Anda di halaman 1dari 19

STUDI DESKRIPTIF TENTANG MEKANISME KOPING PASIEN HEMODIALISIS DI RSUD RATU ZALEKHA MARTAPURA

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG Penyakit apapun yang berlangsung dalam kehidupan manusia dipersepsikan sebagai suatu penderitaan dan mempengaruhi kondisi psikologis dan sosial orang yang mengalaminya. Pada dasarnya semua manusia ingin agar tubuhnya selalu dalam kondisi sehat, baik sehat fisik maupun psikologisnya (jiwa). Patricia, 2005 mengatakan bahwa dalam rentang kehidupan selalu terjadi permrasalahan kesehatan (penyakit) yang diderita oleh seorang manusia. Penyakit yang diderita seorang manusia bentuknya bermacam-macam, seperti penyakit ringan yang membutuhkan pengobatan murah dan waktu singkat, akan tetapi ada juga penyakit berat (kronis) dan berbahaya bagi kelangsungan hidup seseorang yang membutuhkan proses pengobatan mahal dan waktu yang panjang (lama) sehingga berpengaruh terhadap kondisi psikososial seseorang. Salah satu penyakit berat dan berbahaya tersebut adalah penyakit gagal ginjal. Secara global terdapat 200 kasus gangguan ginjal per sejuta penduduk. 8 juta di antara jumlah populasi yang mengalami gangguan ginjal berada dalam tahap gagal ginjal kronis. Cohen et al., 2004, dalam penelitiannya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara keadaan gagal ginjal dengan timbulnya gangguan psikiatri pada pasien. Kondisi ini bisa terjadi pada kasus gagal ginjal akut maupun yang kronis. Aspek psikososial menjadi penting diperhatikan karena perjalanan penyakit yang kronis dan sering membuat pasien tidak ada harapan. Pasien sering mengalami ketakutan, frustasi dan timbul perasaan marah dalam dirinya. (Harvey S, 2007). Clinar et al, 2009 menyebutkan bahwa terdapat 24 stressor yang muncul pada pasien hemodialisis diantaranya keterbatasan, kelemahan, ketergantungan pada mesin hemodialisis dan ketidakpastian masa depan. Kondisi yang telah disebutkan di atas yang membuat salah satu tugas perawat dialisis sebelum melakukan prosedur hemodialisis kepada pasien disarankan untuk menilai status kesehatan jiwa pasien yang akan dihemodialisis (Hudson et al, 2005). Di RSUD Ratu Zalekha Martapura adalah salah satu Rumah Sakit yang menyediakan pelayanan terapi hemodialisis, dan sampai dengan tahun 2012 ini jumlah pasien dengan terapi hemodialisis berjumlah

Dalam wawancara dan observasi awal terhadap pasien ruangan hemodilisa RSUD Ratu Zalekha Martapura didapatkan beberapa tanda dan gejala perubahan pada tubuh pasien hemodialisis seperti adanya inflamasi (pembengkakan), pruritus, kulit kering dan belang sebagai akibat dari proses terapi hemodialisis Dari data-data yang telah disebutkan, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang gambaran (dekriptif) mekanisme koping (pertahanan diri) pada pasien yang sedang menjalani proses terapi hemodialisis di ruang hemodialisa RSUD Ratu Zalekha Martapura.

B.

RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah Bagaimanakah mekanisme koping (pertahanan diri) pasien hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura? hemodialisis di ruang

C.

TUJUAN 1. Tujuan Umum Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura 2. Tujuan Khusus Untuk mengetahui jenis mekanisme koping yang terjadi pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

D.

MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan, khususnya ilmu keperawatan pada pasien dengan terapi hemodialisis. 2. Bagi Profesi Perawat Penelitian ini akan berguna sebagai referensi baru bagi perawat rumah sakit, khususnya yang bekerja di ruang hemodialisis, sehingga perawat dapat mengetahui mekanisme koping yang terjadi pada pasien yang dirawatnya. 3. Bagi Keluarga Pasien

Penelitian ini akan berguna untuk menjadi informasi dalam membuat keputusankeputusan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sedang menjalani terapi hemodialisis. 4. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat memberikan pengalaman baru bagi peneliti dalam mengidentifikasi mekanisme koping pada pasien hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronik 1. Definisi Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah terjadinya gangguan pada fungsi renal (ginjal) yang progresif dan irreversible yang diikuti dengan ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan terjadinya retensi urea dan penumpukan sampah nitrogen lain di dalam darah atau uremia (Smeltzer, 2002). Sedangkan Corwin, 2006 menyatakan bahwa keadaan GGK merupakan kerusakan (destruksi) yang terjadi pada struktur ginjal yang bersifat progresif dan terus-menerus. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa

keadaan GGK adalah penurunan atau kerusakan struktur ginjal yang berakibat pada terganggunya fungsi dan kemampuan ginjal untuk mengeluarkan produk metabolism tubuh.

2. Etiologi Faktor penyebab gagal ginjal kronik dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: 1) Penyebab Pre-Renal: Berupa gangguan aliran darah ke arah ginjal sehingga ginjal kekurangan suplai darah yang menyebabkan hipoksia jaringan ginjal. Hal ini berlanjut dengan terjadinya kerusakan jaringan ginjal. Contohnya adalah, volume darah berkurang akibat dehidrasi berat, kehilangan darah dalam jumlah besar, daya pompa jantung berkurang dan adanya sumbatan pada arteri yang menuju ginjal. 2) Penyebab Renal: Berupa gangguan atau kerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri, contohnya kerusakan ginjal akibat diabetes mellitus (diabetic nephropathy), hipertensi (Hypertensive nephropathy), penyakit system kekebalan tubuh seperti SLE (Systemic Lupus Erithematosus), peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal dan berbagai gangguan aliran darah dalam ginjal. Manurut Roesly, 2008, berdasarkan data IRR (Indonesian Renal Registry) pada tahun 2007-2008, urutan faktor penyebab GGK terbanyak adalah sebagai berikut: a. Glomerulonefritis (25%) b. Diabetes Melitus (23%)

c. Hipertensi (20%), dan d. Ginjal Polikistik (10%) 3) Penyebab Post-Renal Berupa gangguan atau hambatan aliran keluar (out put) urin sehingga terjadi aliran Patologi balik urin yang berakibat pada kerusakan ginjal, misalnya adanya batu ureter sampai uretra, penyempitan akibat saluran tertekuk, pembesaran prostat, tumor dan lain-lain.

3. Gambaran Klinis Gambaran klinis gagal ginjal kronik berat disertai syndrome azotemia sangat

kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti; kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006) 1) Kelainan hemopoeisis Terjadinya anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU) sering ditemukan pada pasien GGK. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kurang dari 25 ml/min. 2) Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien GGK stadium terminal. Patogenesis terjadinya mual dan muntah diduga

mempunyai hubungan dengan dekompresi flora usus sehingga terbentuk ammonia. Amonia inilah yang mengakibatkan iritasi dan rangsangan lambung dan usus halus. 3) Kelainan mata Visus hilang (azotemia amourosis) dapat dijumpai pada sebagian kecil pasien GGK. Gangguan visus ini akan hilang beberapa hari setelah mendapatkan pengobatan GGK yang adekuat, seperti hemodialisis. Kelainan saraf mata mengakibatkan terjadinya nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien GGK akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. 4) Kelainan kulit Keluhan gatal sering terjadi pada pasien GGK yang diduga berhubungan dengan terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan akan hilang setelah

