Anda di halaman 1dari 10

Artikel Pendekatan Rasional (Epidemiologi) Penderita Gawat Jantung

Budi Susetyo Pikir Laboratorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir ini perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penyakit jantung amat pesat. Begitu pula perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penderita dengan Gawat Jantung yang biasanya melibatkan peralatan-peralatan yang canggih dengan biaya yang mahal dan obat-obatan yang sangat mahal pula.Untuk itu perlu perencanaan yang baik dan pendekatan yang rasional untuk mendapatkan efisiensi yaitu benefit yang setinggi-tingginya dengan cost atau risk yang serendah-rendahnya untuk menghindarkan pemborosan dan menghindarkan penderita dari risiko yang tidak perlu. Masalah penting yang harus diperhatikan ialah fasilitas dan dana yang selalu terbatas. Sebetulnya ada sedikit perbedaan antara cost-benefit analysis dengan cost-effectiveness analysis. Pada cost-benefit analysis, cost dan benefit ditunjukkan dalam nilai uang, sedangkan pada cost-effectiveness analysis, cost dalam nilai uang tetapi effectiveness dalam health benefit. Health benefit tersebut dihitung dalam unit misalnya jumlah yang hidup (diselamatkan), jumlah tahun kehidupan, kualitas hidup, dan sebagainya. Tujuan cost-effectiveness analysis ialah dengan sumber daya dan fasilitas yang ada, mendapatkan health benefit setinggitingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya1. ANALISIS PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK (CLINICAL DECISION ANALYSIS/MAKING) PADA PENDERITA GAWAT JANTUNG A. Pembuatan Keputusan Klinik dalam Diagnosis Gawat Jantung Untuk mendapatkan cost-effectiveness yang sebaik-baiknya, dalam pemilihan tes diagnosis harus didahului dengan estimasi
Dibacakan pada: Simposium Tatalaksana Gauat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991

probabilitas dari penyakit (pre-test probability atau prevalensi) dan mengetahui sensitivity dan specificity dari tes tersebut1,2. Hal lain yang perlu diketahui ialah tujuan dari tes diagnosis tersebut; yaitu : 1. Untuk diagnosis konfirmasi, etiologi dan faktor risiko serta berat penyakit. 2. Untuk menentukan manajemen penyaldt. 3. Untuk menentukan prognosis dan stratifikasi faktor risiko. 1. Untuk Diagnosis Penyakit Proses diagnosis membutuhkan dua langkah penting. Langkah pertama ialah membuat hipotesis diagnosis, langkah selanjutnya ialah menyingkirkan penyakit lain dan konfirmasi diagnosis. Proses tersebut dapat diselesaikan dengan memilih tes yang sangat sensitif, sehingga apabila hasil tes negatif (normal) berarti dapat menyingkirkan diagnosis penyakit tersebut; sedangkan untuk konfirmasi dipilih tes yang sangat spesifik, apabila tes positif (abnormal) maka diagnosis pasti dapat ditegakkan2. Pada penderita yang tidak gawat, tes diagnostik biasanya dilakukan secara serial, tetapi pada penderita gawat biasanya dilakukan secara paralel. Untuk cepatnya dipilih satu tes yang sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk memastikan diagnosis3. Setelah dilakukan konfumasi diagnosis, tujuan tes selanjutnya ialah mencari etiologi kalau mungkin, mencari faktor risiko dan menilai berat/komplikasi penyakit'. Menilai berat penyakit atau mencari komplikasi selain untuk manajemen juga untuk menilai prognosis serta stratifikasi risiko3,4. 2. Untuk menentukan Manajemen Penyakit Misalnya pemasangan Baloon-tipped pulmonary catheter

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

(Swan-Ganz Catheter) pada penderita Infark Miokard Akut Killip III (payah jantung kid berat) dan IV (shockkardiogenik)4. Pemeriksaan faktor risiko koroner pada penderita Infark Miokard Akut untuk kepentingan pencegahan sekunder3. Pada penderita yang sangat mencurigakan adanya Infqrk Miokard Akut, pengobatan klasik seperti pemberian morfin dan sebagainya tidak usah menunggu diagnosis pasti5, tetapi untuk memberikan pengobatan trombolitik harus konfilmasi dengan elektrokardiogram6. 3. Untuk menentukan Prognosis dan StratiCikasi Risiko Untuk menentukan hal ini pada penderita dengan Infark Miokard Akut dapat melalui pemeriksaan klinik, EKG, enzim CK-MB serial, ekhokardiografi, monitoring hemodinamik, uji latih beban, dan sebagainya4. Pada penderita krisis hipertensi diperiksa faal ginjal7. Sensitifitas dan Spesifisitas suatu tes Setiap prosedur tes laboratorium dan tes diagnostik mempunyai seperangkat sifat yang menggambarkan informasi yang diharapkan pada penderita dengan dan tanpa penyakit yang dipertanyakan. Tes tersebut dapat memberitahu klinikus 2 pertanyaan penting : 1). Apabila penyakit memang ada, berapa persen tes abnormal (positif), dengan kata lain berapa persen sensitifitasnya. 2). Apabila penyakit memang tidak ada, berapa persen tes normal (negatif), dengan kata lain berapa persen spesifisitasnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.

