menyahuti tuntutan masyarakat, maka itu dikatakan lambat dan kurang peduli terhadap korban dan wilayah yang terdampak bencana. Di sisi lain pola percepatan mengakibatkan banyak munculnya hambatan dan cenderung menghasilkan output yang kurang memuaskan. Baru pada 2006 perencanaan telah melibatkan tenagatenaga konsultan profesional sehingga data yang disajikan dapat dengan mudah diterapkan di lapangan. Misalnya membuat program perencanaan dalam bentuk studi tingkat kerusakan sawah yang terdampak tsunami. Ada program perencanaan untuk detail engineering design (DED) tambak yang akan direhabilitasi. Ada juga perencanaanperencanaan yang dilakukan dengan data yang lebih baik yang dapat menjadi acuan untuk membuat programprogram lainnya.

Ketimpangan Jumlah Pengelola dan Anggaran yang Dikelola


Setelah perencanaan matang, maka keberhasilan suatu kegiatan ditentukan oleh jumlah SDM yang tersedia. Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha memiliki jumlah SDM yang terbatas jika dibandingkan dengan besarnya anggaran yang harus dikelola.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

dan kambing yang sudah berkembang harus digulirkan kepada anggota kelompok lain yang belum menerima. Namun, hal ini mengalami hambatan karena masih ada anggota kelompok peternak yang beranggapan bahwa bantuan tersebut adalah cumacuma.

57

Memang jika ditinjau dari sudut implementasi, kegiatan yang telah dituangkan di dalam RKAKL dilaksanakan oleh Satker beserta perangkatnya. Namun, dari sudut pandang apakah program tersebut terlaksana dengan baik, maka fungsi kendali ada di pihak direktorat yang bersangkutan.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha memiliki berbagai direktorat yang mengalami perubahan sejalan dengan perubahan organisasi kedeputian. Direktorat Pengembangan Kelautan dan Perikanan misalnya hanya dikendalikan oleh satu orang direktur dengan tiga orang manajer. Sedangkan program yang dikelola oleh direktorat ini lumayan besar. Pada 2006 alokasi anggaran program yang dikelola direktorat ini sekitar Rp 285 miliar. Di Direktorat Pengembangan Pertanian seorang direktur yang dibantu oleh tiga orang manajer mengelola program dengan anggaran sekitar Rp 243 miliar. Contoh lain, Direktorat Pengembangan Usaha memiliki satu orang direktur dengan empat orang manajer mengelola program dengan anggaran sekitar Rp 235 miliar. Selain jumlah anggarannya yang besar, program yang dikelola juga memiliki rentang kendali di wilayah yang cukup luas. Perbandingan jumlah anggaran, luas wilayah, dan personel yang sedikit membuat pekerjaan menjadi berat.

58

Perbedaan Persepsi tentang Koordinasi


Koordinasi adalah suatu kata yang mudah diucapkan, tapi sukar untuk dilaksanakan. Koordinasi dikatakan berhasil jika kedua belah pihak yang melakukan koordinasi telah menghasilkan suatu kesepakatan yang dijalankan. Ini yang disebut dengan komitmen. Persepsi tentang koordinasi ini, berdasarkan pengalaman lapangan, sulit untuk dilaksanakan. Ada instansi yang menganggap koordinasi hanya sebatas rapatrapat tanpa perlu ada kesepakatan dan tindak lanjut. Sering sekali suatu rapat yang dikenal dengan rapat koordinasi tidak menghasilkan sesuatu yang berarti, kecuali minum, makan, dan capek duduk. Padahal suatu koordinasi yang dilakukan harus menghasilkan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh masingmasing pihak. Inilah sulitnya menyamakan persepsi tentang koordinasi tersebut. Di sisi lain, ada juga yang beranggapan bahwa pembicaraan lewat telepon atau berbicara empat mata sebagai bentuk koordinasi. Padahal tak ada tindak lanjut tentang hal yang dibicarakan tersebut. Selama kedua belah pihak belum melakukan sesuatu yang menjadi komitmen yang dibicarakan, dapat dikatakan bahwa koordinasi tersebut gagal. Bisa juga dikatakan itu baru pada tahap berkomunikasi. Rapat koordinasi bidang pertanian dan bidang perikanan yang diikuti oleh LSM luar negeri, badan PBB, dan instansi terkait adalah contoh forum koordinasi yang dilakukan di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha. Namun, forumforum ini ada yang

Menghadapi Intervensi dalam Pelaksanaan


Satker di Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha adalah ujung tombak dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan. Para Satker dibantu oleh pejabat pembuat komitmen dan staf lainnya. Satker dan stafstafnya seringkali mengalami tekanantekanan dari oknumoknum tertentu seperti intervensi untuk mempengaruhi proses pelaksanaan kegiatan. Intervensi ini kadang kala menjadi sangat serius dan mempengaruhi kelancaran implementasi pada tahap selanjutnya. Intervensi oleh oknum tertentu pernah membuat stres seorang staf Satker selama beberapa minggu. Pada suatu sore, belasan orang memadati salah satu kantor Satker Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha yang terletak di Banda Aceh. Mereka akan melihat pengumuman pemenang tender di Satker tersebut yang akan diumumkan pada pukul 17.00 hari itu. Sontak kerumunan itu bubar ketika sekitar 25 orang mengepung kantor itu. Tiga orang perwakilan mereka langsung masuk kantor. Tibatiba satu orang dari mereka memukul pegawai yang akan mengumumkan pemenang tender. Pukulan itu dapat ditangkisnya, namun keriuhan segera terjadi. Staf di kedeputian meneruskan laporan yang diterimanya kepada aparat keamanan BRR. Sayangnya, laporan ini tidak direspons secara cepat. Kemudian pegawai di kedeputian ini berinsiatif melapor kepada sekretriat BRR. Tak lama kemudian dua truk pasukan Brimob tiba di lokasi untuk mengamankan situasi. Namun, orangorang yang mengepung kantor Satker itu sudah bubar dan tidak lagi berada di tempat. Selesai? Belum. Seusai kejadian, staf Satker tersebut dikuntit hingga ke rumahnya. Akibatnya staf Satker tersebut ketakutan dan sejak saat itu jarang tidur di rumah. Dia sering menghabiskan malam di kantor atau tidur di tempat saudaranya. Ketakutan yang dia alami bagai virus yang cepat menyebar. Karyawan Satker juga merasakan ketakutan setelah peristiwa itu. Kalau begini terus situasinya, bagaimana kami bisa bekerja? Padahal pekerjaan menumpuk dan harus segera diselesaikan. Capek bekerja tidak masalah, tapi kalau bekerja taruhannya nyawa, itu lain cerita, kata dia menutup ceritanya.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

menghasilkan kesepakatan dan ada juga yang tidak menghasilkan apaapa. Kemampuan kedeputian untuk dapat menggerakkan orang atau kelompok lain agar terlibat aktif dan menjalankan kesepakatan dalam program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha menjadi kunci keberhasilan. Kemampuan berkoordinasi tentunya harus dibekali dengan kemampuan berkomunikasi yang kuat agar program yang diimplementasikan pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi tidak dilakukan dengan cara paksa. Dengan kata lain, pihak yang diajak untuk bekerja sama tersebut harus diposisikan sebagai mitra kerja.

59

Berbekal Segudang Kesabaran


Staf BRR tak hanya melakukan tugas menjalankan proyek pembangunan saja. Mereka juga harus menjadi pelayan masyarakat yang baik seperti kisah di bawah ini.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Suatu hari seorang lelaki asal Aceh Timur datang ke kantor Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha BRR Pusat, Banda Aceh. Begitu kakinya menginjakkan kantor, emosi lelaki ini langsung meledak. Dia mempertanyakan kenapa proposal yang dia ajukan ke kedeputian ini tak juga diproses. Padahal sudah lama dia mengirim proposal tersebut. Bahkan rekanrekannya sudah menerima bantuan. Karyawati BRR yang mengurusi proposal masyarakat tentu saja kaget dimarahi. Berbagai argumen telah disampaikan bahwa proposal belum diterima. Lelaki ini tak mau tahu dengan proses administrasi di BRR. Dia tetap ngotot agar proposalnya harus ditemukan dan segera diproses. Saya sudah memberikan proposal tersebut melalui satpam BRR di kantor BRR Lhokseumawe Regional II. Tentunya proposal sampailah kemari. Ini kan Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha, teriak dia. Kemarahan lelaki ini membuat butirbutir bening mengalir dari mata karyawati BRR tersebut. Satu direktur di kedeputian ini kebetulan lewat dan melihat kejadian ini. Dia langsung mengajak lelaki tersebut berbicara baikbaik. Seharusnya kantor BRR yang didatanginya adalah kantor BRR di Lhokseumawe, bukan kantor BRR Pusat di Lueng Bata. Sebab dokumennya ada di sana. Akhirnya dengan wajah agak masam bapak tersebut ke luar dari kantor.

60

Sosialisasi yang Tidak Sampai


Program yang sudah dirancang dengan baik pun jika tidak disosialisasikan secara intensif kepada semua pihak bisa mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Sosialisasi ini dimaksudkan agar semua pihak terutama pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi seperti kelompok tani dan penyuluh pendamping serta dinas terkait dapat menjalankan kegiatan seperti yang sudah direncanakan. Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha telah berupaya melakukan sosialisasi semaksimal mungkin, mulai dari rapat yang dilaksanakan di tingkat kabupaten dengan dinasdinas sampai melakukan pertemuanpertemuan dengan kelompok tani. Namun, sosialisasi yang sudah dilakukan masih belum menjamin apakah program tersebut dilaksanakan dengan baik di lapangan sehingga kegiatan monitoring juga menjadi kunci keberhasilan berikutnya. Kisah berikut ini barangkali dapat memberikan gambaran tentang sosialisasi program kepada masyarakat yang belum dipahami secara jelas oleh salah satu anggota kelompok tani sehingga belum termotivasi untuk melaksanakan program rehabilitasi sawah di Aceh Barat.

Ketika program sudah berjalan dan memasuki masa penanaman, staf kedeputian ini berkunjung ke lokasi untuk menjalankan fungsi monitoring. Ternyata di satu petak sawah di Desa Arongan Lambalek, Aceh Barat, seorang petani terlihat masih mengolah lahannya. Padahal pengolahan tanah seharusnya sudah selesai dikerjakan. Sebab hasil pengukuran sebelumnya sudah disampaikan bahwa kadar salinitas (garam) sudah turun, keasamannya sudah netral, sedimennya pun lebih kecil dari 5 cm. Kenapa Bapak masih mengolah tanah majumundur menggunakan traktor tangan? tanya staf kedeputian. Petani tersebut langsung menjawab, Saya memang sedang mengolah tanah agar tanah ini menjadi baik kembali. Tanah ini terlalu asin akibat tsunami yang membawa garam ke lokasi ini. Minggu depan saya tanam Pak, tenang saja. jadi tidak usah khawatir padinya mati. Petani ini lalu berjanji akan menanam di awal Agustus. Memasuki minggu kedua Agustus diadakan pertemuan di aula Dinas Pertanian. Kepala Dinas Pertanian menanyakan proses pengolahan dan penanaman padi yang dilakukan oleh petani. Semuanya sudah mengikuti instruksi, kecuali petani tersebut. Begini Pak. Saya bukannya tidak mau menanam, tapi menurut Menteri Pertanian Amerika, tanah saya belum bisa ditanam sampai tiga tahun ke depan karena tanahnya masih asin. jadi saya maju mundur saja mengolah tanah tersebut, kata dia sambil tersenyum. Tentu saja jawabannya memancing tawa panjang peserta rapat yang hadir saat itu. Semua tahu, dia belum pernah bertemu Menteri Pertanian Amerika. Mencari alasan saja harus mencatut nama Menteri Pertanian Amerika. Namun, tidak lama setelah itu petani tersebut sudah menanami sawahnya. Perilaku keras kepala tak hanya ditunjukkan petani tersebut. Masih banyak kisah sejenis yang membuat staf kedeputian ini harus bekerja keras untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh.

Bagian 3. Merangkai Ulang Sendisendi Ekonomi

Suatu hari pada juli 2006 staf kedeputian ini mengadakan pertemuan dengan kelompok tani di aula Dinas Pertanian Aceh Barat. Isi pertemuan adalah sosialisasi BRR tentang prosedur pengajuan usulan rencana kegiatan kelompok dan rencana anggaran biaya kelompok dalam program bantuan langsung di bidang pertanian. Pelaksanaan usulan yang disetujui akan didampingi oleh penyuluh pendamping. Bantuan yang diberikan BRR berupa biaya pembersihan lahan, pengolahan tanah, pupuk, dan benih yang harus dijabarkan dalam rencana anggaran biaya.

61

Bersama Membangun
Aceh melambat akibat konflik selama tiga dekade yang mengakibatkan ekonomi Aceh terbelit dan mengisolasi ekonomi di Nias. Kondisi ini semakin runyam ketika bencana menelan dan menghancurkan infrastruktur yang minim itu. BRR melalui Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha lantas membuat program yang menitikberatkan pada empat bidang kegiatan utama, yakni pertanian, perikanan, pengembangan usaha, dan ekonomi kehutanan. Dari keempat sektor ini diharapkan kegiatan ekonomi Aceh dapat kembali menggeliat. Selain itu, BRR juga berupaya lebih memperhatikan beberapa infrastruktur kunci untuk menggulirkan ekonomi Aceh. Infrastruktur kunci tersebut adalah pelabuhan laut, pelabuhan perikanan, pelabuhan udara, jalan, jembatan, transportasi (udara, darat, dan laut), listrik, jaringan air, telekomunikasi dan lembaga keuangan. Pembangunan infrastruktur ekonomi ini dilaksanakan oleh BRR secara terintegrasi.

PEMBANGUNAN

Menggarap Potensi Perikanan


Tim Pemantau dan Satuan Tugas Departemen Kelautan dan Perikanan yang bekerja di lapangan sejak 28 Desember 2004 mencatat banyak aset di bidang kelautan dan perikanan yang rusak parah. Aset tersebut antara lain Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo, Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee, Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Pembangunan PPS Lampulo. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 4. Bersama Membangun

63

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

64

Boat berkapasitas 5 GT bersandar di Aceh Barat. Foto: Dokumentasi BRR

Mutu Hasil Perikanan di Lampulo, balai benih ikan, tambak udang rakyat, saluran tambak, kapal penangkap ikan, dan permukiman nelayan di beberapa lokasi. Berikut ini beberapa program yang dilaksanakan oleh BRR untuk merehabilitasi dan merekonstruksi sektor perikanan. Capaian bidang perikanan yang telah dilakukan disajikan secara terperinci pada tabel 4.1.

Mat Robin, Robin Hood van Aceh


Mat Robin bukanlah Robin Hood. Namun, keduanya samasama dikenal dan disanjung masyarakat. Bedanya, Robin Hood adalah jagoan di sebuah hutan di Inggris, sedangkan Mat Robin jagoan di Kreung (sungai) Teunom, Aceh. Robin versi nelayan ini adalah merek mesin perahu yang digunakan para nelayan Desa Alue Ambong, Kecamatan Teunom, Aceh jaya. Sejak 2007, melalui bantuan desa ETESPADB Perikanan, BRR telah memberi bantuan perahu bermotor plus alat tangkap kepada 64 nelayan di desa ini.

Pengadaan Alat Tangkap Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo Pangkalan Pendaratan Ikan Galangan Kapal Pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) Pengadaan GPS dan Fish Finder Pembuatan Rumpon Bagan Apung Rehabilitasi Tambak Agroinput Tambak Bantuan Hatchery Pembangunan Keramba Jaring Apung Pabrik Es Pengadaan Cold Storage/Cold Dry Room Unit Pengolahan Ikan (UPI)/ Pengembangan Sentra Pengolahan Ikan (SPI) Pembangunan Laboratorium/ BPP Perikanan Fasilitas Lab. SUPM Ladong Fasilitas Lab. GIS Pembangunan Pasar Ikan Pemulihan Kembali Kegiatan Ekonomi Masyarakat Bidang Perikanan Pengembangan Kelembagaan/ Koperasi Nelayan Pilot Project Pendederan Kerapu Pembangunan Jetty dan Pengerukan Anak Laut Pengemb. Percontohan Ikan Air Tawar unggulan Pembangunan Kolam Air Deras

Unit Unit Unit Paket Unit Unit Paket Unit Ha Ha Unit Unit Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket

17.013 1 25 11 5 286 14 11 7.775 7.715 63 159 5 1 241 1 1 1 4 514 22 1 1 16 1

735 9 197 183 291 9.669 11.812 8 291 6 64 36 5

17.748 1 34 208 5 286 197 302 17.444 19.527 63 159 13 1 532 1 1 1 10 578 58 1 6 16 1

Kisah kehebatan Mat Robin yang membantu menghidupi keluarga nelayan di Desa Alue Ambong ini hanyalah sebagian kiprah Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha BRR di Aceh untuk menciptakan sumber penghasilan bagi masyarakat di sektor perikanan. Bantuan BRR di bidang perikanan lainnya adalah bantuan kepada kelompok nelayan perahu besar dengan teknologi canggih. Maklum, perairan laut Aceh yang memiliki garis pantai sepanjang 1.600 kilometer dan seluas 295.370 kilometer persegi, mencakup 56.563 kilometer persegi kawasan teritorial dan kepulauan, serta 238.807 kilometer persegi kawasan zona ekonomi eksklusif Indonesia dikenal sebagai salah satu sumber ikan unggulan (DKP NAD, 2007). Masalahnya, potensi ini tak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh nelayan Aceh. justru kapalkapal asing yang menikmatinya. Kondisi ini membuat BRR menyusun program bantuan kapal beserta peralatannya. Tercatat ada 7.109 kapal nelayan berbagai ukuran dan alat tangkap sebanyak 17.748 unit telah diperbaiki BRR. Kecuali itu juga diberikan 197 unit rumpon dan 302 unit bagan apung.

Bagian 4. Bersama Membangun

Bantuan perahu bermotor ini diakui Panglima Laot Lhok Teunom, Said Zainuddin, sangat membantu penghidupan nelayan. Dengan perahu seharga Rp 6 juta ini, seorang nelayan mampu memperoleh ikan pet sebanyak empat kilogram. Ikan sejenis nila di Kreung Teunom yang dalam dan lebar ini dihargai pembeli Rp 50 ribu per kilogram dalam kondisi kering. Artinya, setiap hari nelayan mampu memperoleh pendapatan sebesar Rp 200 ribu.

Tabel 4.1 Pembangunan di Bidang Perikanan

REALISASI 20052008 KEGIATAN Pembuatan Boat Nelayan SATUAN Unit APBN 3.135 NON APBN 3.974 TOTAL 7.109

65

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Contoh penerima bantuan kapal BRR adalah kelompok nelayan Po Nanggroe dan Aneuk Nanggroe, Sabang. Dua kapal yang diberikan BRR masingmasing berbobot 25 gross ton (GT) dengan total anggaran pembuatan kapal sebesar Rp 1,6 miliar. Ini merupakan kapal terbagus. Saya salut dengan kualitas kapal 25 GT ini, karena cukup bermanfaat. Program BRR menjadi tidak siasia dan dapur saya pun ikut berasap, kata Ahmad jepang, nakhoda salah satu kapal ini. Setiap melaut, Ahmad dibantu 14 orang ABK yang merupakan anggota Komite Peralihan Aceh (KPA). Sekali melaut Ahmad arungi samudera selama tujuh hari dengan pemasukan ratarata Rp 15 juta. Rezeki nelayan itu seperti rezeki harimau, tidak bisa ditebak. Kalau perputaran angin lagi bagus, ikannya banyak. Sebaliknya bisa tidak mendapatkan apaapa selama bermingguminggu di laut. Biasanya, bulanbulan paling banyak ikan pada Oktober sampai April, terang Ahmad. Sayangnya, surat izin kapal yang beroperasi awal januari 2008 ini belum lengkap. Akibatnya Ahmad membawa kapalnya ke perairan di seputar Aceh saja. Masalah administrasi kapal masih dalam proses yang diurus oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang. Bantuan kapal ukuran besar juga diberikan BRR kepada tiga kelompok nelayan di Kecamatan Samalanga, Peudada, dan jangka, Kabupaten Bireuen. Tiga unit kapal yang berukuran 20 GT ini merupakan bantuan hibah dari Asian Development Bank (ADB) dan dilengkapi dengan alat tangkap pukat cincin mini (mini purse seine), fish finder (alat penunjuk ikan) dan global positioning system (GPS) untuk menunjukkan posisi kapal dengan bantuan satelit. Bantuan kapal juga diimbangi dengan proses pengolahan dan pembukaan akses ke pasar. Hingga akhir masa kerjanya, BRR telah membantu pembangunan 252 unit pengolahan ikan yang tersebar di seluruh kabupaten di Aceh yang terkena dampak tsunami. BRR juga memberi keterampilan kepada penerima manfaat untuk membudidayakan kepiting, ikan, maupun udang. Pada 2007, BRR mengirim 42 orang dari 15 kabupaten atau kota untuk berlatih mengolah ikan ke Muara Baru, jakarta Utara. Teknologi yang diajarkan adalah pengolahan ikan dan diversifikasinya, seperti nugget ikan, sosis ikan, abon ikan, bakso ikan, dan teknologi pengolahan rumput laut.

