Anda di halaman 1dari 5

Review Mata Kuliah Teori Keamanan Internasional Kelompok : Denia Ghaisani Awanis () Fina Desviyanita (1106016973) Limifroha () Strategi

Perang Gerilya sebagai Bentuk Perang Asimetris Ivan Arregun-Toft dalam bukunya yang berjudul How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict menyebut perang asimetris sebagai perang dimana aktor yang lemah dapat membuat power aktor yang kuat tidak relevan sehingga aktor-aktor yang lemah seringkali menang dalam sebuah perang. Perang asimetris juga merupakan perkembangan dari perubahan faktor instrumen pelaku peperangan. Menurut Derek J Clark and Kai A. Konrad, Perang asimetris biasanya disebabkan oleh perubahan teknologi, perubahan ideologi, perubahan aktor dan munculnya rasa tidak adil yang memicu kepada kebencian. Aktor non-negara menjadi semakin berperan dalam arena perang asimetris. Seorang pasukan harus memutuskan strategi untuk menyerang. Penyerang memiliki kesempatan menang di masing-masing bidang jika mereka memiliki upaya/usaha bersama, walaupun usahanya cukup kecil dan menjadi sangat mungkin bahwa penyerang akan menang setidaknya satu kontes pertempuran.1. Pasukan juga harus pintar dalam mengatur strategi untuk mengetahui titik lemah di mana ia dapat diserang. Dalam konteks konflik militer internasional, masalah geografi dan pertempuran menjadi pertimbangan umtuk menyerang. Arregun-Toft kemudian mengembangkan tesis mengenai interaksi strategis aktor-aktor yang berperang dalam menentukan hasil sebuah perang asimetris. Pertama-tama, Arregun-Toft menjelaskan tentang definisi strategi sebagai rencana aktor atas penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik atau militer. Arregun-Toft membedakan strategi menjadi dua terminologi yaitu grand strategy dan taktik dimana keduanya memiliki tujuan akhir yang sama yaitu memaksa pihak lain untuk melakukan apa yang diinginkannya. 2 Arregun-Toft juga membagi tipologi strategi yang ideal. Pertama adalah strategi menyerang. Strategi ini dilakukan oleh aktor yang kuat, terdiri dari serangan langsung dan barbarisme. Serangan langsung berarti penggunaan militer dalam mengalahkan kekuatan militer lawan, sehingga meningkatkan kontrol terhadap values lawan dengan tujuan untuk memenangkan perang melalui penghancuran kapasitas perlawanan musuh. Barbarisme, di lain pihak, merupakan pelanggaran hukum perang secara sistematis termasuk menggunakan senjata kimia dan senjata biologis serta pemusnahan noncombatants atau orang yang tidak ikut berperang dalam pengejaran tujuan militer atau politik. Barbarism digunakan untuk menghancurkan will dan kapasitas lawan untuk bertarung.3 Kedua adalah strategi bertahan. Strategi yang dilakukan oleh aktor yang lemah, terdiri dari pertahanan langsung dan strategi perang gerilya. Pertahanan langsung mengacu kepada penggunaan kekuatan militer untuk menggagalkan usaha lawan untuk menghancurkan values atau aset kunci yang strategis seperti teritori, populasi, dan sumber daya strategis. Sasaran dari strategi ini adalah militer lawan dan tujuannya adalah untuk merusak kapasitas penyerangan lawan dengan cara melemahkan
1

Derek J Clark and Kai A. Konrad. Asymmetric Conflict: Weakest Link Againts Best Shot, hal. 459. 2 Ivan Arregun-Toft, How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict dalam International Security, Vol. 26, No. 1 (Summer, 2001), hlm. 99-100 3 Ibid., hlm. 100-101