Sensitivity

TP TP+FN = a+d a+b+c+d

TN Specificity = FP+TN

Diagnostic Accuracy

Diagnostic Accuracy

TP + TN TP+FP+FN+TN

Sensitifitas ialah berapa persen penderita dengan penyakit tersebut menunjukkan tes positif. Spesifisitas ialah berapa persen penderita tanpa penyakit tersebut menunjukkan pula tes negatif. Tes yang paling ideal ialah selalu positif apabila penyakit ada (sensitifitas 100%) dan selalu negatif apabila tidak didapatkan penyakit (spesifisitas 100%). Tetapi tes yang memiliki sifat demikian ini sangat sedikit. Biasanya makin tinggi sensitifitas justru spesifisitasnya makin menurun, demikian sebaliknya apabila tes makin spesifik malahan tidak sensitif. Yang perlu diperhatikan pula ialah bila tes sama tetapi kriteria diagnosis berubah akan mengubah pula sensitifitas dan spesifisitasnya. Pemakaian kriteria diagnosis yang makin ketat, menyebabkan tes makin spesifik tetapi menjadi kurang sensitif2. Predictive Value dari suatu tes Tugas seorang klinikus ialah menentukan secara tepat ada tidaknya suatu penyakit, maka pertanyaan yang harus dijawab pula ialah : 1). Apabila tes positif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang ada; disebut sebagai Positive predictive value. 2). Apabila tes ttegatif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang tidak ada yang disebut sebagai Negative predictive value. Hasil dari positive predictive value maupun negative predictive value sangat tergantung dari probabilitas adanya penyakit sebelum tes yang disebut sebagai Pre-test probability atau prevalensi. Cara mengukur parameter tersebut ialah sebagai berikut2.
Tabel 2.

Keterangan a = TP b = FP c = FN d = TN

= = = =

true positive, false positive, false negative, true negative,

terdapat penyakit dan tes positf tidak terdapat penyakit tetapi tes positf terdapat penyakit tetapi tes negatif tidak terdapat penyakit dan tes negatif

a Sensitivity = b

d Specificity = b+d

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

Positive predictive value =

a a+b TP TP + FP d c+d FN FN + TN

2. Apabila tes negatif, berapa persen probabilitas adanya penyakit ? Hal ini dapat dilihat pada label sebagai berikut.
Tabel 3.

Positive predictive value =

Negative predictive value =

Negative predictive value =

Pre-test probability dan Post-test probability Untuk mengetahui Post-test probability diperlukan pengetahuan mengenai persentase prevalensi atau pre-test probability dari penyakit yang biasanya dapat diperkirakan dari annamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman klinikus.Hal ini penting untuk memilih tes terbaik untuk menentukan diagnosis penyakit secara tepat2. Pre-test probability tersebut disebut juga prevalence (prevalensi). Untuk menentukan pre-test probability tersebut dapat berdasarkan sumber dari 1) kepustakaan medis, 2) data lokal, dan 3) clinical judgment. Prevalensi tersebut sangat mempengaruhi hasil predictive value dari tes. Tes diagnostik sangat berguna bila kemungkinan adanya penyakit sangat rendah atau sangat tinggi3. Ada beberapa cara untuk meningkatkan prevalensi atau pre-test probability tersebut melalui : 1. Proses Rujukan. Penderita nyeri dada yang datang ke ruang gawat jantung lebih banyak kemungkinannya menderita penyakit jantung koroner dibandingkanpenderita demikian yang datang ke Puskesmas. Pemakaian EKG, pemeriksaan enzim CK-MB penderita dengan nyeri dada di ruang gawat jantung tentunya banyak gunanya, sebaliknya pemakaian EKG dan pemeriksaan enzim CK-MB yang berlebihan pada penderita nyeri dada di Puskesmas, tidak banyak manfaatnya. 2. Seleksi Demografi Penderita umur 65 tahun dengan nyeri dada non-spesifik 15 kali lebih besar mempunyai penyakit jantung koroner dibandingkan wanita umur 30 tahun dengan keluhan yang sama. Pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita umur 65 tahun dengan keluhan nyeri dada akan sangat bermanfaat, tetapi pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita wanita umur 30 tahun dengan nyeri dada mungkin tidak banyak manfaatnya. 3. Gambaran klinik yang spesifik Penderita sesak napas dengan kardiomegali tentunya lebih besar kemungkinannya menderita payah jantung dibandingkan penderita sesak napas tanpa kardiomegali3. Apabila akan melakukan tes diagnosis, pertanyaan yang harus dijawab ialah : 1. Apabila tes positif, berapa persen probabilitas adanya pe-. nyakit ?

B. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PENGOBATAN GAWAT JANTUNG Tiga prinsip penting untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah : 1. Mengetahui tujuan pengobatan : untuk penyembuhan untuk paliatif saja untuk simtomatis (menghilangkan keluhan) saja dan sebagainya 2. Pilihan pengobatan : medikal pembedahan dan sebagainya 3. Menentukan target pengobatan : berapa penurunan tekanan darah yang diperkenankan pada penderita hipertensi ? dan sebagainya8 Untuk membuktikan efektifitas dari suatu obat/tindakan medis yang paling ideal ialah melakukan penelitian acak klinik/ penelitian eksperimental (randomized clinical trial)3,8 Istilah-istilah yang perlu diketahui ialah : Efficacy ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang diberikan pengobatan ini. Effectiveness ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang ditawarkan pengobatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

ini. Pengobatan yang tidak efektif dapat disebabkan kurangnya efficacy atau kurang diterima penderita atau keduanya. Efficiency ialah hasil pengobatan berguna ditinjau dari segi biaya, sumber daya dan waktu. Compliance ialah seberapa jauh penderita mengikuti nasihat medis/pengobatan. Relative Effectiveness ialah rasio proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dengan proporsi penderita membaik kelompok kontrol. Population Attributable Effectiveness ialah proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dikurangi proporsi membaik kelompok kontrol. Sebagai contoh : Aspirin pada pencegahan sekunder infark miokard akut. Mortalitas pada plasebo 10,9% sedangkan mortalitas pada kelompok aspirin 8,3%. Atau survival pada kelompok kontrol 89,1% dan kelompok aspirin 91,7%. Relative Effectiveness = 91,7%/89,1% = 1,03/1 --- kecil. Population Attributable Effectiveness = 91,7% - 89,1% = 2,6% berarti 2,6 kehidupan diselamatkan dari 100 penduduk. Karena itu dapat dianjurkan pemakaian aspirin pada masyarakat karena harganya yang murah8. Yang penting diperhatikan pula ialah outcome dari suatu pengobatan yang kadang-kadang memberikan hasil yang berbeda dengan kriteria outcome yang berbedapula. Sebagai contoh coronary by-pass surgery jelas akan memperbaild kualitas hidup penderita, tetapi 5-year survival rate mungkin tidak banyak berbeda dibandingkan dengan pengobatan secara medikal terutama pada penderita dengan stenosis koroner yang tidak terlalu berat8.

