Anda di halaman 1dari 36

BAB I PENDAHULUAN Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru kirakira seratus tahun

terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908), Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing-masing mendefinisikan Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian hari diketahui bahwa ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan. 1.1. Definisi Skizofrenia merupakan penyakit kronis otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra) 1.2. Insidensi Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. (Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia berkisar 0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis. Ditemukan disemua tempat di dunia, insiden dan prevalensinya secara kasar sama . Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala muncul pada lelaki lebih awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun dan wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri .

1.3. Gejala dan Klinis Pada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang bisa mendiagnosa skizofrenia. Seorang dokter biasanya mencapai diagnosanya berdasarkan gejala-gejala klinis. Dengan pemeriksaan fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang mungkin menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi, metabolik, disfungsi tiroid, tumor otak, zat psikoaktif, lain-lain). Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan skizofrenia menurut kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu: 1. Gejala positif 2. Gejala negatif 3. Kognitif 4. Agresif/ hostile 5. Depresif / cemas Jaras dopamin, mesolimbik, suatu projeksi dari area ventral tegmental ke arah daerah limbik, termasuk nukleus akumbens. Pada hipotesis dopamin, terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan di jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala positif psikosis, yaitu: Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan. Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya kacau. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. Menyimpan rasa permusuhan. Jaras mesokortikal, berasal dari area ventral tegmental di batang otak, berprojeksi ke kortex limbik. Apabila terjadi defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka akan muncul gejala negatif, yaitu: 2

Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming) Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. Sulit untuk pikir abstrak Pola pikir stereotip. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak ada spontanitas, monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba malas. Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir, inkoheren, assosiasi longgar, neologisme, hendaya perhatian, hendaya dalam meproses informasi. Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada diri sendiri (bunuh diri), orang lain (menyerang), dan benda (menghancurkan), kasar, buruknya kontrol impulse, dan akting out seksual. Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia, seperti rasa bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas .

BAB II ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi. 2.1. Model Diatesis-Stres Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang, jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diatesis-stres yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis (sebagai contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma. Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak, termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga daerah tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan sistem limbik sebagai suatu tempat potensial untuk patologi primer pada sekurangnya suatu bagian, kemungkinan bahkan pada sebagian besar, pasien skizofrenik, dua tipe penelitian adalah pencitraan otak pada orang yang hidup dan pemeriksaan neuropatologi pada jaringan otak postmortem. Waktu suatu lesi neuropatologis tampak di otak dan interaksi lesi dengan lingkungan dan stresor sosial masih merupakan bidang penelitian yang aktif. Dasar untuk timbulnya abnormalitas mungkin terletak pada perkembangan abnormal (sebagai contoh, migrasi abnormal neuron di sepanjang glia radial selama perkembangan). Atau dalam degenerasi neuron setelah perkembangan (sebagai contoh, kematian sel terprogram yang

awal secara abnormal, seperti yang tampak terjadi pada penyakit Huntington). Tetapi ahli teori masih memegang kenyataan bahwa kembar monozigotik mempunyai angka ketidak sesuaian 50%, jadi menyatakan bahwa terdapat interaksi yang tidak dimengerti antara lingkungan dan perkembangan skizofrenia. Suatu penjelasan lain adalah, walaupun kembar monozigotik mempunyai informasi genetika yang sama, pengaturan ekspresi gen saat mereka menjalani kehidupan yang terpisah adalah berbeda. Faktor-faktor yang mengatur ekspresi gen baru saja mulai dimengerti; kemungkinan melalui regulasi gen yang berbeda, satu kembar monozigotik menderita skizofrenia, sedangkan yang lainnya tidak. 2.2. Hipotesis Dopamin Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik adalah berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang paling jelas adalah amfetamin, yang merupakan salah satu psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi keduanya. Teori dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat. Neuron dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral. Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas. Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin memainkan peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam menggunakan agonis D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut. Reseptor dopamin tipe 5 (D5) yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan reseptor D1 dan dapat meningkatkan penelitian. Dalam cara yang sama reseptor dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4) adalah berhubungan dengan reseptor D2 dan akan merupakan sasaran penelitian karena

agonis dan antagonis spesifik adalah dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya satu penelitian telah melaporkan suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak postmortem dari pasien skizofrenik. Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang penelitian skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan hipotesis neurokimiawi yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah. Pertama, antagonis dopamin adalah efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat, tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian, adalah tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa hiperaktivitas dopaminergik adalah unik untuk skizofrenia. Sebagai contoh, antagonis dopamin juga digunakan untuk mania akut. Kedua beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik. Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit dopamin utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa, dalam kondisi eksperimental yang terkontrol cermat, konsentrasi homovanilic acid plasma dapat mencerminkan konsentrasi homovanilic acid di sistem saraf pusat. Penelitian tersebut telah melaporkan suatu hubungan positif antara konsentrasi homovanilic acid praterapi yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan respon terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanilic acid plasma juga telah melaporkan bahwa, setelah peningkatan sementara konsentrasi homovanilic acid plasma, konsentrasi menurun secara mantap. Penurunan tersebut dihubungkan dengan perbaikan gejala pada sekurangnya beberapa pasien. 2.3. Serotonin Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat (sebagai contoh, clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik, antagonisme pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT2) telah disadari

penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D2. Seperti yang juga telah dinyatakan dalam penelitian tentang gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan impulsif yang jug adapat ditemukan pada pasien skizofrenik. 2.4. Norepinefrin Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus sereleus dan bahwa efek terapetik dari beberapa antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2. walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem dopamminergik dalam cara tertentu sehingga kelainan sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien untuk sering relaps. 2.5. Asam Amino Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA) juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik. Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan untuk glutamat, termasuk hipotesis hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan hipotesis neurotoksisitas akibat glutamat.