kekuatan senjatanya. Di sisi lain, strategi perang gerilya merupakan pengorganisasian sebagian masyarakat yang bertujuan untuk membebankan biaya kepada lawan dengan menggunakan kekuatan militer yang terlatih untuk menghindari konfrontasi langsung. Biaya ini termasuk kehilangan tentara, infrastuktur, peace of mind, dan waktu. Tujuan utama dari strategi perang gerilya ini bukanlah untuk menghancurkan kapasitas dari penyerang, melainkan untuk menghancurkan will atau keinginan penyerang.4 Perang gerilya memerlukan dua elemen, yaitu (1) tempat perlindungan fisik seperti rawa-rawa, gunung, dan hutan yang lebat, atau tempat perlindungan politik seperti area perbatasan yang dikontrol oleh negara-negara yang simpati. (2) populasi yang supportif yang dapat men- supply tentara-tentara tersebut dengan dukungan inteligen, logistic, serta tenaga-tenaga pengganti. Strategi perang gerilya bukanlah strategi untuk memperoleh kepastian yang cepat akan kekalahan pihak lawan yang melakukan penyerbuan. Gerilya merupakan strategi yang memerlukan penempatan nilai-nilai kunci seperti perkebunan, keluarga, kota, dan situs kebudayaan secara langsung di tangan musuh. Biaya yang penting dari pegadopsian strategi gerilya bergantung pada tujuan dan pengendalian musuh. Ketika kekuatan penyerbu atau penempatan tidak menggunakan pengendalian dalam penggunaan kekerasan, atau ketika tujuan mereka adalah menghancurkan masyarakat dari pihak yang lemah, strategi gerilya menjadi strategi defensive yang mahal. Dari penjeasan tersebut terlihat bahwa terdapat dua pendekatan tipe strategi ideal yang terpisah yaitu strategi langsung dan strategi tidak langsung. Pendekatan langsung berupa penyerangan langsung dan pertahanan langsung menargetkan kekuatan militer lawan dengan tujuan untuk menghancurkan kapasitas lawan untuk bertarung atau melawan. Pendekatan tidak langsung berupa barbarisme dan strategi perang gerilya dilakukan untuk menghancurkan will atau keinginan lawan untuk bertarung. Dalam hal ini, strategi gerilya menargetkan tetara lawan, sedangkan barbarisme menargetkan noncombatants di pihak musuh. Interaksi antara pendekatan yang sama, seperti penggunaan serangan langsung dan pertahanan langsung atau barbarisme dan strategi perang gerilya, akan mengakibatkan kekalahan pada pihak yang lemah karena tidak ada yang menengahi atau mengangkis keuntungan power aktor yang kuat. Di sisi lain, interaksi antara pendekatan yang berlawanan, seperti serangan langsung dan strategi gerilya atau barbarisme dan pertahanan langsung, akan berakibat pada kemenangan bagi pihak yang lemah karena keuntungan power pihak yang kuat dapat dielakkan atau ditangkis. Hal ini kemudian akan memperpanjang waktu bagi pihak yang lemah. 5 Dalam konflik asimetris, ketika interaksi strategis menyebabkan penundaan yang tidak terduga diantara komitmen dari kekuatan militer dengan pencapaian militer dan tujuan politik, aktor yang kuat akan mengalami kekalahan karena dua alasan. Pertama, Ketika aktor yang kuat berperang melawan aktor yang lemah, estimasi yang berlebihan dan dramatis akan kesuksesan perang memaksa elit politik dan militer dalam negara kuat untuk mengeksalasi penggunaan kekerasan agar tercapainya ekspektasi. Namun, penggunaan kekerasan cenderung memperpanjang waktu perang. Semakin lama waktu perang, tekanan public domestik untuk mengakhiri konflik akan terus berlanjut. Kedua, aktor yang kuat akan kalah dalam perang asimetris ketika dalam usahanya menghindari meningkatnya biaya, mereka menyerah pada godaan untuk melakukan barbarisme. Barbarisme ini akan membawa
4

Ivan Arregun-Toft, How the Weak Win Wars: A Theory of Asymmetric Conflict dalam International Security, Vol. 26, No. 1 (Summer, 2001), hlm. 103 5 Ibid., hlm. 105