66

Rehabilitasi Ratusan Hektare Tambak


Selain memberi bantuan kapal dan perlengkapannya, BRR juga telah merehabilitasi lahan tambak seluas 17.444 hektare dari total 20 ribu hektare tambak yang rusak. Pada 2006, BRR melakukan proyek rehabilitasi tambak seluas 323,3 hektare. Lahan tambak itu tersebar di empat kecamatan di Kabupaten Bireuen, yakni di Kecamatan Peudada seluas 108,3 hektare, jeumpa (50 hektare), Gandapura ( 100 hektare), dan Samalanga (165

hektare). Proyek rehabilitasi tambak BRR tersebut lantas dilanjutkan kerja sama dengan ADB dengan merehabilitasi lahan di Kecamatan Padrah, Simpang Mamplam, dan jangka dengan luas areal 540 hektare dan dana yang dikucurkan sebesar Rp 7,7 miliar. Rehabilitasi tambak juga disertai dengan bantuan agroinput (sarana produksi budidaya tambak) untuk 19.527 hektare, dan hatchery atau unit pembibitan ikan/udang sebanyak 63 unit. Di Ulee Kareung, Simpang Maplam, misalnya. BRR dan ADB membantu 34 petambak yang dibagi menjadi dua kelompok untuk mengelola 18 hektare lahan tambak. Menurut Bustami, Ketua Kelompok Ulee Kareung, bantuan sebesar Rp 100 juta diluncurkan dalam tiga tahap dan mulai dicairkan juli 2008. Tahap pertama dan kedua total bantuan sebesar Rp 60 juta dan bantuan terakhir sebesar Rp 40 juta. Plus 20 ribu benur atau bibit udang telah dilepas ke seluruh areal tambak. BRR juga membangun Pusat Pengembangan Budidaya Air Payau Regional yang terletak di Ujong Batee, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, yang hancur diterjang oleh tsunami. Kondisi ini membuat AusAID terpanggil dan mengucurkan dana sekitar Rp 35,5 miliar. Bangunan dan fasilitas baru yang diubah menjadi Balai Budidaya Air Payau Ujong Batee ini diharapkan menjadi sumber pendapatan dan lapangan kerja baru di Aceh.

Proses awal rehabilitasi tambak di Bireuen. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 4. Bersama Membangun

67

Geliat Nelayan di PPP Idi


Perbaikan sarana perikanan menjadi fokus BRR pada 20072008. Pelabuhan pendaratan ikan yang telah diperbaiki mencapai 22 unit. Beberapa pelabuhan pendaratan ikan yang sudah dibangun, antara lain Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Idi di Aceh Timur, PPI Pusong di Lhokseumawe, dan PPI Sawang Bau di Aceh Barat Daya. Pelabuhan Perikanan Pantai (P3) Idi, Aceh Timur, telah dibangun BRR dengan dana Rp 15 miliar memiliki potensi yang sangat besar. Banyak kapal besar berukuran 2030 GT melakukan bongkar muat di pelabuhan ini. Saat ini dermaga P3 Idi mampu menampung 20 kapal ukuran 20 GT sekali merapat. Bila ukuran kapal lebih kecil, jumlahnya bisa 30 unit kapal sekali merapat. Sekali merapat dalam kurun waktu seminggu penangkapan, satu kapal ukuran 20 GT bisa membongkar muatan ikan sebanyak lima ton. jenis ikan yang dibongkar bervariasi seperti tuna dan tongkol. Ratarata hasilnya sebesar itulah, tutur Sinaga, nelayan asal Desa Blang Glumpang, Kecamatan Idi Rayeuk. Dari lima ton ikan, Sinaga mampu meraup penghasilan sebesar Rp 50 juta. Wilayah pemasaran para pedagang ikan di P3 Idi telah tergolong cukup luas. Sebab hubungan komunikasi antarpedagang dari berbagai daerah telah terbangun sejak lama. Akibatnya pemasaran ikan dari P3 Idi telah tercipta hingga ke seluruh wilayah Aceh, Sumatera Utara, hingga ke Sumatera Barat. Bila ikan di sini melimpah, pemasarannya bisa sampai ke Riau, kata staf Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) P3 Idi, Alfian. Begitu juga sebaliknya. Bila ikan di P3 Idi lagi sulit, giliran pedagang dari daerah tetangga yang masuk dan menjadikan P3 Idi sebagai sentra pemasaran ke seluruh Aceh. Setiap transaksi yang terjadi, P3 Idi mengutip retribusi berdasarkan jumlah kotak ikan nelayan atau pedagang. Satu kotak ikan, P3 Idi menetapkan tarif Rp 5.000. Masalahnya masih banyak nelayan yang enggan membongkar muatan di P3 Idi bila hasil tangkapannya melonjak hingga mencapai 10 ton. Mereka lebih memilih membawa ikannya ke Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara. Alasannya Pelabuhan Belawan memiliki fasilitas memadai dan ikannya gampang dipasarkan. Memang belum semua fasilitas terpenuhi. Ke depan kami akan terus mengembangkan pelabuhan ini. Bahkan pemerintah telah menyiapkan lahan baru untuk pengembangannya, kata Alfian. Selain membangun pelabuhan ikan, BRR juga membangun balai benih ikan pantai di Busung, Simeulue, dan di Fino, Nias. Sedangkan untuk peningkatan mutu hasil perikanan, telah dibangun pabrik es dan bantuan peralatan kepada Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Lampulo dan Karantina Ikan Sultan Iskandar Muda.

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

68

Kelola Pabrik Es Sendiri


Sebelum bencana, di Desa Tanoh Anoe, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, berdiri sebuah Koperasi Nelayan Aneuk Gampong yang mengelola pabrik es berkapasitas kecil untuk memenuhi kebutuhan nelayan setempat. Namun pabrik ini hancur oleh gelombang tsunami. ADB dan BRR lantas turun tangan. ADB mengucurkan dana sebesar Rp 352,8 juta untuk pendirian bangunan pabrik. Sedangkan mesin pembuat es menelan biaya investasi sebesar Rp 1,6 miliar dengan kapasitas 10 ton atau 200 balok per hari. Masyarakat juga berperan dengan membeli tanah seluas 200 meter untuk lokasi pabrik. Investasi ini membuat masyarakat memiliki rencana untuk membuat wadah baru untuk pengelolaan pabrik es ini agar lebih profesional. Alasannya koperasi lama dianggap sudah tidak lagi representatif. Impian masyarakat telah cukup kuat. Kalau tidak, mereka tidak akan mau menyumbangkan uang untuk membeli tanah yang sekarang dijadikan lokasi pabrik es. Mereka melihat prospek pabrik es sebelum tsunami lumayan menjanjikan, kata Geuchik Tanoh Anoe, Amirullah Basyah.

Perahu Robin yang sudah selesai dibangun menunggu proses serah terima kepada masyarakat penerima manfaat. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 4. Bersama Membangun

69

Mengembalikan Kejayaan Sektor Pertanian


Tongkat Kayu dan Besi Menjadi Tanaman
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Gelombang tsunami membawa sampah, besi, dan batang kayu teronggok menutup areal sawah. Sejumlah besar batu (berupa biji besi), tanah liat atau pasir ikut terbawa dan membuat lapisan tanah (topsoil) juga tersapu oleh gelombang. Kondisi ini mengakibatkan tekstur tanah berubah, timbunan pasir atau tanah liat dapat menyebabkan memadatnya permukaan tanah. Hasil analisis Balai Penelitian Tanah Departemen Pertanian yang menggunakan citra satelit menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang mengalami kerusakan mencapai 20.201 hektare. Kerusakan lahan juga terjadi pada lahan kering yang mencapai 24.345 hektare (Bappenas, 2005). Kerusakan lahan pertanian sebagian besar terjadi oleh beberapa faktor, yaitu salinitas (kegaraman) dan sodisitas (kadar Na) yang tinggi, endapan lumpur laut, timbunan sampah dan puingpuing bangunan, dan rusaknya infrastruktur irigasi/drainase dan jalan. Dampak kerusakan lahan persawahan cukup parah seperti di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, yang mencapai 90 persen. Kondisi ini mengakibatkan warga tak lagi mampu berpikir bagaimana memulihkan kembali kondisi persawahan mereka yang penuh pasir dan sampah besi serta kayu.
Memaksimalkan Hasil Tangkapan Perikanan merupakan potensi penting di Aceh. Dengan garis pantai sepanjang 1.600 kilometer, Aceh bisa menjadi penghasil ikan yang diunggulkan. Agar potensi ini bisa dimaksimalkan oleh nelayan Aceh, BRR menyusun program bantuan: Kapal beserta peralatannya. Tercatat ada 7.109 kapal nelayan berbagai ukuran dan alat tangkap sebanyak 17.748 unit telah diperbaiki BRR. Merehabilitasi lahan tambak seluas 17.444 hektare dari total 20 ribu hektare tambak yang rusak. Proyek rehabilitasi tambak BRR dilanjutkan dengan kerja sama dengan ADB dengan kucuran dana Rp 7,7 miliar. Rehabilitasi tambak juga disertai bantuan agroinput (sarana produksi budidaya tambak) untuk 19.527 hektare, rumpon 197 unit, bagan apung 302 unit, dan pembibitan ikan 63 unit. Membangun Pusat Pengembangan Budidaya Air Payau Regional di Ujong Batee. Kondisi ini membuat AusAID terpanggil dan mengucurkan dana sekitar Rp 35,5 miliar.

70

Berbagai program bantuan diberikan kepada petani agar batang kayu dan besi yang berada di lahan persawahan bisa berubah menjadi tanaman. Menurut Bakhtiar, pendamping dan penyuluh pertanian, awalnya sangat sulit membangkitkan semangat warga untuk memulai kehidupan dari titik awal. Masyarakat di Lhoong ini adalah petani. Kami berupaya mengajak mereka untuk membersihkan kembali lahan persawahan agar mereka bisa bertani seperti semula. Awalnya sangat susah, namun dengan pendekatan yang terusmenerus, mereka akhirnya mau bergerak, papar dia. BRR kemudian mengucurkan dana agar masyarakat yang membersihkan lahan sawahnya diberi upah. Upaya tersebut bertujuan agar sawah masyarakat bersih dan petani memperoleh uang untuk hidup sebelum sawahnya bisa ditanami lagi.

Kini sebanyak 75 persen lahan persawahan di Kecamatan Lhoong sudah bisa dimanfaatkan kembali. Bahkan sawahsawah ini sudah tiga kali dilakukan panen padi dengan hasil yang memuaskan. Adapun 25 persen lahan sawah lainnya belum bisa digunakan karena belum dibersihkan secara benar. Penyebab utama adalah perubahan tekstur tanah yang cukup besar akibat sedimen pasir dan lumpur tsunami yang menutupi lapisan tanah yang subur. Ketebalan sedimen itu bisa mencapai lebih dari 40 cm. Untuk membersihkan dan mengolah lahan tersebut, diperlukan teknologi dan peralatan tertentu, tambah Bakhtiar. Sampai 2008 BRR telah merehabilitasi lahan sawah seluas 18.322 hektare. Rehabilitasi lahan kering seluas 16.875 hektare, pengembangan padi sawah (agroinput) 31.401 hektare, pengembangan lahan kering 20.435 hektare, dan pengadaan alat mesin pertanian sebanyak 15.868 unit. Program ini juga diikuti dengan program pembangunan sarana dan prasarana pertanian, seperti pelaksanaan lining saluran irigasi sepanjang sekitar 388.031 meter. Lining saluran ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan dan penggunaan air.

Tabel 4.2 Membangkitkan Produktivitas Tanaman Pangan dan Holtikultura

REALISASI 20052008 KEGIATAN


Pembangunan Lining Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani Bantuan Materi Usaha Tani Rehabilitasi Lahan Sawah Pengembangan Padi Sawah (Agroinput) Rehabilitasi Lahan Kering Pengembangan Lahan Kering/ Tegalan (Agroinput) Pencetakan Sawah Baru Pembangunan / Rehabilitasi Balai Benih Utama (BBU), Balai Benih Induk (BBI) dan BPP Plus Pembangunan Gudang dan Mesin RMU Pembangunan Balai Pertemuan Petani Pembangunan Gedung Kantor Karantina Tumbuhan Pengadaan Alat Mesin Pertanian (Alat Pertanian Kecil, Traktor 4 WD, Hand Traktor dan Hand Sprayer) Pengadaan Gudang Alsintan dan Saprotan Pendidikan dan Pelatihan Penyuluh Pendamping Penataan/ Penguatan Kelembagaan Petani Bantuan Pembiayaan Pertanian Melalui LKM Pengembangan Terminal Agribisnis Pengembangan Kawasan Tan. Pangan dan Hortikultura Balai Pengujian dan Sertifikasi Benih Rusak Ringan Pembangunan Gedung Benih BPTP Ruang dan Peralatan Lab. BPTP Demplot Teknologi SRI Budidaya Padi Bantuan Riset Pengembangan Kebun Organik dan Nursery Hortikultura

SATUAN
M Ha Ha Ha Ha Ha Ha Unit Unit Unit Unit Unit Unit Orang Paket Paket Unit Kwan Paket Unit Unit ha Paket

APBN

NON APBN

TOTAL
388.031

74.070 313.961 6.200 15.022 18.336 2.601 14.930 907 20 75 156 1 4.186 24 881 273 32 1 4 1 1 1 105 1 597 3.300 13.065 14.274 5.504 11.682 2

18.322 31.401 16.875 20.435 907 20 75 156 1 15.868 24 881 273 32 1 4 1 1 1 107 1

Tingkatkan Produksi dengan SRI


Setelah sebagian besar lahan yang rusak direhabilitasi, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana memperbaiki produktivitas yang masih belum optimal. Produktivitas ratarata padi di Aceh baru sekitar 4,5 ton per hektare, sementara

Bagian 4. Bersama Membangun

6.200

71

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

72

Ibuibu petani di Nagan Raya memanen sawah yang digarapnya. Foto: Dokumentasi BRR

potensi produktivitas bibit unggul Ciherang yang ditanam sekitar 56 ton per hektare. Memang pada beberapa lokasi yang sistem irigasinya mendukung, dan petaninya disiplin, produktivitas potensial tersebut bisa dicapai, namun pada lokasi tadah hujan, produktivitasnya justru jauh di bawah 4,5 ton per hektare. Guna mendongkrak hasil panen, BRR bekerja sama dengan ADB memperkenalkan teknologi system of rice intensification (SRI). SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan cara hanya mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara. Metode ini ditengarai berhasil meningkatkan produktivitas padi sebesar 50 persen, bahkan di beberapa tempat di luar NAD mencapai lebih dari 300 persen. Penanaman padi dengan teknologi SRI pada 2008 dilakukan di 10 kabupaten di Provinsi NAD pada lahan sekitar 115 hektare (tiap kabupaten menanam padi teknologi SRI di lahan 10 hektare dan 25 hektare di Kabupaten Aceh Besar). Penanaman tersebut dalam bentuk demplot atau di lahan masyarakat dengan luas lima hektare per demplot.

Data tersebut menggambarkan bahwa teknologi SRI yang diperkenalkan dapat meningkatkan produktivitas sampai 111 persen (naik dari ratarata 4,5 ton per hektare menjadi 9,5 ton per hektare). Penanaman padi metode SRI di lahan demplot tersebut terus diupayakan agar dapat menjadi contoh dan tempat belajar bagi petani yang ingin menerapkan teknologi yang sama. Selain produktivitas yang tinggi, keuntungan lain dari teknologi ini adalah hemat air. Kemudian juga hemat biaya karena benih yang dibutuhkan hanya lima kilogram per hektare, tidak membutuhkan biaya pencabutan bibit, tidak membutuhkan biaya pindah bibit sehingga tenaga tanam berkurang. Waktu panen juga lebih awal karena bibit dapat ditanam setelah 512 hari penyemaian. Selain itu, teknologi ini juga lebih ramah lingkungan karena menggunakan pupuk organik. Produksinya biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan padi yang ditanam dengan teknologi lain.

Kacang Mulai Tumbuh di Aceh


Program BRR di sektor pertanian lainnya adalah pemberian dana bantuan usaha pertanian. Simaklah kisah sukses petani dari Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Nagan Raya. Salman adalah ketua kelompok tani yang dipercaya untuk mengelola dana. Dana yang Tabel 4.3 Produktivitas Padi dengan Teknologi SRI disalurkan pada 20052006 sebesar Rp 350 juta untuk empat kelompok, termasuk kelompok Salman. Dana Produktivitas Produktivitas No Lokasi Ratarata bantuan BRR ini dipakai untuk lahan pertanian kering (ton/ha) (ton/ha) seluas 25 hektare di Cot Rambong dan Kuala Tripa. Setelah 3,5 bulan, Salman dan kelompoknya sudah Lambugak, Kuta Cot Glie, 2 69 bisa menikmati hasilnya. Hasil panen dijual langsung Aceh Besar ke pabrik pengolahan kacang di Nagan Raya dengan 3 Samalanga, Bireun 813 harga jual Rp 6.500 per kilogram. Keuntungan yang Produktivitas ratarata NAD diperoleh kelompok Salman mencapai Rp 3 juta per 1,5 hektare. Ya, tergantung harga pasar, kata dia. Selain menjual langsung ke pabrik pengolah kacang, kelompok Salman juga memasarkan hasil panennya ke penampung yang ada di Nagan Raya, Meulaboh, dan Blang Pidie. Saat ini Salman sedang mempersiapkan pembukaan lahan untuk penanaman cabai organik. Dia berharap, hasil panen cabai yang dikembangkannya bisa menembus pasar di daerah lain, seperti di Medan.
1 Mereudu, Pidie Jaya 1011

10.5 7.5

10.5 9.5

Bagian 4. Bersama Membangun

Awalnya petani banyak yang tidak percaya karena padi yang ditanam hanya satu helai saja. Akan tetapi setelah petani mengikuti metode yang disampaikan, anakan padi berkembang dengan cepat dan bulirnya pun keluar lebih banyak. Setelah itu banyak petani yang datang ke lokasi demplot dan meminta agar mereka diajari teknologi SRI. Hasilnya produktivitas tertinggi yang diperoleh mencapai 13 ton per hektare, sedangkan produktivitas ratarata adalah sekitar 9,5 ton per hektare.

73

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

74

Panen kacang tanah di Abdya disaksikan oleh para pejabat Pemda dan BRR. Foto: Dokumentasi BRR

Mengawinkan Acong dan Jaka


Acong bukanlah pemuda keturunan Cina. jaka juga bukan pemuda keturunan jawa. Acong jaka adalah gerakan untuk pengembangkan budidaya palawija di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Kami menyebutnya sebagai gerakan Acong jaka, ungkap Kepala Dinas Pertanian Abdya, Zainuddin. Acong merupakan kependekan dari adu carong atau adu kepandaian petani dalam memproduksi padi, sedangkan jaka berasal dari kata budidaya palawija dan kacangkacangan. Agar gerakan Acong jaka ini berhasil, BRR membangun Balai Benih Utama (BBU) Alue Peunawa di Abdya. BBU ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan benih palawija bagi masyarakat Aceh. Bagi Abdya, budidaya palawija dan kacangkacangan bukanlah hal baru. Pada awal 1990an pengolahan kacang tanah di daerah ini sudah sampai tahap packaging untuk dipasarkan ke luar daerah. Tapi, upaya tersebut terhenti akibat konflik dan BBU di Alue Peunawa dibakar, ungkap Zainuddin. Selain kacang tanah, Abdya juga segera mengembangkan benih kedelai, seperti kedelai unggulan Anjasmoro dari jawa Timur. Harapannya, kacang kedelai ini mampu dikembangkan di Abdya. Zainuddin yakin, pengembangan palawija dan kacangkacangan dapat membuat pendapatan petani meningkat.