dilakukan paratiroidektomi. Kulit pasien biasanya kering dan bersisik dan sering ditemukan timbunan kristal urea pada kulit wajah (urea frost). 5) Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada GGK stadium terminal. Adanya kelainan ini merupakan indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialysis. 6) Kelainan neuropsikiatri Gangguan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia dan depresi sering di jumpai pada pasien GGK. Selain itu dapat juga terjadi gangguan mental berat seperti konfulsi, dilusi bahkan gejala psikosis. Gangguan mental ini dapat dijumpai pada pasien dengan atau tanpa terapi hemodialysis, tergantung pada dasar kepribadian (personality) 7) Kelainan kardiovaskular Pathogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada pasien GGK sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hypertensi, aterosklerosis, kalsifikasi system vaskular sering dijumpai pada pasien GGK stadium terminal dan dapat berakibat pada kegagalan faal jantung.

4. Stadium Penurunan fungsi ginjal yang berujung pada keadaan Gagal Ginjal Kronik (GGK) berlangsung seiring dengan berjalannya waktu. Apabila kerusakan ginjal dapat

diketahui sedin mungkin maka akan dapat dilakukan pengobatan untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal sehingga tidak mencapai GGK stadium akhir. Hartono, 2008 menyatakan bahwa sangat penting bagi penderita untuk mengetahui stadium berapa penyakit ginjal yang dideritanya agar tim medis dapat menentukan jenis terapi yang tepat. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia (YGDI) membagi 5 stadium penyakit ginjal berdasarkan penghitungan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate) sebagai berikut: table 2.1 Stadium Gagal Ginjal Kronik STADIUM STADIUM 1 STADIUM 2 STADIUM 3 STADIUM 4 STADIUM 5 sumber : YDGI, 2008 GFR > 90 ml/min 60-89 ml/min 30-59 ml/min 15-29 ml/min > 15 ml/min KETERANGAN Normal Ringan Moderat Parah Terminal

5. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan atau pengobatan pada pasien dengan GGK adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer, 2002). Sedangkan FK Universitas Indonesia, 2006 menjelaskan bahwa penanganan tahapan GGK dapat dibagi menurut beberapa cara antara lain dengan memperhatikan fungsi faal ginjal yang masih tersisa. Apabila fungsi faal ginjal yang tersisa sangat minim, sehingga usaha konservatif seperti diet, pembatasan minum dan obat-obatan tidak dapat memberikan pertolongan yang diharapkan lagi, maka keadaan ini disebut dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT). Prosedur pengobatan yang harus dilakukan adalah hemodialysis atau transplantasi ginjal. Diantara kedua prosedur ini, yang banyak digunakan adalah hemodialysis, karena prosedur transplantasi ginjal biayanya sangat mahal dan sulit untuk mendapatkan pendonor ginjal (Iskandarsyah, 2006) FKUI, 2006 secara umum membagi jenis terapi pengganti menjadi: table 2.2 Berbagai Jenis Terapi Penggganti Ginjal I. Dialisis a. Dialisis Peritoneal DP Intermiten (DP) DP mandiri berkesinambungan (DPMB) DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) DP noktural (DPN) TG donor hidup (TGDH) TG donor jenazah (TGDJ)

b. Hemodialisis II. Transpalantasi Ginjal (TG)

Terapi Hemodialisis

dibutuhkan bila fungsi ginjal seseorang telah mencapai

tingkat akhir (stadium 5) atau yang sering disebut Gagal Ginjal Terminal (GGT). Pada keadaan ini, hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah ke dalam tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari 2 kompartemen yang terpisah.