2.6. Pencitraan Otak 2.6.1. Tomografi Komputer Penelitian awal yang menggunakan tomografi komputer (CT) pada populasi skizofrenik mungkin telah menghasilkan data yang paling awal dan paling meyakinkan bahwa skizofrenia dapat dipercaya sebagai penyakit otak. Penelitian tersebut telah secara konsisten menunjukkan bahwa otak pasien skizofrenik mempunyai pembesaran ventrikel lateral dan ventrikel ketiga dan suatu derajat penurunan volume kortikal. Temuan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai konsisten dengan adanya jaringan otak yang lebih sedikit dari biasanya pada pasien yang terkena; apakah penurunan jumlah jaringan otak tersebut disebabkan kelainan perkembangan atau karena degenerasi adalah masih belum terpecahkan. Penelitian CT lainnya telah melaporkan asimetrisitas serebral yang abnormal, penurunan volume serebelum, dan perubahan densitas otak pada pasien skizofrenik. Banyak penelitian CT telah menghubungkan adanya kelainan pemeriksaan CT dengan adanya gejala negatif atau defisit, gangguan neuropsikiatrik, peningkatan gejala neurologis, gejala ekstrapiramidalis yang sering dari antipsikotik, dan penyesuaian pramorbid yang buruk. Walaupun tidak semua penelitian CT telah menegakkan anggapan tersebut, penelitian telah menimbulkan kesan bahwa semakin banyak bukti neuropatologi yang ada, semakin serius gejalanya. Tetapi, kelainan yang dilaporkan pada penelitian CT pada pasien skizofrenik juga telah dilaporkan pada keadaan neuropsikiatrik lainnya, termasuk gangguan mood, gangguan berhubungan alkohol, dan demensia. Jadi, perubahan tersebut kemungkinan tidak spesifik untuk proses patofisiologis skizofrenia dasar. Sejumlah penelitian telah berusaha untuk menentukan apakah kelainan yang terdeteksi oleh CT adalah progresif atau statik. Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa lesi yang diamati pada CT ditemukan pada onset penyakit dan tidak berkembang. Tetapi penelitian lain, telah menyimpulkan bahwa patologi yang divisualisasikan oleh CT terus berkembang selama penyakit. Jadi, apakah proses patologis aktif adalah terus berkembang pada pasien skizofrenik adalah masih belum pasti.

Walaupun pembesaran ventrikel pada pasien skizofrenik dapat ditunjukkan jika digunakan kelompok-kelompok pasien dan kontrol, perbedaan antara orang yang terkena dan tidak terkena adalah bervariasi dan biasanya kecil. Dengan demikian, penggunaan CT dalam diagnosis skizofrenia adalah terbatas. Tetapi, beberapa data menyatakan bahwa ventrikel lebih besar pada pasien dengan tardive dyskinesia daripada pasien yang tidak menderita tardive dyskinesia. Juga, beberapa data menyatakan bahwa pembesaran ventrikel adalah lebih sering ditemukan pada pasien laki-laki daripada wanita. 2.6.2. Pencitraan Resonansi Magnetik Pencitraan resonansi magnetik (MRI) awalnya digunakan untuk memperjelas temuan pada pemeriksaan CT tetapi selanjutnya digunakan untuk memperluas pengetahuan tentang patofisiolofi skizofrenia. Satu penelitian MRI yang paling penting adalah pemeriksaan kembar monozigotik yang tidak sama-sama menderita skizofrenia. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kembar yang menderita skizofrenia mempunyai ventrikel serebral yang lebih besar daripada kembar yang tidak terkena, walaupun sebagian besar kembar yang terkena mempunyai ventrikel serebral di dalam suatu rentang normal. Peneliti yang menggunakan MRI dalam riset skizofrenia telah menggunakan sifatsifat resolusi yang unggul, dibandingkan dengan CT, dan informasi kualitatif, sebagai contoh, yang didapatkan dengan menggunakan berbagai urutan signal untuk mendapatkan citra T1 atau T2 yang diperkuat. Resolusi unggul dari MRI telah menghasilkan beberapa laporan bahwa volume kompleks hipokampus-amigdala dan girus parahipokampus adalah menurun pada pasien skizofrenik. Satu penelitian terakhir menemukan suatu penurunan spesifik dari daerah otak tersebut di hemisfer kiri, dan bukan di hemisfer kanan, walaupun penelitian lain telah menemukan penurunan volume bilateral. Beberapa penelitian telah menghubungkan penurunan volume sistem limbik dengan derajat psikopatologi atau parameter lain keparahan penyakit. Jugatelah terdapat laporan waktu relaksasi T1 dan T2 yang berbeda pada pasien skizofrenik, khususnya yang diukur di daerah frontalis dan temporalis.

2.6.3. Elektrofisiologi Penelitian elektroensefalografi (EEG) pada pasien skizofrenia menyatakan bahwa sejumlah besar pasien mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan kepekaan terhadap prosedur aktivasi (sebagai contoh, aktivitas paku yang sering setelah tidak tidur), penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas teta dan delta, kemungkinan aktivitas epileptiformis yang lebih dari biasanya, dan kemungkinan kelainan sisi kiri yang lebih banyak dari biasanya. 2.6.4. Potensial Cetusan Sejumlah besar kelainan pada potensial cetusan (evoked potentials) pada pasien skizofrenik telah digambarkan dalam literatur penelitian. Gelombang P300 merupakan yang paling banyak dipelajari dan didefinisikan sebagai gelombang potensial cetusan yang besar dan positif yang terjadi kira-kira 300 milidetik setelah suatu stimulasi sensoris dideteksi. Sumber utama gelombang P300 mungkin berlokasi di struktur sistem limbik dari lobus temporalis medial. Pada pasien skizofrenik P300 telah dilaporkan secara statistik lebih kecil dan lebih lambat daripada kelompok pembanding. Kelainan pada gelombang P300 juga telah dilaporkan lebih sering pada anak-anak yang berada pada 10

resiko tinggi mengalami skizofrenia karena mempunyai orang tua yang menderita skizofrenia. Apakah karakteristik P300 mewakili suatu keadaan fenomena atau suatu sifat fenomena adalah masih kontroversial. Potensial cetusan lain yang telah dilaporkan abnormal pada pasien skizofrenik adalah N100 dan variasi negatif berkelompok (continent negative variation). Gelombang N100 adalah gelombang negatif yang terjadi kira-kira 100 milidetik setelah stimulus, dan variasi negatif berkelompok adalah suatu pergeseran voltasi negatif yang berkembang dengan lambat yang mengikuti presentasi stimulus sensorik yang merupakan peringatan untuksuatu stimulus yang akan datang. Data potensial cetusan telah diinterpretasikan sebagai menyatakan bahwa, walaupun pasien skizofrenik adalah sensitif secara tidak lazim terhadap stimulus sensorik (potensial cetusan awal yang lebih tinggi), mereka mengkompensasi peningkatan kepekaan tersebut dengan mengumpulkan pemrosesan informasi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi (dinyatakan oleh potensial cetusan akhir yang lebih kecil). 2.7. Genetika Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik Populasi Populasi umum Bukan saudara kembar pasien skizofrenik Anak dengan satu orang tua skizofrenik Kembar dizigotik pasien skizofrenik Anak dari kedua orangtua skizofrenik Kembar monozigotik pasien skizofrenik 1,0 8,0 12,0 12,0 40,0 47,0 Prevalensi (%)

Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang tuaangkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan. Untuk mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah sama-sama menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung model diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi

11

yang kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang tidak sesuai secara psikologis.

