Anda di halaman 1dari 7

SYUKNI TUMI PENGATA. SH.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Tahun 2009. Melanjutkan studi di Program Magister Ilmu Hukum Bisnis Universitas Pancasila-Jakarta, pada Tahun 2010 - Angkatan 18. Saat ini bekerja sebagai Corporate Lawyer pada Warens & Partners Lawfirm. Kontak : WARENS & PARTNERS LAW FIRM Jl. Sisingamangaraja No.63, Kebayoran Baru, Jakarta 12120, Indonesia. Website : www.warenslaw.com Mobile : 085883714556 081287286164 Email : stpengata.advocates@gmail.com Twitter : @stpengata Pin : 205343fe

Disclaimer : Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di http://stpengataadvocates.blogspot.com/ tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum, namun hanya memberikan gambaran umum dan pendidikan hukum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi pembaca. PLEIDOI (PEMBELAAN) Prof Miranda Swaray Gultom, S.E., MA, Ph.D. Pada Persidangan persidangan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2012) (Terdakwa kasus dugaan suap pemilihan DGS BI tahun 2004) Saya bukan seorang sarjana hukum yang menguasai seluk-beluk teknis persidangan, saya hanya seorang ahli ekonomi dan oleh karena itu,

izinkan saya menyampaikan (eksepsi) pribadi terhadap dakwaan yang diajukan kepada saya yang merupakan satu kesatuan dengan eksepsi yang akan disampaikan secara terpisah oleh penasihat hukum saya untuk mendapatkan keadilan berdasarkan hati nurani dari majelis hakim yang saya muliakan. Eksepsi yang saya ajukan ini menggunakan logika berpikir yang sederhana, yaitu, untuk dinyatakan atau dijadikan sebagai seorang saksi saja, seseorang harus memenuhi syarat-syarat bahwa orang tersebut melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana secara langsung dengan panca indranya, sedangkan saya, dalam kenyataannya tidak pernah melihat, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa pemberian Traveller Cheque (TC) yang dilakukan oleh saudari Nunun Nurbaeti kepada anggota komisi IX DPR RI, ataupun peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan adanya pemberian TC tersebut. Akan tetapi, saya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan kemudian sekarang diajukan sebagai terdakwa sebagai orang yang bersama-sama dengan Nunun, atau menganjurkan Nunun untuk memberi TC kepada anggota komisi IX DPR RI. Saya tidak mengetahui ataupun pernah diberitahu oleh Nunun atau siapapun juga mengenai adanya

keinginan ataupun rencana pembagian TC ataupun pelaksanaan pembagian TC kepada anggota komisi IX DPR RI 2004-2009, yang menurut penuntut umum dibagikan untuk memenangkan saya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Bagaimana mungkin, dan apa alasannya saya yang tidak tahu menahu atas suatu tindakan yang dilakukan oleh orang lain dapat dijadikan sebagai tersangka ataupun diajukan sebagai terdakwa. Saya teringat akan kalimat yang diucapkan oleh Martin Luther King, Jr yang menyatakan, "Law and order exist for the purpose of establishing justice and when they fail in this purpose they become the dangerously structure dams that block the flow of social progress," yang terjemahannya adalah "Hukum dan peraturan bertujuan mewujudkan keadilan, dan ketika mereka gagal dalam tujuan ini, mereka menjadi sebuah bendungan yang berbahaya yang menghalangi kemajuan sosial." Mengutip pemikiran Martin Luther King, Jr tersebut, saya meyakini bahwa tujuan dari proses hukum adalah untuk mencari keadilan, bukan untuk sebagai alat penghukuman semata yang didasarkan atas anggapan-anggapan, atau karena adanya desakan atau memenuhi keinginan publik,