B. Mekanisme Koping 1. Definisi Koping merupakan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh seseorang (individu) untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan, luka, kehilangan atau ancaman (Siswanto 2007). Lubis, 2006 menyatakan dalam konsep kesehatan mental, koping adalah proses penyesuaian diri seseorang dalam menghadapi stress. Sehingga dapat dikatakan perilaku yang mengarah pada apa saja yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh dengan tekanan atau yang dapat membangkitkan emosi. 2. Jenis Koping Terdapat 2 ahli yang membagi jenis koping secara berbeda beda, yaitu Lazarus dan Harber et.al. (Siswanto, 2007). Pembagian jenis koping berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut adalah sebagai berikut: a. Lazarus, 1976, membagi 2 jenis koping, yaitu: 1) Tindakan langsung (Direct action) Koping ini adalah tindakan yang langsung dapat dilakukan oleh individu untuk mengatasi ancaman, kesakitan atau lukan dan tantangan. Terdapat 4 jenis mekanisme direct action ini, yaitu: a) Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka b) Agresi, yaitu melakukan tindakan serangan terhadap agen yang dinilai mengancam c) Penghindaran (avoidance) d) Apati, yaitu tindakan yang dilakukan untuk menerima begitu saja ancaman dan tantangan. Biasanya mekanisme ini dilakukan oleh orang yang sudah putus asa. 2) Peredaan atau Peringanan (Pallation) Mekanisme koping ini berorintasi untuk meringankan, mengurangi atau mentoleransi tekanan dan ancaman. Terdapat 2 jenis pallation, yaitu: a) Diarahkan pada gejala (Symptom direct modes), untuk mengurangi

gangguan yang disebabkan oleh tekanan tersebut. b) Cara intrapsikis (intrapsychis modes) atau mekanisme pertahanan diri (defence mechanism), yaitu mekanisme koping yang bersifat menyaring realita, terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi sehingga dapat digolongkan sebagai koping yang tidak sehat (destruction), kecuali Sublimasi.

Macam-macam mekanisme ini adalah sebagai berikut, denial, Identifikasi, Pengalihan (displacement), reaksi formasi, proyeksi, rasionalisasi dan sublimasi

b. Harber dan Runyon, 1984 membagi jenis koping yang bersifat konstruktif sebagai berikut: 1) Penalaran, menggunakan kemampuan kognitif 2) Obyektifitas, pembedaan antara emosi dan logika dalam pemikiran dan penalaran 3) Konsentrasi, kemampuan memusatkan perhatian secara penuh 4) Humor, melihat hal yang dianggap lucu dari persoalan yang dihadapi 5) Supresi, kemampuan menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada 6) Toleransi terhadap kekhawatiran atau amibuitas, yaitu adanya kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas 7) Empati, melihat sesuatu dari pandangan orang lain

c. Maramis, 2005, menjelaskan mengenai mekanisme strategi koping dalam menghadapi stress, sebagai berikut: 1) Cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented), yaitu cara yang bertujuan untuk mengahdapi tuntutan, ancaman dan tantangan secara sadar, realistis, obyektif dan rasional. Cara ini dapat dilakukan secara terbuka maupun terselubung, seperti; a) Serangan atau menghadapi ancaman secara frontal (terang-terangan) b) Penarikan diri, dan c) Kompromi. 2) Cara penyesuaian yang berorientasi pada pembelaan ego (ego defence oriented), yang tujuan utamanya adalah untuk melindungi diri sendiri terhadap rasa devaluasi diri dan kecemasan yang mengancam atau menyakitkan, diantaranya: a) Fantasi, keinginan yang tidak terkabul dipuaskan dengan imajinasi b) Penyangkalan, tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan c) Rasionalisasi, berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan (yang sebenarnya tidak baik) rasional dan dapat dibenarkan serta diterima