Selain itu, pengelola BBU juga terkendala birokrasi dan pendanaan. Manajer BBU, Mahadi, berharap balai itu dapat berfungsi dengan lebih baik di masa datang. Bila kita memiliki anggaran sendiri, tak perlu birokrasi yang berbelit seperti selama ini, katanya. Mahadi bermimpi petani Kuala Batee dan Babahrot dapat bergairah kembali untuk menanam palawija dan kacangkacangan. Saya teringat, pertengahan 1990an, di sini adalah daerah pembudidayaan kacang tanah yang luar biasa. Waktu itu, mereka panen hingga malam hari, kisah Mahadi.

Jagoan Si Kipas Merah


Setelah bencana tsunami, muncul pendekar kipas merah di Kabupaten Bireuen. Kipas merah bukan pendekar jago berkelahi, melainkan nama varietas unggul kedelai yang mampu menghasilkan 3,5 ton kedelai per hektare dengan ratarata produksi 1,8 ton. Kedelai kipas merah ini akan menjadi prioritas pembudidayaan di tingkat Nasional untuk menutupi kekurangan produksi komoditas ini di Indonesia. Kipas merah lahir dari tangantangan terampil di balai benih induk (BBI) yang dibangun oleh BRR. Program kerja sama antara BRR dan ADB kali ini membangun fasilitas BBI berupa kantor induk dan lahan seluas empat hektare yang dilengkapi ruang pengolahan, laboratorium, gudang benih, gudang, rumah, dan peralatan pertanian (traktor, thresser, alat pengolahan benih). Di lokasi ini juga tersedia satu lahan pembibitan benihbenih unggul padi dan kedelai. Menurut Dr. Garry A. Shea, Team Leader Consultant ETESPADB Pertanian, agar SDM terampil, telah diberikan pelatihan bagi petugas BBI dan kelompok tani yang terkait dengan penangkaran benih. Target kita, Aceh harus punya kapasitas untuk memproduksi benih yang cukup dan berlabel, kata dia. ADB juga telah membangun 11 unit gedung balai penyuluhan pertanian (BPP) plus di wilayah yang terkena tsunami. Gedung tersebut dilengkapi dengan fasilitas pendukung, seperti multimedia dan mebel. Diharapkan jika projek ETESPADB selesai di Aceh, maka dapat dilanjutkan oleh dinas pertanian setempat. Saya optimis, jika semua pihak mendukung, masalah benih di Aceh ke depan tidak jadi kendala lagi, ujar Shea. Satu prestasi tahap awal kebangkitan kedelai Bireuen adalah dilepasnya satu kedelai varietas unggul nasional asal Bireuen pada Maret 2008 lalu. Bibit varietas unggul tersebut adalah kedelai kipas merah. Kedelai kipas merah ini akan menjadi prioritas pembudidayaan di tingkat nasional untuk menutupi kekurangan produksi komoditas ini di Indonesia.

Bagian 4. Bersama Membangun

Zainuddin mengakui bila BBU ini belum berfungsi maksimal. Alasannya lahan yang ada tak dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembenihan akibat saluran air yang belum tersedia. Maklum, BBU memang belum lama rampung dan diserahkan BRR kepada Pemda Abdya. Di lahan sekitar kompleks balai itu tersedia lahan seluas empat hektare, namun saluran pembuangannya air belum tertata dengan baik sehingga belum dapat difungsikan sesuai harapan, papar Zainuddin.

75

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Sebelumnya, BBI Bireuen sempat berjaya. Pada 19992000 adalah masa keemasan kedelai Aceh yang berasal dari Bireuen. Bahkan saat itu BBI Bireuen berhasil melepas komoditas unggul nasional, yakni kedelai kipas putih. Namun, akibat konflik yang berkepanjangan, BBI lama vakum dan tak bisa melahirkan benih kedelai varietas unggulan. Program lain yang tidak kalah penting adalah bantuan alatalat pertanian. Petani diberi bantuan untuk menggunakan mesin pertanian, seperti traktor berpenggerak ganda, traktor tangan, dan penyemprot tangan. Alatalat pertanian ini diharapkan dapat menjadi penunjang aktivitas petani.
Tabel 4.4. Pembangunan di Bidang Perkebunan

Emas Hijau di Kebun Rakyat


TOTAL 43.020 10

76

REALISASI 20052008 KEGIATAN Pembangunan Jalan Produksi Rehabilitasi Kantor Rehab, Intensifikasi, Penanaman, Perawatan, Tanaman Perkebunan (Kelapa Sawit, Kakao, Kelapa, karet) Penyediaan Bibit Tanaman (Kelapa Sawit dan Kakao) Pendidikan, Pelatihan Fasilitator dan Penyuluh Pendamping Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat Peralatan Pengolahan Hasil Kebun Rakyat Pembangunan Gd. Lab. Analisa Kualitas Hasil Produksi Kantor Oprasional Pengembangan Kawasan Agribisnis Perkebunan Sawit (100 M2) Penelitian dan Pengembangan Teknologi Rumah Dinas Kepala Laboratorium dan Staf Pembangunan Sarana UPTD Nilam SATUAN M Unit APBN 43.020 10 NONAPBN

Ha

17.723

16.152

33.875

Batang

2.807.566

3.955.959

6.763.525

Di bidang perkebunan, BRR juga telah merehabilitasi dan mengembangkan tanaman perkebunan, seperti sawit, kakao, karet, dan kelapa yang luasnya mencapai 33.875 hektare. Program rehabilitasi ini berlokasi di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh jaya, Biruen, Aceh Besar, dan Simeulue. Tanaman kelapa sawit yang dikembangkan di Aceh Barat seluas 1.000 hektare, Nagan Raya seluas 1.000 hektare, dan Aceh jaya seluas1.000 hektare, dan Simeulue seluas 500 hektare. Tiap petani memperoleh jatah pembagian lahan kelapa sawit sekitar dua hektare. Saat ini tanaman kelapa sawit ini yang dikelola petani ada yang sudah berumur 23 tahun. Diharapkan pada tahun keempat tanaman petani tersebut sudah menghasilkan. Di samping itu, telah dilaksanakan pendidikan dan pelatihan untuk 85 orang fasilitator dan penyuluh pendamping. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak di lapangan sehingga program di bidang perkebunan ini dapat berjalan dengan baik. Kemudian sebanyak 770 petani juga dilatih agar kemampuan budidaya mereka di bidang perkebunan menjadi lebih baik.

Orang Orang Paket Paket

85 770 52

85 770 52

Unit

Paket Unit Paket

2 1

2 1

Ketawa Bersama Etawa


Kambing keturunan etawa bisa membuat ketawa pemeliharanya. Selain daging dan susu kambing etawa yang laris, kencing dan kotoran etawa pun laku dijual untuk dijadikan pupuk. Dalam upaya membangkitkan ekonomi rakyat yang terkena bencana, BRR menggagas program bantuan ternak kambing keturunan etawa. Pengadaan kambing ini berjumlah 1.127 ekor dengan menggunakan dana bantuan ETESPADB. Bantuan tahap pertama baru bisa diserahkan 334 ekor kambing karena kontraktor penyedia ternak tidak mampu memenuhi syarat kualitas kambing yang diinginkan BRR. Sisa sebanyak 793 ekor kambing dipilih melalui proses bantuan langsung masyarakat (BLM). Dengan sistem ini pengadaan kambing diserahkan langsung kepada masyarakat di bawah pengawasan Project Management Unit kawasan. Pengelolaan ternak kambing diserahkan kepada enam kelompok dengan jumlah anggota 161 orang. jumlah anggota tiap kelompok berbeda. Sebanyak empat kelompok yang berlokasi di Desa Panca, Kabupaten Aceh Besar, yakni kelompok Blang Leupie berjumlah 34 orang, Lhokkeutapang (26 orang), jambo Kulat (26 orang), dan Bengga (25 orang). Dua kelompok lainnya berada di Desa Panca Kubu, Aceh Besar, yang jumlah anggotanya masingmasing 26 orang. Setiap anggota kelompok mendapatkan tujuh ekor kambing (enam betina dan satu ekor kambing jantan). Pola perguliran adalah dengan sistem 7103 (terima tujuh ekor, kembali 10 ekor dalam waktu tiga tahun). Secara umum, program ini sudah mulai berkembang. Sudah ada kambing yang melahirkan. Namun, sayang, ada bayi kambing itu mati terinjak kambing dewasa karena tidak adanya pemisahan kandang. BRR juga mengembangkan proyek bantuan untuk peternakan ayam. Peternakan yang berlokasi di Desa Saree, Aceh Besar, ini dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UTPD) Unggas, Dinas Pertanian Provinsi NAD. Bantuan yang diberikan berupa 10 ribu ekor ayam untuk dikembangkan. Menurut M. Nasir, penanggung jawab peternakan ayam, dengan jumlah ayam yang mencapai 13 ribu ekor, setiap harinya dihasilkan 11.50011.600 butir telur ayam. Telurtelur ini dipasarkan di Saree dan Kabupaten Pidie. Selain mengembangkan ternak di Kabupaten Aceh Besar, BRR juga mengembangkan peternakan di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur. Program unggulan pengembangan kawasan peternakan ini dirancang untuk menekan harga daging dalam jangka panjang. Program hasil kerja sama dengan dinas peternakan di tiap kabupaten ini diterapkan dengan membentuk Project Management Unit (PMU). Artinya, pemerintah daerah sebagai pengelola sekaligus membina kelompok peternak yang ikut serta dalam program tersebut. Hingga kini, sudah dilaksanakan program restocking ternak (ternak besar, kecil, dan unggas) sebanyak 58.877 ekor. Sementara itu untuk menjaga populasi yang sudah ada, BRR melakukan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular untuk ternak sebanyak 165 ribu ekor.
Bagian 4. Bersama Membangun

77

Tabel 4.5. Pembangunan di Bidang Peternakan

REALISASI 20052008 KEGIATAN EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan Restocking Ternak (Besar, Kecil, Unggas) Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Pelayanan Inseminasi Buatan Pembangunan Poskeswan dan Gudang Fasilitas IB Pembangunan Pasar Hewan Tempat Penjualan Daging Pembangunan Tempat/ Rumah Pemotongan Ternak Pembangunan BPP, Gedung Karantina Hewan dan Laboratorium Pembangunan Rumah Paramedis Pembangunan Kandang Isolasi, Penggemukan Ternak dan Kandang Produksi Ternak Unggas Pengadaan Storage N2 Cair Lengkap Peningkatan Kegiatan Lab. dan Obatobatan Poskeswan BPLM Kandang Ternak Pola Kemitraan Pelatihan Penyuluh dan Petugas Inseminator Pengembangan Kawasan Peternakan Revitalisasi Research Station Peternakan Pemb. Lab. Kesehatan Hewan Type A (Lengkap dengan Peralatan Lab. dan Mebelair) Pembangunan Tempat Instalasi Karantina SATUAN Ekor Ekor Dosis Unit Unit Unit Unit Unit Unit APBN 56.180 165.000 48.900 20 2 9 7 2 6 NON APBN 2.697 1 1 TOTAL 58.877 165.000 48.900 20 2 10 7 2 7

Tak ketinggalan, BRR juga meningkatkan kapasitas penyuluh peternakan dan petugas inseminator melalui kegiatan pelatihan untuk 250 orang penyuluh. Fasilitas pendukung peternakan seperti pos kesehatan hewan, gudang inseminasi buatan, pembangunan pasar hewan, tempat penjualan daging, pembangunan gedung karantina hewan, dan laboratorium juga telah dibangun.

Pisau Potong Kembali Tajam


Gelombang tsunami membuat rumah potong hewan (RPH) di Kedah, Banda Aceh, rata dengan tanah. Masyarakat Banda Aceh lantas memotong hewan di sembarang tempat, di bawah pohon kelapa maupun di kebunkebun penduduk. Kondisi ini menjadikan daging yang dihasilkan kurang memenuhi kadar aman, sehat, utuh, dan higienis. Padahal dagingdaging itu dipasok ke pasar di Banda Aceh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seharihari. Kemudian muncul usul dari Dinas Peternakan kepada BRR untuk membuat satu RPH yang representatif. BRR menyambut baik usulan itu dan berharap daging hasil pemotongan di RPH ini betulbetul memenuhi standar aman, sehat, utuh, dan higienis (ASUH). RPH baru dibangun BRR pada 2006 dengan dana ADB senilai Rp 2 miliar. RPH ini mampu memotong 15 ekor sapi per hari dan kapasitas penampungan mencapai 60 ekor. Selain itu juga dibangun laboratorium untuk pemeriksaan daging secara cepat, kendaraan operasional, dan pengolahan limbah. Ketika dibangun, lokasi RPH masih kosong dengan fasilitas pengolahan limbah. Tapi setelah RPH dibangun, pembangunan rumah makin pesat. Akibatnya, lokasi RPH berada

78

Unit

4.081

32.480

36.561

Paket Paket Paket Orang Kwan Paket Paket Unit

1 54 165 250 6 1 1 1

1 54 165 250 6 1 1 1

di tengah permukiman. Limbah yang dihasilkan RPH ditampung di bak penampungan. Namun, sayangnya, limbah belum diolah menjadi pupuk kompos. Sedangkan untuk limbah cair, BRR juga telah membangun saluran pipa yang langsung menuju ke laut dengan melalui proses penyaringan.

Pembibitan sawit di Aceh Barat, Foto: Dokumentasi BRR

Merangkul Masyarakat Sekitar Hutan


Salah satu program utama Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha adalah bidang ekonomi kehutanan. Program ini bertujuan untuk pemulihan prasarana dan sarana pemerintah di bidang sumber daya lahan dan lingkungan hidup serta pemulihan hutan, termasuk rehabilitasi hutan bakau, sabuk hijau, ruang terbuka hijau, dan kawasan lindung. Program ini juga menyangkut pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan dan peningkatan kapasitas SDM kehutanan seperti penjaga hutan.

Ganja Berbuah Durian


Saat Aceh masih didera konflik, ganja menjadi salah satu persoalan yang kerap muncul di berbagai daerah di Aceh. Upaya pemberantasan tanaman ganja sudah dilakukan sejak dulu. Di masa kepemimpinan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud (19932000), upaya penuntasan ganja gencar dilakukan, tetapi tak juga tuntas. Ganja terus bermunculan di berbagai daerah. Hal ini membuat pimpinan daerah menelurkan program pemberdayaan petani dan mafia ganja agar berubah menjadi petani durian.

Bagian 4. Bersama Membangun

79

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

80

Peternak kambing Etawa di Aceh Jaya. Foto: Dokumentasi BRR

BRR dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana juga memanfaatkan program ini. Program senilai Rp 1 miliar ini didanai DIPA 2007 mulai digarap Oktober 2007. Selama tiga bulan BRR mendanai program ini hingga masyarakat bisa berkembang dengan kemampuan yang ada. Dana BRR dipakai untuk pembersihan lahan, pengadaan bibit durian, peralatan petani serta pupuk. Sedangkan kawat pagar tak dibantu BRR. Masyarakat harus mengakali dengan membeli kawat bronjong dari dana bantuan alat partanian. jika tidak ada pagar, tanaman mereka tak akan selamat digasak babi dan beruang. Masyarakat diharapkan mampu mengubah ketergantungan pada tanaman terlarang. Selain itu kejayaan tanaman durian yang sebelumnya menjadi andalan warga Lamteubam, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar, bisa pulih kembali. Bantuan ini disambut gembira oleh warga permukiman Lamteubam, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar. Teungku Muslim AlHamsyi, pimpinan Pondok Pesantren Darun Nahli, menyatakan, warga desa yang sebelumnya menjalankan bisnis ganja kini bisa beralih ke program ini. Selain itu, tanaman tumpang sari jenis kedelai yang dihasilkan dari lahan durian membuktikan bahwa program ini tidak siasia. Selain mengganti tanaman ganja dengan pohon durian, BRR juga di antaranya membantu penanaman mangga untuk menghijaukan kembali hutan. Hasil dari tanaman buahbuahan ini untuk menambah pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Bantuan

bibit tanaman ini juga disertai bantuan penyuluhan cara menanamnya. Program lain yang telah dilakukan BRR adalah merehabilitasi hutan bakau dan hutan pantai. Namun, perubahan kondisi lingkungan yang drastis akibat tsunami menjadi kendala yang menghambat pertumbuhan tanaman bakau dan hutan pantai secara optimal. Adapun di bidang SDM, BRR melakukan pelatihan untuk jagawana dan penyuluh atau fasilitator kehutanan. Pelatihan ini juga dilakukan untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan agar tumbuh kesadaran mereka tentang pentingnya fungsi hutan dan kawasan penyangga.

Tabel 4.6 Pembangunan di Bidang Ekonomi Kehutanan

REALISASI 20052008 KEGIATAN Rehabilitasi Fasilitas Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Pengukuhan Kawasan Hutan (Tata Batas, Rekonstruksi, Orientasi dan Pemeliharaan Batas) Pengembangan Database Kehutanan dan Pelatihan Sistem Informasi Kehutanan Rehabilitasi/ Pemeliharaan Hutan Alam dan Lahan Peningkatan Usaha Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Rehabilitasi Hutan Pantai Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Lokal Rehabilitasi Hutan Kota Restorasi Kawasan Bufferzone Transplantasi Terumbu Karang Pembangunan Laboratorium Klimatologi Lapangan Perbaikan dan Pengembangan Fasilitas Ekowisata (Wilayah Wisata) Pengembangan Hasil Hutan Nonkayu Penghijauan Reservoir Waduk Alue Baroh Desa Klip Pengembangan Hutan Rakyat Pengembangan Hutan Pendidikan STIK (Belanja Sosial) Pendidikan dan pelatihan Teknis Petugas Kehutanan Pembuatan Tanaman Hutan Mangrove SATUAN unit APBN 1 NON APBN TOTAL Bagian 4. Bersama Membangun 1

Km

70

70

Unit Ha Klip Ha Paket Ha Ha Paket Paket paket Kab Paket Kab Paket Org Ha

5 1.512 24 748 8 169 271 3 1 7 7 1 13 1 160 8.660

167.304 1.875 62 1.526

5 168.816 24 2.623 8 169 333 3 1 7 7 1 13 1 160 10.186

81

Memajukan Pariwisata Aceh


Ekonomi kehutanan tak lepas dari ekowisata. Beberapa kegiatan pariwisata yang dianggap penting adalah studi pengembangan wisata, pelatihanpelatihan bidang pariwisata, dan pemugaran pariwisata. Mulai 2 Maret sampai 2 April 2008, BRR mengadakan program magang bagi 70 pegawai negeri sipil (PNS) di sektor pariwisata yang dilaksanakan di Bali. Program ini merupakan pembekalan kepada PNS yang bertugas di dinas kebudayaan dan pariwisata, di sekretariat daerah, dan asosiasi kepariwisataan seNAD. Pelatihan dibagi dalam tiga bidang, yaitu kelembagaan usaha kepariwisataan, pemandu wisata, dan bidang industri rumah tangga produk suvenir. Materi pelatihan yang diberikan antara lain pengantar pariwisata, dampak dan manfaat pariwisata terhadap ekonomi, sosial dan budaya, pariwisata dan sumber daya alam dan budaya, wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus, rencana pengembangan objek daya tarik wisata (ODTW), serta pengelolaan ODTW yang aman dan nyaman. Peserta juga mendapat

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

82

Inseminasi buatan di kawasan peternakan Blang Uboubo. Foto: Dokumentasi BRR

materi pelatihan berupa strategi pengembangan industri kerajinan, pemberdayaan masyarakat dalam pariwisata, daerah perajin sebagai atraksi wisata, dunia informasi dan teknologi, serta peluang pemasaran produk.

Mencicipi Simpang Mesra


Bicara wisata tentunya tak melupakan wisata kuliner. Wisata jajanan ini telah dikembangkan di beberapa tempat di Aceh. Salah satu pengembangan wisata makanan berlokasi di Simpang Mesra, Banda Aceh. Lokasi tempat wisata jajanan ini di bundaran persimpangan jalan menuju Krueng Raya dan Darussalam. Terkenal dengan nama Simpang Mesra karena lokasinya dekat tikungan tajam yang membuat penumpang bus harus miring berdesakan dengan penumpang di sebelahnya. Akhirnya tempat ini terkenal dengan sebutan Simpang Mesra. jarak Simpang Mesra sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Banda Aceh atau sekitar 10 menit dengan mengendarai mobil. Fasilitas yang dikelola Pemerintah Kota Banda Aceh ini menyewakan 10 warung untuk berjualan ikan bakar sambil menikmati pemandangan bantaran saluran pengelak banjir (flood way) Krueng Aceh yang melintas di sisi warung. Wisata jajanan ini telah menjadi salah satu contoh keberhasilan BRR dalam mengangkat perekonomian di bidang pariwisata.