Nyeri Dada Akut


Penelitian retrospektif pada 536 penderita dengan nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung mendapatkan bahwa 54% del igan Infark Miokard kut, 31% dengan Iskhemia Miokard, 3% dengan Perikarditis dan Non-Kardiak pada 12%8. Dari data di atas didapatkan bahwa hampir 46% penderita nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung tidak memerlukan perawatan ICCU, karena itu pada penderita seperti ini perlu pendekatan yang rasional untuk mencapai costeffectiveness yang sebaikbaiknya. Dalam waktu 24 jam biasanya sudah cukup untuk menentukan penderita terdapat Infark Miokard Akut atau tidak. Penderita yang tak menderita Infark Miokard Akut dikeluarkan dari ICCU2. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PADA INFARK MIOKARD AKUT Sensitifitas dari kebanyakan tes laboratorium pada Infark Miokard Akut pada jam jam pertama sangat rendah dan kebanyakan laboratorium tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan

mioglobin yang sensitif, maka keputusan yang dilakukan di ruang gawat darurat betdasarkan data dari anamnesis yang teliti danpemeriksaan fisik bersama dengan pemeriksaan elektrokardiogram. Yang perlu ditentukan ialah nyeri dada iskhemik atau karena sebab lain. Penderitadengannyerinoniskhemik dimasukkan ruang perawatan biasa, sedangkan penderita dengan nyeri iskhemik dengan kemungkinan besar infark miokard akut dimasukkan ruang gawat darurat2. Pemeriksaan EKG ternyata tidak sensitif, dari penelitian 1118 penderita masuk unit gawat jantung yang terbukti infark miokard akut, hanya 41% menunjukkan gambaran probable acute myocardial infarction pada saat datang9. Setelah elektrokardiografi dilakukan pemeriksaan enzim otot jantng secara seri. Tidak ada tes atau kombinasi tes yang lebih sensitif dan spesifik dari pmeriksaan CK-MK (MBCPK) pada 24 jam pertama setelah infark. Setelah 24 jam dari timbulnya nyeri, pemeriksaan LDH total dan LDH isoenzim bila diambil secara betul akan sangat berguna untuk menegakkan diagnosis karena tetap tinggi selama beberapa hari dan mempunyai spesifisitas yang tinggi. Saat yang tepat pengambilan darah untuk pemeriksaan CK-MB ialah pada saat masuk rumah sakit, 12 jam dan 24 jam kemudian2. Pemeriksaan CK-MB selanjutnya mungkin berguna untuk deteksi adanya ekstensi atau infark ulang, tetapi pemeriksaan setiap hari secara rutin pada pasca infark yang tanpa keluhan nilainya rendah. Dari 200 penderita yang diperiksa enzim CKMB setiap had, 35 menunjukkan adanya infark ulang tetapi pada 94% juga disertai nyeri dada, 91% dengan perubahan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiografi. Hanya 1% sajaekstensi infark tidak disertai keluhan. Jadi nampaknya pemeriksaan CKMB setiap hari tidak diperlukan2. Pemeriksaan foto toraks dan ultrasonografi(ekhokardiografi) tidak banyak gunanya pada penderita infark miokard akut tanpa komplikasi10. Tetapi pemeriksaan ekhokardiografi pada penderita dengan gangguan fungsi ventrikel kiri dan adanya bising jantung yang baru akan sangat bermanfaat. Pemeriksaan monitoringhemodinamikdengan kateter Swan-Ganz diperlukan pada penderita dengan payah jantung berat (Killip III) dan shock kardiogenik (Killip IV) yang penting untuk manajemen selanjutnya4 (American College of Physicians, 1989). Pemeriksaan uji latih beban sebelum pulang berguna untuk menilai prognosis dan untuk kepentingan rehabilitasi, tetapi pemeriksaan demikian pada penderita dengan payah jantung kiri yang berat tidak berguna dan berbahaya. Demikian pula pada penderita angina pektoris pasca infark yang tak terkontrol4 (American College of Physicians, 1989). Di bawah ini akan diberikan contoh-contoh : 1. Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard. Masalah Klinik : Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard. Strategi Tes : Periksa elektrokardiogram. Apabila EKG abnormal atau terdapat riwayat angina pektoris atau infark miokard penderita dimasukkan rumah sakit dan diperiksa CK-MB pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

saat datang, 12 jam dan 24 jam setelah masuk rumah sakit. Rasionalisasi : Apabila keluhan mencurigakan iskhemia miokard dan adanya gambaran baru pada EKG, kemungkinan infark miokard 2096. Apabila EKG menunjukkan elevasi segmen ST atau gelombang Q yang baru, kemungkinan infark miokard besaryaitu 80%. Adanyagambaran EKG yang lain menunjukkan kemungkinan infark miokard sekitar 5-20% apabila terdapat keluhan angina pektoris atau riwayat adanya infark miokard. Begitu penderita masuk rumah sakit cukup diperiksa CK-MB saja secara serial. Contoh Kasus : Seorang penderita prig umur 45 tahun dengan nyeri dada selama 50 menit. Nyeri substernal dan seperti ditekan benda berat. la pernah menderita infark miokard sebelumnya. Pemeriksaan EKG tidak ada perubahan dibanding sebelumnya (perubahan gelombang T non-spesifik). Kemungkinan infark miokard pada penderita ini 15%. Apabila tidak ada Intermediate Care penderita dimasukkan ruang gawat darurat jantung dan diperiksa CK-MB serial seperti disebutkan diatas. Tes terse-but akan dapat memastikan atau menyingkirkan infark miokard akut2.
Tabel 4. Tes : CK-MB Penyakit