atau memuaskan publik semata. Karena, apabila hal tersebut dilakukan maka hal itu sangat berbahaya bagi perkembangan dalam kehidupan sosial, bukan hanya untuk saya pribadi tapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Memperhatikan uraian saya tersebut, mohon perkenan saya untuk dapat mengetuk pintu hati majelis hakim yang saya muliakan agar mempertimbangkan secara jernih dan dengan menggunakan hati nurani yang paling dlam, melihat surat dakwaan jaksa penuntut umum yang memaksakan kehendaknya untuk membuat surat dakwaan yang hanya didasarkan kepada asumsi atau anggapan. Bahwa sudah menjadi tugas dan tanggung jawab majelis hakim yang mengemban dan menjalankan kekuasaan berdasarkan Ketuhanan yang maha esa, adalah untuk memberikan perlindungan hukum berdasarkan rasa keadilan dan dengan hati nurani serta dengan ketulusan yang bersih dan keberanian untuk memutuskan dakwaan batal demi hukum dikarenakan dakwaan disusun dengan hanya mendasarkan pada asumsi atau anggapan walaupun hal tersebut saya pahami akan menyulitkan kedudukan majelis hakim yang saya muliakan sebagai hakim pengadilan tipikor, karena ada anggapan bahwa semua perkara yang

diajukan ke Pengadilan Tipikor harus diputus bersalah. Belum hapus dari ingatan kita pemberitaan yang dimuat dalam sebauh majalah 'Tempo' edisi 6-12 Februari 2012 halaman 30-31 (lampiran 1), yang menyangkut berita penetapan saya sebagai tersangka menuai kontroversi internal KPK. Dalam kaitan itu, penetapan saya sebagai tersangka, yang sudah diumumkan pada tanggal 26 Januari 2012 kepada publik, sedangkan penetapan untuk dilakukan penyidikan baru dilakukan pada tanggal 4 April 2012 berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Spint.Dik-13/01/IV/2012 tanggal 4 April 2012 (lampiran 2), menimbulkan tanda tanya besar bagi saya: "Apakah penetapan saya sebagai tersangka memiliki cacat hukum?". Oleh karenanya saya serahkan kepada majelis hakim yang mulia yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan menilai keganjilan atau cacat hukum tersebut berdasarkan keadilan. Majelis hakim yang mulia, Sebagaimana pendapat Mahatma Gandhi, dalam memutus perkara ini, saya yakin majelis hakim akan bersikap bijak dan benar, karena keadilan tertinggi adalah keadilan yang didasarkan pada hati nurani. "there is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It

supersedes all other courts". Yang terjemahannya adalah "Di atas pengadilan masih terdapat pengadilan yang lebih tinggi yaitu pengadilan hati nurani. Pengaidlan ini menggantikan semua pengadilan lainnya." Majelis hakim yang mulia, Sejarah kini mengetuk hati nurani yang mulia dan memberi kesempatan kepada majelis untuk berani mengambil keputusan yang didasarkan kepada rasa keadilan yang hakiki, sehingga dapat menggoreskan tinta emas daam tonggak sejarah perjalanan bangsa bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk berani membebaskan terdakwa yang secara nyata tidak tahu menahu mengenai adanya pemberian TC kepada anggota Komisi IX DPR RI, sehingga majelis hakim memberikan putusan sela yang menyatakan dakwaan penuntut umum 'tidak dapat diterima' atau 'batal demi hukum', karena hal tersebut pada hakikatnya merupakan suatu kemenangan bagi semua penegak hukum di pengadilan yang bersangkutan, dengan berhasil menegakkan harkat, martabat, dan kehormatan manusia yang lebih takut kepada nilai-nilai keadilan itu sendiri; dan bukan takut kepada tekanan politik, opini publik ataupun kehilangan jabatan.

Dengan ini saya ingin menegaskan kepada majelis hakim yang mulia, bahwa saya tidak pernah memberikan, menjanjikan, dan ataupun menganjurkan kepada siapapun untuk memberi apapun, baik sebelum maupun sesudah DGS BI, dan oleh karenanya mohon majelis hakim yang mulia untuk mempertimbangkan eksepsi ini ebagai bantahan atas dakwaan penuntut umum dan membuat putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan keadilan hakiki yakni: 'Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh'. Saya yakin majelis hakim tentu akan bersikap adil dan benar, dalam nilai keTuhanan. Sebelum menutup eksepsi ini perkenankan saya menyampaikan pendapat Eleanor Roosevelt (mantan presiden Amerika Serikat) yang menyatakan "Justice cannot be for one side alone, but must be for both". Semoga Allah beserta kita Terima Kasih

Prof Miranda Swaray Gultom, S.E., MA, Ph.D.

Referensi : - www.detik.com

Anda mungkin juga menyukai