d) Identifikasi, menambah rasa harga diri dengan menyamakan dirinya dengan seseorang atau suatu hal yang dikaguminya e) Introyeksi, individu menerima dan memasukan ke dalam pendiriannya berbagai aspek keadaan yang mengancamnya f) Represi, secara sadar menekan pemikiran yang berbahaya dan yang menyedihkan keluar dari alam sadar ke alam tak sadar manusia g) Regresi, kembali ke taraf perkembangan yang sudah dilalui h) Proyeksi, menyalahkan orang lain mengenai kesulitannya sendiri atau melemparkan kepada orang lain keinginan sendiri yang kurang baik i) Penyusunan reaksi, supaya tidak menuruti keinginan yang jelek, maka sebagai penghalang diambil sikap dan perilaku yang sebaliknya, tetapi dilakukan secara berlebihan j) Sublimasi, nafsu yang tidak terpenuhi (sexual) disalurkan kepada kegiatan lain yang dapat diterima oleh masyarakat k) Kompensasi, menutupi kelemahan dengan cara menonjolkan sifat yang baik l) Salah-pindah, emosi dalam arti simbolik atau fantasi terhadap seseorang atau suatu benda, dicurahkan kepada seseorang atau benda lain yang biasanya kurang berbahaya dari pada benda semula m) Pelepasan, meniadakan atau membatalkan suatu fikiran, kecenderungan atau tindakan yang tidak disetujui n) Penyekatan emosi, individu mengurangi tingkat keterlibatan emosinalnya dalam keadaan yang dapat menimbulkan kekecewaan menyakitkan o) Isolasi, merupakan bentuk penyekatan emosional yang mana beban emosi dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan atau diubah (distorsi) p) Simpatisme, berusaha untuk mendapatkan simpati dengan cara atau yang

menceritakan berbagai kesukaran hidupnya q) Pemeranan, mengurangi kecemasan yang dibangkitkan oleh berbagai keinginan yang terlarang dengan membiarkan ekspresinya dan

melakukannya Ke 17 ego oriented ini dikatakan koping mal adaftif bila digunakan secara terus-menerus, karena sifat koping ini tidak realistis, cenderung menipu diri sendiri, bekerja asecara tidak disadari dan sulit dievaluasi secara sadar (Maramis, 2007)

d. Spirit dan Stark, 1993 (dalam Sarabia, 2007) membagi 3 strategi koping secara lebih bervariasi sebagai berikut: 1) Strategi koping menghindar (avoidant-coping) Cirinya adalah pengalihan (distraction), penarikan diri (social withdrawal), berkhayal (wishfull thinking), dan pengunduran diri (resignation) 2) Strategi koping negative (negative-coping) Cirinya adalah mengkritisi diri (self critism), mencari kompensasi negatif dengan cara penyalahgunaan narkoba dan alcohol (substance abuse) dan menyalahkan orang lain (blaming others) ketika menghadapi masalah. 3) Strategi koping aktif (active coping) Cirinya adalah individu menggunakan pemecahan masalah (problem solving), melakukan regulasi emosi (emotional regulation), melakukan restrukturisasi

kognitif (cognitive restructuring) dan mencari dukungan sosial (social support seeking)

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress Pasien Hemodialisis Berdasarkan pendapat beberapa ahli terdapat faktor-faktor yang dapat

menyebabkan mempengaruhi stress pada pasien yang sedang menjalani terapi hemodialisis, sebagai berikut: 1. Usia Usia merupakan salah satu factor yang berhubungan erat dengan stress dan juga sebagai stressor yang paling mengganggu. Pada usia dewasa lebih mampu mengotrol stress dibandingkan dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Akan tetapi semakin dewasa umur seseorang (semakin tua), maka akan terjadi proses penurunan kemampuan fungsi organ tubuh (regeneratif) yang akan mempengaruhi dalam membuat sebuah keuptusan seperti halnya penanganan terhadap penyakit GGK dan terapi hemodialisis sehinggan pasien dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks (Toya, 2002) 2. Jenis kelamin Wanita biasanya bertahan lebih baik terhadap stressor dibandingkan dengan pria. Siswanto (2007) menyatakan secara biologis kelenturan tubuh wanita dapat mentoleransi terhadap stress. Sedangkan Yeh (2009) dalam penelitiaanya menemukan bahwa jenis kelamin/jender sangat berpengaruh terhadap penyakit, stress serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah.