BAB III DIAGNOSA

12

3.1. Kriteria Diagnosis Skizofernia Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) : A. Gejala karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala berikut : (1) Waham (2) Halusinasi (3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren) (4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas (5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avoilition) masing-masing didapat selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil) Catatan : hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya. B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perwatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan) C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaiutu, gejala fase aktif) dan mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifstasikan hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk yang diperl;emah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim)

13

D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood : Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang telah disingkirkan karena : (1) tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gela fase aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual. E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu medikasi) atau suatu kondisi medis umum. F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika terdapat riwayat adanya gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, doagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil) Klasifikasi perjalanan penyakit longitudinal (dapat diterapkan hanya setelah sekurangnya 1 tahun lewat sejak onset awal gejala fase aktif) : Episodik dengan gejala residual interepisode (episode didefinisikan oleh timbulnya kembali gejala psikotik yang menonjol); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang menonjol Episodik tanpa gejala residual interepisodik. Kontinu (gejala psikotik yang menonjol ditemukan di seluruh periode Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika : dengan gejala Episode tunggal dalam remisis penuh Pola lain atau tidak ditentukan .

observasi); juga sebutkan jika : dengan gejala negatif yang menonjol negatif yang menonjol

3.2. Gejala Pramorbid

14

Sebelum seseorang secara nyata aktif (manifes) menunjukan gejala-gejala Skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang disebut gejala pradormal. Sebaliknya bila seseorang penderita Skizofrenia tidak lagi aktif menunjukan gejal-gejala Skizofrenia, maka yang bersangkutan menunjukan gejala-gejala sisa yang disebut gejala residual 1. Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: anak sulit melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada anak perempuan tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang dan ekspresi wajah sangat terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki sering menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin. Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur kronis, tonus otot lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau benda yang bergerak cepat. Pada balita terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak. Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi letusan, bantingapintu atau bisikan, bisa juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab. Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.

15

Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. 3.3. Kepribadian Pramorbid Skizofrenia Faktor predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa Skizofrenia, yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan Ambang (Borderline) yang kriterianya sebagai berikut: 3.3.1 Kepribadian Paranoid Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut : A. Kecurigaan dan ketidakpercayaan yang pervasif dan tidak beralasan terhadap orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh sekurangkurangnya 3 dari 8 hal berikut ini : 1. Merasa akan ditipu atau dirugikan, berprasangka buruk dan sukar untuk bisa percaya terhadap maksud baik dari orang lain. 2. Kewaspadaan yang berlebihan, yang bermanifestasi sebagai usaha meneliti secara terus-menerus terhadap tanda-tanda ancaman dari lingkungannya atau mengadakan tindakan-tindakan pencegahan yang sebenarnya tidak perlu. 3. Sikap berjaga jaga atau menutup-nutupi, melakukan pengamanan fisik dan tempat tinggalnya. 4. Tidak mau menerima kritik atau kesalahan, walaupun ada buktinya. Alam perasaan (afek) sensitif, reaktif dan mudah tersinggung. 5. Meragukan' kesetiaan orang lain, selalu curiga akan dikhianati dan karenanya sukar untuk mendapatkan kawan ataupun pasangan. 6. Secara intensif dan picik mencari-cari kesalahan dan bukti tentang prasangkanya, tanpa berusaha melihat secara keseluruhan dari konteks yang ada.

16

7. Perhatian yang berlebihan terhadap motifmotif tersembunyi dan arti-arti khusus; penuh kecurigaan terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya yang diartikan salah dan dianggap ditujukan pada dirinya. 8. Cemburu yang patologik, tidak beralasan dan tidak rasional, dengan dalih yang dicari-cari untuk pembenaran dari rasa cemburunya itu. B. Hipersensitivitas, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini : 1. 2. serius. 3. 4. C. 1. 2. 3. 4. Siap mengadakan balasan apabila merasa terancam, serangan balik yang Tidak dapat santai, tidak tenang, selalu gelisah dan tegang karena tidak Keterbatasan kehidupan alam perasaan (afektif) seperti yang Penampakan yang dingin dan tanpa emosi, ekspresi wajah kosong, Merasa bangga bahwa dirinya selalu obyektif, rasional dan tidak mudah Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka bercanda, Tidak ada kehangatan emosional, lembut dan sentimental, seolah-olah tidak pada tempatnya. ada rasa aman dan terlindung (security feeling). ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal berikut ini : "tidak hidup" bagaikan "topeng". terangsang secara emosional, subyektivitas tinggi. tidak ada sense of humor. tidak mempunyai perasaan, hambar dan tidak bereaksi terhadap rangsangan atau hal yang bagi orang lain sesuatu yang membuat lucu atau gembira. Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian paranoid sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter Kecenderungan untuk mudah merasa dihina atau diremehkan dan cepat Membesar-besarkan kesulitan yang kecil, tidak proporsional dan mengambil sikap menyerang (offensive). mendramatisasi seolah-olah sedang menghadapi kesulitan atau ancaman yang

17

(psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofreni. 3.3.2. Kepribadian Skizoid Seseorang yang berkepribadian skizoid menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut : A. Terdapat ciri emosional yang dingin dan tidak acuh serta tidak terdapatnya perasaan hangat atau lembut terhadap orang lain. B. Sikap yang acuh tak acuh (indifferent) terhadap pujian, kritikan atau perasaan orang lain, tidak menghargai orang lain. C. Hubungan dekat hanya satu atau dua orang saja, termasuk anggota keluarganya, tidak mampu bersosialisasi. D. Tidak terdapat pembicaraan, perilaku, atau pikiran yang aneh (eksentrik), yang merupakan ciri khas kepribadian Skizotipal. Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizoid sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter (psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia. 3.3.3. Kepribadian Skizotipal Seseorang yang berkepribadian skizotipal menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut, yaitu sekurang-kurangnya terdapat 4 dari 8 hal yang berikut ini : 1. Pikiran magik atau gaib (magical thinking) seperti takhyul yang tidak sesuai dengan budayanya (superstitious), dapat melihat apa yang akan terjadi (clairvoyance), telepati, indera keenam, "orang lain dapat merasakan perasaan saya" (pada anak-anak dan remaja terdapat preokupasi dan fantasi yang aneh). 2. Gagasan mirip waham yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference), merasa segala peristiwa atau kejadian di sekitarnya selalu ada kaitannya atau bersangkutpaut dengan dirinya.