kemungkinan infark miokard akut yang rendah. Strategi Tes Ditentukan apakah perlu diperiksa EKG. Apabila EKG normal tidak diperlukan tes lebih lanjut. Apabila EKG positif kemungkinan infark miokard lebih besar. Rasionalisasi Beberapa penderita dengan nyeri dada noniskhemik berdasarkan gambaran klinik. Infark miokard dapat disingkirkan secara klinik apabila nyeri tajam atau pleuritik, atau berubah dengan posisi atau nyeri pada palpasi. Pada banyak keadaan lain mungkin diperlukan EKG. Apabila EKG normal tak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada keadaan ini cukup follow-up klinik saja. Contoh Kasus : Seorang pria umur 25 tahun tanpa riwayat keluarga penyakit jantung koroner dini dan tanpa adanya faktor risiko koroner mengeluh nyeri dada (pleuritik) yang mendadak selama 2 jam. Nyeri substernal, tajam dan bertambah dengan posisi torso. Anamnesis dan pemeriksaan klinik tidal( sesuai dengan infark miokard akut. Tidal( perlu dilakukan pemeriksaan EKG apabila tidak dicurigai adauya perikarditis, emboli paru, dsb. 3. Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard 3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil Masalah Klinik : Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard 3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil. StrategiTes :Penderitadimasukkan rtnnahsakitdan diperiksa EKG. Apabila terdapat gelombang Q atau elevasi segmen ST, kemungkinan infark miokard akut 80%. Enzim LDH dan isoenzim LDH-5 memastikan diagnosis apabila tes positif. Sidikan radionuklir tidak perlu apabila EKG positif. Apabila EKG non-spesifik dan enzim LDH dan isoenzim LDH negatif, Sidikan Radionuklir (TechnetiumPyrophosphate) mungkin membantu memastikan atau menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Rasionalisasi Pada penderita seperti ini pemeriksaan CKMB harus dipertimbangkan kembali karena biasanya normal dalam 48-72 jam setelah infark miokard akut. EKG mungkin menolong seperti telah dibicarakan di atas. Enzim LDH dan isoenzim LDH sering abnormal sampai 3 atau beberapa hari setelah infark miokard akut. Apabila hasil positif, dapat dipastikan adanya infark miokard akut karena tes spesifik. Apabila negatif, kemungkinan (probabilitas) infark miokard akut sebelum tes harus dihitung untuk menentukan tes selanjutnya yang berguna. Contoh Kasus : Seorang pria umur 50 tahun dengan riwayat adanya angina pektoris tetapi tidak ada infark miokard sebelumnya, mengeluh nyeri dada yang lama seperti angina tetapi berakhir lebih 1 jam dan disertai keringat dingin. Nyeri lebih berat dibandingkan angina pektoris sebelumnya. Serangan terjadipada saat berburu karena itu nampaknya tidak begitu gawat. Nyeri terjadi 72 jam yang lalu. Dari anamnesis dicurigai adanya infark miokard akut dan dari pemeriksaan EKG terdapat gelombang Q baru. Kemungkinan infark miokard akut ialah 80%. Apabila tes LDH atau isoenzim

2. Penderita dengan riwayat penyakit menunjukkan kemungkinan infark miokard yang rendah Masalah Klinik : Penderita dengan anamnesis menunjukkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

LDH positif dapat dipastikan adanya infark miokard akut (probabilitas 95%). Apabila tes negatif, probabilitas infark miokard akut tetap tinggi (50%) karena sensitifitas LDH yang berkurang setelah beberapa hari. Sidikan Tc-Pyrophosphate mungkin tidak membantu karena sensitifitasnya sedang saja. Krena itu diagnosis infark miokard akut tetap dipertimbangkan2.
Tabel 5

Tabel 6.

Tes : EKG (LBBB, Q atau perubahan ST)

4. Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB Masalah Klinik : Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB. Strategi Tes : Periksa enzim seperti biasanya. Hanya pada penderita yang datang terlambat setelah keluhan dipertimbangkan pemeriksaan Sidikan Tc-Pyrophosphate. Rasionalisasi : EKG pada penderita seperti ini tidak spesifik (60-70%). Apabila enzim tidak dapat memastikan Infark Miokard Akut, post-test probability Infark Miokard Akut menjadi 5% (apabila perkiraan pre-test probability 30%, sensitifitas EKG 80% dan spesifisitas EKG 98%). Sidikan nuklir hanya dapat membantu apabila terdapat kelainan abnormal yang fokal-regional. Pada penghitungan dibawah ini dapat dilihat implikasi dari pemeriksaan EKG diikuti pemeriksaan enzim CK-MB2. Kira-kiraduapertigakematian padapenderita dengan infark miokard akut terjadi diluar rumah sakit. Adanya pre hospital emergency care dengan mobile coronary care unit (MCCU) diharapkan memperbaiki prognosis dalam arti survival rate, life

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

Tabel 7.

