Anda di halaman 1dari 3

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Pada mulanya semua kelumpuhan nervus fasialis diberi nama Bells palsy, namun

dengan berjalannya waktu, banyak penyebab paralisis tersebut telah diketahui dan akhirnya Bells palsy hanya digunakan untuk kasus akut dan idiopatik yang jumlahnya berkisar 60 - 75% dari semua kelumpuhan syaraf fascialis akut. Insiden Bells palsy berkisar 20 -45 kasus per 100.000 penduduk pertahun.1, 2 Penyakit ini dapat dialami oleh semua kelompok umur, terbanyak pada pada kelompok umur 15 45 tahun, tidak ada perbedaan jumlah kasus diantara kedua jenis kelamin, sering dialami oleh wanita hamil dan pasien dengan riwayat diabetes Melitus. 3, 4, 5, 6 Kasus yang terjadi umumnya mengenai sisi wajah, hanya kurang dari 1 % mengenai kedua sisi wajah. Tingkat rekurensi berkisar 7 - 8 %, dan biasanya terjadi setelah sembuh selama 6 bulan. Sekitar 8 -10 % penderita mempunyai riwayat penyakit yang sama dalam satu keluarga.7 Perubahan musim / suhu lingkungan bukanlah penyebab Bells Palsy, meskipun pada musim panas dan musim dingin terjadi peningkatan jumlah penderita. 3, 4, 8 Penyebab kelumpuhan syaraf fasialis pada Bells Palsy hingga saat ini belum diketahui, kuat dugaan bahwa proses inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum yang menyebabkan kompresi, iskemia, dan demiielinisasi sebagai penyebab penyakit ini.5, 9 Akhir-akhir ini banyak peneliti yang mencari hubungan antara HSV-1 dengan kejadian Bells palsy. Hal ini berdasarkan bukti ditemukannya peningkatan anti HSV-1 pada 20 79 % pasien.
9

Bukti lain yang

memperkuat dugaan yaitu penelitian yang dilakukan Mukarami dkk, menemukan DNA HSV-1 pada 10 dari 13 penderita Bells palsy yang menjalani dekompresi nervus fasialis. Berbeda dengan penemuan Mukarani dkk, Linder dkk, seperti yang dikutip Pieterson E, pada tahun

2005, menemukan DNA HSV-1 sebanyak 86 % dari 14 sampel otopsi yang bukan penderita Bells palsy.3 Gejala klinik berkaitan dengan jumlah dan tingkat kerusakan syaraf yang mengalami kelumpuhan, untuk itu suatu system yang dapat digunakan untuk mendefenisikan secara tepat tingkat kelumpuhan saraf fasialis, menilai progresifitas kelumpuhan, serta menilai kemajuan pengobatan. Hingga saat ini belum kesamaan system yang digunakan secara internasional. Facial Nerve Disorders Committee of the American Acamdemy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery ( AAO-HNS ) secara resmi telah mengadopsi dan menjadikan metoda pemeriksaan berdasarkan House Brackman Grading Scale ( HBGS ) sebagai golden standard . Penilaian menurut metode ini bersifat subyektif, berdasarkan pengamatan terhadap kelumpuhan otot-otot wajah. Umumnya penderita Bells Palsy ( 71 % ) berada pada grade I ( normal ), 12 % pada grade II ( ringan ). Grade I dan II mempunyai kemungkinan sembuh sempurna, kalaupun disertai gejala sisa akan sangat minimal sekali.2, 3 Pemeriksaan objektif dapat dilakukan dengan pemerikasaan elektrofisiologis berupa Elektromyographic ( EMG ), Nerve Excitabilitas Test ( NET ), Maximum Stimulation Test ( MST ), Elektro Neurography ( ENoG ) ( McAllister, Medeiros ). Diantara pemeriksaan tersebut, ENoG lebih sering digunakan karena pemeriksaannya bersifat quantitatif yang hasilnya dapat digunakan untuk memperkirakan prognosis pasien. Prognosis baik bila degenerasi yang terjadi kurang dari 90 % ( Bailey ).4, 10 Penatalaksanaan Bells palsy masih menjadi perdebatan, disamping karena penyebabnya belum jelas, prognosis Bells palsy umumnya baik, tanpa diberikan pengobatan, 85 % penderita akan mengalami penyembuhan sempurna dalam 3 minggu, 15 % sembuh dengan parese ringan sesudah 3 - 5 bulan, sisanya yaitu 5 % tidak ada perbaikan. 3, 6, 11, 12
2

Beberapa ahli telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid, antivirus, maupun kombinasi keduanya sampai dengan dekompresi nervus fasialis yang bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insidens sinkinesis dan kontraktur, serta mencegah kelainan mata.3, 4 B. Perumusan masalah Bells Palsy untuk kelumpuhan Nervus Fascialis perifer dengan onset akut yang penyebabnya idiopatik. Sebagian besar pasien tanpa pengobatan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu yang relatif singkat, hanya sebagian kecil yang akan mengalami gejala sisa ringan sampai berat. Pemberian terapi yang tepat dan cepat mungkin akan mengurangi waktu penyembuhan dan mencegah munculnya gejala sisa. C. Tujuan penulisan Referat ini membahas tentang Bells Palsy ditinjau dari kajian terapi agar terdapat kesamaan pemahaman dalam penatalaksanaan Bells Palsy yang pada akhirnya akan dapat mempercepat waktu penyembuhan dan mengurangi munculnya gejala sisa.

Anda mungkin juga menyukai