18

3. Isolasi sosial, seperti tidak memiliki kawan akrab atau orang yang dapat dipercaya, kontak sosial hanya terbatas pada tugas sehari-hari yang seperlunya, kurang mampu bersosialisasi. 4. Ilusi yang berulang-ulang, seperti merasa adanya "kekuatan" atau "orang" yang sebenarnya tidak ada (misalnya merasa seolaholah ibunya yang sudah meninggal berada bersama dengan dirinya dalam ruangan), depersonalisasi atau derealisasi yang tidak berhubungan dengan serangan panik. 5. Pembicaraan yang ganjil (tetapi tidak sampai menjurus kepada pelonggaran asosiasi atau inkoherensi), seperti pembicaraan yang digresif, kabur, bertele-tele, sirkumstansial (berputar-putar), metaforik (perumpamaan). 6. Di dalam interaksi (tatap muka) dengan orang lain terdapat hubungan (rapport) yang tidak memadai (inadequate) akibat afek (alam perasaan) yang tidak serasi (inappropriate) atau afek yang terbatas (constricted), misalnya tampak dingin atau tidak acuh. 7. Kecurigaan atau ide paranoid, yaitu rasa curiga atau buruk sangka yang tidak rasional. 8. Kecemasan sosial yang tidak perlu atau hipersensitivitas yang berlebih terhadap kritik yang nyata ataupun yang dibayangkan. Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga ada yang menunjukkan gejala-gejala kepribadian skizotipal sebagaimana diuraikan di muka. Baik pihak keluarga maupun yang bersangkutan hendaknya berkonsultasi kepada dokter (psikiater) agar tipe kepribadian ini tidak mengalami gangguan yang pada gilirannya dapat menjelma dalam bentuk gangguan jiwa Skizofrenia. 3.3.4. Kepribadian Ambang Seseorang yang berkepribadian ambang menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut, yaitu paling sedikit terdapat 5 dari 8 kriteria di bawah ini : 1. Impulsivitas atau perubahan yang tidak dapat diduga, setidak-tidaknya dalam dua aspek yang dapat merugikan diri, misalnya boros, hubungan seks, berjudi, penggunaan zat (NAZA: Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), mencuri di toko, makan berlebihan, tindakan cedera diri.

19

2. Ada pola hubungan interpersonal yang mendalam (intense) dan tidak stabil, seperti perubahan yang hebat dalam sikap, menyanjung, merendahkan, manipulasi (secara konsisten mengggunakan orang lain untuk kepentingan dirinya). 3. Kemarahan hebat dan tidak wajar, atau kurangnya pengendalian terhadap kemarahan, misalnya uring-uringan, kemarahan yang menetap. 4. Gangguan identitas yang bermanifestasi dalam ketidakpastian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas, misalnya citra diri, identitas jenis (gender identity), cita-cita jangka panjang atau pemilihan karier, pola persahabatan, nilainilai dan loyalitas, misalnya "siapakah saya?", "saya merasa seperti kakak saya apabila saya sedang senang". 5. Alam perasaan (mood, affect) yang tidak mantap ditandai oleh perubahan hebat dari afek (mood) yang normal menjadi depresi, iritabilitas (mudah tersinggung/marah) atau cemas, biasanya berlangsung beberapa jam dan (sangat jarang) sehingga beberapa hari, dan kembali ke alam perasaan yang normal. 6. Tidak tahan untuk berada sendirian, misalnya ia berusaha keras untuk tidak berada sendirian, merasa depresif apabila berada sendirian. 7. Tindakan yang mencederai diri sendiri , misalnya usaha bunuh diri, mutilasi diri (pemotongan atau pengundungan bagian tubuh), kecelakaan berulang kali atau perkelahian fisik. 8. Perasaan kosong atau rasa bosan (jenuh) yang berkepanjangan (menahun/kronik). 3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) : 3.4.1. Tipe Paranoid Bila ditemui kriteria sebagai berikut: a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi suara yang sering b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara kacau, tingkah laku katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek tumpul atau tidak sesuai.

20

3.4.2. Tipe terdisorganisasi (hebefrenik) a. Bila semua gejala ini menonjol 1. Bicara kacau 2. Tingkah laku kacau 3. Afek tumpul atau tidak sesuai b. Kriteria tidak sesuai untuk tipe katatonik 3.4.3.Tipe katatonik Suatu tipe skizofernia, dimana gambaran klinisnya didominasi oleh sedikitnya dua dari gejala berikut: 1. Imobilitas motorik, bukti dari katalepsi (fleksibilitas lilin) atau stupor 2. Aktivitas motor yang berlebihan (yang kadang-kadang tidak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal) 3. Negativisme yang ekstrim 4. Gerakan volunter yang aneh seperti yang ditunjukkan posturing. 5. Ekolalia dan ekopraksia 3.4.5. Tipe yang tidak tergolongkan Suatu tipe skizofrenia dimana ditemukan gejala yang memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk tipe paranoid, terdisorganisasi atau katatonik. 3.4.6. Tipe residual Tipe skizofernia dimana kriteria ini dijumpai: 1. Tidak ada atau tidak menonjol: delusi, halusinasi, bicara kacau, kekacauan yang terlihat, atau tingkah laku katatonik 2. Adanya bukti dari gangguan seperti yang diindikasikan dengan keberadaan gejala negatif, atau dua atau lebih gejala yang terdapat pada Criterion A untuk skizofrenia.

