Anda di halaman 1dari 33

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. 1 Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke gawat darurat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Health National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagipara dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asmadi Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal didaerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota. 1

1.2 Tujuan Menjelaskan definisi asma, kategori asma, penanganan asma, dan edukasi pada pasien asma. Serta membahas tentang obat-obatan untuk pelega dan pengontrol asma.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan. Tujuan pengobatan asma adalah tercapainya kontrol asma secara klinis. Tatalaksana asma yang efektif merupakan hasil hubungan yang baik antara dokter dan pasien, dengan tujuan pasien mandiri. Edukasi merupakan bagian dari interaksi antara dokter dan pasien. 2

2.2 Epidemiologi Asma Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan adalah 1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula ang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain dinegara yang sama. 3 Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000. 1

2.3 Patogenesis Asma Inflamasi kronik dapat menjadi dasar utama terjadinya hiperresponsivitas saluran napas pasien asma. Berbagai jenis sel terlibat dalam inflamasi kronik ini, seperti limfosit T, epitel, eosinofil, dan sel mast. Inflamasi akut dapat mencetuskan serangan asma. Pada proses inflamasi akut, dapat terjadi reaksi asma tipe cepat (yang melibatkan IgE menempel pada sel mast) serta reaksi fase lambat yang terutama melibatkan eosinofil dan makrofag. 4 a. Reaksi tipe cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 1 cSel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediatorseperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2dan leukotrin. Sel mast jugamengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GMCSF. 1

b. Reaksi tipe lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag. 1

Airway remodelling juga merupakan proses yang sangat penting. Perubahan ini merupakan sekuel dari proses inflamasi kronik yang terjadi, sehingga terjadi proses perbaikan dan pergantian sel-sel epitel yang menyebabkan penggantian menjadi jaringan penyambung dan menjadi jaringan ikat. Melalui proses remodelling ini, akan terjadi hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran napas, kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, peningkatan vaskularisasi, peningkatan matriks ekstraselular, serta terjadi perubahan struktur parenkim. Dengan demikian, proses remodelling ini dapat berimplikasi kepada kondisi klinis pasien, berupa hiperreaktivitas bronkus sehingga dapat terjadi obstruksi saluran napas. Selain itu, dengan memahami proses remodelling saluran napas ini, penatalaksanaan dapat berfokus kepada masalah ini, selain daripada mencegah gejala bronkokonstriksi saja. Dasar molekular dari remodelling saluran napas ini adalah dengan inflamasi kronik yang melibatkan aktivasi sel Th-2. Sel Th-2 ini nanti akan menghasiklan sitokin proinflamasi yang berinteraksi dengan epitel mediator serta sel-sel lain. Pada akhirnya proses ini dapat menimbulkan perubahan struktur saluran napas. 4

Perlu diketahui pula bahwa pada umumnya seseorang telah memiliki predisposisi asma yang ditinjau dari kerentanan genetiknya. Di atas dasar ini, faktor lingkungan juga sangat berperan, baik sebagai faktor pencetus maupun faktor yang dapat membuat seseorang semakin rentan terhadap asma. Sebagai contoh, alergen dalam ruangan,

alergen luar ruangan, asap rokok, polusi udara, serta infeksi pernapasan. Sedangkan faktor pencetus asma dapat pula berupa alergen, polusi, infeksi, olahraga, hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, ekspresi emosi, serta iritan saluran napas lainnya. 4 Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktifitas jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. 1 2.4 Faktor Risiko Asma 2 Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan. A. Faktor genetik a. Atopi/alergi Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus. b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan. c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. T etapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. d. Ras/etnik

e. Obesitas Obesitas atau peningkatanBody Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. B. Faktor lingkungan a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain). b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). C. Faktor lain a. Alergi terhadap makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan. b. Alergi obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain. c. Bahan yang mengiritasi Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain. d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati. e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini. f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan

g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut. h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). i. Status ekonomi.

2.5 Gambaran Klinis Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan banyak sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. 3 Pada asma alergik, sering hubungan antra pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. 3 Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya umungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada dilingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 3

2.6 Diagnosis 1. Anamnesa 1 Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA : Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons terhadap pemberian bronkodilator Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi / atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan 2. Pemeriksaan fisik 1 Pada pemeriksaan fisisk dapat bervariasi dari normal sampai didapatkan kelainan. Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma yang paling sering ditemukan adalah wheezing (mengi), tetapi pada sebagian pasien asma tidak didapatkan mengi diluar serangan. Pada serangan asma umumnya terdengar mengi, disertai tanda-tanda lainnya, pada asma yang sangat berat mengi dapat tidak terdengar (silent chest) dan pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun.

Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (sesuai derajat serangan) a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi supra sternal), sianosis. b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan yang berat bisa terjadi pulsus paradoksus) c. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata d. Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir. (buku pedoman asma) 3. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Faal Paru 1 Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). Pengukuran faal paru ini digunakan untuk menilai: Obstruksi jalan napas Reversibiliti kelainan faal paru Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

b. Spirometri 1 Pengukuran volume ekspirasi paksa (VEP) dan kapasitas vital paru (KVP) dilakukan dengan cara ekspirasi paksa dengan prosedur standar. Nilai dari pemeriksaan ini bergantung pada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi yang jelas dan sikap kooperatif penderita. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP/KVP atau VEP < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksan spirometri dalam diagnosa asma antara lain: Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1< 80% nilai prediksi. Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma Menilai derajat berat asma

Spirometer c. Arus Puncak Ekspirasi (APE) 1 Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah seharihari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas. Cara pemeriksaan APE harian yaitu diukur pada pagi hari untuk mendapat nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh dengan 2 cara: Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

10

Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari). Contoh : Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; makapersentase dari nilai terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.

d. Uji Provokasi Bronkus 3 Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik. e. Pengukuran Status Alergi 3 Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis statusalergi/atopi, umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit padalengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi. f. Pemeriksaan sputum 3 Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkhitis kronik.

11

g. Pemeriksaan eosinofil total 3 Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan h. Foto thoraks 3 Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis diparu atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. 2.7 Diagnosa Banding 3 Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda korpulmonal. Emfisema paru. Sesak merupakan gejala utama pada emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada pemeriksaan fisis ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hperinflasi. Gagal jantung kiri akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnoe. Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala jantung. Disamping ortopnea, pada pemeriksaan fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.

12

Emboli paru. Hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, fafal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batukbatuk yang disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, dan kejang. Pada pemeriksan fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pada EKG menununjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.

2.8 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis 1 Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan

perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis. 1 DERAJAT ASMA Intermiten GEJALA Gejala < 1x/minggu, Tanpa gejala di luar serangan, Serangan singkat Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari, serangan dapat mengganngu aktifitas dan tidur Gejala setiap hari, serangan menggangu aktifitas dan tidur, membutuhkan bronkodilator setiap hari Gejala terus-menerus, sering kambuh, aktifitas terbatas GEJALA MALAM 2x sebulan FAAL PARU APE 80%%

Persisten ringan

>2x sebulan

APE >80%

Persisten sedang

>1x seminggu

APE 60-80%

Persisten berat

Sering

APE 60%

13

Klasifikasi derajat beratnya serangan asma.

2.9 Program Penatalaksanaan Asma 1 Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan asma: Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma Mencegah eksaserbasi akut Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin Mengupayakan aktifitas normal termasuk exercise Menghindari efek samping obat Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel Mencegah kematian karena asma

14

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol apabila: Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam Tidak ada keterbatasan aktifitas Kebutuhan akan bronkodilator minimal Variasi harian APE <20% Nilai APE normal atau mendekati normal Efek samping obat minimal Tidak kunjungan ke unit gawat darurat. (PDPI)

Edukasi memberi peranan penting dalam asma, terutama untuk menurunkan morbiditi dan mortaliti serta menjaga penderita agar tetap bisa beraktifitas karena berkurangnya serangan akut. Edukasi penderita dan keluarga menjadi penting dalam menjadi mitra dokter untuk penatalaksanaan asma, yang bertujuan untuk: Meningkatkan pemahaman penyakit dan pola penyakit asma itu sendiri Meningkatkan keterampilan dalam penanganan asma Meningkatkan kepuasan pasien Meningkatkan rasa percaya diri pasien Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri

Edukasi sebaiknya diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga toraks dengan saluran napas dan paru, gambar potongan melintang saluran napas, contoh obat inhalasi dan sebagainya. Hal yang demikian mungkin diberikan di klinik konseling asma. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama baik di gawat darurat, klinik, klub asma; dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. 1 Tidak dapat dipastikan bahwa penderita melakukan semua yang disarankan bila penderita tidak menyetujuinya atau bila hanya dijelaskan satu kali/ belum memahami. 1

15

Maka dari itu disetiap kunjungan diberikan edukasi seperti yang tercantum dalam tabel berikut: WAKTU BERKUNJUNG Kunjungan awal BAHAN EDUKASI Apa itu asma Diagnosis asma Identifikasi dan mengontrol pencetus Dua tipe pengobatan asma (pengontrol & pelega) Tujuan pengobatan Identifikasi & mengontrol pencetus Penilaian berat asma Medikasi (apa yang dipakai, bagaimana & kapan, adakah masalah dengan pengobatan tersebut) Penanganan serangan asma dirumah Identifikasi & mengontrol pencetus Penanganan serangan asma dirumah Medikasi Monitor asma (gejala & faal paru/ APE) Penanganan asma mandiri/ pelangi asma (bila penderita mampu) Strategi mengontrol pencetus asma Medikasi Monitoring asma DEMONSTRASI Penggunaan obat inhalasi/spaser. Monitoring sendiri asma melalui: mengenali intensitas dan frekuensi gejala, tanda perburukan asma untuk evaluasi kembali pengobatan Penderita menunjukkan cara menggunakan obat inhalasi/spacer Penggunaan peak flow meter Monitor asma dan tindakan apa yang dapat dilakukan

