Anda di halaman 1dari 9

Kemiskinan

Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan mungkin tidak selalu berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan (Godfrey 1993), tetapi kecenderungan yang terjadi di beberapa negara terbukti tingkat kemiskinan terkait dengan dinamika ketenagakerjaan. ILO (1999) juga menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja sering dibarengi dengan penurunan kemiskinan khususnya jika upah riil juga meningkat. Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dapat dilihat pada hal memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari bekerja, tentunya dapat diukur apakah pendapatan yang diperoleh tersebut dapat mencukupi kebutuhan minimum yang telah ditentukan. Indonesia telah diakui Bank Dunia sebagai negara yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dimana tingkat kemiskinan di Indonesia telah berhasil diturunkan dari sekitar 40% pada tahun 1976 menjadi sekitar 11% pada tahun 1996 berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Perhitungan Bank Dunia juga menunjukkan hal yang sama dimana persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 1 dolar PPP per kapita per hari turun dari 20,6% pada tahun 1990 menjadi 7,8% pada tahun 1996. Akan tetapi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat kemiskinan kemabali meningkat. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1998 tingkat kemiskinan tercatat sebesar 24,2% yang utamanya disebabkan oleh meroketnya harga-harga komoditas baik makanan maupun non-makanan. Sejalan dengan menurunnya kembali harga-harga kebutuhan makanan dan non-makanan tingkat kemiskinan juga kemabli turun menjadi sekitar 19% pada tahun 2000. Setelah itu tingkat kemiskinan cenderung menurun meskipun berlangsung cukup lambat. Pada tahun 2008, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 15,4% (Gambar 4.7). Sementara itu berdasarkan data Bank Dunia, tingkat kemiskinan Indonesia pada tahun 2008 adalah sebesar 5,9% jika didasarkan pada garis kemiskinan 1 dolar PPP per kapita per hari, tetapi jika diukur berdasarkan garis kemiskinan 2 dolar PPP per kapita per hari tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat sebesar 42.6% (Modjo 2009). Perlu dicatat bahwa garis kemiskinan Bank Dunia hanya dapat dipakai untuk membandingkan dan memonitor perkembangan tingkat kemiskinan secara internasional atau antar negara (global poverty monitoring), sementara Bank Dunia tetap menyarankan penggunaan garis kemiskinan negara masing-masing dalam

memonitor perkembangan kemiskinan di negaranya baik di tingkat nasional maupun wilayah. Dalam konteks analisis ekonomi dan ketenagakerjaan, kiranya menarik untuk melihat karakteristik kemiskinan. Analisis yang mungkin dilakukan berdasarkan ketersediaan data adalah karaktersitik kepala rumahtangga miskin. Beberapa karakteristik kepala rumahtangga miskin yang dapat dianalisis berdasarkan ketersediaan data mencakup karakteristik demografi, pendidikan dan ketenagakerjaan. Analisis profil mengenai rumahtangga miskin ini diharapkan juga mampu memberi gambaran dan masukan bagi perencanaan dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Karakteristik Demografi Kepala Rumahtangga Miskin Beberapa karakteristik demografi tentang kepala rumahtangga miskin yang dapat dianalisis sesuai dengan ketersedian data mencakup rata-rata jumlah anggota rumahtangga, wanita sebagai kepala rumahtangga, dan rata-rata usia kepala rumahtangga. Untuk perbandingan, data disajikan dalam bentuk perbandingan antara rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin. Dilihat menurut rata-rata jumlah anggota rumahtangga, jumlah anggota rumahtangga miskin lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga tidak miskin (4,64 orang dibanding 3,79 orang). Hal ini diyakini karena rumahtangga miskin cenderung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Kenyataan bahwa rumahtangga miskin umumnya memiliki keterbatasan akses terhadap pendapatan dan kesehatan yang dapat mengakibatkan kurangnya pemenuhan gizi anak-anak rumahtangga miskin, jumlah anggota rumahtangga yang besar pada gilirannya dapat menghambat peningkatan sumberdaya manusia di masa depan yang dalam hal ini adalah anak-anak. Jika hal ini terjadi maka mereka akan mewarisi kemiskinan (tetap hidup dalam kemiskinan) di masa mendatang. Karakteristik Rumahtangga Miskin Tidak Miskin Rata-rata jumlah anggota rumahtangga - Perkotaan 4,70 3,86 - Perdesaan 4,61 3,74 - Perkotaan + Perdesaan 4,64 3,79 Persentase wanita sebagai kepala rumahtangga - Perkotaan 14,18 14,15 - Perdesaan 12,30 13,03