Table of Test Characteristics Definition of PositiveTest New Q or ST dep New Q, ST dep, LBBB Any Abnormality Abnormal Abnormal LDH-1 > LDH-2 LDH-1 > LDH-2 Abnormal Abnormal Abnormal Focal Uptake Diffuse Uptake Diffuse Uptake Saladvity 68% 81% 99% 96% 98% 81% 85% 97% 99% 98% 36% 94% 65% Specificity 94% 69% 23% 83% 72% 94% 90% 67% 98% 95% 100% 70% 70%

Diagnostic Test Electrocardiogram Electrocardiogram Electrocardiogram SGOT LDH LDH lsoenzymes LDH Isoenzymes at 3 day CK Total CK-MB Myoglobin at 6 hours Pyrophosphate Scan (PP) PP Scan, Transmural MI PP Scan, Non Transmural MI Keterangan : Dikutip dari 2.

Tabel 8. Table of Post-Test Predictive Values

didik mereka dalam basic We support dan advanced We support dan dilengkapi dengan defibrilator, ternyata mortalitas tidak berbeda dibandingkan dengan MCCU yang berasal dari rumah sakit. Jadi selain MCCU ada pendekatan lain untuk Prehospital Emergency Care, tetapi belum dihitung mana yang lebih cost effective12. Diperkirakan dengan adanya ICCU mortalitas turun sebesar 21% dibandingkan sebelum ada ICCU13. Tetapi menurut Goldman' penurunan ini hanya sebesar 4% dan sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari ICCU. Untuk menurunkan cost harus dibuat indikasi yang tepat dan mengurangi lama perawatan di ICCU. Penderita yang tak begitu gawat dirawat di intermediate care. Efektifitas pengobatan trombolitik pada penderita Infark Miokard Akut telah dibuktikan dan tidal( diperdebatkan lagi dan sekarang mulai dipakai secara luas. Tetapi tantangan yang sangat penting saat ini ialah agar pengobatan ini dapat dilakukan pada semua atau hampir semua penderita dengan infark miokard akut6. Sebaliknya perlu diperhatikan pula bahwa semua penderita yang diberikan trombolitik, semua juga betul-betul menderita infark miokard akut9. Di Amerika Serikat tahun 1989 terdapat 700.000 penderita dengan infark miokard akut masuk rumah sakit, tetapi hanya 140.000 yang mendapat pengobatan trombolitik6. Dari berbagai penelitian ternyata 1377% penderita infark miokard akut tidak diberi obat trombolitik karena datang terlambat. Apabila ditambah adanya kontra-iitdikasi jumlah teisebut menjadi lebih besar lagi. Keterlambatan tersebut terdiri 3 komponen yaitu:1) Keter lambatan penderita memintapertolongan dokter, 2) Waktu untuk transportasi yang hilang dan 3) Kelambatan dalam clinical decision making. Pendidikan kepada masyarakat akan dapat me ngurdngiketerlambatan penderita meminta pertalongan dokter14,15 Ada beberapa Masan mengapa tidak semua penderita infark miokard akutdiberi terapi tromboli tik meskipun.tidak adakontra indikasinya, yaitu : 1. Dimana trombolitik dapat dilakukan ? Sebagian besar penderita terutama di pedesaan tidak dapat mencapai rumah sakit dengan fasilitas trombolitik dengan waktu yang cukup agar pengobatan trombolitik efektif6. Pada penelitian TIMI II (Thrombolytic in Myocardial Infarction) strategi konservatif setelah pemberian tissue-type pla,sminogen activator, heparin intravena dan aspirin sama baiknya dibandingkan dengan strategi dengan tindakan kateterisasi yang invasif. Penderita yang dirawat di rumah sakit rujukan tersier dan rumah sakit umum (daerah) ternyata morbiditas dan mortalitas setelah 1 tahun tak berbeda bennakna, oleh karena itu pengobatan trombolitik dapat dilakukan di rumahsakit daerah tanpa peralatan kateterisasi dart bedah jantung6.

Keterangan : Dikutip dari 2.

expectancy serta kualitas hidup yang baik dan mengurangi komplikasi icelainan neurologik. Bergantung pada siapa yang menolong pertama kali dan peralatan yang ada, survival rate penderita seperti ini sekitar 20-70%n. Tetapi sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari MCCU'. Penelitian di Aberdeen pada 1011 penderita dengan serangan jantung menunjukkan 92% melakukan kontak pertama dengan dokter umum. Dengan men-

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 11

Tabel 9. Potential impact of Thrombolytic Therapy


% Reduction in mortality GISSI 1st hour 2-3 hours 3-6 hours 6-9 hours 9-12 hours > 12 hours 51 16 20 13 10 0 ISIS 45 38 30 25 17 20 Proportion (%) eligible for treatment Perth MONICA project 30 28 17 5 5 15

Keterangan : Dikutip dari14.