21

3.5. Golongan Skizofrenia lain- lain 3.5.1. Skizofrenia Simpleks Suatu bentuk psikosis (gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya realitas dan pemahaman diri/insight yang buruk ) yang perkembangannya lambat dan perlahan dari perilaku yang aneh, ketidak mampuan memenuhi tuntutan masyarakat dan penurunan keterampilan sosial. 3.5.2. Gangguan Skizofreniform Gambaran klinis Skizofreniform ini sama dengan Skizofrenia, perbedaannya adalah bahwa fase-fase perjalanan penyakitnya (fase aktif, prodormal dan residual ) kurang dari 6 bulan tetapi lebih lama dari 2 minggu. 3.5.3. Skizofrenia Laten Hingga kini belum terdapat suatu kesepakatan yang dapat diterima secara umum untuk memberikan gambaran klinis kondisi ini. 3.5.4. Gangguan Skizoafektif Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh gangguan pada alam perasaan (mood, affect) disertai waham dan halusinasi serta terdapat perasaan gembira yang berlebihan (maniakal) atau rasa sedih yang sangat mendalam (depresi) . 3.6. Diagnosis Banding Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat. 3.6.1. Medis dan Neurologis Akibat zat : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona, halusinosis alkohol, putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).

22

Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis. Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan limbik. Kondisi lain : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS) Porfiria intermitten akut Keracunan karbon monoksida Lipoidosis serebral Penyakit Creutzfeldt-Jakob Penyakit Fabry Penyakit Fahr Penyakit Hallervorden-Spatz Keracunan logam berat Ensefalitis herpes Homosistinuria Penyakit Huntington Lekodistrofi metakromatik Neurosiflis Hidrosefalus Pellagra SLE Sindroma Wernicke-Korsakoff Penyakit Wilson 3.6.2. Psikiatrik Psikosis atipikal Gangguan autistic Gangguan psikotik singkat Ganguan delusional Berpura-pura Gangguan obsesif-kompulsif

23

Gangguan keperibadian Gangguan skizofrenia lain-lain.

BAB IV PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu yang realtif lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse). Terapi yang komprehensif dan holistic atau terpadu dewasa ini sudah dikembangkan sehingga penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi terapi dengan obat-obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius. 4.1. Psikofarmaka Terpi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan skizofrenia. Pemilihan agent farmakologis yang tepat membutuhkan pertimbangan yang matang akan keuntungan dan kerugian pemberian obat tersebut. Terapi farmakologis atau psikofarmaka merupakan salah satu elemen dari terapi terpadu bagi penderita skizofrenia6. Kemajuan dibidang Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) akhir-akhir ini mengalami kemajuan pesat, baik dibidang organobiologik maupun dibidang obat-obatannya. Dari sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada skizofrenia terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel penyusun saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Oleh karena itu psikofarmaka yang akan

24

diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejalagejala klinis tadi dapat dihilangkan. Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk mengobati penderita skizofrenia. Hingga sekarang belum ditemukan obat yang ideal, masing-masing jenis obat ada kelebihan dan kekurangannya selain juga ada efek samping. Syarat-syarat psikofarmaka yang ideal untuk skizofrenia : a. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat. b. Tidak ada / sedikit efek samping. c. Dapat menghilangkan gejala-gejala skizofrenia dalam waktu relatif singkat. d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat). e. Tidak menyebabkan kantuk. f. Memperbaiki pola tidur. g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi. h. Tidak menyebabkan lemas otot. i. (Jika mungkin) pemakaiannya dosis tunggal. Berbagai jenis obat yang beredar di pasaran yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical). Tabel 4.1. Sediaan Antipsikotik dan Dosis Anjuran
No 1 Nama Generik Chlorpromazine Nama Dagang LARGACTIL PROMACTIL MEPROSETIL ETHIBERNAL SERENACE HALDOL GOVOTIL LODOMER HALDOL DECANOAS TRILAFON ANATENSOL MODECATE NOZINAN STELAZINE MELLERIL DOGMATIL Sediaan Tab. 25 mg, 100 mg Amp.25 mg/ml Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mg Liq. 2 mg/ml Amp. 5 mg/ml Tab. 0,5 mg, 2 mg Tab. 2 mg, 5 mg Tab. 2 mg, 5 mg Amp. 50 mg/ml Tab. 2 mg, 4&8 mg Tab. 2,5 mg, 5 mg Vial 25 mg/ml Tab.25 mg Amp. 25 mg/ml Tab. 1 mg, 5 mg Tab. 50 mg, 100 mg Tab. 200 mg Dosis Anjuran 150-600 mg/h

Haloperidol

5-15 mg/h

50 mg / 2-4 minggu 12-24 mg/h 10-15 mg/h 25 mg / 2-4 minggu 25-50 mg/h 10-15 mg/h 150-600 mg/h 300-600 mg/h

3 4 5 6 7 8

Perphenazine Fluphenazine Fluphenazinedecanoate Levomepromazine Trifluoperazine Thioridazine Sulpiride

25

9 10

Pimozide Risperidone

11 12 13

Clozapine Quetiapine Olanzapine

FORTE ORAP FORTE RISPERDAL NERIPROS NOPRENIA PERSIDAL-2 RIZODAL CLOZARIL SEROQUEL ZYPREXA

Amp. 50 mg/ml Tab. 4 mg Tab. 1,2,3 mg Tab. 1,2,3 mg Tab. 1,2,3 mg Tab. 2 mg Tab. 1,2,3 mg Tab. 25 mg, 100 mg Tab. 25 mg, 100 mg, 200 mg Tab. 5 mg, 10 mg

2-4 mg/h Tab 2-6 mg/h

25-100 mg/h 50-400 mg/h 10-20 mg/h

Sharma (2001) menyatakan bahwa 3 gejala yang menonjol pada gangguan jwa skizofrenia adalah gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif. Sebagaimana diketahui meskipun gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia telah dapat diatasi, namun bila fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka penderita tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting bagi menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari. Sehingga dengan demikian bila ketiga gejala-gejala tersebut di atas dapat diatasi, maka penderita skizofrenia dapat hidup produktif dan mendiri. Hal ini dimungkinkan dengan ditemukannya obat anti skizofrenia golongan atypical. Nasrallah (2001) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pemakaian obat golongan typical pada 30% penderita skizofrenia tidak memperlihatkan perbaikan klinis secara bermakna. Diakui bahwa golongan typical ini mampu mengatasi gejala positif skizofrenia, tetapi kurang efektif untuk mengatasi gejal-gejala negatif, gejala kognitif dan efek samping EPS. Sedangkan obat golongan atypical dapat mengatasi gejala-gejala positif, negatif, mencegah efek samping EPS dan memulihkan fungsi kognitif. Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa skizofrenia dapat diobati dan disembuhkan dalam arti manageable dan controllable. Penderita skizofrenia tidak harus meminum obat seumur hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa skizofrenia ini sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya penyakit ini merupakan self limitting process. 4.1.1 Obat-obat yang digunakan Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi psikofarmaka untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat lain mungkin digunakan untuk mengatasi gejala anxietas, gangguan tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama.