- Perkotaan + Perdesaan 12,91 13,52 Rata-rata usia kepala rumahtangga - Perkotaan 48,57 45,47 - Perdesaan 47,86 47,33 - Perkotaan + Perdesaan 48,09 46,51 Sumber: BPS (2008) Berkaitan dengan masalah peranan wanita sebagai kepala rumahtangga, secara umum peranan wanita sebagai kepala rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya biasanya akan mengalami banyak kendala dibanding dengan peran laki-laki sebagai kepala rumahtangga (BPS 2007). Hal ini terkait dengan peran ganda wanita di dalam rumahtangga sebagai pencari nafkah dab sebagai ibu yang melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya. Berdasarkan data Susenas 2007, persentase wanita sebagai kepala rumahtangga miskin mencapai 12,9 persen, sedangkan untuk rumahtangga tidak miskin tercatat 13,5 persen. Selain itu juga terlihat bahwa persentase wanita sebagai kepala rumahtangga cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan di daerah perdesaan. Karakteristik usia kepala rumahtangga juga penting dilihat karena usia dapat digunakan untuk melihat produktivitas kerja dalam memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga. Dilihat menurut usia, rata-rata usia kepala rumahtangga miskin sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia kepala rumahtangga tidak miskin (48,1 tahun dibanding 46,5 tahun). Jika dilihat menurut daerah, rata-rata usia kepala rumahtangga miskin di perkotaan terlihat relatif sama dengan di perdesaan yaitu masing-masing sebesar 48,6 tahun dan 47,9 tahun. Akan tetapi untuk rumahtangga tidak miskin, rata-rata usia kepala rumahtangga di perkotaan sedikit lebih muda dibandingkan dengan di perdesaan (45,5 tahun dibanding 47,3 tahun). Karakteristik Pendidikan Kepala Rumahtangga Miskin Pendidikan berkaitan erat dengan kemiskinan. Orang yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik pula. Karena orang yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih baik untuk mendapatakan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Dengan demikian orang yang memiliki tingkat pendidikan yang baik memiliki peluang yang lebih kecil untuk menjadi miskin dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Untuk

melihat kecenderungan tersebut, beberapa karakteristik pendidikan seperti rata-rata lamanya sekolah, kemampuan baca tulis, dan tingkat pendidikan yang ditamatkan kepala rumahtangga miskin menarik untuk dicermati. Indikator pendidikan paling dasar yang sering digunakan adalah tingkat kemampuan baca tulis. Tabel diatas memperlihatkan bahwa persentase kepala rumahtangga miskin yang tidak dapat membaca dan menulis lebih dari dua kali lipat dibanding kepala rumahtangga tidak miskin (18,0 persen dibanding 8,1 persen). Perbedaan yang lebih mencolok terlihat di daerah perkotaan dimana persentase buta huruf kepala rumahtangga miskin tiga kali lipat lebih dibanding kepala rumahtangga tidak miskin. Hal yang sama juga ditemukan pada karakteristik rata-rata lamanya bersekolah. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa secara umum rata-rata lamanya bersekolah kepala rumahtangga miskin lebih rendah dari pada kepala rumahtangga tidak miskin. Rata-rata lama bersekolah kepala rumahtangga miskin tercatat sebesar 4,4 tahun pada tahun 2008, sementara rata-rata lama bersekolah kepala rumahtangga tidak miskin sebesar 7,2 tahun. Perbedaan ini berlaku baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Rata-rata lama bersekolah kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dari pada mereka yang hidup di perdesaan (4,2 tahun dibanding 4,1 tahun), sementara untuk rumahtangga tidak miskin perbedaan rata-rata lama sekolah kepala rumahtangga miskin antara perkotaan dan perdesaan terlihat cukup besar yaitu 9,1 tahun dibanding 5,8 tahun. Tabel Karakteristik Pendidikan Kepala Rumahtangga, 2008 Karakteristik Rumahtangga Miskin Tidak Miskin Persentase kepala rumahtangga yang tidak dapat membaca dan menulis - Perkotaan 14,30 4,20 - Perdesaan 19,57 11,13 - Perkotaan + Perdesaan 18,01 8,07 Rata-rata lama sekolah kepala rumahtangga (tahun) - Perkotaan 5,19 9,06 - Perdesaan 4,06 5,78 - Perkotaan + Perdesaan 4,40 7,23 Sumber: BPS (2008) Tabel Karaktersitik Kepala Rumahtangga menurut Tingkat Pendidikan, 2008