3. Tingkat pendidikan Notoatmojo (2003) mengatakan bahwa perilaku dan pola hidup seseorang dapat

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena makin tinggi pendidikan seseorang akan lebih mudah dalam menerima informasi sehingga banyak pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan Siswanto, 2007, menyebutkan bahwa toleransi terhadap stressor dapat dilakukan dengan lebih baik pada individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. 4. Status perkawinan Perkawinan merupakan salah satu penyebab stress psikososial, yang mana persoalanpersoalan perkawinan dapat menjadi sumber stress bagi seseorang, seperti pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan (Yosep, 2007). Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh pada depresi dan kecemasan. 5. Status ekonomi Tingkat ekonomi yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan(Notoatmojo, 2007). Yosep, 2007 menyatakan bahwa masalah keuangan (kondisi ekonomi) yang tidak sehat dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seserang. Tingkat ekonomi yang rendah berpengaruh terhadap metoda terapi GGK, biaya yang besar meliputi pembelian obat, pemeriksaan laboratorium, transportasi, hemodialisis dan transplantasi. Selain itu aspek penting yang lain adalah terjadinya efek samping metoda terapi yang juga membutuhkan biaya yang besar (Indonesian Nursing, 2008). 6. Lama terapi Pada pasien GGK stadium 2 dan 3 yang tidak disertai dengan berbagai komplikasi tentu memiliki angka keberhasilan dan harapan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pasien GGK terminal. Terapi hemodialisis dapat dirasakan manfaatnya bagi pasien yang sejak awal sudah diketahui ketika ada indikasi dan langsung dirujuk untuk menjalani terapi hemodialisis (Indonesian Nursing, 2008). Menurut Iskandarsyah, 2006, pasien yang mampu mentoleransi penyakitnya (GGT) adalah pasien yang telah menjalani terapi hemodialisis selama 4 tahun. 7. Frekwensi terapi hemodialisis Semakin lama pasien GGT menjalani terapi hemodialisis, maka akan semakin patuh terhadap proses terapi, sedangkan pasien yang tidak patuh terhadap proses terapi adalah pasien yang belum lama menjalani terapi hemodialisis (Sapri, n.d )

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep Terjadinya stress diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan sumber daya yang dimiliki individu yang mana semakin tinggi kesenjangan yang terjadi maka semakin tinggi pula tingkat stress yang dialami individu (Yosep, 2007). Stressor merupakan sumber stress atau penyebab stress. Yosep, 2007 menyatakan bahwa perkawinan, problem orang tua, pekerjaan, keluarga dan penyakit fisik adalah beberapa penyebab stress. Apabila individu mampu untuk menggunakan cara-cara adaptif yang sehat dengan stress yang dialami, walaupun stressor atau tekanan tetap ada, maka individu tersebut tetap dapat hidup sehat. Bahkan stressor tersebut pada akhirnya akan memunculkan potensi manusiawi yang tersembunyi secara optimal. Proses penyesuaian diri dalam menghadapi stress dikenal dengan istilah koping (Lubis, 2006). Siswanto (2007) menyatakan bahwa koping dapat juga diartikan sebagai hal-hal apa saja yang telah dilakukan oleh individu untuk menguasai situasi ancaman atau tantangan. Stress mungkin terjadi pada bidang badaniah (stress fisik atau somatik) seperti infeksi dan penyakit lainnya yang menggerakkan mekanisme penyesuaian somatik agar

mengembalikan keseimbangan. Reaksi ini berupa zat anti kuman (antibody) dimana butiran darah putih dimobilisasi ke tempat invasi kuman itu, dan dilanjutkan dengan lebih banyak

kortison dan adrenalin dilepaskan dan sebagainya(Maramis, 2002). Dari penjelasan diatas dapat dihubungkan antara stress, stressor dan koping. Stress merupaka respon yang muncul akibat adanya tekanan atau ancaman yang disebut dengan stressor. Ketika individu mengalami stress karena adanya stressor, maka dibutuhkan mekanisme koping yang sehat untuk menghadapi stress tersebut Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan tersebut, maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut

GAGAL GINJAL TERMINAL

HEMODIALISIS

STRESS

B. Definisi Operasional 1. Mekanisme koping adaftif, adalah cara-cara yang bersifat konstruktif yang telah dilakukan oleh seorang pasien GGT dengan terapi hemodialisis. 2. Mekenism koping mal adaftif adalah cara-cara yang bersifat destruktif yang telah dilakukan oleh seorang pasien GGT dengan terapi hemodialisis. Pertanyaan atau kuesioner terdiri dari 24 item, dengan ketentuan kuesioner adaptif di nomor 1 sampai dengan 12, sedangkan kuesioner mal adaptif di nomor 13 sampai dengan 24. Masing-masing item di berikan skor 1 4 dengan ketentuan sebagai berikut: Nilai 4 Nilai 3 Nilai 2 Nilai 1 : SELALU (S) : SERING (SR) : KADANG-KADANG (KK) : TIDAK PERNAH (TP)

Alat ukur yang digunakan adalah skala Likert, dengan criteria obyektif Koping adaptif bila skor Koping mal adaptif bila skor : 25 sampai 48 : 12 sampai 24

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melakukan deskripsi terhadap fenomena yang telah ditemukan, baik berupa faktor resiko maupun efek. Data yang didapatkan disajikan apa adanya dan tidak dianalisi mengapa fenomena itu terjadi, karena itu dalam penelitian deskriptif tidak diperlukan adanya hipotesis (Sostroasmoro, 2008). Rancangan penelitian bertujuan untuk menggambarkan masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakterisik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, social, ekonomi,

pekerjaan, status perkawinan, pola hidup dan lain-lain (Hidayat, 2007). Adapun penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme koping yang dilakukan oleh pasien GGK/GGT dengan terapi hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura

B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura, pada bulan November 2012.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Pada penelitian ini, populasi penelitian adalah semua pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura 2. Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total populasi sampling, yang mana semua pasien yang menjalani terapi hemodialisis di ruang

hemodialisis RSUD Ratu Zalekha Martapura adalah sampel penelitian dengan kriteria sebagai berikut: a. Kriteria inklusi 1) Pasien GGK dengan terapi hemodialisis 2) Pasien rawat inap atau jalan dengan frekwensi HD > 1 kali dalam satu tahun terakhir 3) Pasien dewasa dengan usia minimal 19 tahun 4) Pendidikan minimal SD

5) Pasien askes atau mandiri (swasta) 6) Kesadaran komposmentis dan dapat bekomunikasi 7) Bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian b. Kriteria eksklusi 1) Pasien GGK yang tidak menjalani HD 2) Hanya melakukan 1 kali dalam 1 tahun terakhir 3) Pasien anak-anak atau remaja (bawah 19 tahun) 4) Pasien dengan gangguan komunikasi dan tidak sadar 5) Tidak bersedia bepartisipasi dalam penelitian

D. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data a. Editing Setelah data dikumpulkan, maka data diedit dan dilakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data b. Koding Agar proses pengolahan data dapat dilakukan lebih mudah, maka setiap jawaban diberikan symbol atau kode tertentu c. Tabulating Merupakan proses pegolahan data dan selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16 dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi 2. Analisa Data Analisa yang diguanakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif yang menggambarkan cara meringkas, menyajikan dan mendiskripsikan data agar dapat mudah difahami dan mempunyai makna.

E. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Data tentang terapi hemodialisis dilakukan dengan cara observasi , sedangkan data tentang mekanisme koping dilakukan dengan cara menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Terdapat 12 item kuesioner mengenai koping adaptif dan 12 item kuesioner mengenai koping mal adaptif dengan pemberian skor sebagai beikut: 1. Selalu (s) 2. Sering (sr) :4 :3

3. Kadang-kadang (kd) : 2 4. Tidak pernah (tp) :1

Anda mungkin juga menyukai