Menjemput Peluang Usaha


Aceh benarbenar dibuat lumpuh oleh gelombang dahsyat tsunami. Tercatat ada 5.176 usaha kecil dan menengah (UKM), 7.529 unit warung usaha, 1.191 unit restoran, 25 unit perbanka, 4 unit BPR, dan 195 unit pasar hilang ditelan bencana. Berikut ini berbagai program BRR untuk memulihkan usaha masyarakat Aceh.

Batik Aceh Terbang ke San Francisco


Batik bukan monopoli Solo, Yogyakarta, atau Pekalongan. Aceh juga memiliki batik. Ciri batik Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Batik Aceh ratarata menampilkan unsur alam dan budaya dalam paduan warnawarna berani, yakni merah, hijau, kuning, merah muda, dan sebagainya. Keberanian memainkan warna itulah yang memberikan kesan batik Aceh glamor dan indah. Potensi batik Aceh ini dilirik BRR untuk dikembangkan. Bantuan yang diberikan BRR berupa pembangunan gedung Rumoh Batek Aceh (RBA) di Desa Manyang, Kecamatan Ingin jaya, Aceh Besar. Pembangunan gedung yang menelan biaya Rp 2,3 miliar ini memiliki tiga ruang yang dipakai untuk fashion show, ruang pameran, dan ruang produksi yang terletak di bagian belakang gedung. Selain membangun gedung, BRR membuat program untuk mendukung pemasaran, seperti gerai yang berlokasi di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, dan Hotel Hermes Palace di Banda Aceh. Untuk pemasaran ke luar negeri, pengelola RBA menampilkan batik Aceh di www.visitaceh. com agar batik Aceh bisa go international.
Tabel 4.7 Pembangunan di Bidang Pariwisata

REALISASI 20052008 KEGIATAN Pemugaran Kawasan Wisata dan Pengembangan Sarana/ Prasarana Objek Wisata Pelatihan Bidang Pariwisata Penyelenggaraan Pesta Rakyat Pengembangan dan Studi Pengembangan Wisata Pengembangan Usaha Ekonomi Pariwisata Pembangunan Pusat Pasar Kuliner Pembangunan Fasilitas Wisata Kuliner di Sepanjang Kuala Cakra Pembangunan Sarana dan Prasarana Hutan Pendidikan Pengembangan Budaya Lobster Air Pengembangan Paket Wisata Terpadu (Termasuk Bus Wisata) SATUAN APBN 29 13 1 10 168 1 1 2 1 1 NON APBN 9 TOTAL 29 13 10 10 168 1 1 2 1 1

Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket Paket

Hasilnya, pada Agustus 2008, pengelola RBA memperoleh undangan fashion show di Yogyakarta. Bahkan batikbatik produksi masyarakat Manyang ini tampil di peragaan busana di San Francisco, Amerika Serikat, pada September 2008. Namun, masih ada kendala yang menjerat RBA, seperti bahan baku dan SDM. Selama ini bahan baku, baik kain maupun obat untuk membatik, masih didatangkan dari Pekalongan, jawa Tengah. Bahan produksi lokal memang ada, tapi kualitasnya masih rendah, kata Manajer RBA, Ega Trenggana Rakasiwi.

Bagian 4. Bersama Membangun

83

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

84

Anakanak membantu bongkar bibit durian di Lamteuba, Aceh Besar. Foto: Dokumentasi BRR

Di sisi SDM, RBA baru memiliki 21 pembatik tanpa ada desainer khusus batik. Selama ini RBA masih meminta jasa desainer luar untuk mendesain batik. Begitu pula dengan menjahit batik yang masih diberikan kepada pihak luar.

Sukses Bersama LKM


Masalah yang tak kalah penting dalam pengembangan UKM adalah permodalan. Sejak BRR berdiri, masyarakat berduyunduyun mengajukan proposal untuk modal usaha. Kondisi ini membuat BRR berpikir lebih keras karena korban bencana tidak memiliki syarat untuk menerima bantuan lembaga keuangan. Kemudian lahirlah lembaga keuangan mikro (LKM). Pembentukan LKM sebagai lembaga untuk memenuhi kebutuhan modal bagi masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga perbankan. LKM didesain untuk penanganan pemberdayaan ekonomi pascabencana secara berkelanjutan. Misi yang diemban oleh LKM adalah menciptakan akses keuangan untuk modal usaha bagi korban tsunami melalui skema LKM, mewujudkan LKM yang mandiri, profesional dan berkelanjutan pascarehabilitasi dan rekonstruksi, serta menciptakan sistem pengembangan dan pengawasan LKM berbasis masyarakat.

Pada fase rehabilitasi (20052006) difasilitasi pemberdayaan kembali LKM/ koperasi di wilayah yang terkena bencana berupa pengucuran bantuan dana bergulir. jumlah LKM/koperasi yang telah difasilitasi mencapai 146 unit dengan produk pembiayaan berbentuk komersial dan nonkomersial. Sedangkan pada fase rekonstruksi (pada 2007), jumlah LKM/ koperasi yang difasilitasi sebanyak 63 unit ditambah 60 unit koperasi terpadu. LKM/ koperasi diberdayakan di daerah bencana dan di luar daerah bencana. Program pemberdayaan untuk LKM/koperasi ini bertujuan agar masyarakat yang tidak terkena bencana juga bisa menerima modal kerja. Total jumlah LKM/koperasi yang telah difasilitasi pemberdayaannya menjadi 269 unit. Sedangkan pada 2008, tidak ada program pemberdayaan LKM/ koperasi karena dirasa sudah cukup.

Tabel 4.8 Penguatan Indusri Kecil

REALISASI 20052008 KEGIATAN Bantuan Langsung Masyarakat Industri Pilot Project Pengembangan Industri Garam Rakyat Fasilitas Pendukung Industri Pengadaan Peralatan Pendukung Alat Produksi dan Peyelesaian Bangunan Gedung Peningkatan Kualitas Produk Pada Sentra Industri dan Pengembangan Kerajinan BLM Penguatan Perajin Sentra dan Nonsentra Industri BLM Modal LKM Bantuan Pengembangan Industri kepada Dekranas Bantuan Pengembangan Ekonomi Produktif Pembangunan Pabrik Es SATUAN Orang Lokasi Unit Paket APBN 5.453 3 5 5 NON APBN 1.163 TOTAL 5.453 3 1.168 5 Bagian 4. Bersama Membangun

Paket Paket Unit Paket Kab Paket

1 31 139 1 4 3 23 1 1

1 31 139 1 4 3 27 1 1

85

Strategi pengembangan LKM adalah Bantuan Pondok Kerja, Modal dan Peralatan Kerja untuk Unit menggunakan dan mengembangkan Pengembangan KUD LKM yang sudah ada, terbuka untuk Pengembangan Desa Konveksi paket berbagai model dan pendekatan LKM, Pengembangan Gedung promosi dan menggunakan prinsipprinsip yang Paket produksi hasil kerajinan sudah terbukti keberhasilannya, dan masyarakat bisa memilih mana yang paling tepat. Selain itu, juga dilakukan strategi dengan melalui pengawasan, pendampingan, monitoring, dan evaluasi untuk mengubah persepsi dari program bantuan cumacuma ke program yang berkelanjutan (pengembalian dengan cara cicilan), penguatan SDM melalui pelatihan yang berkelanjutan, dan LKM diharapkan bisa terbuka untuk bermitra dengan berbagai lembaga atau institusi baik lokal, nasional, dan internasional. Kebijakan yang diambil dibedakan menjadi empat tahapan. Tahap pertama yang dilakukan 2005 hingga April 2006 difokuskan pada kecepatan penanganan program, lokasi LKM terpilih dekat titik bencana, kombinasi model sosial (pinjaman tanpa bunga atau bagi hasil), pengenalan pinjaman berbunga atau bagi hasil, dan peletakan fondasi paradigma baru tentang pengelolaan LKM. Tahap kedua pada Mei 2006 diarahkan untuk mengawal kesinambungan program melalui kegiatan, antara lain LKM yang dipilih berlokasi dekat dengan pasar, pinjaman berbunga dan tidak ada lagi program sosial, laporan keuangan berbasis sistem TI, pendampingan dan magang di LKM.

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

86

Kawasan wisata kuliner Simpang Mesra, Banda Aceh. Foto: Dokumentasi BRR

Pada tahap ketiga pada 2007, difokuskan pada pengenalan good cooperative governance (audit oleh kantor akuntan publik), pelatihan manajerial dan spesialisasi, program penyehatan LKM, dan penguatan sistem TI. Sedangkan tahap keempat pada 2008 lebih fokus pada penguatan sistem pengawasan dan antikorupsi, pemberlakuan sanksi dan penghargaan, komunikasi dan peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan, serta dokumentasi pembelajaran program. Masalahnya membuat LKM bukanlah pekerjaan mudah. Banyak kendala yang melilit pendirian LKM. Akibat kendalakendala ini sekitar 50 persen LKM masih belum beroperasi dengan baik. Berbagai kendala dan tantangan dalam mengembangkan LKM antara lain rendahnya tingkat pengembalian pinjaman. Upaya mengatasinya dilakukan pembentukan task force sosialisasi, penguatan sistem penagihan, dan proses seleksi pemetik manfaat serta usulan kegiatan usaha yang ketat. Kendala lain adalah adanya paradigma masyarakat yang berpendapat bahwa dana bergulir LKM adalah dana pinjaman yang tak perlu dikembalikan. Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha lantas mengambil langkahlangkah dengan monitoring dan evaluasi yang ketat terhadap pelaksanaan program, sosialisasi melalui pertemuan, brosur dan pamflet, serta melakukan pendekatan pembinaan pada tahap awal dan proses hukum pada tahap terakhir bila diperlukan.

Di sisi SDM, kendala yang dialami dalam pengembangan LKM adalah rendahnya kualitas pengelola LKM. Berbagai peningkatan kualitas pengelola telah dilakukan dengan percepatan program bantuan teknis dan manajemen, pelatihan, dan magang pengelola LKM, dan pembentukan Aceh International Society of Microfinance (AISMIF). Sedangkan mengenai sistem operasional dan pelaporan terus dibenahi dengan cara penyiapan manual operasional, manual program, manual pinjaman, manual pengawasan, manual personalia, penguatan sistem komputerisasi dan TI, pendampingan dan pelatihan, dan penyiapan database aktivitas dan kinerja LKM. LKM juga memiliki masalah dalam pengawasan. Upaya untuk meningkatkan pengawasan adalah dilakukan audit oleh kantor akuntan independen, menindaklanjuti laporan pemeriksaan internal BRR dan laporan masyarakat, pembentukan Satuan Pengawas dan Antikorupsi (SPAK) LKM serta pengawasan berbasis masyarakat. Kendala tak hanya berhenti di sini. Pembinaan dan pendampingan juga harus dijaga kesinambungannya melalui peningkatan kualitas pendamping, evaluasi modul dan kualitas pelatihan, pelatihan untuk aparatur pembina LKM, dan pembinaan serta pendampingan bagi LKM hingga 2008.

Pengadaan Cold Storage & Truck Cold Storage Pasar Induk/ Grosir/ Tradisional Rehabilitasi/ Pembangunan Gudang Transito Pembangunan Pasar dan Pertokoan di Labui (Termasuk Lanjutan 2008) Pembangunan Halte di Labui Pemberdayaan Koperasi dan UKM Melalui LKM di setiap Kecamatan Bantuan Modal LKM untuk Usaha Masyarakat dan BLM aset Produktif Penguatan Kelembangaan Aceh Mikro Finance Pengembangan AMF Center dan Perwakilannya di Kab/ Kota Bantuan Teknis dan Manajemen LKM Bantuan Modal Usaha Penghuni Huntara Pendirian Kelembagaan Koperasi Terpadu Bantuan Langsung Masyarakat Melalui Koperasi Terpadu Penyelenggaraan Program Pelatihan Pelatihan LKM Pengemb. Pusat Distribusi Koperasi (UKM Trading) Pengembangan Pusat Pasar Ekspor Penguatan IOO (Investor Outreach Office) Penguatan Klinik Kemasan dan Merek UKM Pemb. Gedung Promosi Hasil Kerajinan

Unit Unit Paket paket unit Unit

1 61 2 2 5 209

59 225

1 120 2 2 5 434

Orang Unit Unit Paket Paket Paket Unit Orang Orang Paket Paket Paket Paket Paket

40.877 11 22 100 1 1 60 3.152 765 3 2 2 2 1

87.255 15 1

128.132 11 22 115 1 1 60 3.152 765 3 2 2 2 2

Bagian 4. Bersama Membangun

Selain itu pemahaman masyarakat tentang LKM juga masih rendah. Untuk itu BRR melakukan berbagai sosialisasi melalui media formal dan informal, penerbitan jurnal LKM, seminar, dan pelatihan agar peran dan fungsi LKM semakin dikenal masyarakat.

Tabel 4.9 Penguatan Dukungan Perdagangan, LKM, dan UKM

REALISASI 20052008 KEGIATAN Bantuan Modal Bergulir bagi Pedagang Grosir dan Pedagang Pasar SATUAN APBN 894 NON APBN 66.700 TOTAL 67.594

unit

87

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Agar LKM menjadi tempat pilihan kerja, BRR berupaya membangun citra positif LKM, berusaha agar LKM bisa mandiri sehingga mampu memberikan remunerasi yang pantas, dan insentif pelatihan dan magang terus dilakukan untuk peningkatan kemampuan pengelola. Selain itu, perlu dilakukan penyiapan transisi yang cermat terhadap lembaga atau mekanisme keberlanjutan yang dapat mengawasi dan membina LKM pascarehabilitasi dan rekonstruksi.

Mencetak Tenaga LKM Profesional


Agar LKM benarbenar beroperasi dengan baik, perlu dukungan SDM yang mumpuni. Untuk itu, BRR bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Secara khusus, BRRpun bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, mendirikan Aceh International Society of Microfinance (AISMIF). Lembaga yang didirikan 27 April 2007 ini lahir untuk membantu pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kegiatan utama pengembangan dan pemberdayaan LKM dan membantu percepatan tumbuh kembangnya UKM Tabel 4.10 Meningkatkan Kualitas Tenaga Kerja melalui peningkatan SDM.
KEGIATAN Jasa Pelatihan Pembangunan/Rehab. BLK dan Peralatan BLK Pekerja Cash For Work Pelatihan Pegawai Pembangunan Jalan di Lingkungan BLK Banda Aceh Informasi bursa Kerja Pengadaan Peralatan Kantor Workshop KLK aceh Selatan SATUAN Orang Unit Orang Orang Paket Paket Paket REALISASI 20052008 APBN 12.835 5 138 1 1 1 NONAPBN 141.653 1 164.664 556 TOTAL 154.488 6 164.664 694 1 1 1

88

Menurut Direktur AISMIF, Muslim A. Djalil, ada tiga tugas yang dilakukan AISMIF, yaitu memberi pelatihan, survei, riset tentang microfinance, serta advokasi dan pendampingan LKM agar mereka sehat dan lestari. Lembaga ini bergerak pada pembinaan SDM dan kapabilitas lembaga ekonomi. jadi kita lebih kepada lembaga yang membantu membentuk SDM dalam hal pelatihan dan magang, papar dia.

Semua program ditujukan untuk meningkatkan kemampuan lembaga keuangan mikro agar ekonomi masyarakat kecil lebih berdaya. Sebab, Selama ini masyarakat kecil memang jauh dari bank sehingga kita memberi akses masyarakat kecil pada lembaga keuangan, tambah dia. AISMIF didukung oleh tenagatenaga ahli yang sebagian besar berasal dari Fakultas Ekonomi Unsyiah. Anggota Badan Pendiri AISMIF yang juga Ketua jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Permana Honeyta Lubis, mengatakan bahwa kehadiran AISMIF juga akan sangat memberi keuntungan bagi lembaganya. Ilmuilmu yang sudah diperoleh oleh mahasiswa bisa langsung diterapkan di berbagai program kerja AISMIF.

Programprogram jangka Panjang


Programprogram jangka panjang adalah programprogram yang ditujukan untuk membangkitkan perekonomian rakyat dan regional secara berkelanjutan. Programprogram jangka panjang ini diarahkan untuk dapat memperkuat fondasi ekonomi Aceh ke depan, seperti yang diuraikan berikut ini.

Industri batik di Aceh Besar. Selain mendapatkan bantuan dana pendampingan, industri kecil di Aceh juga menerima dukunagn pelatihan teknis. Foto: Dokumentasi BRR

Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh


Potensi perikanan Aceh sangat besar. Masalahnya potensi ini kurang tergarap. Bahkan potensi sumber daya alam ini dimanfaatkan oleh nelayan dari negara lain. Agar nelayan Aceh mampu menjadi tuan di daerahnya, Pemda Provinsi NAD dan BRR bekerja sama membangun Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo Banda Aceh. Pelabuhan ini dirancang agar bisa disandari kapalkapal ikan besar dengan bobot di atas 50 GT. Kapalkapal besar tersebut kebanyakan berbendera Eropa, Taiwan, jepang, dan Korea Selatan yang dilengkapi dengan mesin pengolah ikan dan berbagai peralatan penangkap ikan modern.

Bagian 4. Bersama Membangun

89

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Dengan dibangunnya PPS Lampulo, kapalkapal asing tersebut mau singgah untuk transit atau menjual/membongkar ikan hasil tangkapannya untuk suplai bahan baku industri perikanan yang akan dibangun di kawasan PPS Lampulo. Selain itu, diharapkan adanya pengusaha penangkapan ikan yang merelokasi kapalnya ke Lampulo sebagai pangkalan. Singgahnya kapal asing ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan asli daerah NAD dan menciptakan lapangan kerja baru. Bagi nelayan lokal, kehadiran PPS Lampulo diharapkan bisa meningkatkan kemampuan mereka menangkap ikan. Transfer teknologi juga akan terjadi dengan kehadiran kapalkapal ikan besar tersebut.

Penyelesaian Pembangunan
Pembangunan berikutnya dilanjutkan dengan program Rencana Kerja Pembangunan (RKP) 2009 oleh Satker Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD. Dana yang sudah dialokasikan untuk pembangunan ini sebesar Rp 69,5 miliar. BRR juga berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD dan melakukan sosialisasi kepada investor yang akan berinvestasi di Pelabuhan Perikanan Lampulo. Pemerintah Provinsi NAD juga harus mempunyai visi bahwa PPS Lampulo ini merupakan proyek strategis di bidang perikanan.
Tabel 4.11 Kebutuhan Dana Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo

90

Peternakan Terpadu Blang Uboubo, Aceh Besar


Permintaan daging di Aceh sangat tinggi. Padahal ternak yang tersedia terbatas. Ini mengakibatkan harganya melambung tinggi, terutama menjelang harihari besar keagamaan. BRR lantas membuat program pengembangan ternak unggulan di Aceh Besar. Pengembangan kawasan peternakan dilaksanakan di tiga lokasi, yakni kawasan Blang Uboubo, Kecamatan Lembah Seulawah, untuk pusat peternakan sapi, kawasan Cot Seuribee, Kecamatan Seulimeum (pusat peternakan sapi dengan sistem pelibatan masyarakat), dan kawasan Panca, Kecamatan Lembah Seulawah (peternakan kambing etawa). Program pengembangan kawasan peternakan Blang UboUbo seluas 520 hektare dilengkapi fasilitas kandang, pos kesehatan hewan dan inseminasi buatan, bak penampung dan pengolahan limbah, kebun hijau pakan ternak, rumah petugas teknis, kantor kawasan, dan sarana

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Jumlah

Jenis Pekerjaan Pekerjaan Persiapan Balai Pertemuan Nelayan Breakwater Dermaga a. Dermaga Bongkar (100 m x 8 m ) b. Dermaga Muat (100 m x 8 m ) c. Dermaga Tuna (100 m x 8 m ) Drainase Instalasi Air Bersih dan Kotor Jalan Kantor Pelabuhan Kios KUD dan Toserba Penerangan Jalan Umum Pengerukan (755.388 m3) Reklame 91.433.382 m3) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tempat Perbaikan Jaring

Biaya (RP) 1.181.400.000 1.385.316.000 100.321.295.600 46.640.150.500 3.923.948.500 3.476.716.500 39.239.485.500 9.783.562.500 3.217.170.500 7.806.808.700 9.628.033.700 1.007.430.700 2.075.631.200 29.082.438.000 133.836.008.500 2.713.283.500 1.488.748.800 350. 167.277.300

pendukung lainnya. Sedangkan sapi yang didatangkan sebanyak 148 ekor. jumlah sapi akan ditambah 320 ekor yang sudah dilokasikan pada RKP 2009 melalui Satker Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD 2009. Kawasan ternak ini dikelola oleh dua kelompok peternak setempat, Blang UboUbo dan Blang UboUbo I, dengan jumlah keseluruhan anggota 36 orang. Sistem perawatan dan penjagaan dilakukan bergiliran oleh setiap anggota kelompok, enam orang dalam dua hari. Pengelolaan kawasan ternak yang sudah berjalan sembilan bulan ini menerapkan pola bagi hasil antara kelompok peternak dan project management unit.