26

4.1.1.1. Neuroleptik (Antipsikotik) Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan antipsikotik antara lain, gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan lain sebagainya). Beberapa antipsikotik yang ada di pasaran misalnya, trifluoperazine (Stelazine), pimozide (Orap), flupenthixol (Fluanxol), and chlorpromazine (Largactil) dalam sediaan oral dan sediaan injeksi short-acting . Obat-obat lain dalam golongan ini yang termasuk long-acting injection (depot) diantaranya, flupenthixol (Fluanxol), fluphenazine decanoate (Modecate), pipotiazine (Piportil L4), dan haloperidol decanoate (Haldol LA). Sebagian besar pasien rawat inap diberikan terapi inisial dengan sediaan oral dalam bentuk tablet maupun liquid. Bagi pasien-pasien yang sangat terganggu, dapat diberikan sediaan injeksi agen psikotropika yang memiliki efek cepat dengan durasi pendek. Pasien rawat jalan dapat diobati dengan sediaan tablet maupun depot / sediaan long-acting. Injeksi digunakan pada kondisi dimana terjadi compliance, pada pasien dengan gangguan absorpsi atau terkadang untuk tujuan kenyamanan pasien. Pada umumnya agen antipsikotik tidak menyebabkan alergi, sehingga hanya pasien skizofrenia dengan kecenderungan terjadinya efek samping yang berat yang tidak dapat menerima terapi antipsikotik (kondisi ini sangat jarang terjadi). Terdapat beberapa pasien yang dilaporkan bahwa penggunaan obat-obat antipsikotik sebagai terapi mereka membuat mereka merasa sangat tidak nyaman, sehingga mereka akan merasa jauh lebih berbahagia jika tidak meminum obat tersebut. Pada pasien-pasien seperti ini sangat perlu ditekankan mengenai pertimbangan keuntungan dan kerugian penggunaan obat antipsikotik tersebut. Terkadang suatu obat tertentu tidak cocok untuk pasien tertentu, pada kondisi ini antipsikotik alternatif mungkin berguna.. Sebagai contoh, terdapat dua golongan antipsikotik berdasarkan potensi yang dimiliki obat tersebut (antipsikotik potensi rendah dan potensi tinggi). Pemilihan obat subtype mana yang akan digunakan lebih dipertimbangkan berdasarkan efek samping yang mungkin muncul selama penggunaan obat tersebut, daripa potensi obat itu sendiri. Obat-obat dengan potensi tinggi cenderung menyebabkan efek samping muscular dan resah, gelisah (akhatisia). Dimana obat-obat

27

dengan potensi yang rendah dapat menyebabkan efek mengantuk dan penurunan tekanan darah. Efek samping yang paling umum dari obat-obat antipsikotik adalah gangguan otot. Pada tahap awal, dapat terjadi dystonia akut (spasme otot- terutama otot mata, leher maupun batang tubuh). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, tetapi berespon cukup cepat terhadap terapi. Umunya, pasien dengan penggunaan obat ini mengalami, kekakuan, perlambatan gerak, gemetaran dan atau gelisah. Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik yaitu, mengantuk, faintness, mulut kering, pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat terhadap sinar matahari, dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan ejakulasi, sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus haid, dan pada kedua kelompok jenis kelamin pernah didapatkan laporan bahwa beberapa dari mereka mengalami galacthorrea. Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan dikuranginya dosis antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik yang sedang digunakan atau dengan menambahkan obat tambahan lain yang berfungsi sebagai penekan gejala efek samping yang terjadi. Antipsikotik mungkin dipergunakan dalam jangka waktu yang lama, dan pada beberapa kasus, seumur hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin dapat dikurangi secara bertahap seiring kemajuan penyakit pasien. Pengurangan dosis dapat dipertimbangkan, setelah pasien tetap berada dalam keadaan gejala terkendali selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang membuatnya tidak nyaman, klinisi mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih cepat, meskipun dengan resiko meningkatnya kemungkinan relapse. Jika terjadi relapse peningkatan dosis sesaat dari obat tersebut mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit telah kembali terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level sedikit lebih tinggi dari pada pemberian dosis rendah sebelumnya. Pengurangan dosis lebih lanjut sebelum satu tahun terapi, adalah tidak dianjurkan. Efek samping jangka panjang yang umum terjadi yaitu tardive dyskinesia. Setelah beberapa bulan atau biasanya beberapa tahun, beberapa pasien dapat mengalami gerakangerakan otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada otot wajah juga otot otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk kondisi ini adalah pencegahan, dan oleh karena itu pasien harus mempertahankan dosis terendah yang paling mungkin untuk

28

memberikan efek terapeutik. Karena terdapat kemungkinan pengurangan dosis yang dilakukan secara cepat dapat menyebabkan gangguan tersebut semakin jelas, sehingga sangat disarankan untuk mengurangi dosis secara bertahap dengan selisih penurunan relative kecil. Akan tetapi efek samping tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan, umumnya tidak sampai membuat pasien merasa tidak nyaman menggunakan obat ini. 4.1.1. 2. Antiparkinson Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan obat lain yang paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia, meskipun obat-obat golongan ini tidak bersifat causative. Beberapa obat antiparkinson antikolinergik yang sering digunakan antara lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane), procyclidine (Kemadrin), amantadine (Symmetrel). Obat golongan in juga sering disebut terapi efek samping. Antiparkinson diindikasikan pada kondisi dimana efek samping gangguan otot yang timbul akibat penggunaan antipsikotik sudah sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis pemberian bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan, pemberian dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik diminum saat pasien terjaga, agar pasien dapat benar-benar merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan ini sangat efektif untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga membantu mengatasi gelisah. Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat memperburuk gejala lainnya seperti pengelihatan kabur, dan mulut kering. Suatu keadaan toxic confusional state dapat terjadi pada pemberian dosis yang berlebih, dan dapat menyebabkan klinisi menetapakan diagnosa yang salah, karena keadaan ini sangat mirip dengan keadaan dimana terjadi kekambuhan penyakit utama. Beberapa psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi, sementara beberapa psikiater lain menyarankan agar antiparkinson baru diberikan pada saat efek samping gangguan otot telah muncul, pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada prinsip dimana sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek samping sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima terapi antipsikotik dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah berkembangnya efek samping yang menakutkan atau yang dapat membuat pasien tidak nyaman. Sebaliknya, pada saat

29

tercapai keadaan dimana gejala penyakit utama telah terkontrol dan dosis terapi antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang diberikan dapat dikurangi atau dihentikan.