kemungkinan untuk memunculkan oposisi politik domestik dan intervensi eksternal.6 Andrew Mack juga mengatakan bahwa interest suatu aktor akan menjelaskan suatu pihak akan gagal atau berhasil dalam suatu konflik. 7 Untuk memenangkan perang asimetris, strategi yang kuat dan cerdik mampu memberikan prediksi paling baik.. Andrew Mack menjelaskan tiga elemen kunci yang membuat pihak lemah lebih unggul dari pihak kuat. Tiga elemen kunci tersebut adalah : (1) relative power explains relative interests; (2) relative interests explain relative political vulnerability ; dan (3) relative vulnerability explains why strong actors lose. Dengan demikian, interest yang dibawa oleh pihak lemah berada pada tingkat tertinggi.8 Hal ini terjadi karena pihak lemah memperjuangkan survivabilitasnya agar tidak diambil oleh pihak yang kuat dengan cara memenangkan perang. Sesuai tiga elemen kunci, pihak yang kuat memiliki interest rendah, namun berpengaruh besar pada kondisi politiknya, sedangkan pihak lemah memiliki interest yang sangat tinggi namun tidak berpengaruh besar pada kondisi politiknya. Dalam melakukan perang asimetris, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan. Untuk mencapai kemenangan, pihak lemah harus sangat berhati-hati dalam memilih strategi. Kemungkinan strategi tersebut, antara lain : (1) direct attack melawan direct defense yaitu apabila perang asimetris terjadi dengan strategi ini, maka pihak kuat akan menang dengan cepat; (2 ) direct attack melawan indirect defense yaitu memprediksi bahwa hasil perang berkemungkinan dapat dimenangkan oleh pihak yang lemah ; (3) indirect attack melawan direct defense yaitu hasil perang seharusnya dimenangkan oleh pihak lemah karena pihak lemah melawan secara langsung sedangkan pihak kuat secara tidak langsung; (4) indirect attack melawan indirect defense. yaitu mengatakan bahwa karena posisi keduanya sama-sama menggunakan cara tidak langsung, kemenangan cenderung mengarah pada pihak yang kuat karena pihak yang kuat pasti memiliki pengaruh yang lebih besar daripada pihak lemah. 9 Masing-masing strategi ini mampu memberikan hipotesis terhadap hasil perang.10. Kategori ini mirip dengan kategori yang dibuat oleh Hans Delbrck, yaitu strategi terdiri dari dua tipe, strategi penghancuran yang dimenangkan oleh pihak kuat dan strategi pengurangan secara perlahan. 11 Jadi, untuk mencapai kemenangan, strategi yang harus dipikirkan oleh pihak lemah adalah strategi kedua dan ketiga, yang memungkinkan pihak lemah untuk menang.

6 7

Ibid., hlm. 105-106 Andrew J.R. Mack, " Why Big Nations Lose Small Wars: The Politics of Asymmetric Conflict," World Politics, Vol. 27, No. 2 (January 1975), hal. 183. 8 Andrew J Mack, "Why Big Nations Lose Small Wars," hal. 181 9 Mack, Op. Cit, hal. 180 10 Ibid. 11 Hans Delbrck, History of the Art of War within the Framework of Political History , trans. W. J. Renfroe Jr. (Westport, CT: Greenwood Press, 1975. Original work published in 1908),hal. 303.

Contoh kasus yang digunakan dalam menjelaskan strategi perang gerilya adalah pada kasus intervensi Amerika Serikat terhadap Taliban di Afganishtan. Exit Strategy Obama di Afghanistan tidak berjalan lancar. Pengiriman 50 ribu pasukan tambahan ke Afghanistan tidak memperbaiki posisi pasukan NATO pimpinan AS maupun Rezim Hamid Karzai. Alih-alih, gempuran demi gempuran gerilyawan Taliban semakin merepotkan dan merenggut banyak korban di pihak pasukan pendudukan. Taliban secara de facto menguasaai 80 persen wilayah Afghanistan dengan hanya menyisakan beberapa kota besar seperti Kabul dan Kandahar dibawah kendali NATO dan rejim Karzai. Perlawanan Taliban sejatinya merefleksikan karakter dan tipologi sesungguhnya masyarakat Afganistan yang independen dan tidak mudah menyerah. Negeri penuh konflik ini sangat komplek dan sulit untuk ditundukkan oleh kekuatan militer yang canggih. Berbagai peralatan canggih AS dan NATO baik dari satelit mata-mata, alat sadap komunikasi, hingga kendali udara yang dikerahkan gagal menundukkan para gerilyawan. Alih-alih, Taliban kini semakin mengembangkan sayap perlawanannya. Bagi Taliban, metode gerilya dengan taktik pukul dan lari (hit and run) benar-benar merepotkan pasukan NATO. Dalam perang model ini, front berada dimana-mana sehingga aksi militer lawan yang tangguh menjadi tidak efektif lagi. Dalam perang Afghanistan, titik terlemah bagi NATO adalah jalur komunikasi dan suplai logistik yang sepenuhnya mengandalkan jalur darat. Jalur yang secara riil tidak dapat dipertahankan secara militer, terlebih untuk karakteristik wilayah Afghanistan yang berbukit dan terjal. Dalam kondisi ini, militer mengalami overstreching kemampuan untuk secara efektif mengontrol wilayah dan jalur komunikasi dari sabotase dan serangan hit and run. Disisi lain, janji rehabilitasi dan bantuan atas Afghanistan pasca perang tidak terwujud, baik karena kemampuan sabotase Taliban maupun karena ketidakseriusan para negara donor mengucurkan dananya. Rakyat Afghanistan masih tetap miskin dan menderita. Akibatnya, AS dan NATO gagal meraih simpati dan dukungan rakyat Afghanistan yang menjadi prasyarat mutlak menundukkan Taliban. Alih-alih, serangan membabi buta NATO hanya semakin mempertegas kebencian rakyat Afghan atas keberadaan tentara asing. Memang NATO secara militer tidak dapat dikalahkan, namun dalam jangka panjang, kegigihan Taliban akan sangat merugikan AS dan NATO. Citra domestik AS dan negara-negara NATO akan rusak dimata para pemilih dan pembayar pajak karena mempertahankan keberadaan pasukan mereka untuk kepentingan pemerintah asing. Dalam doktrin perang Gerilya, sejatinya kemenangan kalangan pemberontak tidak ditentukan oleh keunggulan militernya namun justru berada didalam dinamika politik domestik negara-negara tersebut. Dan perang Afghanistan kembali menunjukkan kemenangan strategi efektifitas perang asimetris dalam perang modern. Dan AS kembali mengulang kesalahan serupa di Perang Vietnam dalam medan perang para Mujahidin.