Lembaga Keuangan Syariah melayani simpan pinjam modal usaha bagi warga, Banda Aceh, 15 Februari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Balai Latihan Kerja


Pengangguran merupakan masalah yang mengkhawatirkan di Aceh. Setiap tahun angka pengangguran cenderung naik. Bahkan hingga 2008 (data Bank Dunia) angka pengangguran di Aceh tercatat 9 persen. Sektor pertanian tetap merupakan sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja, mempekerjakan 50 persen angkatan tenaga kerja Aceh. Sedangkan jumlah tenaga kerja di sektor jasa dan industri meningkat secara signifikan karena bantuan rekonstruksi yang diberikan terutama pada industri skala kecil dan menengah.

Bagian 4. Bersama Membangun

91

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

92

Usaha pembuatan traktor tangan di Bireuen, 16 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Satu upaya mengurai masalah pengangguran di Aceh adalah pembangunan balai latihan kerja (BLK). Ada empat BLK yang dibangun BRR beserta peralatannya. Keempat BLK itu adalah BLK Aceh Utara yang dibangun dan dibantu BRR dengan peralatan otomotif untuk sepeda motor dan mesin bubut. BLK ini dikhususkan untuk meningkatkan keterampilan peserta yang mempunyai minat di bidang otomotif. Adapun BLK Aceh Tenggara dilengkapi dengan peralatan otomotif, dengan mesin jahit, bordir, dan komputer. BLK Aceh Selatan dibantu dengan peralatan mekanik dan mesin bubut. Sementara untuk BLK Aceh Besar, BRR hanya membantu pembangunan gedung. BRR juga melakukan peningkatan kapasitas pegawai dengan pelatihan. Sebanyak 360 pegawai BLK telah diberi pelatihan untuk menunjang pekerjaannya. Hasilnya, sebanyak 114.965 orang telah memperoleh pelatihan di BLK dan mereka sangat diminati oleh dunia usaha. Selain itu, BRR juga memberikan bantuan pusat layanan informasi tenaga kerja di 23 kabupaten atau kota. Pusat layanan informasi tenaga kerja ini memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh informasi tentang peluang kerja melalui sistem informasi yang sudah dibangun. Program pembangunan BLK beserta pendukungnya ini diharapkan dapat menjadi sentra pelatihan tenaga terampil agar mereka bisa mandiri. Tentu saja tujuannya adalah untuk mengurangi angka pengangguran masyarakat Aceh pascabencana.

Sentra Industri Kecil Samahani, Aceh Besar


Untuk mendukung UKM di sektor pariwisata, BRR juga mengembangkan sentra industri kecil kerajinan tangan di Samahani, Aceh Besar. Kegiatan ini didasari fakta bahwa kerajinan tangan di Aceh sebelum bencana sangat terkenal. Namun, akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan, industri kerajinan tangan khas Aceh terlihat stagnan alias hidup segan, mati tak mau. Selama bertahuntahun, para perajin di daerah ini terkendala modal, pemasaran, dan SDM. Kondisi ini membuat BRR berupaya untuk membangkitkan lagi industri kerajinan tangan khas Aceh. Pada 2007, BRR mengulurkan bantuan pengadaan 200 unit mesin jahit, 14 unit mesin bordir, dan satu unit gedung sentra kerajinan bordir yang terletak di Samahani, Kecamatan Kuta Malaka, Aceh Besar. Gedung ini dibangun dengan anggaran sebesar Rp 594 juta yang berasal dari DIPA 2007 dan selesai dibangun November 2007. Dana untuk memajukan kerajinan tangan di Aceh ini diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Beberapa proyek yang termasuk dalam paket pembangunan tersebut, yakni pengadaan peralatan produksi senilai Rp 357 juta, Rp 846 juta untuk pengadaan bahan baku utama, Rp 458 juta untuk bahan baku penunjang, Rp 150 juta untuk pemasaran, dan Rp 60 juta untuk promosi produk. Bantuan ini diharapkan menjadi pemicu kebangkitan industri kerajinan tangan khas Aceh. Ekspor perdana dari Samahani telah dilakukan dengan pengiriman 2.700 tas bordir senilai Rp 410 juta ke Alabama, Amerika Serikat. Kualitas hasil perajin di Samahani membuat importir Amerika kembali memesan 1.000 tas bordir lagi.

Pasar Grosir Bireuen


Konflik dan bencana membuat ekonomi Aceh dan Nias menjadi terpencil dan terisolasi. Penyebabnya infrastruktur ekonomi yang kurang memadai dan tidak efektifnya sistem ekonomi di suatu daerah. BRR berupaya memutus ketergantungan ekonomi kawasan Aceh ke wilayah sekitarnya, seperti wilayah Medan dan berbagai daerah lainnya. Program unggulan BRR yang dibuat untuk mengatasi keterisolasian ekonomi adalah pembangunan Pasar Grosir Bireuen (PGB) senilai Rp 7,9 miliar yang mampu menampung 90 pedagang. Selain membuka ketergantungan ekonomi wilayah Aceh, pasar ini juga diharapkan mampu mengembangkan potensipotensi daerah lokal sehingga dapat terkonsentrasi dan terpusat sehingga semua komoditas lokal dari Aceh dan komoditas luar daerah yang masuk ke Aceh lebih variatif. Pemilihan lokasi di Bireuen karena kota ini memiliki sejarah sebagai pusat perdagangan di Aceh. Selain itu, lokasi Bireuen yang berada di tengah NAD membuat pasar sebagai jembatan antarsemua wilayah NAD sehingga akan merangsang arus perdagangan dari semua wilayah NAD di masa depan. Bireuen menjadi tempat transit perdagangan bagi

Bagian 4. Bersama Membangun

93

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

94

Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo dalam fase pembangunan. Foto: Dokumentasi BRR

penduduk dataran tinggi Gayo, Pidie jaya, dan Aceh Utara. Bireuen juga dilengkapi fasilitas jalan dua jalur yang dibangun untuk memperlancar arus transportasi perdagangan warga. Pedagang dengan skala besar juga telah mulai melirik Bireuen. Grup Barata telah membangun pusat perdagangan baru yang dilengkapi dengan tempat permainan dan hiburan.

Menjual Pesona Aceh


Pemasaran merupakan bagian terpenting dalam dunia usaha. Dalam menumbuhkan iklim usaha di Aceh, BRR membentuk Unit Investasi dan Akses Pasar (IAP). Programprogram yang dilakukan di unit ini mulai dari pendirian Klinik Kemasan dan Merek (KKM), Export Development Center (EDC), dan Investor Outreach Office (IOO). KKM didirikan untuk memberi layanan kepada UKM berkonsultasi masalah desain, kemasan, dan merek hingga siap untuk dicetak. Program lain yang digarap KKM adalah peningkatan kapasitas dan wawasan UKM, penyelenggaraan pelatihan, pameran,

seminar tentang desain grafis, pemasaran, dan soal perizinan pelabelan pada produk UKM. Kegiatan ini melibatkan instansi terkait dan LSM, seperti Muslim Aids, World Vision, American Red Cross, Welt Hunger Hilfe, Swiss Contact, dan CHF. Program yang digulirkan pada 2008 ini memperoleh sambutan yang luar biasa dari pelaku usaha di Aceh. Hingga Oktober 2008, sudah ada 207 UKM yang memperoleh layanan ini dan ada 200 UKM yang mengantre untuk memperoleh bantuan desain dan cetak kemasan. Akibat antrean panjang ini, KKM hanya mampu memberikan layanan konsultasi dan jasa desain kemasan tanpa memberikan kepastian tentang cetak kemasan. Dari tangan kreatif ahliahli di KKM, produkproduk UKM telah dikemas menarik dan mulai menjejali geraigerai pusat perbelanjaan, seperti di Pante Pirak, Blang Rakal, Hamami, Maju, Kemang, hingga geraigerai di Bandara Sultan Iskandar Muda. Agar produkproduk tersebut mampu menjelajah pasar nasional dan internasional, BRR mendirikan EDC. Lembaga ini didirikan sebagai sentra pengembangan ekspor produkproduk unggulan yang berskala nasional dan internasional. EDC mempunyai fungsi

Kawasan peternakan sapi di Blang Uboubo, Aceh Besar. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 4. Bersama Membangun

95

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

96

Kopi dari daerah Gayo, Aceh Tengah, merupakan kopi dataran tinggi yang berpotensi menembus pasar internasional Foto: Dokumentasi BRR

membantu kegiatan promosi produk pelaku usaha UMKM, menjembatani kebutuhan kerja sama antara pelaku usaha, pembeli, dan eksportir, serta membantu regulasi dan kemudahan prosedur untuk ekspor. Untuk menunjang EDC, BRR juga mendirikan IOO. Lembaga yang didirikan oleh BRR dan Pemprov NAD ini diresmikan pada 5 April 2007 dan dalam waktu bersamaan telah dibuat memo of understanding antara IOO dan kamar dagang delapan negara. IOO didirikan untuk mencitrakan Aceh yang terbuka untuk dunia usaha dan bisnis. Peran IOO antara lain penyediaan informasi dan datadata tentang potensi kegiatan investasi di berbagai sektor, seperti perikanan, pertanian, perkebunan, peternakan, pertambangan, pariwisata, regulasi, serta berbagai bidang lainnya seperti infrastruktur dan telekomunikasi. Sajian data tersebut dikemas dalam bentuk media cetak, video presentasi, multimedia interaktif, website, perangkat pameran, dan media luar ruang. IOO juga bertugas melayani calon investor, pemangku kepentingan, dan masyarakat yang datang untuk memperoleh data atau informasi lainnya yang mendukung kegiatan investasi di Aceh. Program ini mulai dari penyampaian datadata kepada tamutamu yang datang ke IOO

hingga mendampinginya pada saat kunjungan ke lokasi atau potensipotensi untuk kegiatan investasi yang dituju. Selain itu, IOO juga berperan mendukung upaya pemerintah provinsi menciptakan peraturanperaturan, regulasi, dan qanun yang terkait dengan penanaman modal untuk dapat meningkatkan pertumbuhan iklim investasi di Aceh. Kegiatan ataupun program IOO sepanjang 2007 hingga 2008 antara lain seminar, pameran, dan working group untuk menyampaikan dan memberikan gambaran tentang kesiapan dinas terkait yang dapat dijadikan sebagai kegiatan investasi di Aceh. Daerah yang dipromosikan adalah daerah pengembangan ekonomi terpadu yang terdapat di Blang Ulang, Aceh Besar, kawasan industri Bireuen, serta potensi pada setiap kabupaten atau kota di Provinsi NAD.

Pasar grosir Bireuen. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 4. Bersama Membangun

97

Geliat Pascapemulihan
dari beberapa proyek dan program yang telah dilakukan BRR, timbul pertanyaan besar: bagaimanakah keseimbangan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh? Ukuran manfaat tidak hanya diukur secara ekonomi, melainkan manfaat pada aspek lain. Secara ekonomi, ratarata program pemberdayaan masyarakat mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan juga masyarakat di luar sasaran proyek. Program padat karya (cash for work) yang dilaksanakan mitra pemulihan dapat menjangkau sejumlah 164.664 orang, sangat membantu masyarakat dalam tahap awal pemulihan. Selanjutnya bantuan modal dan aset produktif kepada kelompok masyarakat telah membuka kesempatan kerja atau usaha bagi kelompok itu sendiri maupun masyarakat luas. Multiplier effect (dampak berganda) ini muncul saat satu jenis usaha berkembang dan mendorong jenis usaha lain untuk mendukung perkembangannya. Hasil kerja keras semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang telah bahumembahu dan berkontribusi dalam merehabilitasi dan merekonstruksi ekonomi Aceh yang terpuruk akibat bencana telah menunjukkan hasil yang baik. Kesinambungan rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dipertahankan setelah berakhirnya masa tugas BRR NADNias, khususnya oleh pemerintah Aceh.

BELAjAR

Produk hasil binaan Klinik Kemasan dan Merek (KKM) menghiasi kios kios di Banda Aceh, 5 Desember 2007. Foto: Beni Antono

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

99

100

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Penandatanganan MoU peluncuran perdana IOO. Foto: Dokumentasi BRR

Berikut ini adalah beberapa pendekatan indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur sampai sejauh mana program BRR NADNias dan programprogram yang dilaksanakan oleh pemerintah Aceh, lembaga PBB, serta LSM internasional dan nasional memberikan dampak kepada masyarakat.

Produk Domestik Bruto


Upaya rekonstruksi terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada sektorsektor yang terkait dengan rekonstruksi, seperti sektor bangunan dan sektor transportasi yang menunjukkan pertumbuhan di atas ratarata. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi keseluruhan (termasuk migas) tercatat menurun lebih dari dua persen. Hal ini akibat menurunnya produksi migas yang juga berpengaruh terhadap industri pengolahan berbahan baku gas. Penurunan ekonomi pada sektorsektor utama ini diproyeksikan akan terus berlangsung seiring dengan terus menurunnya cadangan migas di Pantai Timur Aceh (tabel 5.1.). Pertumbuhan di sektorsektor yang terkait usaha rekonstruksi terus berlanjut, tapi menunjukkan tandatanda perlambatan. Pertumbuhan di sektor bangunan pada 2007 tercatat sebesar 14 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang tercatat hampir sebesar

Capaian rehabilitasi dan rekonstruksi pada akhir Desember 2008 menunjukkan 140.034 unit rumah dan 3.696 kilometer jalan telah dibangun. Dengan keluarnya beberapa LSM, donor, secara bertahap dan berakhirnya masa tugas BRR NADNias pada pertengahan bulan April 2009, menunjukkan bahwa peran rekonstruksi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi akan semakin kecil. Namun, dengan hasil capaian rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha sebesar 91,62 persen dari target KPI menunjukkan adanya pertumbuhan PDB nonmigas pada 2006 sebesar 5,9 persen dari tahun sebelum tsunami (2004), sedangkan pada 2007 ada sedikit penurunan dibanding 2006 sebesar 0,3 persen. Pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada 2006 tumbuh 5,4 persen dari 2005 dan pada 2007 tumbuh sebesar 3,5 persen dari 2006 ( lihat tabel 5.1. Pertumbuhan Ekonomi NAD (20032007).

Pertambangan dan Penggalian Migas Penggalian Industri Pengolahan Industri Migas Nonmigas Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan dan Perbankan Jasajasa GDP GDP tanpa Migas

9,8 9,9 3,6 1,6 1,7 1,6 16,9 0,9 2,4 3,8 30,9 6,3 5,5 3,7

2,4 24,4 7,3 17,8 11,6 37,3 19,5 0,9 2,6 3,6 19,4 20,1 9,6 1,8

22,6 2,3 0,8 22,3 26,2 5,1 2,0 16,1 6,6 14,4 9,5 9,7 10,1 1,2

2,6 4,3 78,8 13,2 17,3 1,1 12 48,4 7,4 10,9 11,7 4,4 1,6 7,7

21,6 22,6 2,0 10 16,7 8,6 23,7 13,9 1,7 11 6 14,3 2,2 7,4

*Angka diperbaiki **Angka sementara Sumber: BPS

Produksi pertanian pada tahun pertama pemulihan (2005) masih di bawah produksi sebelum tsunami sebesar 97 persen, pada 2006 ada kenaikan sedikit menjadi 98 persen, dan pada 2007 berhasil di atas produksi 2004 sebesar enam persen (tabel 5.2. Produksi Pertanian NAD 20032007). Hal ini berarti tingkat produksi pertanian untuk pertama kalinya melebihi tingkat produksi pada masa sebelum tsunami. Angka ini juga jauh lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan ratarata sektor pertanian Sumatera yang tercatat sebesar 2,3 persen. Peningkatan produksi pertanian ini didukung oleh kegiatan pemulihan antara lain rehabilitasi lahan sawah, pembangunan lining jaringan irigasi tingkat usaha tani dan agroinput. Di sisi lain petani juga dibantu dengan alat mesin pertanian (alat pertanian kecil, traktor 4 WD, traktor tangan, dan alat

Tabel 5.2 Produksi Pertanian NAD (20032007)

Produksi Pertanian (Rp miliar)

Sektor Tanaman Pangan Tanaman Nonpangan Peternakan Kehutanan Perikanan

2003 3.022,0 1.188,2 1.428,4 823,2 1.147,4

2004 3.253,4 1.453,9 1.414,0 621,3 1.326,4

2005 3.144,8 1.529,9 1.296,3 531,3 1.252,7

2006 3.179,1 1.533,8 1.325,9 547,2 1.286,8

2007 3.449,3 1.674,0 1.206,1 567,9 1.365,3

Sumber: BPS, Harga Konstan pada 2000

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

50 persen. Perlambatan pertumbuhan juga terjadi terhadap sektorsektor lainnya seperti transportasi, perdagangan, hotel, dan restoran. Hal ini didukung data dari Dinas Pariwisata Aceh yang menunjukkan penurunan tingkat hunian hotel dari 11.408 kamar yang terisi pada 2006 menurun hingga 9.753 kamar pada 2007.

Tabel 5.1 Pertumbuhan Ekonomi NAD (20032007)

Pertumbuhan Ekonomi, 200307 (%) Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 2003 3,2 2004 6,0 2005* 3,9 2006** 1,5 2007** 4,9

101

102

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Sentra industri kerajinan bordir Samahani di Aceh Besar. Foto: Dokumentasi BRR

penyemprot/hand sprayer) sebanyak 15.868 unit. Untuk menunjang tersedianya benih yang bermutu tinggi, maka dibangun/direhabilitasi balai benih utama, balai benih induk, dan balai penyuluh pertanian (BPP) serta BPP plus sebanyak 20 unit. Khusus untuk meningkatkan produksi padi diperkenalkan suatu demplot SRI system rice intensification (SRI), proyek percontohan yang sudah diimplementasikan telah berhasil meningkatkan produksi padi dari 4 ton/hektare menjadi 68 ton/hektare. Pertumbuhan pada subsektor perkebunan menunjukkan adanya peningkatan sebesar lima persen pada 2005, lima persen pada 2006, dan 15 persen pada 2007 dibandingkan dengan produksi 2004. Hal ini karena telah dilaksanakan kegiatan pemulihan antara lain pembangunan jalan produksi sepanjang 43.020 meter, rehabilitasi, intensifikasi, penanaman dan perawatan tanaman perkebunan (kelapa sawit, kakao, kelapa, dan karet) seluas 33.875 hektare, pengadaan bibit tanaman (kelapa sawit dan kakao) sebanyak 6.763.525 batang, bantuan peralatan pengolahan hasil kebun rakyat dan pendidikan, dan pelatihan masyarakat sebanyak 770 orang. Sedangkan pertumbuhan pada sektor perikanan menunjukkan adanya pertumbuhan dan pada 2007 dapat dicapai peningkatan produksi sebesar tiga persen dibandingkan produksi 2004. Mengingat lokasinya, tentu saja sektor perikanan merupakan sektor yang

paling terkena dampak bencana Tabel 5.3 Struktur Ekonomi NAD (20032007) tsunami. Karenanya sektor ini Struktur Ekonomi NAD (200307) mendapat porsi yang besar hampir Sektor 2003 2004 2005* 2006** 2007** 34 persen atau sekitar Rp 896,2 miliar Pertanian, dari seluruh anggaran pemulihan Kehutanan, dan 17,0 20,0 21,4 21,2 23,0 bidang ekonomi dan usaha. Anggaran Perikanan pemerintah ini antara lain untuk Minyak, Gas, dan pembuatan boat nelayan sebanyak 36,1 30,4 26,2 24,9 20,3 Pertambangan 3.135 unit, pengadaan alat tangkap Industri Pengolahan 20,2 18,3 15,9 14,3 12,0 17.013 unit, pembangunan pelabuhan Listrik dan Air 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 perikanan pantai sebanyak dua unit, Bangunan 3,4 3,8 3,5 5,1 6,0 pembangunan pangkalan pendaratan Perdagangan, Hotel, ikan sejumlah 24 unit, pembangunan 11,2 12,0 14,3 15,0 16,0 dan Restoran Pelabuhan Perikanan Samudera Transportasi dan Lampulo, rehabilitasi tambak seluas 3,3 3,8 4,8 5,2 5,3 Komunikasi 7.775 hektare, agroinput tambak Perbankan dan Sektor seluas 7.715 hektare, dan bantuan 0,9 1,2 1,2 1,3 1,4 Finansial Lain hatchery (bibit ikan atau udang) Jasajasa 7,8 10,4 12,7 12,9 15,0 sebanyak 63 unit. Selain itu juga bantuan dari mitra pemulihan antara * Angka diperbaiki lain berupa 3.974 boat nelayan, 735 ** Angka sementara Sumber: BPS unit alat tangkap, 9 unit pangkalan pendaratan ikan, 9.669 hektare rehab tambak, dan 11.812 hektare agroinput tambak. Pada sektor peternakan belum menunjukkan adanya kenaikan produksi dibandingkan pada 2004. Hal ini disebabkan adanya kendala pada pengadaan bibit ternak sapi dan belum optimalnya kapasitas masyarakat peternak dengan model peternakan pastura. Begitu pula pada sektor kehutanan yang diharapkan adanya kenaikan produksi pada hasil nonkayu belum optimal. Kacamata analisis mengenai struktur perekonomian Aceh telah berubah secara signifikan. Hal ini tidak terlepas dari peran BRR dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Hasilnya ada tren yang jelas bahwa struktur perekonomian bergeser menjauh dari sektor pertambangan dan industri yang bergantung dari migas (tabel 5.3.). Kedua kontribusi sektor ini sebesar 56 persen dari ekonomi Aceh pada 2003 dan menurun sebesar 32 persen pada 2007. Penurunan kontribusi kedua sektor ini diimbangi oleh pertumbuhan sektor jasa seperti perdagangan, bangunan, dan transportasi. Total pertumbuhan sektor jasa mencapai 44 persen pada 2007 atau meningkat 26 persen pada 2003. Sedangkan kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan meningkat dari 17 persen pada 2003 menjadi 23 persen pada 2007.