Tempat pengobatan trombolitik mungkin dapat diperluas sampai di unit rawat jalan, praktek dokter, ambulans, bahkan mungkin di rumah; tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun perlu diingat setelah tindakan tersebut, harus cepatdikirim kerumah sakitumum terdekatyang memungkinkan untuk dipindah Ice rumah sakit rujukan tersier apabila keadaan bertambah gawat6. 2. Siapa yang dapat melakukan pengobatan trombolitik ? Pengobatan trombolitik pertama kali dilakukan di rumah sakit akademik tersier oleh ahli penyakit jantung. Tetapi sekarang trombolitik sebagian besar dikerjakan oleh dokter ahli penyakit dalam maupun dokter keluarga penderita yang mendapatkan penderita dengan infark miokard akut pertama kalinya. Karena itu mereka juga tabu indikasi, kontra-indikasi dan efek sampingnya. Karena pentingnya pengobatan segera dan terbatasnya dokter, yang menjadi pertanyaan ialah apakah paramedic, teknisi yang terlatih juga dapat dan boleh mengerjakan ini ? Di Amerika Serikat hal ini mungkin karena dapat mengirim elektrokardiografi lewat telepon ke rumah sakit terdekat. Yang menentukan indikasi pemberian tetap dokter6. Untuk di Indonesia hal ini rasanya masih jauh dari jangkauan. Indikasi pengobatan trombolitik Hambatan penting lain pemberian trombolitik ialah ketidakjelasan penderita yang dapat diberi pengobatan trombolitik. Telah disepakati bahwa pengobatan trombolitik berhasil baik apabila diberikan dalam waktu 6 jam sesudah timbulnya infark miokard akut. Masalahnya ialah sering sulit menentukan onset terjadinya infark miokard akut. Pada Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) II trial digunakan kriteria yang ketat yaitu umur kurang 76 tahun dan nyeri dada kurang 4 jam disertai peningkatan segmen ST pada elektrokardiogram6. Demikian pula pada Gruppoltaliano per lo Studio della Streptochinasi nell Infarcto Miocardico (GISSI) I trial apabila pengobatan trombolisis yang diberikan seteiah 6 jam timbulnya keluhan tidak ada manfaatnya. Namun perlu dicatat bahwa penderita yang diberi terlambat (6-12 jam setelah timbulnya keluhan) tersebut jumlahnya sedikit sehingga nilai kemaknaan dari statistiknya terbatas6. Dari penelitian 321 penderita umur kurang 75 tahun dengan nyeri dada kurang 4 jam (nyeri dada lebih dari 30 menit) dan EKG pada saat datang di ruang gawat jantung terdapat elevasi segmen 3.

ST atau gelombang Q patologis didapatkan positive predictive value 76% berarti dari 100 penderita dengan data di atas 80% betul-betul infark miokard akut, sedangkan 19% bukan karena infark miokard akut. Berarti bila diberi obat trombolitik, 24% penderita sebetulnya tidak memerlukan obat ini. Apabila dilakukan lagi pembacaan lebih akurat ternyata lebih banyak lagi dengan infark miokard akut (true positive-nya meningkat) sehingga positive predictive value menjadi 88%9. Pada Multicenter Investigation of the Limitation oflnfaret Size (MILLS) hanya 65% penderita dengan nyeri dada dan elevasi segmen ST pada 2 sadapan prekordial terbukti infark miokard akut. Dengan kriteria hampir sama tetapi termasuk juga sadapan inferior, 94,2% penderita GISSI dan 80,3% penderita EMIP terbukti infark miokard akut9. Sedangkan pada penelitian yang bersumber dari masyarakat seperti International Study of Infarct Survival (ISIS) II trial penderita yang diteliti jumlahnya sangat banyak dengan kriteria yang lebih luas, tidak ada batasan umur, pengobatan dapat diberikan sampai 24 jam sesudah timbulnya nyeri dada; ternyata didapatkan hasil yang baik pula dan kombinasi streptokinase dan aspirin dapat menurunkan mortalitas awal dari 13% menjadi 9%. Pengobatan terlambat tetapi hasilnya baik adalah karena penderita tersebut tidak terlambat dalam arti sebenarnya akibat adanya gejala prodromal atau adanya unstable angina pectoris yang mendahului terjadinya infark miokard akut. Kemungkinan kedua ialah membukanya pembuluh darah oleh trombolitik mencegah terjadinya kematian mendadak karena mekanisme selain dari myocardial salvage. Sedangkan keterangan ke tiga mungkin daerah tersebut mempunyai kolateral sehingga tidak sampai terjadi nekrosis meskipun terjadi oklusi totaP.'s. Tetapi perlu diingat dengan kriteria yang longgar tersebut positive predictive value dari infark miokard akut hanya 70%, berarti dari 10 penderita yang diberi obat trombolitik, 3 bukan karena infark miokard1. Pada 2 tabeldibawah ini dapatdilihat cost-effectiveness dari berbagai pengobatan penyakit jantung.

Tabel 10. Cost per Quality-Adjusted year of life for several Standard Modes of Cardiac Therapy Cost (US. 8, 198S) Treat diastolic BP 2 105 mmHg Treat diastolic BP 2 95-104 mmHg Treat hypercholesterolemia (2 265 mg%) with cholestyramine Post-infarction beta-blocker therapy low risk high risk Coronary artery by pass surgery 3 vessel disease, mild angina Left main disease, mild angina Severe angina Keterangan : Dikutip dari1. 15.000 30.000 135.000 20.000 3.500 10.500 10.500 4.700 5.200

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

Table 11. Cost per year of life gained with Intra coronary Thrombolysis DFL Inferior Myocardial Infarction Anterior Myocardial Infarction Anterior M.I. with ST > 2 mm and < 2 hours from onset Keterangan : Dikutip dari6. 10.000 3.800 1.900

PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK DISEKSI ANEURISMA AORTA Pada penderita yang diduga menderita diseksi aneurisma aorta, pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada secara serial1,7. Apabila hasil pemeriksaan menyokong, pemeriksaan selanjutnya ialah CT Scan dan untuk diagnosis pasti ialah pemeriksaan angiografi aorta10,17. Dengan adanya ekhokardiografi esofageal pemeriksaan secara noninvasif menjadi lebih akurat18. Tanpa pengobatan, mortalitas tinggi sekali, lebih 25% dalam 24 jam, lebih 50% dalam minggu pertama, lebih 75% dalam 1 bulan dan lebih 90% meninggal dalam 1 tahun. Pengobatan definitif berupa pembedahan pada diseksi proksimal akut, dan medikal pada diseksi aneurisma distal tanpa komplikasi17.

sis klinis pada tamponade jantung, ekhokardiografi sering kurang banyak membantu22. Sensitifitas dan spesifisitas diastolic collapse pada atrium kanan maupun ventrikel kanan untuk deteksi gangguan hemodinamik (tamponade) sangat bervariasi0. Penilaian diastolic filling dengan ekhodoppler yaitu mengukur variasi kecepatan aliran transvalvular dan isovolumic relaxation time selama pernapasan, mungkin lebih akurat20.22. Perikardiosentesis hanya dikerjakan apabila terdapat tandatanda tamponade dan apabila analisis cairan perikardial dipandang sangat penting untuk menegakkan diagnosis seperti perikarditis bakteri akut, dsb21. Perikardiosentesis dengan tuntunan ekho ternyata cukup aman dibandingkan perikardiosentesis dengan tuntunan EKG23.24.