Karakteristik Rumahtangga Tidak tamat SD SD SLTP SLTA PT Rumahtangga miskin - Perkotaan 37,13 35,55 13,69 12,93 0,70 - Perdesaan 45,36 41,15 8,68 4,53 0,28 - Perkotaan + Perdesaan 42,82 39,42 10,23 7,12 0,41 Rumahtangga tidak miskin - Perkotaan 13,89 22,25 16,00 34,91 12,95 - Perdesaan 32,34 36,89 13,69 13,52 3,55 - Perkotaan + Perdesaan 23,89 30,19 14,75 23,32 7,85 Sumber: BPS (2008) Perbedaan rata-rata lama sekolah dan persentase buta huruf antara kepala rumahtangga miskin dan kepala rumahtangga tidak miskin mengindikasikan adanya perbedaan jenjang pendidikan yang ditempuh atau yang ditamatkan. Hal ini akan lebih jelas terlihat pada distribusi persentase rumahtangga menurut tingkat pendidikan yang diselesaikan oleh kepala rumahtangga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.32. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa lebih dari 80 persen kepala rumahtangga miskin berpendidikan SD ke bawah, sedangkan kepala rumahtangga miskin yang menamatkan jenjang SLTP dan SLTA sebanyak 17,3 persen. Hanya 0,4 persen di antara mereka yang mengenyam perguruan tinggi. Sementara itu, persentase kepala rumahtangga tidak miskin yang berpendidikan SD ke bawah jauh lebih rendah yaitu sekitar 54 persen, sedangkan yang berpendidikan SLTP dan SLTA mencapai 38 persen. Sebanyak 7,9 persen kepala rumahtangga tidak miskin tercatat mengenyam pendidikan di perguruan tianggi. Seperti halnya pada dua indikator pendidikan yang dibahas sebelumnya, persentase kepala rumahtangga yang menduduki tingkat pendidikan juga lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di perdesaan, seperti ditunjukkan oleh persentase mereka yang berpendidikan SLTP ke atas. Karakteristik Ketenagakerjaan Kepala Rumahtangga Miskin Salah satu indikator tingkat kesejahteraan rumahtangga adalah sumber penghasilan utama

rumahtangga. Sumber penghasilan utama umumnya terkait erat dengan tingkat penghasilan. Misalnya penghasilan/upah yang bersumber dari pekerjaan di sektor formal cenderung lebih tinggi dibandingkan upah yang bersumber dari pekerjaan di sektor informal. Dengan demikian rumahtangga yang memiliki sumber penghasilan utama berasal dari sektor formal akan cenderung lebih sejahtera (dalam arti memiliki penghasilan yang lebih tinggi) dibandingkan dengan rumahtangga yang sumber penghasilan utamanya berasal dari sektor informal. Dua karakteristik utama ketenagakerjaan yang diharapkan mampu menggambarkan perbedaan antara rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin berdasarkan ketersediaan data yang ada adalah lapangan usaha atau sektor dan jumlah jam kerja seminggu. Tabel Karakteristik Kepala Rumahtangga Menurut Lapangan Pekerjaan, 2008 Karakteristik Rumahtangga Tidak Bekerja Pertanian Industri Lainnya Rumahtangga miskin - Perkotaan 14,71 30,02 10,55 44,72 - Perdesaan 8,67 68,99 5,09 17,26 - Perkotaan + Perdesaan 10,62 56,35 6,86 26,16 Rumahtangga tidak miskin - Perkotaan 15,36 9,39 12,19 63,07 - Perdesaan 7,91 55,2 5,97 30,92 - Perkotaan + Perdesaan 11,1 35,06 8,7 45,05 Sumber: BPS (2008) Catatan: Lainnya mencakup pertambangan, listrik, gas dan air minum, konstruksi, perdagangan rumah makan dan akomodasi, transportasi, keuangan dan jasa. Tabel diatas memperlihatkan distribusi persentase rumahtangga miskin dan tidak miskin menurut sumber penghasilan utama kepala rumahtangga. Dilihat dari persentase kepala rumahtangga yang tidak bekerja, tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata antara rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin (10,6 persen dibanding 11,1 persen). Untuk rumahtangga miskin, persentase kepala rumahtangga yang bekerja di sektor