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

103

104

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kemasankemasan produk hasil binaan KKM, Foto: Dokumentasi BRR

Perdagangan
jumlah ekspor Aceh menurun sebesar 6 persen pada 2007 atau sebesar US$ 1,8 miliar. Akan tetapi ekspor nonmigas meningkat sebesar US$ 84,3 juta pada 2007. Peningkatan ini dipicu oleh produksi pupuk yang merupakan 80 persen dari total ekspor nonmigas yang sempat berhenti berproduksi pada 2006. Produksi pupuk dan kertas kembali beroperasi setelah pemerintah berkomitmen untuk menyubsidi bahan baku gas bagi kedua industri ini hingga 2010. Pertumbuhan sektor ini sebagian besar diakibatkan oleh berakhirnya konflik bersenjata, bantuanbantuan rekonstruksi, serta meningkatnya hargaharga komoditas di pasar internasional. Ekspor perikanan tercatat sebesar US$ 1 juta pada 2007 atau meningkat sejak tsunami. Namun, angka ini tetap jauh di bawah produksi tertinggi pada 2000 sebesar US$ 13 juta. Hal ini disebabkan belum optimalnya nilai tambah produk perikanan, masih belum teratasinya penyakit yang menyerang udang, terbatasnya bibit kerapu akibat belum beroperasinya balai benih ikan pantai yang dibangun dan belum fungsionalnya Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh. Impor menurun pada 2007. Penurunan ini sebagian besar diakibatkan dari menurunnya impor terhadap bahan baku produksi gas dan mesinmesin yang digunakan dalam proses produksi gas. Akan tetapi, impor terhadap bahan makanan meningkat secara berturutturut dalam tiga tahun terakhir.

10% 8% 6% 4% 2% 2002 2003 2004 2005 2006 2007

BRR dan mitra pemulihan lainnya telah berusaha untuk memperbaiki sektor perdagangan melalui bantuan modal kepada pedagang grosir dan pedagang pasar, sejumlah 67.594 pedagang. Kecuali itu juga telah dilaksanakan pembangunan pasar (induk/grosir/tradisional) sejumlah 120 unit. Bantuan modal untuk pedagang UKM tersebut disalurkan oleh koperasi/ LKM yang tersebar di seluruh Aceh (434 unit). Selanjutnya untuk meningkatkan kinerja pengurus LKM telah dilakukan pelatihan bagi 765 orang pengurus LKM. Selain itu juga diselenggarakan program pelatihan untuk para pedagang sebanyak 3.152 orang.

Gambar 5.2 Perbandingan Upah Minimum Provinsi

900 800 700 600 500 400 300


Aceh Sumatera Utara Ratarata Nasional

Lapangan Kerja dan Kemiskinan

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Setelah tiga tahun, rekonstruksi mulai melambat. Tantangan utama tetap pada pengangguran. Tingkat pengangguran meningkat meningkat secara signifikan pada 2003 seiring dengan memburuknya kondisi keamanan. Angka pengangguran tersebut tetap bertahan pada tingkat pengangguran sembilan persen (gambar 5.1.). Kurangnya mobilitas dan relatif rendahnya keterampilan dari angkatan kerja lokal menyebabkan tidak semua angkatan kerja lokal Aceh dan Nias dapat memanfaatkan kesempatan kerja yang tercipta dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Akibatnya sektor rekonstruksi hanya mampu menyerap sebagian kecil pekerja lokal, sedangkan banyak tenaga yang terampil ataupun semiterampil didatangkan dari Sumatera Utara atau daerah lain di Indonesia.

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

Sebagian besar barangbarang impor tersebut masuk melalui Medan, terutama untuk kebutuhan rekonstruksi. Sebagai ilustrasi, terdapat peningkatan yang signifikan terhadap jumlah impor bagi bahan bangunan, seperti besi untuk perumahan yang meningkat sebesar 23 persen pada 2006 dan 18 persen pada 2007 (BPS, Medan).

Gambar 5.1 Tingkat Pengangguran di Provinsi NAD (20002008)


14% 12%

105

Gambar 5.3 Komposisi Lapangan Kerja per Sektor (20032008)

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%

11% 3% 6% 15%

12% 4% 9% 15%

12% 4% 10% 14%

15% 5% 10% 14%

12% 6% 10% 15%

Jasa Konstruksi Lainlain Perdagangan

106

65%

60%

60%

56%

57%

Pertanian

2003

2004

2005

2006

2007

Sumber: BPS

Pengakhiran masa rehabilitasi dan rekonstruksi tentu saja mempengaruhi ketersediaan lapangan kerja. Program pembangunan enam unit balai latihan kerja hasil rehabilitasi/ pembangunan dari BRR dan mitra pemulihan ditujukan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat, sehingga mampu bekerja secara mandiri maupun bekerja pada orang lain atau perusahaan. Di samping itu telah dilaksanakan program jasa pelatihan masyarakat sejumlah 154.488 orang dan program pelatihan untuk pegawai sejumlah 694 orang. Tenaga lokal banyak diserap di sektor pertanian yang mencapai 60 persen dari total tenaga kerja di Aceh. Namun, trennya terus mengalami penurunan bahkan sebelum tsunami. Kondisi ini diakibatkan menurunnya produktivitas pertanian dan juga semakin banyak orang yang lebih tertarik bekerja pada sektor lain. Kondisi ini juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Akan tetapi mengingat tingkat harga komoditas di Aceh naik hampir dua kali lipat sejak tsunami (seperti yang diukur oleh BPS), kenaikan terhadap upah minimum provinsi di Aceh tidak mencukupi untuk melindungi daya beli para pekerja. Kontradiksi antara tingkat pengangguran yang tinggi dan meningkatnya upah para pekerja dapat disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan rekonstruksi akan pekerja terampil terhadap beberapa bidang pekerjaan. Kondisi ini ditambah kurangnya mobilitas pekerja dan terfokusnya rekonstruksi pada daerahdaerah tertentu.

Kondisi perekonomian di atas telah berdampak pada level masyarakat paling rendah. Hal ini dapat dilihat dari angka tingkat kemiskinan di Aceh relatif lebih tinggi. Angka kemiskinan di Aceh sebesar 28,4 persen pada 2004. Setelah bencana angka kemiskinan bergerak ke level 28,7 persen, sedangkan ratarata nasional 16 persen pada 2005. Apabila dibandingkan dengan tingkat kehancuran yang diakibatkan oleh bencana, angka tersebut sungguh sangat fantastis. Artinya kehancuran yang dialami masyarakat Aceh akibat bencana gempa bumi dan tsunami tidak secara signifikan meningkatkan angka kemiskinan di Aceh. Pada 2006 tingkat kemiskinan menurun ke angka 28,3 persen atau di bawah tingkat kemiskinan sebelum terjadinya tsunami. Kondisi ini diakibatkan berakhirnya konflik dan besarnya usaha rekonstruksi yang dilakukan BRR. Pada 2007 angka kemiskinan seperti yang dilaporkan oleh BPS adalah 26,7 persen. Tingkat kemiskinan Aceh 2008 turun menjadi 23,5 persen, sedangkan ratarata nasional 15,4 persen. Keluarga yang bermukim di daerah yang terkena bencana tsunami dan konflik mempunyai kemungkinan lebih besar menjadi miskin dibandingkan kelurga di luar daerah konflik dan tsunami pada 2005. Namun, perbedaan daerah di luar dan di dalam area bencana tidak terjadi lagi pada 2006. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak tsunami terhadap kemiskinan hanya bersifat Tabel 5.4 Tingkat Kemiskinan Aceh (20042008) sementara. Walaupun tingkat kemiskinan Aceh masih di 2004 2005* atas ratarata nasional (Indonesia), penurunan Aceh 28,4 28,7 tingkat kemiskinan Aceh cukup agresif. Lompatan AcehPerkotaan 17,6 19,0 dari 2005 turun lima poin dari 28,7 persen menjadi AcehPedesaan 32,6 32,6 23,5 persen pada 2008, dibandingkan tingkat Indonesia 16,7 16,0 kemiskinan nasional yang hanya turun 0,5 persen, yaitu dari 15,9 persen menjadi 15,4 persen. Ini tidak lain kontribusi dari peningkatan produksi pertanian yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan di daerah pedesaan. Kemiskinan di Aceh sama dengan daerah lain di Indonesia, yakni fenomena pedesaan. Ada lebih dari 26,3 persen masyarakat pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan, jika dibandingkan dengan 16,6 persen di daerah perkotaan (lihat Tabel 5.4. Tingkat Kemiskinan Aceh 20042008).
2006 2007 2008

28,3 19,0 31,6 17,8

26,7 18,7 29,9 16,6

23,5 16,6 26,3 15,4

Sumber: BPS

Tantangan Ekonomi PascaBRR


Mengikis Ketergantungan Ekonomi
Provinsi NAD dan Kepulauan Nias merupakan daerah yang memiliki proyek rekonstruksi terbesar di negara berkembang setelah bencana pada 2004. Dalam jangka pendek, aliran bantuan dalam jumlah besar dan upaya rekonstruksi dalam skala besar memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi lokal (Bank Dunia, 2008). Selama empat tahun

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

107

108

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kegiatan pameran investasi Aceh di Yogyakarta. Foto: Dokumentasi BRR

(20052008) anggaran pemulihan bidang ekonomi yang telah direalisasi sejumlah Rp 2,1 triliun (80,45 persen) dari jumlah anggaran sebesar Rp 2,67 triliun. Akan tetapi sebagian besar kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias harus didatangkan dari luar. Sebenarnya kondisi ini sudah berlangsung sejak sebelum bencana terjadi, terutama dipicu oleh konflik yang berkepanjangan di Aceh. Sementara itu, Nias (sebelum bencana) sangat terisolasi akibat masih terbatasnya infrastruktur ekonomi seperti transportasi dari dan ke Nias. Ketergantungan ekonomi Aceh dan Nias terhadap daerah luar disebabkan oleh masih rendahnya produksi berbagai komoditas, baik kualitas maupun kuantitas. Beberapa komoditas unggulan belum bisa tersedia dalam jumlah yang cukup besar dan kontinu untuk memenuhi permintaan pasar. Di sisi lain, produkproduk tertentu pada musim panen jauh melebihi kebutuhan pasar. Akibatnya terjadi penurunan harga yang cukup drastis, demikian sebaliknya. Penyebab lain dari ketergantungan ekonomi Aceh adalah belum adanya industri yang menghasilkan produk unggulan yang mempunyai nilai tambah dan yang diproduksi di Aceh. Sebagai contoh produksi penangkapan ikan yang fluktuatif atau musiman. Pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh, dan Pelabuhan Perikanan Pantai Idi adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai tambah

produk perikanan dengan disediakannya fasilitas sandar kapal (dermaga) dan lahan untuk industri pengolahan ikan serta cold storage (tempat penyimpanan), pabrik es, dan galangan/dok kapal. Keberadaan industri pengolahan ikan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas, nilai tambah, dan jaminan pasar bagi para nelayan. Saat ini keuntungan dari nilai tambah tersebut dinikmati oleh pelaku ekonomi dari daerah lain. Kondisi ini juga memberikan kesan kurang baik kepada investor luar yang menganggap Aceh tidak memiliki potensi hasil perikanan. Di sisi lain keberadaan cold storage bermanfaat untuk meningkatkan kuantitas karena cold storage dapat berfungsi sebagai gudang untuk menjaga agar ikan dapat disimpan lebih lama dan dapat memenuhi standar volume ekspor. Hal ini menyebabkan ikanikan unggulan ekspor tidak bisa diekspor langsung, tapi harus melalui eksportir yang berdomisili di luar Aceh. Rendahnya produksi ikan disebabkan oleh infrastruktur ekonomi seperti pelabuhan ikan yang belum dapat melayani kapal ukuran lebih besar di atas 100 GT. Akibatnya armada tangkap yang beroperasi berukuran kecil (530 GT). Demikian juga dengan komoditas lainnya seperti telur, daging ayam atau unggas, dan daging sapi tingkat produksinya rendah. Kondisi ini menyebabkan pemenuhan permintaan pasar lokal harus didatangkan dari luar daerah Aceh. Sebenarnya keadaan ini adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha lokal. Namun, sarana dan prasarana pendukung industri tersebut seperti pakan ternak dan bibit ayam pedaging masih harus didatangkan dari luar daerah. Lain halnya dengan produk kerajinan, melalui bantuan yang diberikan, maka masyarakat perajin dapat kembali memulai aktivitas usahanya yang berdampak kepada pemulihan mata pencarian dan pendapatan. Dampak ini dapat dilihat, terutama di sentrasentra industri kecil yang sudah bisa membeli bahan baku dan menjaga kesinambungan produksi. Sebagai contoh pada 2007, BRR membantu pengadaan 200 unit mesin jahit, 14 unit mesin bordir, dan satu unit gedung sentra kerajinan bordir di Samahani, Kecamatan Kuta Malaka, Kabupaten Aceh Besar. Para perajin telah mampu memproduksi kerajinan tangan untuk kebutuhan pasar lokal dan mengekspor hasil kerajinan mereka sebanyak 1.200 tas bordir dengan nilai Rp 410 juta ke Alabama, Amerika Serikat. Demikian pula sentra kerajinan batik di Desa Manyang, Kecamatan Ingin jaya, Aceh Besar, yang dibantu dengan gedung Rumoh Batek lengkap dengan ruang produksi dan ruang pamer, telah membangkitkan kembali kerajinan batik khas Aceh. Beberapa program yang sudah digagas oleh BRR untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah melalui program pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Untuk mendukung UKM yang produktif dilakukan pengembangan sentra industri kecil di Samahani dan Ingin jaya, Aceh Besar, yang ditunjang dengan penyediaan modal kerja melalui LKM. Pelatihan dan magang untuk meningkatkan kemampuan manajerial, pendampingan dan bantuan teknis untuk

Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

109

110

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Nelayan menyiapkan peralatan tangkap sebelum berangkat melaut. Foto: Dokumentasi BRR

meningkatkan kualitas produk, promosi produk. Selanjutnya, program pembangunan Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo yang sedang berjalan bisa menunjang beroperasinya armada kapal dan pengembangan industri pengolahan ikan serta cold storage untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas, nilai tambah, dan jaminan pasar bagi para nelayan.

Upaya Menekan Inflasi


Bank Dunia (2007) melaporkan bahwa tingkat inflasi pascabencana di Banda Aceh mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga mencapai titik tertinggi 41,5 persen pada Desember 2005. Sedangkan untuk Indonesia secara keseluruhan, angka inflasi hanya sebesar 17,1 persen. Penyebab tingginya tingkat inflasi adalah tingginya harga makanan dan transportasi di Banda Aceh. Hal ini akibat bencana tsunami dan adanya hambatan terhadap meningkatnya transportasi pasokan barangbarang kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jumlah yang sangat besar. Sejalan dengan diperbaikinya infrastruktur ekonomi seperti jalan yang telah diselesaikan sepanjang 3.696 kilometer, inflasi sektor transportasi menurun pada 2006. Pada 2007 inflasi telah berada di tingkat yang sama dengan angka inflasi nasional. Inflasi bahan makanan juga menurun yang ditandai dengan kenaikan produksi pertanian dan perikanan, tapi selalu lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi nasional. Hal ini disebabkan masih tingginya porsi bahan makanan yang dipasok dari luar daerah.

Berlangsungnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi mempunyai kontribusi terhadap peningkatan aktivitas ekonomi dan secara bertahap dalam membantu menekan laju inflasi. Pada 2008, tingkat inflasi telah menurun dan sudah berada di bawah tingkat inflasi nasional.
Bagian 5. Geliat Pascapemulihan

Kesinambungan Rekonstruksi
Ekonomi Provinsi NAD sudah mulai bangkit. BRR sebagai institusi yang memegang mandat untuk menjalankan misi kemanusiaan berakhir pada 16 April 2009. Walaupun demikian, proses rehabilitasi dan rekonstruksi masih terus berlanjut meskipun BRR sudah berakhir. Proses ini dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi NAD melalui Rencana Kerja Pemerintah 2009 yang pelaksanaannya dilakukan oleh Satuan Kerja (Satker) Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD 2009. Programprogram yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Satker Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD 2009 merupakan programprogram penting yang diusulkan oleh masingmasing pemerintah kabupaten atau kota yang ada di wilayah NAD. Programprogram ini harus dilaksanakan secara baik agar hasil rehabilitasi dan rekonstruksi ini dapat memicu perekonomian secara berkesinambungan. Di sisi lain, untuk mencapai suatu visi BRR dalam kesejahteraan masyarakat memerlukan waktu yang cukup panjang. Misi bidang ekonomi dan usaha difokuskan pada programprogram memperbaiki aset produktif dan aset publik yang rusak akibat bencana serta memperkuat fondasi ekonomi secara berkelanjutan. Programprogram ini tentunya sudah dilakukan secara maksimal meskipun dirasakan masih belum dapat mencapai kesejahteraan masyakat yang dicitacitakan. Pencapaian citacita kesejahteraan ini merupakan upaya jangka panjang dengan menjaga komitmen pembangunan secara berkelanjutan oleh semua pihak yang berkontribusi untuk menjalankan misi pembangunan ekonomi. Kata kunci untuk menjaga kesinambungan rekonstruksi yang sudah dilakukan oleh pihakpihak terkait adalah bagaimana upaya untuk menciptakan dan menjaga komitmen membangun bidang ekonomi secara holistik. Beberapa hal yang dianggap dapat menumbuhkan komitmen membangun ini antara lain menciptakan kepedulian pentingnya menuntaskan proses rekonstruksi, menjaga dan menjalin koordinasi dengan semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi, menciptakan dan melaksanakan programprogram yang dapat memperkuat dan menumbuhkan perekonomian, memperkecil ego sektoral dalam proses pembangunan, dan menjaga kepercayaan yang sudah dibangun selama proses rekonstruksi.

111

Cermincermin Ekonomi dan Usaha


kita banyak belajar setelah dapat melewati masamasa yang sulit. Begitu pula dengan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Banyak hal yang menjadi pembelajaran ketika melaksanakan kegiatan penanganan bencana selama empat tahun di Aceh. Penyebabnya, bekerja menangani bencana saja susah apalagi ditambah melakukannya di daerah konflik, maka tingkat kesulitannya pun menjadi sempurna.