Krisis Hipertensi
Diagnosis krisis hipertensi biasanya tidak sulit. Disebut Hipertensi Gawat (Hypertensive Emergency) apabila terdapat komplikasi target organ yang berat, dan disebut Hipertensi Darurat (Hypertensive Urgency) apabila terdapat kerusakan target organ baru yang ringan. Komplikasi payah jantung kiri akut dan komplikasi sistim saraf pusat dan mungkin juga gagal ginjal akut dapat ditegakkan secara klinik. Pemeriksaan lain yang penting ialah EKG, urinalisis, faal ginjal dan ophtalmoskopi. Pemeriksaan tambahan lain foto polos dada, natrium dan kalium serum, asam urat, profil lemak darah dan gula darah7. Yang juga perlu dicari ialah faktor risiko atau faktor presipitasinya25. Tujuan pengobatan krisis hipertensi ialah memperbaiki/melindungi target-organ. Dipakai obat yang bekerja cepat dengan pilihan obat tergantung kerusakan target-organ. Sedangkan target pengobatan ialah penurunan tekanan darah secepat dan seoptimal mungkin tanpa mengganggu perfusi target-organ. Kecepatan dan besamya penurunan tekanan darah masih merupakan kontroversi dan bersifat individual. B iasanya penurunan tekanan darah sekitar 20-309'o dalam 1 jam pada hipertensi gawat dan dalam 24 jam pada hipertensi darurat7.

Sesak Napas
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PAYAH JANTUNG KIRI AKUT Diagnosis payah jantung kiri akut dengan edema paru sering sudah dapat dibuat secara klinik. Tetapi pada fase awal diagnosis sering sulk ditegakkan. Pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada yang bila mungkin dalam keadaan berdiri atau setengah duduk. Pemeriksaan ekhokardiografi penting untuk menilai fungsi ventrikel kirilebihtepat dan mencari adanya penyakit dasar. Kegunaan lain dari ekhokardiografi ialah untuk mengetahui adanya efusi perikardial19. Pengobatan meliputi : 1. Tindakan non-spesifik : seperti pemberian morfm, oksigen, furosemid, nitrat 2. Mencari dan mengobati faktor presipitasi : seperti takhiaritmia, infeksi, emboli paru, anemia, aktifitas berlebihan, tirotoksikosis, pada penderita yang sudah berpenyakit jantung 3. Mencari dan mengobati penyakit dasar19. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK EFUSI PERIKARDIAL Pada penderita yang diduga menderita efusi perikardial, pemeriksaan foto polos dada tak banyak membantu diagnosis. Demikian pula pemeriksaan EKG. Pemeriksaan yang sangat akurat dengan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% untuk diagnosis konfirmasi (adanya) efusi perikardial ialah ekhokardiografi20,21. Tetapi sayang ekho M-mode dan 2-D untuk menilai gangguan hemodinamik kurang andal, sehingga untuk memastikan diagno-

Syncope
Pendekatan rasional penderita dengan syncope ialah berdasarkan data bahwa prevalensi penderita berisiko tinggi sangat bervariasi sehingga tes yang diperlukan juga bervariasi tergantung dari populasi yang diperiksa. Tes rutin dengan biaya rendah yang dianjurkan ialah darah lengkap, elektrolit serum, BUN, serum kreatinin dan gula darah, meskipun kegunaannya terbatas pada penderita dengan unexplained syncope2. Yang menjadi perdebatan ialah pemilihan tes-tes selanjutnya yang mahal seperti CT--scan, elektroensefalogram, monitoring Holler, pemeriksaan elektrofisiologi, yang diperlukan pada penderita dengan kemungkinan penyakit jantung dan neurologik. Untungnya penderita-penderita seperti itu biasanya sudah dapat diperlrakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sehingga pemilihan tes selanjutnya lebih mudah2. Dengan pemeriksaan

Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 13

non-invasif tersebut ternyata pada 50% penderita penyebabnya tetap tidak dilcetahui. Mortalitas pada cardiac syncope sebesar 20-30%, untuk sebab non-kardiak hanya 5% dan untuk unexplained syncope 10% dalam waktu 1 tahun. Karena itu apabila ada kecurigaan didasari penyakit jantung harus dievaluasi lebih teliti25. Pada beberapa penderita dengan penyakit dasar jantung masih diperlukan pemeriksaan invasif (elektrofisiologi) untuk diagnosis lebih terperinci dan untuk memilih/evaluasi hasil pengobatan". Apabila penderita tid~lc termasuk risiko tinggi, cukup dilakukan fellow-up klinik saja2. RINGKASAN Dalam perawatan penderita ada dua hal renting yang harus dikerjakan oleh seorang dokter ialah keputusan untuk membuat diagnosis dengan melakukan serentetan pemeriksaan dan memberikan pengobatan. Dalam melaksanakan hal ini harus diperhatikan cost-effectiveness dalam arti dengan sumber daya (fasilitas dan dana) yang ada dapat mencapai health benefit setinggitingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Dalam perawatan penderita gawat pemeriksaan biasanya dilakukan secara paralel, tetapi pada penderita gawat jantung untuk tes yang mahal tetap secara serial. Untuk mempermudah biasanya dipilih satu tes yang sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk konfirmasi diagnosis (pada IMA CK-MB merupakan tes yang sangat sensitif dan sangatspesifik). Untuk mendapatkan costeffectiveness yang sebaik-baiknya harus diketahui sensitivitas, spesifisitas dari tes dan pre-test probability dari penyakit berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat ditambah pemeriksaan seder-liana (misalnya EKG, dsb). Tujuan diagnosis ialah selain untuk konfirmasi, juga mencari etiologi bila mungkin, mencari faktor risiko dan faktor presipitasi serta mencari komplilcasi/menilai berat penyakit. Pemeriksaan tersebut selain renting untuk manajemen penderita (misalnya pemasangan Swan-Ganz catheter pada IMA), juga penting untuk menilai prognosis dan stratifikasi risiko (klasifrkasi hemodinamik Killip secara klinik maupun invasif pada IMA). Dasar untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah 1) tujuan pengobatan (mengatasi aritmia dan membatasi luas infark/reperfusi pada 1MA, memulihkan kerusakan/melindungi target organ pada krisis hipertensi, dsb), 2) pemilihan obat (sebaiknya berdasarkan randomized clinical trial seperti obat trombolitik pada IMA, dsb) dan 3) target pengobatan (sampai seberapa jauh dan seberapa cepat penurunan tekanan darah pada penderita krisis hipertensi, dsb).

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

15.

16.

17. 18.

19. 20. 21. 22. 23. 24.

KEPUSTAKAAN 1. Goldman L. Cost-effectiveness strategies in cardiology. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 1680-92. 25.

Griner PF, PanzerRJ, Greenland P (eds). Clinical Diagnosis and the Laboratory. Logical strategies for common medical problems. Chicago: Year Book Medical Publ, Inc. 1986. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology. The Essentials. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1988. Iskandrian AS, Hakki A-H, Kotler MN, et al. Evaluation of patients with acute myocardial infarction : Which test, for whom and why ? Am Heart 11985; 109: 391-4. Conti CR. Drug therapy of patients with acute myocardial infarction in the era of thrombolysis. Mod Cone Cardiovasc Dis 1989; 58: 19-24. Braunwald E. Optimizing thrombolytic therapy of acute myocardial infarction. Circulation 1990; 82: 1510-13. US Joint National Committee: The 1988 Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1988; 148: 1023-1038. Sackett DL, Haynes RB, Tugwell P. Clinical Epidemiology. A Basic Science for Clinical Medicine. Boston: Little, Brown and Company, 1985. Lee TH, Weisberg MC, Brand DA, et al. Candidates for Thrombolysis among emergency room patients with Acute Chest Pain. Potential true and false-positive rates. Ann Intern Med 1989; 110: 957-62. WHO Scientific Group. Effective choices for diagnostic imaging in clinical practice. WHO Tech Rep Sea. Geneva: WHO. 1990: 9-37. Geddes IS. Twenty years of prehospital coronary care. Br Heart J 1986; 56: 491-5. Pai GR, Haites NE and Rawles JM. One thousand heart attacks in Grampian: the place of cardiopulmonary resuscitation in general practice. Br Med J 1987; 294: 352-354. Julian DG. The history of Coronary Care Unit. Brit Heart J 1987; 57: 497502. ORourke MF, Thompson PL, and Ballantyne K. Community aspects of Coronary Thrombolysis: Public education and cost effectiveness. In : Julian DG, Kubler W, Norris RM, Swan HJC, Collett and Verstraete M (eds). Thrombolysis in Cardiovascular Disease. New York: Marcel Dekker Inc, 1989: 309-324. Barbash GL Tune dependence of beneficial effects of thrombolysis and prehospital thrombolytic therapy in acute myocardial infarction. In : Julian DG, Kubler W, Norris RM, Swan HJC, Collen, Verstraete M (eds). Thrombolysis in Cardiovascular Disease. New York: Marcel Dekker Inc, 1989: 293-308. Vermeer F, Simoon LM, de Zwaan C, et al. Cost benefit analysis of early thrombolytic treatment with intracoronary Streptokinase. Twelve month follow up report of the randomized multicentre trial conducted by the Interuniversity Cardiology Institute of the Netherlands. Br Heart J 1988; 59: 527-534. Eagle KA, De Sanctis RW. Diseases of the Aorta. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelpia: WB Saunders Co. 1988: 1546-76. Ethel R, Mohr-Kahaly S, Drexler M et al. Transesophageal echocardiographic imaging of the thoracic aorta in aortic dissection. In: No Cikes (ed). Echocardiography in Cardiac Interventions. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 1989: 249-60. Ingram RH Jr, Braunwald E. Pulmonary Edema : Cardiogenic and Noncardiogenic. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 544-60. Burstow DJ, Oh JK, Bailey KR, Seward JB, Tajik AJ. Cardiac Tamponade: characteristic Doppler observations. Mayo Clin Proc 1989; 64: 312-24. Lorell BH and Braunwald E. Pericardial Disease. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 1484-1534. Kisslo J. Transesophageal echocardiography its role in Clinical Decision Making. Pre-Congress Workshop on Echocardiography. 8th ASEAN Congress of Cardiology. Singapore. 7 Dec 1990. Pop RL. Echocardiography. N Engl J Med 1990; 323: 165-172. Cikes I, Ernst A, Callahan JA et aL.Pericardiocentesis guided by Ultrasound. In: No Cikes (ed). Echocardiography in Cardiac Interventions. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 1989: 249-60. Manolis AS, Linzer M, Salem D and Estes III AM. Syncope: Current diagnostic evaluation and management. Ann Intern Med 1990; 112: 850863.

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991

Anda mungkin juga menyukai