4.1.1. 3. Sedatives and Anxiolytics Obat-obat golongan ini memberikan efek terapeutik sesuai dengan namanya. Misalnya, beberapa obat golongan benzodazepine digolongkan sebagai sedatif karena obat-obat tersebut menyebabkan kantuk, sementara yang lainnya digolonkan sebagai anxiolitik karena obat-obat tersebut mengurangi anxietas. Tidak ada satupun obat dalam golongan ini yang digunakan untuk mengatasi skizofrenia, kecuali jelas dinyatakan pada referensi yang ada, sangat dianjurkan untuk mencegah penggunaan berlebih obat-obat golongan ini, guna mencegah terjadinya : 1. 2. Obat kehilangan efek terapeutiknya Pasien mengalami ketergantungan secara psikologis maupun fisiologis

terhadap obat tersebut. Terdapat tiga kelompok obat sedative utama, yaitu : 1. 2. 3. Barbiturat hati-hati terhadap efek toksisitas dan adiksi yang mungkiin timbul Benzodiazepin Sedatif non-barbiturat. Diantara ketiganya, golongan benzodiazepine paling banyak digunakan. Obatobat golongan benzodiazepine yang paling sering dipakai antara lain, flurazepam (Dalmane), triazolam (Halcion), nitrazepam (Mogadon). Digunakan pada waktu (menjelang) tidur, obat-obat ini dapat membantu mengatasi gangguan tidur. Bagaimanapun, jika obat-obat ini digunakan dalam jangka waktu lama, antara 4-6 minggu, dapat menombulkan efek toleransi. Pada golongan non-barbiturat, obat obat yang sering diresepkan sebagai sedative yaitu chloral hydrate (Noctec). Seperti juga benzodiazepine, obat ini dapat mennimbulkan kebiasaan / sugesti pasien, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari 4-6 minggu. akibat penggunaan obat golongan ini.

30

Sebagian besar anxiolotik (yang juga dikenal secara kurang tepat sebagai minor tranquilizers) juga termasuk golongan benzodiazepine. Terdapat juga anxiolotik golongan non-benzodiapin, tetapi lebih jarang digunakan daripada golongan benzodiazepine. Obat-obat golongan benzodiazepine yang sering dipakai antara lain, lorazepam (Ativan), chlordiazepoxide (Librium), oxazepam (Serax), clorazepate (Tranxene), diazepam (Valium), alprazolam (Xanax). Dalam penatalaksanaan skizofrenia, anxiolitik digunakan untuk dua alasan, yaitu : 1. Mengurangi anxietas 2. Mengatasi efek samping antipsikotik yang mencakup gelisah, kaku otot, dan tremor. Untuk alas an yang kedua ini, anxiolitik sering digunakan selama lebih dari 6 minggu. Benzodiazepin tergolong obat yang aman, tetapi tetap harus dihindari penggunaanya bersamaan dengan alkohol maupun dengan obat lain. Kombinasi dengan obat obat lain sangat tidak dianjurkan, kecuali jika atas permintaan dokter. Pada keadaan tertentu, benzodiazepine dapat memperburuk anxietas. Pada kasus seperti ini, penggunaan lebih lanjut harus dihindari. Obat-obat ini harus dihentikan secara bertahap untuk membantu mencegah terjadinya gejala putus obat. 4.1.1. 4. Antidepressant Antidepresant paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan mood. Ketika digunakan pada penatalaksanaan skizofrenia, obat-obat golongan ini berfungsi sebagai terapi penyerta (bersamaan dengan antipsikotik sebagai obat utama) guna mengatasi gangguan mood yang sering menjadi gejala penyerta pada pasien skizofrenia. Obat golongan ini, dalam dosid kecil dapat juga digunakan sebagai sedatif maupun hipnotik. Oleh karena itu, obat-obat golongan ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif terhadap benzodiazepin. Antidepresant terbagi ke dalam empat kelompok utama : 1. Trisiklik (amitriptyline (Elavil), imipramine (Tofranil), doxepin (Sinequan), clomipramine (Anafranil)). Gejala depresi dan anxietas tertentu juga dapat berespon terhadap obat obat trisiklik.

31

2. Inhibitor

Monoaminoksidase

(phenelzine

(Nardil)

dan

tranylcypromine

(Parnate)). Obat obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan mood, tetapi jarang digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia. 3. Tetrasiklik (maprotiline (Ludiomil)). 4. Lain-lain (trazodone (Desyrel) and fluoxetine (Prozac)). Keempat kelompok utama golongan ini digunakan untuk gangguan depresif yang disebabkan oleh perubahan biokimiawi. Obat-obat ini tidak menolong untuk pasien yang mengalami depresi karena kondisi dasar yang tidak menyenangkan. Karena sebagian besar pasien-pasien skizofrenia sering mengalami depresi karena kondisi yang memang tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi), penggunaan antidepressant sering tidak banyak menolong. Jika antidepressant dibutuhkan, obat-obat ini memerlukan waktu sampai dengan 2 minggu, sebelum efek terapeutik obat tersebut tercapai. Obatobat ini dapat memperburuk efek samping antipsikotik dan antiparkinson (misal, mulut kering dan pengelihatan kabur). Efek samping yang mempengaruhi fungsi lain dari tubuh juga dapat terjadi.

4.1.2. Efek Samping yang Sering Terjadi dan Penaggulangannya Mengantuk Gangguan Otot Efek Antikolinergik Efek Terhadap Jantung dan Pembuluh Darah Reaksi Terhadap Kulit

4.2. Psikoterapi Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat diberikan apabila apabila penderita dengan terapi psikofarmaka di atas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability / RTA) sudah pulih kembali dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka. 32

Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (pramorbid). Psikoterapi yang sering diterapkan antara lain : a. Psikoterapi Suportif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit) dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun. b. Psikoterapi Re-edukatif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar. c. Psikoterapi Rekonstruktif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (rekonstruksi) kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum sakit. d. Psikoterapi Kognitif Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal dan haram, dan lain sebagainya. e. Psikoterapi Psikodinamik Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dengan baik. f. Psikoterapi Perilaku Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri). Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi

33

kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat kerja dan lingkungan sosialnya. g. Psikoterapi Keluarga Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan penderita. Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas adalah untuk memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life). 4.3. Terapi Psikososial Salah satu dampak dari skizofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita atau hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam berbagai bidang fungsi rutin kehidupan sehari-hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan sosial dan perawatan diri. Sering pula diperlukan pengawasan agar kebutuhan gizi dan higiene terjamin, dan untuk melindungi penderita dari akibat buruk yang disebabkan oleh hendaya daya nila dan hendaya kognitif, atau akibat tindakannya yang berdasarkan waham (delusi) atau sebagai respons atau tindak lanjut terhadap halusinasinya. Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.