pertanian menempati persentase yang tertinggi di antara ketiga sektor utama yaitu mencapai sekitar 56,4 persen, sementara yang bekerja di sektor industri dan lainnya (di luar pertanian dan industri) masing-masing sebesar 6,7 persen dan 26,2 persen. Gambaran yang kontras ditunjukkan oleh adanya perbedaan sumber penghasilan yang nyata antara daerah perkotaan dan perdesaan dimana kepala rumahtangga miskin di perkotaan umumnya bergantung pada sektor di luar pertanian dan industri (44,7 persen) sementara di perdesaan sumber penghasilan utama kepala rumahtangga bergantung pada sektor pertanian (69 persen). Berbeda dengan rumahtangga miskin, sumber penghasilan utama kepala rumahtangga tidak miskin secara nasional paling banyak bergantung pada sektor jasa yaitu sebesar 45,1 persen, sementara mereka yang bergantung pada sektor pertanian hanya 35,1 persen. Tingginya persentase kepala rumahtangga tidak miskin yang bekerja di sektor jasa utamanya disebabkan sangat tingginya persentase mereka yang bekerja di sektor jasa di perkotaan yang mencapai 63,1 persen. Untuk daerah perdesaan, meskipun tidak ada perbedaan pola dalam lapangan usaha antara rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin, persentase kepala rumahtangga tidak miskin yang bekerja di sektor jasa (diduga umumnya sektor perdagangan) jauh lebih tinggi atau hampir dua kali lipat dibandingkan rumahtangga miskin. Tabel Karakteristik Rumahtangga menurut Jumlah Jam Kerja, 2007 Karakteristik Rumahtangga Jam kerja < 35 jam Rata-rata (jam) Rumahtangga miskin - Perkotaan 32,19 40,37 - Perdesaan 38,54 35,97 - Perkotaan + Perdesaan 36,06 37,7 Rumahtangga tidak miskin - Perkotaan 19,6 44,62 - Perdesaan 34,5 38,64 - Perkotaan + Perdesaan 27,06 41,62

Sumber: BPS (2007) Dilihat berdasarkan jam kerja, secara rata-rata kepala rumahtangga miskin bekerja selama 37,7 jam seminggu, sementara kepala rumahtangga tidak miskin bekerja selama 41,6 jam seminggu. Jika dilihat menurut daerah, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa rata-rata jam kerja per minggu di perkotaan jauh lebih tinggi dibanding daerah perdesaan baik untuk rumahtangga miskin maupun rumahtangga tidak miskin. Kepala rumahtanga miskin perkotaan melakukan pekerjaan selama 40,4 jam per minggu sementara mereka yang di perdesaan secara rata-rata bekerja selama 36 jam per minggu. Sementara itu untuk kepala rumahtangga tidak miskin, mereka secara rata-rata bekerja selama 44,6 jam per minggu di wilayah perkotaan dan 38,6 jam di wilayah perdesaan. Hal lain yang menarik untuk dilihat adalah lebih tingginya persentase kepala rumahtangga miskin yang bekerja di bawah jumlah jam kerja normal seminggu (<35 jam seminggu). Sebanyak 36 persen kepala rumahtangga miskin bekerja kurang dari jam kerja normal, sementara persentase kepala rumhtangga tidak miskin yang bekerja kurang dari jumlah jam kerja normal tercatat sebanyak 27 persen (tabel 4.34). Tingginya tingkat setengah pengangguran (diukur berdasarkan jam kerja) di antara rumahtangga miskin dikarenakan merek harus tetap bekerja atau melakukan pekerjaan apapun baik secara serabutan atau sebagai pekerja bebas agar bisa bertahan hidup. Hal ini lebih lanjut akan dibahas secara terpisah pada sub bahasan selanjutnya. Dari informasi di atas jelas bahwa profil orang miskin di perdesaan umumnya melekat pada mereka yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai petani gurem, buruh tani, pencari kayu, maupun nelayan, sementara di perkotaan potret kemiskinan melekat pada mereka yang bekerja di sektor informal perkotaan. Jam kerja rumahtangga miskin secara rata-rata juga lebih rendah dibandingkan rumahtangga tidak miskin. Hal ini juga berlaku baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan. Perbedaan profil atau karakteristik lapangan usaha kepala rumahtangga miskin antara perkotaan dan perdesaan ini seharusnya dapat dijadikan dasar bagi penentuan target atau sasaran dalam program pengentasan kemiskinan dengan membedakan antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Dengan melihat perbandingan antara persentase kepala rumahtangga miskin dan tidak miskin yang bekerja di sektor jasa di daerah perdesaan dapat ditarik suatu pelajaran bahwa salah satu usaha yang perlu dilakukan dalam usaha memperbaiki tingkat penghasilan adalah mendorong mereka (orang miskin) yang bekerja di pertanian khususnya mereka yang bekerja sebagai buruh tani

serabutan atau musiman beralih pada pekerjaan di sektor non-pertanian (off-farm employment). Hal ini dapat dilakukan baik secara langsung melalui penciptaan kesempatan kerja di sektor non pertanian maupun secara tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur perdesaan yang memadai seperti pembuatan dan perbaikan jalan yang diharapkan mampu menstimulasi penciptaan kegiatan ekonomi pedesaan. Magana (1996) mencatat bahwa penurunan kemiskinan yang terjadi sebelum periode krisis ditandai oleh adanya dinamika pasar kerja yang memungkinkan pekerja beralih pekerjaan dari sektor perdesaan (umumnya pertanian subsisten) ke sektor perkotaan (umumnya non pertanian).

Anda mungkin juga menyukai