BIASANYA

Pembelajaran Utama
Memulai dari Akhir
Bagaimana kita mengakhirinya dengan baik? Apa yang kita harapkan ketika program selesai? Siapa yang akan melanjutkan? Apa yang perlu dipersiapkan dari sekarang? Sekelumit pertanyaanpertanyaan di atas adalah menyangkut transisi atau masa akhir penyelesaian suatu program. Sering kali hal ini baru terpikirkan dengan serius dan mendapat prioritas tinggi ketika masa akhir program sudah tinggal beberapa saat saja. Hal ini dapat dipahami mengingat ketika melaksanakan program penanganan bencana, faktor kemampuan untuk bertindak

Armada Boat 5 GT melaut di Simeulue. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

113

cepat sangat dominan. Prinsipnya adalah melaksanakan dulu, urusannya belakangan. Terpenting program sudah berjalan dan pemetik manfaat sudah dapat merasakan manfaatnya.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Tentunya logika berpikir seperti ini sahsah saja bagi kegiatankegiatan yang sifatnya mendesak dan jangka pendek yang dampaknya perlu terlihat dengan segera sehingga kecepatan adalah di atas segalanya. Namun, bagi programprogram yang diharapkan berlanjut dalam jangka panjang, faktor keberlanjutan dan kesinambungan juga menjadi tujuan. Ada beberapa tantangan yang akan dihadapi ketika kita tidak memulai dari akhir. Pertama, tantangan waktu yang tinggal sedikit untuk mempersiapkan pengakhiran dengan baik. Ciri khas dari sebuah program yang berkelanjutan dengan baik adalah tersedianya cukup waktu untuk melakukan perencanaan dan pendampingan dengan baik dan benar. Ketergesaan biasanya akan mengundang faktor risiko yang lebih besar dalam pelaksanaan kegiatan. Mendesain penyelesaian kegiatan di masa akhir, di awal tahap, akan membuat organisasi memiliki ruang waktu yang cukup untuk melakukan perencanaan, adaptasi di lapangan, serta melakukan pendampingan bagi yang akan melanjutkannya ke depan. Kedua adalah butuh upaya yang lebih keras untuk menyamakan persepsi. Alasannya, pihak penerima manfaat sudah mempunyai ekspektasi dan kepentingan yang dibangun melalui spekulasispekulasi. Hal ini karena belum adanya suatu garis tegas yang harus diikuti atau pandanganpandangan yang menjadi basis pola pikir sejak awal ketika program dilaksanakan. Ketika pada hari pertama pemetik manfaat sudah dapat melihat dengan jelas bagaimana program ini berakhir dan berlanjut nantinya, maka mereka yang mau ikut terlibat dalam program secara psikologis sudah mempersiapkan diri dan cenderung akan mengikuti aturan main yang telah ditetapkan. Ketiga, kemungkinan terputusnya rantai dan kurva pembelajaran dari pelaksana kegiatan. Hal ini terjadi karena individu yang mendesain dan melaksanakan kegiatan pada tahaptahap awal sudah berganti, sedangkan karyawan baru kurang memahami nilainilai sebuah program. Sejatinya, pekerjaan menangani bencana adalah program yang sifatnya project based sehingga umumnya karyawan dikontrak dalam jangka waktu tertentu. Konsekuensinya masuk keluarnya atau turn over pekerja pelaksana kegiatan di sebuah organisasi akan menjadi sangat tinggi. Hal ini akibat jangka waktu kontrak yang pendek atau pekerja pindah pekerjaan akibat ada tawaran yang lebih baik. Kepindahan pekerja ini merupakan hal yang wajar dalam organisasi proyek. Akibatnya, kehilangan orangorang terbaik yang sudah memiliki pengalaman lapangan dan memahami persoalan secara menyeluruh dalam pengakhiran program merupakan kendala tersendiri. Apalagi kalau penggantinya adalah orang baru dan pada tahap belajar memahami program.

114

Seharusnya, ketika strategi pengakhiran program sudah ditetapkan di awal, pekerja yang mendesain program juga akan mendesain strategi pengakhirannya. jadi, desainnya tinggal diikuti oleh yang melanjutkan. Selain itu, pengenalan program kepada pemangku kepentingan juga dapat dilakukan dengan lebih baik dan proses transfers of knowledge juga dapat direncanakan sehingga mempercepat masa pembelajaran bagi penggantinya.

Usaha pembuatan batu bata di Pulau Simeulue, 19 Oktober 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Mengubah Nasib Seseorang yang Mau Mengubah Nasibnya Sendiri


Membangun program yang berbasis masyarakat bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi membangun program di daerah yang didera bencana dan konflik, hal tersebut akan semakin sulit. Namun, ada faktor yang membuat hal yang susah menjadi mudah, yakni karakter dari penerima manfaat. Penjelasannya begini: dalam melaksanakan program, kita akan berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang memang ingin sekali mengubah nasibnya. Keinginan ini dicerminkan dengan keseriusan dan kerelaan untuk berkorban. Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Pertama adalah kerelaan untuk berkorban. Rasa memiliki itu muncul kalau kegagalan program akan berakibat pada kerugian bagi dirinya. Caranya dimulai dari kerelaan untuk meluangkan waktunya tanpa harus dibayar sampai ikut menanggung sebagian dari dana program.

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

115

116

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Petani penerima bantuan di Aceh Barat. Foto: Dokumentasi BRR

Kedua adalah keseriusan mengikuti program. Halhal kecil seperti hadir dalam rapat ketika diundang, mudah dicari ketika diperlukan, dan selalu terbuka atas ideide untuk membuat program menjadi lebih baik merupakan ciriciri dari keseriusan. Ketiga adalah proaktif dalam mencari solusi ketika program mengalami kendala di lapangan. Tidak berdiam diri dan menyerahkan sepenuhnya kepada pelaksana program untuk menyelesaikan semua masalah yang dihadapi. Ketika ciriciri di atas tidak ditemui dalam kelompok masyarakat, maka kemungkinan kita akan menghadapi kesulitan pelaksanaan. Namun, terkadang kita tidak memiliki keleluasaan untuk memilih masyarakat yang harus dibantu karena sudah merupakan tanggung jawab kita untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Artinya, kita berhadapan dengan masyarakat yang belum merasa perlu untuk mengubah nasibnya. jadi, butuh waktu lama dan upaya keras untuk menghadapi kelompok ini. Kita juga membutuhkan komunikasi, bantuan, dan pendampingan secara terusmenerus sampai mereka ingin mengubah nasibnya. Kalau tidak, program terus berjalan selama bantuan masih mengucur. Sebaliknya, ketika bantuan terhenti, program pun ikut terhenti.

Integritas Tiada Akhir


Masyarakat lebih percaya apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Setiap ucapan akan diuji oleh masyarakat tentang kebenarannya. Setelah melewati ujian, barulah kepercayaan itu muncul.

Selain itu, sangat penting untuk memegang janji dalam konteks integritas. jangan pernah menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi, apalagi hanya sematamata membuat masyarakat tertarik untuk berpartisipasi. Lebih baik mengatakan tidak pada tahap awal daripada mengobati kekecewaan karena harapan yang tidak terpenuhi pada tahap akhir.

Apa yang Tidak Terlihat Jelas, akan Terimplementasi dengan Tidak Jelas Pula
Salah satu tantangan yang paling besar dalam melaksanakan penanganan bencana adalah menyelaraskan antara apa yang ingin dicapai dan kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Membangun kembali sebuah daerah yang terkena bencana diperlukan semangat untuk menjadikannya lebih baik dari sebelumnya. Namun, semangat ini perlu dikelola sehingga terhindar dari keinginan yang terlalu tinggi dan kurang fokus. Memang sulit menentukan apa yang kita inginkan dengan tujuan yang terlalu tinggi. Sebab, tujuan itu disusun pada tahap pekerjaan belum memasuki fase pelaksanaan sehingga tantangan di lapangan belum dapat dirasakan. Namun, ada beberapa faktor yang dapat menjadi acuan dalam menyusun tujuan, mulai dari jangka waktu yang tersedia, kecukupan dana, peraturan pelaksanaan, sampai kemampuan organisasi untuk mengontrol kegiatan di lapangan. Sering sekali tujuan yang tidak jelas akan mengakibatkan perencanaan yang tidak jelas. Perencanaan yang tidak jelas tentu saja akan membuat pelaksanaan kegiatan yang tidak jelas pula.

Setiap Tahapan Mempunyai Cara Tersendiri


Pada umumnya ada empat tahapan penting dalam penanganan bencana. Dimulai dengan tahap tanggap darurat, tahap rehabilitasi, tahap rekonstruksi, dan diakhiri dengan tahap transisi. Setiap tahapan mempunyai karakternya sendiri. Pada tahap tanggap darurat, hal paling penting adalah menyelamatkan nyawa manusia dan mengurangi korban jiwa. Untuk kegiatan ekonomi pada tahap rehabilitasi difokuskan pada percepatan pemulihan asetaset produktif dan kegiatan lain yang dapat membuat masyarakat memperoleh pendapatan dalam waktu cepat.

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

BRR adalah organisasi yang berlandaskan antikorupsi. Dari awal sampai akhir, hal tersebut tidak berubah. Dalam pelaksanaan kegiatan juga demikian. Ketika masyarakat tahu ada sebagian dari bantuannya yang disunat untuk pribadipribadi pelaksana kegiatan, maka apa yang disampaikan kepada masyarakat tentang pentingnya program tersebut serta bagaimana mekanisme yang dibentuk untuk pelaksanaan program, itu akan sulit diikuti masyarakat. Kemungkinan program dapat berkelanjutan pun menjadi kecil. Masyarakat akan menilai bahwa program tersebut memang bukan didesain untuk mereka, tapi hanya sebagai kendaraan bagi pelaksana kegiatan untuk memperoleh kepentingan pribadi. Apabila ada penyelewengan di tingkat masyarakat, itu juga akan sulit ditindak karena pelaksana kegiatan juga melakukan penyelewengan.

117

Di tahap rekonstruksi, mulai dilakukan kegiatankegiatan yang berdampak jangka panjang. Sementara itu, tahap transisi, dilakukan kegiatankegiatan yang bersifat transfer of asset dan transfer of knowledge.
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Setiap tahapan mempunyai pendekatannya tersendiri. Tahap tanggap darurat atau awal dari tahap rehabilitasi, pendekatan yang mengutamakan aspek keberlanjutan akan sulit. Alasannya pendekatan keberlanjutan membutuhkan waktu lama, sedangkan kecepatan melaksanakan kegiatan merupakan hal yang utama.

Mengukur Kinerja Tak Bisa dengan Indikator Situasi Normal


Di tahap akhir sebuah program, sering orang akan menilai kinerja pelaksanaan program dengan menggunakan indikator normal. Selain itu banyak pekerjaan yang sudah selesai dan suasana bencana sudah tidak terlihat lagi. Apalagi yang melakukan evaluasi adalah orang yang tidak pernah melihat kondisi awal dan situasi bencana. Akibatnya aspek penanganan bencana sering terlupakan dan kinerja pun dianggap kurang maksimal. Untuk itu perlu pemahaman keadaan pada saat melakukan evaluasi, khususnya pada tahaptahap akhir. Sebab, melaksanakan tugas di daerah yang terkena bencana tidaklah sama. Apalagi Aceh juga terkena konflik. Akibatnya, banyak program atau keputusan yang harus diambil agar sesuai dengan kondisi lapangan pada saat itu. Selain itu, penanganan bencana situasinya sangat dinamis dan kompleks sehingga kemampuan beradaptasi sangat diperlukan. Berbeda dengan situasi normal yang cenderung lebih stabil dan bisa diprediksi. Artinya, dengan penggunaan indikator kinerja pada situasi normal, hal tersebut tidak sertamerta dapat digunakan untuk mengukur kinerja kegiatan penanganan pascabencana. Faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja penanganan bencana sangat berbeda sehingga akan mengurangi akurasi penilaian kinerja.

118

Setiap Perubahan Organisasi Ada Harganya


Struktur organisasi dalam menangani bencana harus fleksibel, tidak birokratis, dan bisa beradaptasi terhadap kebutuhan di lapangan. Organisasi ini didesain untuk memecahkan dan menyelesaikan masalah di lapangan. Ketika organisasi tidak fleksibel, tidak birokratis, dan tidak mampu beradaptasi, maka organisasi akan lamban dalam merespons situasi dan permasalahan di lapangan. Perubahanperubahan struktur organisasi tersebut perlu dikelola dengan baik. Ada beberapa risiko yang akan muncul apabila hal ini terabaikan. Pertama adalah terlalu banyak waktu yang dibutuhkan untuk belajar karena orangorang baru akan memulai proses pengenalan kebijakan dari awal. Kedua, risiko kegagalan program menjadi lebih besar karena kebijakan yang telah dirancang tidak dapat diimplementasikan. Hal ini sering terjadi ketika unit kerja yang baru menganggap program yang disusun sebelumnya tidak lagi dianggap penting atau prioritas. Akibatnya program tersebut direvisi kembali atau malah tidak dilaksanakan.

Kesimpulannya, organisasi penanganan bencana harus bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi lapangan. Sedangkan untuk membuat perubahanperubahan organisasi itu tetap efektif, faktorfaktor risiko yang disebutkan di atas perlu dikelola dengan baik. jika tidak, harga yang harus dibayar akan menjadi besar.

Pola Pikir Krisis Sepanjang Waktu


Menangani bencana adalah menangani krisis. Situasi krisis ini dimulai dari tahap awal sampai akhir pelaksanaan tugas. Penanganan situasi krisis memerlukan kecepatan dan fleksibilitas dalam bertindak. Masalahnya birokrasi menjadi ancaman utama karena memperlambat kecepatan dan menghambat fleksibilitas. Pada tahap awal krisis pola pikir (crisis mindset) sangat mengental karena jarak waktu dengan kejadian bencana masih sangat dekat. Secara kasatmata, dampak dari bencana masih bisa dilihat dan ditemui, baik dari segi kerusakan fisik maupun kondisi emosional korban bencana ketika berinteraksi. Kondisi ini sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak pelaksana kegiatan. Keinginan dan kemampuan untuk melakukan perubahan dan terobosan dengan cepat sangat diinginkan semua pihak. Seiring waktu, pembangunan mulai terlihat dan kondisi emosional korban bencana semakin stabil. Begitu juga ikatan pola pikir penanganan krisis mulai mengendur dan perlahan pindah ke pendekatan penanganan situasi normal. Ketika ini terjadi, birokrasi muncul secara perlahan yang mengakibatkan kecepatan mulai berkurang dan fleksibilitas mulai terbatasi. Padahal penyelesaian kegiatan penanganan bencana belum selesai atau bahkan baru setengah jalan. Ketika ini terjadi pelaksanaan kegiatan menjadi kehilangan rohnya. Kemampuan dan semangat untuk bertindak cepat dan fleksibel perlahanlahan berubah menjadi kemampuan untuk memenuhi aturanaturan yang sebenarnya hanya cocok untuk situasi normal. Bahkan orangorang mulai lupa bahwa yang ditangani adalah pekerjaan penanganan bencana. Ketika sebuah keputusan diambil, semangat menyelesaikan masalah mulai bergeser ke arah semangat mengantisipasi masalah yang akan muncul di kemudian hari. Kemampuan untuk mengambil risiko juga semakin mengecil karena kepatuhan akan peraturan menjadi lebih penting. jadi, krisis pemahaman harus sampai akhir masa tugas karena merupakan modal utama dalam menyelesaikan masalah dan melaksanakan kegiatan dengan cepat. Masyarakat harus selalu ingat bahwa yang sedang ditangani adalah pembangunan pascabencana.

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

Ketiga adalah proporsi beban kerja yang tidak seimbang. Perubahan organisasi juga dapat berdampak terhadap berkurangnya jumlah karyawan sehingga jumlah pegawai yang bertanggung jawab menangani suatu program kurang sepadan dengan tanggung jawab yang diberikan. Ini akan berakibat penumpukan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan meningkat yang pada ujungnya akan mempengaruhi kinerja pelaksanaan kegiatan.

119

Tidak Ada Perencanaan yang Sempurna


Bencana itu datang dengan tibatiba dan tidak dapat diprediksi dengan tepat kapan bencana akan datang. Dalam menangani kegiatan pascabencana, suasana krisis pun akan muncul. Ciri khas situasi krisis adalah kejadiankejadian yang di luar kontrol dan situasi yang berubahubah. Belum lagi ditambah dengan sulitnya melakukan pendataan setelah bencana terjadi. Ini semua terkait dengan perencanaan. Salah satu ciri perencanaan yang baik adalah kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi di depan. Kemampuan memprediksi akan lebih mudah ketika faktorfaktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan bersifat konstan dan stabil, serta ketersediaan data yang memadai. Ketika faktorfaktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan sulit ditebak, dinamis, dan berubahubah, maka secara otomatis untuk melakukan perencanaan dengan baik juga akan sangat sulit dilakukan. Penyebabnya situasi di lapangan berubahubah terus dan apa yang direncanakan akan sangat mungkin berbeda ketika program diimplementasikan di lapangan. Ini terjadi karena dari proses perencanaan ke implementasi ada jeda waktu yang membuat asumsiasumsi untuk perencanaan telah berubah. Perencanaan untuk kegiatan penanganan bencana harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahanperubahan dan dinamika di lapangan. Ada halhal yang tidak direncanakan kemudian harus dilakukan dan ada juga kegiatankegiatan yang sudah direncanakan namun tidak dilakukan. Faktor situasi lapangan menjadi penentu dalam mengambil keputusan. Perencanaan yang terlalu kaku dan detail, walaupun dari segi perencanaan terlihat sangat baik, akan menemui banyak kendala dalam pelaksanaannya. Namun, bukan berarti tidak perlu melakukan perencanaan sama sekali atau membuat perencanaan yang harus terlalu umum. Di sini perlu dibedakan perencanaan seperti apa dan pada tahap apa. Idealnya pada tahun pertama difokuskan hanya untuk menyusun perencanaan. Konsekuensinya akan ada sedikit kegiatan yang dilakukan di tahun pertama. Apabila pendekatan ini diambil, harus ada mekanisme lain untuk menyuplai kebutuhan masyarakat selama kegiatan belum berjalan. Pada kasus Aceh dan Nias sangat sulit untuk memilih pendekatan ini karena masyarakat menuntut agar BRR bergerak cepat. Ini mengakibatkan implementasi kegiatan dan perencanaan bergerak seiring. Bahkan evaluasi kegiatan juga berjalan dengan simultan sehingga pendekatan yang dipilih adalah bergerak dengan cepat dan apabila ada kelemahan baru diperbaiki sambil jalan atau setelah program selesai.

120

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Mengendalikan Kegiatan dengan Informasi Terperinci


Sistem pengendalian kegiatan pada masa bencana harus kuat dan terperinci. Ini diperlukan agar informasi yang masuk untuk proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan informasi yang seakurat mungkin. Hal ini tentunya tidak mudah dilakukan, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan.

Pendekatan pengendalian terperinci bersifat kuantitatif. Kemajuan penyerapan diukur secara mingguan dan titiktitik yang mendapat kendala dalam menyerap anggaran harus dapat terdeteksi dengan sangat jelas. Hal tersebut tidak cukup hanya sekadar diketahui pada tataran unit kerja atau Satuan Kerja, tapi juga perlu diketahui sampai satuan kegiatan yang paling kecil. Ini bertujuan agar dapat diketahui berapa jumlah dana yang perlu diserap, apa kegiatannya, di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, kapan selesai, dan siapa penanggung jawab pelaksanaan tersebut dari yang paling rendah posisinya hingga paling tinggi rentang kendali dan tanggung jawabnya. Apabila pelaksana kegiatan itu sifatnya kontraktual, maka perlu diketahui siapa kontraktornya, termasuk nama contact personnya agar dapat dihubungi dengan mudah, dan kapan kontrak dimulai dan berakhir. Kalau kegiatannya bersifat swakelola, perlu diketahui siapa ketua kelompoknya, termasuk nama dan alamat serta nomor yang dapat dihubungi. Pengendalian secara terperinci ini pada prinsipnya menyiapkan seluruh informasi yang dibutuhkan untuk proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, serta langkahlangkah tindak lanjutnya. Semua informasi bersifat fakta dan angka sehingga pengambilan keputusan berbasis asumsi dapat diperkecil. Kelengkapan informasi harus dapat meminimalkan jawaban tidak tahu atau tidak ada data pada setiap pertanyaan. Apabila jawaban tersebut sering muncul, artinya sifat pengendalian penuh dan terperinci

Truk angkutan kelapa sawit melintas di jembatan Sungai Singkil, 21 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

121

122

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Kelompok petambak penerima bantuan di Aceh Timur. Foto: Dokumentasi BRR

belum maksimal. Konsekuensi pelaksanaan sistem pengendalian terperinci ini adalah harus ada tim khusus yang melakukan kunjungan ke lapangan secara berkala ke semua kegiatan yang dilakukan. Khususnya kegiatankegiatan yang mempunyai potensi bermasalah atau sudah bermasalah. Apabila sistem pengendalian terperinci ini dibentuk unit kerjanya, unit kerja tersebut harus dapat berkomunikasi langsung dengan pimpinan tertingi. Sistem pengendalian terperinci ini hanya akan dapat berfungsi secara maksimal kalau mendapat dukungan penuh dari pimpinan tertinggi dan diberi otoritas yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Selain itu, sistem database juga harus disiapkan dengan baik sehingga dapat diakses dengan mudah saat rapat internal yang dilakukan berkala.

