Anda di halaman 1dari 1

Ada yang Salah dengan Hari Kartini Tanggal 21 April adalah hari di mana bangsa Indonesia selalu merayakannya

sebaga i hari Kartini. Tidak ada yang salah dari momen tersebut, karena hal itu bertuju an untuk menghormati dan menghargai perjuangannya terhadap bangsa ini. Justru ke salahan terletak dari proses perayaannya itu sendiri. Merayakan hari kelahiran K artini sering hanya dikaitkan dengan perlombaan dan berpakaian tradisional pada hari tersebut. Kita disibukkan dengan perayaan yang bahkan maknanya saja tidak k ita pahami dan kita acuhkan. Kita terbawa arus yang penting ikut merayakan. Dengan cara seperti itu, masyarakat umumnya sudah merasa ikut meneruskan perjuangan Ka rtini. Padahal tanpa praksis yang benar, perayaan hanyalah sebuah upacara yang t anpa makna. Akan jauh lebih baik jika kita tahu nilai-nilai serta makna yang ter kandung dalam perayaan tersebut, sehingga semangat juang Kartini dapat kita wari si dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, perayaan hari Kartin i tidak akan berakhir sia-sia dan mubadzir akibat ketidakpahaman kita sendiri. Selama ini Kartini hanya dikenal sebagai tokoh emansipasi wanita yang memperjuan gkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Peranan dan gagasannya se olah dikaburkan dan diminimalkan sejak masa orde baru. Padahal banyak pemikirann ya yang sering kita abaikan, diantaranya fakta bahwa sosok Kartini merupakan sal ah satu pejuang anti-kolonial dan anti-feodalisme. Tentu saja Kartini tidak mela wan penjajah dengan senjata, namun melawannya dengan gagasan, pendidikan serta k einginan untuk memajukan bangsa melalui pengetahuan. Tidak hanya itu saja, Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja, dituliskan bagaimana Kartini menjadi seorang ahli batik, peluki s, mengerti soal musik, pengarang di majalah-majalah, mengumpulkan dongeng dan n yanyian, berbicara teori sastra, hingga soal bahasa daerah. Sebagai buktinya, tu lisannya pernah muncul di majalah bernama De Echo, Yogjakarta dengan menggunakan nama samaran tiga saudara. Tulisan itu berjudul Een Gouverneur-Generaalsdag, yang b ercerita mengenai pengalaman Kartini-bersaudara bersama ayahnya saat menyambut k edatangan Gubernur Jenderal Rooseboom dan Nyonya di Semarang. Dengan begitu banyaknya fakta yang kita lalaikan tentang Kartini dan perjuangann ya, masih pantaskah kita disebut sebagai bangsa yang baik jika kita masih meraya kan hari Kartini dengan perayaan tanpa disertai renungan dan tekad nyata untuk m engambil alih semangatnya?

Anda mungkin juga menyukai