4.4. Terapi Psikoreligius

34

Dari penelitian yang telah dilakukan, secara umum memang menunjukkan bahwa komitmen agama berhubungan dengan manfaatnya dibidang klinik (religious commitment is associated with clinical benefit). Larson, dkk (1982) dalam penelitiannya membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok penderita skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi yang konvensional (psikofarmaka) dan lain-lainya tetapi tidak mendapat terapi keagamaan. Terapi kedua mendapat terapi konvensional (psikofarmaka) dan lain-lainnya serta mendapat terapi keagamaan. Kedua kelompok tersebut dirawat dirumah sakit jiwa yang sama. Hasil perbandingannya ternyata cukup bermakna yaitu : a. Gejala-gejala klinis skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua dibandingkan kelompok pertama. b. Pada kelompok kedua lamanya perawatan (long stay hospitalization) lebih pendek daripada kelompok pertama. c. Pada kelompok kedua hendaya lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama. d. Pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok pertama. Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian di atas adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, dan kajian kitab suci, dan lain sebagainya. Penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala-gejala waham (delusi) keagamaan atau jalan pikiran yang patologis dengan pola sentral keagamaan. Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali ke jalan yang benar.

35

DAFTAR PUSTAKA 1. Hawari, H. Dadang,dr. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa SKIZOFRENIA. Edisi 2. Cetakan I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001. 2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia 2000. p.471-503. 3. http://www.mja.com.au/public/issues/178_09_050503/lam10582_fm.html 4. Maslim, Rusdi, dr, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya. Jakarta 2001. hal 14-15. 5. Thornton, John F, M.B., F.R.C.P.(C). Et all. Schizophrenia : The Medications. http://www.mentalhealth.com/book/p42-sc3.html--.Clarke Institute of Psychiatry. Department of Psychiatry. University of Toronto.

36

Anda mungkin juga menyukai

  • Anemia
    Anemia
    Dokumen27 halaman
    Anemia
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Resume Medis Teguh Edited
    Resume Medis Teguh Edited
    Dokumen3 halaman
    Resume Medis Teguh Edited
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Nyeri Kepala Css
    Nyeri Kepala Css
    Dokumen58 halaman
    Nyeri Kepala Css
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Krnologi Kejadian
    Krnologi Kejadian
    Dokumen1 halaman
    Krnologi Kejadian
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Gizi Bumil
    Leaflet Gizi Bumil
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Gizi Bumil
    Bimz Are PRima
    Belum ada peringkat
  • Kusta CRS
    Kusta CRS
    Dokumen6 halaman
    Kusta CRS
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Lembar Kerja Gizi PSPD 2012
    Lembar Kerja Gizi PSPD 2012
    Dokumen6 halaman
    Lembar Kerja Gizi PSPD 2012
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Obsetri Berasal Dari Obsto Yang Berarti Mendampingi
    Obsetri Berasal Dari Obsto Yang Berarti Mendampingi
    Dokumen5 halaman
    Obsetri Berasal Dari Obsto Yang Berarti Mendampingi
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Asma Anak21
    Asma Anak21
    Dokumen41 halaman
    Asma Anak21
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • CRS Anes Obs
    CRS Anes Obs
    Dokumen12 halaman
    CRS Anes Obs
    AgungAriwibowo
    Belum ada peringkat
  • CRS 1&2 Uber
    CRS 1&2 Uber
    Dokumen95 halaman
    CRS 1&2 Uber
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Crs Diare Akut - Carla Edit
    Crs Diare Akut - Carla Edit
    Dokumen40 halaman
    Crs Diare Akut - Carla Edit
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Cover Grup 2
    Cover Grup 2
    Dokumen10 halaman
    Cover Grup 2
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • IMSambon
    IMSambon
    Dokumen13 halaman
    IMSambon
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Hepatitis
    Hepatitis
    Dokumen55 halaman
    Hepatitis
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • SKIZOFRENIA
    SKIZOFRENIA
    Dokumen36 halaman
    SKIZOFRENIA
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Crs 3 Asma Sapnaa
    Crs 3 Asma Sapnaa
    Dokumen46 halaman
    Crs 3 Asma Sapnaa
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Transkrip Gel III 2013
    Transkrip Gel III 2013
    Dokumen43 halaman
    Transkrip Gel III 2013
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • CRS Tonsilitis Akut
    CRS Tonsilitis Akut
    Dokumen42 halaman
    CRS Tonsilitis Akut
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • SKIZOFRENIA
    SKIZOFRENIA
    Dokumen36 halaman
    SKIZOFRENIA
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Penderita TB Paru Ket. Total Puskesmas Pasundan
    Penderita TB Paru Ket. Total Puskesmas Pasundan
    Dokumen9 halaman
    Penderita TB Paru Ket. Total Puskesmas Pasundan
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • SCHIZOPRENIA
    SCHIZOPRENIA
    Dokumen18 halaman
    SCHIZOPRENIA
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • DKI
    DKI
    Dokumen53 halaman
    DKI
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    0% (1)
  • BST Hepatitis A
    BST Hepatitis A
    Dokumen18 halaman
    BST Hepatitis A
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner
    Kuesioner
    Dokumen10 halaman
    Kuesioner
    Deviy Viyde
    Belum ada peringkat
  • CRS Tonsilitis Akut
    CRS Tonsilitis Akut
    Dokumen42 halaman
    CRS Tonsilitis Akut
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • BST Tonsilitis
    BST Tonsilitis
    Dokumen6 halaman
    BST Tonsilitis
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat
  • Obat Psikotropika
    Obat Psikotropika
    Dokumen33 halaman
    Obat Psikotropika
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    100% (1)
  • Depresi
    Depresi
    Dokumen11 halaman
    Depresi
    Prathama Gilang Wagiono Putera II
    Belum ada peringkat