Arregun-Toft mengacu pada Andrew Mack yang menyebutkan bahwa keputusan atau kepentingan relative aktor menjelaskan keberhasilan atau kegagalan dalam konflik asimetris. Aktor dengan ketetapan hati yang lebih dapat menang dengan mengabaikan unsur sumber power material. Keputusan aktor dapat menjadi prioritas dengan menaksir struktur hubungan konflik. Power yang asimetris dapat menjelaskan kepentingan yang asimetris dimana semakin besar gap dalam power relative, kepastian semakin rendah sehingga aktor yang kuat semakin rentan secara politik. Di sisi lain, aktor yang lemah semakin menghadapi kepastian dan rendahnya kerentanan politik. Arregun-Toft menyatakan bahwa predictor terbaik dari hasil konflik asimetris adalah interaksi strategis. Terdapat tiga elemen yang menjelaskan bagaimana negara lemah menang melawan negara kuat. (1) power relative menjelaskan kepentingan relative. (2) kepentingan relative menjelaskan kerentanan relative. (3) kerentanan relative menjelaskan mengapa aktor yang kuat akan kalah. Berdasarkan argument ini, aktor yang kuat memiliki kepentingan yang lebih sedikit untuk menang, karena survival mereka tidak dipertaruhkan. Di sisi lain, aktor yang lemah memiliki kepentingan yang tinggi untuk menang karena hanya kemenanganlah yang dapat menjamin survivalnya. Menurut Arregun-Toft, pemikiran Mack mengenai asimetri kepentingan memiliki tiga masalah. Pertama, power relative merupakan predictor yang lemah terhadap kepentingan atau keputusan relative dalam seuah perdamaian maupun perang. Dalam masa damai, negara kuat akan bertindak seakan-akan survivalnya berada dalam taruhan, padahal tidak. Negara yang mengaku sebagai pemimpin dunia akan menganggap survivalnya sebagai pemimpin dunia bergantung pada hasil perang yang baik. Kalkulasi Mack seringkali diintensifikasi oleh logika domino dimana rangkaian kepentingan individual yang tidak signifikan menyambung, untuk itu cumulative loss memberikan ancaman material terhadap survival. Kedua, operasi dari kerentanan politik yang menjelaskan kesuksesan aktor lemah, mengisyaratkan rentang waktu. Tesis mengenai asimetri kepentingan ini menjelaskan mengapa konflik asimetris berakhir dengan cepat. Ketiga, .Tesis Mack mengenai asimetri kepentingan lemah dalam menjelaskan kepentingan aktor sebagai fungsi dari power relative, namun kuat dalam menjelaskan kegagalan aktor kuat sebagai konsekuensi dari kerentanan politik.

Anda mungkin juga menyukai