Beradaptasi dengan Risiko


Penanganan bencana adalah penanganan situasi krisis sehingga faktor risiko dalam setiap kegiatan akan sangat dominan seperti risiko kegagalan proyek, risiko reputasi, risiko keuangan, risiko audit, risiko sosial, dan segala jenis risiko lainnya. Risiko merupakan bagian dari pekerjaan yang ditemui setiap saat sehingga kemampuan untuk beradaptasi dengan risiko menjadi penting. Kalau memakai kacamata normal, akan banyak sekali

Bagaimana mengelola risiko agar dampaknya bisa diminimalkan? Kuncinya adalah kemampuan dalam mengidentifikasi risiko dan memahami sebesar apa dampak yang mungkin terjadi kalau risiko tersebut terjadi. Kemampuan selanjutnya adalah mengidentifikasi langkahlangkah yang perlu diambil dan memastikan bahwa langkahlangkah pengelolaan risiko itu dijalankan dan diukur keberhasilannya. Apabila keputusan yang diambil atau kebijakan yang dijalankan ternyata kurang tepat, maka dapat segera dilakukan evaluasi untuk penyesuaian langkahlangkah alternatif lainnya.

Masalah di Lapangan Diselesaikan di Lapangan


Proses pengambilan keputusan harus bisa sedekat mungkin dengan titik pelaksanaan kegiatan. Delegasi otoritas pengambilan keputusan yang bersifat teknis dan situasional harus dilakukan sehingga permasalahan yang sifatnya teknis dan nonkebijakan dapat diputuskan di tempat kejadian. Apabila proses pengambilan keputusan berpusat di kantor pusat, maka potensi kelambatan pengambilan keputusan serta ketidaktepatan dalam pengambilan keputusan akan sangat mungkin terjadi. Penyebabnya jarak antara tempat kejadian dan tempat keputusan diambil sangat jauh sehingga pemahaman situasi lapangan dan urgensi permasalahan tidak dapat dirasakan. Akibatnya hal yang dianggap penting di lapangan bisa dianggap tidak penting di kantor pusat dan juga sebaliknya. Kantor pusat sebaiknya hanya fokus pada pengambilan keputusan yang bersifat kebijakan dan strategis, sedangkan otorisasi pengambilan keputusan yang bersifat teknis dan situasional didelegasikan ke unit kerja yang paling dekat dengan kegiatan tersebut dilaksanakan. Kecepatan dan ketepatan dalam menyelesaikan tantangan dan permasalahan di lapangan juga harus menjadi dasar dalam pembagian wewenang antara kantor pusat dan unit kerja di lapangan.

Mendapatkan SDM Terbaik


Melaksanakan pekerjaan penangan bencana pada prinsipnya adalah tugas kemanusiaan yang perlu dilakukan dengan sebaik mungkin. Setidaknya ada empat kriteria utama yang menjadi pedoman dalam merekrut karyawan yang akan bekerja, yaitu profesionalisme, integritas, keikhlasan, dan semangat membangun. Profesionalisme artinya orang yang dipekerjakan adalah SDM yang sudah siap dan mempunyai pengalaman serta kemampuan untuk menyelesaikan tugasnya. Ini penting karena kegiatan perlu dilaksanakan dengan cepat dan tepat sehingga waktu untuk belajar memahami apa yang yang harus dilakukan dapat dipersingkat. Sedangkan integritas menjadi kata kunci untuk memastikan pelaksana kegiatan bebas dari praktikpraktik korupsi, serta menghindari mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi pada saat kegiatan dilaksanakan.

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

kegiatan yang berisiko tinggi dan tidak layak untuk dikerjakan. Masalahnya ini adalah tugas penanganan bencana yang tidak mungkin memilih mana kegiatan yang berisiko tinggi atau rendah. Risiko tidak dapat dihindari, tapi harus dihadapi dan dikelola.

123

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Keikhlasan berarti siap untuk bekerja dengan satu tujuan, yaitu menangani bencana dan bukan sekadar tempat untuk mencari pekerjaan dengan gaji lumayan. Selain itu, SDM juga siap bekerja dengan tidak mengikuti jam normal kantor tanpa mengenal waktu dan hari sehingga kapan pun dibutuhkan harus selalu bersedia. Keikhlasan juga berarti siap mengorbankan kepentingankepentingan pribadi untuk kepentingan organisasi dan siap untuk mengikuti kebijakankebijakan organisasi yang telah ditetapkan, termasuk perubahan status atau pemindahan tempat kerja. Adapun semangat membangun artinya selalu berupaya memberikan kontribusi lebih dari yang tertulis di kontrak kerja dan penuh semangat membangun Aceh dan Nias untuk menjadi lebih baik. Selain itu, mau berupaya untuk melakukan terobosanterobosan dan kepuasan kerjanya terletak bukan pada pekerjaan sudah diselesaikan, tapi membangun sesuatu yang dapat dibanggakan dan bermanfaat besar bagi masyarakat dan daerah.

124

Refleksi Penutup
Setelah empat tahun program rehabilitasi dan rekonstruksi bidang ekonomi dan usaha dilaksanakan, banyak hal yang dapat dijadikan pembelajaran. Pelajaran yang diperoleh baik dari sisi kekuatan (sukses) maupun kelemahankelemahan yang ada. Harus diakui bahwa usaha untuk menggapai visi dan misi yang telah ditetapkan tidak semuanya berlangsung mulus. Rintanganrintangan yang cukup pelik dan berat menyerap banyak waktu, energi, dan pikiran. Penyelesaian yang ditempuh bervariasi mulai dari hanya kesepakatan antarpenerima manfaat sampai komitmen dari semua pihak untuk menuntaskan pekerjaan. Kerja keras tersebut membawa hasil. Misi memperbaiki aset produktif masyarakat dan aset publik yang rusak akibat bencana (misi yang pertama) pada tahuntahun awal (20052006) telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebagian besar petani, nelayan, pedagang, dan masyarakat telah kembali menjalankan usahanya. Hal ini telah mendorong bangkitnya aktivitas ekonomi masyarakat. Misi kedua (20072008), yakni memperkuat fondasi ekonomi masyarakat yang dimulai dengan mengimplementasikan programprogram unggulan sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hasil dari programprogram yang telah dirancang dan diimplementasikan sudah terlihat walaupun dampaknya masih kecil. Penyebabnya, rentang waktu pelaksanaan masih pendek. Asetaset tersebut dapat diperbaiki dan dibangun karena adanya kontribusi semua pihak. Aset produktif dan aset publik yang telah diperbaiki dan dibangun harus tetap dirawat oleh penerima manfaat secara serius. Hal tersebut menjadi amanah yang harus tetap dijaga. Demikian juga dengan programprogram unggulan seperti Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, balai latihan kerja, Sentra Industri Kecil Samahani, Pasar Grosir Bireuen, dan Investor Outreach Office, Export Development Center, serta Klinik Kemasan dan

Di samping itu, tantangan lain yang dihadapi oleh semua pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi adalah kritik yang tiada hentinya. Namun, kritik tersebut sudah selayaknya dijadikan sebagai cambuk untuk bekerja lebih keras dan lebih cepat lagi. Pembelajaran yang diperoleh dari pengelolaan program dalam situasi bencana yang berhubungan dengan proses perumusan visi dan misi, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, penilaian terhadap indikator keberhasilan yang dibatasi oleh rentang waktu tertentu, peliknya memahami mekanisme APBN, terbatasnya SDM yang ada, sulitnya melaksanakan monitoring dan evaluasi karena rentang kendali yang cukup luas merupakan halhal yang sangat berharga bagi pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi. Pembelajaran ini barangkali dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan mitigasi bencana alam (yang mudahanmudahan tidak terjadi lagi) di masa yang akan datang. Harus diakui bahwa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di bidang ekonomi dan usaha mempunyai kekurangankekurangan. Pandangan penerima manfaat menyampaikan bahwa bantuan yang diberikan masih belum cukup, sosialisasi yang masih kurang, dan bantuan yang diberikan masih belum tepat waktu, menjadi masukan yang sangat berharga walaupun kegiatankegiatan untuk mengantisipasi hal tersebut telah dilakukan dengan melaksanakan sosialisasi kepada ketua dan kelompok masyarakat, pelibatan pendamping dan tim teknis dari instansi terkait, dan pembentukan sekretariat bersama. Akhirnya, harapan kita adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan masyarakat yang tertimpa bencana ini terus dan tetap berlanjut, meskipun BRR berakhir pada April 2008. Keberlanjutan proses tersebut dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat secara luas, dapat mendorong menurunnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatnya lapangan kerja. Mari kita bersamasama bahumembahu untuk menuntaskan rehabilitasi dan rekonstruksi serta menggapai semua yang dicitacitakan untuk menuju masyarakat yang sejahtera di masa yang akan datang.

Bagian 6. Cermincermin Ekonomi dan Usaha

Merek harus tetap dibina dan berlanjut. Pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat bahumembahu untuk mendorong dan mengawal keberlanjutan program tersebut. Harapannya pada suatu titik nanti ketika program unggulan tersebut berjalan dengan stabil, fondasi ekonomi masyarakat menjadi lebih kuat yang dapat membantu turunnya tingkat kemiskinan dan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.

125

Bibliografi
Bappenas, 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi : Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Sumatera Utara, Jakarta. BPKP, 2007. Laporan Hasil Review atas Evaluasi Paruh waktu Tahun 20052007 dan Rencana aksi Tahun 20072009 Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi naggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta. BPS, 2003. aceh dalam angka Tahun 2003. Badan Pusat Statistik, Banda Aceh. BPS, 2005. aceh dalam angka Tahun 2005,Badan Pusat Statistik, Banda Aceh. BRR NAD dan Nias, 2007. Evaluasi Program Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha BRR Tahun 2006, Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda Aceh. BRR NAD dan Nias, 2009. Bangkit dan Berdaya : Suarasuara untuk Pemebelajaran Bidang Ekonomi dan Usaha Tahun 20052008, PT.Sinar Permata Deli, Medan. BRR NAD dan Nias, 2009. Meletakkan Pondasi dan Membangun negeri: Profil Program dan Capaian Bidang Ekonomi dan Usaha Tahun 20052008, PT.Sinar Permata Deli, Medan. BRR NADNias, 2006. Peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR naD nias nomor 30/PER/BPBRR/XI/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Banda Aceh. BRR NADNias, 2007. Peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR naD nias nomor 23/PER/BPBRR/VI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pelaksana Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan nomor 30/PER/BPBRR/XI/2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Banda Aceh. BRR NADNias, 2008. Mengisi Bangunan Pemulihan: Laporan Tahunan 2007 BRR naD dan nias, Banda Aceh. BRR NADNias, 2008. Peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR naD nias nomor 4/PER/BPBRR/I/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Banda Aceh.

127

EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

BRR NADNias, 2008. Peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR naD nias nomor 17/PER/BPBRR/VI/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Banda Aceh. BRR NADNias, 2008. Peraturan Kepala Badan Pelaksana BRR naD nias nomor 24/PER/BPBRR/XI/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Banda Aceh. Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha, 2007. Midterm Review Recana Induk Bidang Ekonomi dan Usaha, Banda Aceh. Deputi Bidang Ekonomi dan Usaha, 2009. Laporan Kedeputian Bidang Ekonomi dan Usaha, Banda Aceh. FGD BRR, 2009. Laporan Focus Group Discussion (FGD) Bidang Ekonomi dan Usaha Tahun 2009, Banda Aceh. Keputusan Presiden RI, 2005. Salinan Keputusan Presiden RI Tahun 2005 nomor 63/M Tahun 2005 tentang Pengangkatan Dewan Pengarah dan Dewan Pengawas serta Pejabat Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta. Lombard, D.1986. Kerajaan aceh : Zaman Sultan Iskandar Muda (16071636), Balai Pustaka, Jakarta. Majalah Tajuk, 1999. Onghokham On atjeh, Majalah Tajuk. Pemda Aceh, 2007. aTLaS Pengembangan Ekonomi Provinsi nanggroe aceh Darussalam, Banda Aceh. Perpres RI, 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta. Perpres RI, 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 34 Tahun 2005 tentang tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta Perpres RI, 2005. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 76 tentang Perubahan Perpres no.34 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja serta Hak Keuangan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta.

128

Perpres RI, 2008. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta. UndangUndang RI, 2005. Undangundang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi nanggroe aceh Darussalam dan Kepulauan nias Provinsi Sumatera Utara, Jakarta. World Bank, 2007. Laporan Perkembangan Ekonomi aceh Tahun 2007, Banda Aceh. World Bank, 2008. Laporan Perkembangan Ekonomi aceh Tahun 2008, Banda Aceh.

129

Daftar singkatan
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

Indonesia Abdya ADB ADR AISMIF APBD APBN ASEAN ASUH Bakornas (PBP) Bandara Bapel Bappeda Bappenas BBI BBU BLK BLM BPK BPS BRR Aceh Barat Daya Bank Pembangunan Asia Laporan Rancangan Kegiatan Perkumpulan Internasional Keuangan Mikro Aceh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perhimpunan BangsaBangsa Asia Tenggara Aman, Sehat, Utuh, dan Higienis Badan Koordinasi Nasional (Penanggulangan Bencana dan Penanganan Penyintas) Bandar udara Badan Pelaksana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Benih Induk Balai Benih Utama Balai Latihan Kerja Bantuan Langsung Masyarakat Badan Pemeriksa Keuangan Biro Pusat Statistik Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara Forum Koordinasi untuk Aceh dan Nias

English South West Aceh (A District Name) Asian Development Bank Activity Design Report Aceh International Society of Micro Finance Government of Indonesias Regional Annual Budget Government of Indonesias National Annual Budget Association of Southeast Asian Nations Secure, healthy, round, and hygiene National Coordination Agency (of Disaster Mitigation and Refugees) Airport Implementing Agency Regional Development Planning Agency National Development Planning Agency Mother Seed Hall Main Seed Hall Workplace Training Centre Direct Community Assistance Supreme Audit Agency Statistic Center Bureau Agency for the Rehabilitation and Reconstruction of the Regions and Community of Nanggroe Aceh Darussalam and the Nias Island of the Province of North Sumatra Coordination Forum for Aceh and Nias

130

CFAN

Indonesia CGI Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesiakelompok internasional yang didirikan Belanda untuk mengoordinasikan dana bantuan multilateral bagi Indonesia Upaya Tangkapan perUnit Rancangan Teknis Rinci Departemen Pertanian Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pusat Pengembangan Pasar Ekspor (PPPE)

English Consultative Group for Indonesia

CPUE DED Deptan DIPA DPR DPRD EDC ETESP

Catch PerUnit Effort Detail Engineering Design Agricultural Department Issuance of Spending Authority House of Representative Regional House of Representative Export Development Center

131

Proyek Sektor Bantuan Darurat Earthquake and Tsunami Emergency Support Project funded by Asian Gempa Bumi dan Tsunami yang dibiayai oleh Asian Development Bank Development Bank (ADB) (ADB) Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian Gerakan Aceh Merdeka Produk Domestik Bruto (PDB) Sistem navigasi satelit Ton Kotor Investasi dan Akses Pasar Industri Kecil dan Menengah Organisasi Buruh Internasional Kantor Penunjang Pelaku Investasi (KPPI) Kementerian Negara/Lembaga Kepala Badan Pelaksana Kerangka Acuan Kerja Kepala Satuan Kerja Proyek Pengembangan Kecamatan Klinik Kemasan Merek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Kantor Penunjang Pelaku Investasi Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara Food and Agriculture Organization Free Aceh Movement Gross Domestic Product Global Positioning System Gross Ton Market investment and access Small and Medium Industry International Labour Organization Investor Outreach Office Ministry/Institution Head of Implementing Agency Terms Of Reference (TOR) Head of Project Implementation Unit Kecamatan Development Project Branding and Packaging Clinic Corruption, Collusion, and Nepotism Investor Outreach Office (IOO) Office of State Services and Treasury

FAO GAM GDP GPS GT IAP IKM ILO IOO K/L Kabapel KAK Kasatker KDP KKM KKN KPPI KPPN

Indonesia LSM
EKONOMI: Kayuhan Jentera Kehidupan

English NonGovernmental Organization (NGO) MultiDonor Fund Peoples Consultative Assembly Network of Aquaculture Centers in AsiaPacific Nanggroe Aceh Darussalam Province NonGovernmental Organization (NGO) Tourism places of interest Regional Income United Nations Gross National Product Regional Gross Domestic Product Regional Government District Government Province Government Presidential Regulation Government Regulation in Lieu of Law Foreign Soft Loan/Grant Project Management Unit National Programme of Community Development Government Regulation Fish Unloading Bay Contract Preparation Officer Center of Construction Quality Control (within BRR) Coastal Fishery Seaport Export Development Center (EDC) Ocean Fishery Seaport Basic Infrastructure and Facilities Workplan and Conditions Slaughter House Midterm Development Plan

Lembaga Swadaya Masyarakat Dana MultiDonor Majelis Permusyawaratan Rakyat Jejaring Pusat Budidaya Air di Asia Pasifik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Organisasi nonpemerintah (LSM) Obyek Daya Tarik Wisata Pendapatan Asli Daerah Perserikatan BangsaBangsa Produk Domestik Bruto Produk Domestik Regional Bruto Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Pemerintah Provinsi Peraturan Presiden Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Pinjaman/Hibah Luar Negeri Unit Manajemen Proyek Program Nasional Pengembangan Masyarakat Peraturan Pemerintah Pangkalan Pendaratan Ikan Pejabat Pembuat Komitmen Pusat Pengendalian Mutu Konstruksi (dalam BRR) Pelabuhan Perikanan Pantai Pusat Pengembangan Pasar Ekspor Pelabuhan Perikanan Samudera Prasarana dan Sarana Dasar Rencana Kerja dan Syaratsyarat Rumah Potong Hewan Rencana Pembangunan Jangka Menengah

MDF MPR NACA NAD NGO ODTW PAD PBB PDB PDRB Pemda Pemkab Pemprov Perpres Perpu PHLN PMU PNPM PP PPI PPK PPMK PPP (P3) PPPE PPS PSD RKS RPH RPJM

132

Indonesia SAK Satker SD SDM SK SMA SMP SPAR SPDN SPI TA TNI UKM UN UNDP Unsyiah UPI UPT UPTD UU Satuan Antikorupsi Satuan Kerja Sekolah Dasar Sumber Daya Manusia Surat Keputusan Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Laporan Pengujian Subproyek Penjual Bahan Bakar Solar Dalam Nelayan Khusus Nelayan Sentra Pengolahan Ikan Tahun Anggaran Tentara Nasional Indonesia Usaha Kecil dan Menengah Perserikatan BangsaBangsa (PBB) Program Pembangunan PBB Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Unit Pengolahan Ikan Unit Pengelola Teknis Unit Pelaksana Teknis Daerah UndangUndang

English Anticorruption Unit Project Implementing Unit Elementary School Human Resources Decree Senior High School Junior High School SubProject Appraisal Report Solar Packed Dealer Nelayan Fish Processing Center Fiscal Year Indonesian National Army Small and Medium Enterprise (SME) United Nations United Nations Development Programme Syiah Kuala University, Banda Aceh Fish Processing Unit Technical Managing Unit Regional Technical Implementing Unit Law

133

Anda mungkin juga menyukai