Kunjungan pertama

Kunjungan kedua

Penderita menunjukkan cara menggunakan obat inhalasi/spacer Penggunaan peak flow meter

Setiap kunjungan berikutnya

Obat inhalasi Peak flow meter

Faktor penyebab ketidak patuhan pasien Faktor obat kesulitan menggunakan obat inhalasi / alat bantu paduan pengobatan yang tidak menyenangkan (banyak obat, 4 kali sehari, dll) harga obat mahal tidak menyukai obat apotik jauh/ sulit terjangkau

16

Faktor selain obat

salah pengertian atau kurang informasi takut efek samping tidak puas dengan layanan dokter/ perawat tidak terdiskusikan & terpecahkan masalah yang dirasakan penderita harapan yang tidak sesuai supervisi, latihan dan tindak lanjut yang buruk takut terhadap kondisi yang diderita dan pengobatannya kurangnya penilaian beratpeyakit isu-isu yang beredar di masyarakat stigmatisasi lupa sikap terhadap sakit dan sehat

2.10

Pengobatan berdasarkan klasifikasi asma

Pengobatan berdasarkan klasifikasi derajat asma

17

Rencana pengobatan berdasarkan klasifikasi serangan asma 1

SERANGAN RINGAN Aktiviti relatif normal Berbicara satu kalimat dalam satu napas Nadi <100 APE > 80% SEDANG Jalan jarak jauh timbulkan gejala Berbicara beberapa kata dalam satu napas Nadi 100-120 APE 60-80%

PENGOBATAN Terbaik: Inhalasi agonis beta-2 Alternatif: Kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin Terbaik Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Alternatif: Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik Terbaik Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Alternatif: -Agonis beta-2 SK/ IV -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid IV Seperti serangan akut berat Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanis

BERAT Sesak saat istirahat Berbicara kata perkata dalam satu napas Nadi >120 APE<60% atau 100 l/dtk

MENGANCAM JIWA Kesadaran berubah/ menurun Gelisah Sianosis Gagal napas 2.11 Medikasi Asma

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. 1. Pengontrol (Controllers) 1 Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaanasma terkontrol pada asma persisten.

18

Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1) Lain-lain

2. Pelega (Reliever) 1 Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Aminofillin Adrenalin

Pengobatan asma dapat dibagi atas terapi serangan akut dan terapi pemeliharaan untuk mencegah serangan atau memburuknya penyakit. A. Serangan asma akut dengan pelega (reliever) 5 Biasanya dapat dihentikan dengan suatu bronkospasmolitkum untuk melepaskan kejang bronkus. Pilihan pertama adalah suatu 2- mimetikum (2-agonis) per inhalasi, misalnya salbutamol atau terbutalin dengan efek cepat (sesudah 3-5 menit). Obat yang tak selektif seperti efedrin dan isoprenalin, dapat pula diberikan sebagai tablet, tetapi efeknya baru tampak sesudah lebih kurang 1 jam.

19

Bila sesudah 15 menit belum menghasilkan efek, inhalasi dapat diulang sekali lagi. Jika juga tidak memberikan efek, pasien perlu diberi obat secara injeksi intravena aminofilin dan atau salbutamol. Pada serangan hebat, sering kali ditambahkan hidrokortison atau prednison i.v. Sebagai tindakan terakhir dapat diinjeksikan adrenalin, yang dapat diulang 2 kali dalam waktu satu jam. Status Asmatikus. Merupakan serangan asma akut dan hebat yang bisa bertahan lama sekali. Efek suatu bronkodilator pada keadaan ini hanya kecil dan lambat, yang disebabkan oleh blokade reseptor beta sebagai akibat umum dari suatu infeksi saluran napas. keadaan demikian perlu diobati secara khusus dirumah sakit dengan pemberian oksigen dan minum banyak air, hidrokortison i.v dan bila perlu bikarbonat. Lazimnya pasien diberi injeksi i.v dengan salbutamol dan/atau aminofilin serta hidrokortison dalam dosis besar. Perlu juga diambil tindakan-tindakan tambahan lain untuk melawan efek samping dari status asmatikus. Pada serangan yang tidak dapat dihentikan dengan injeksi adrenalin seagai tindakan teakhir. Umumnya injeksi i.v dengan novocaine 2% efektif. B. Terapi Pemeliharaan dengan pengontrol (controler) 5 Penobatan pemeliharaan pada umumnya dilakukan secara bertingkat, berdasarkan prinsip bahwa asma adalah suatu penyakit peradangan, maka obat antiradang perlu digunakan sedini mungkin. Disamping itu, penggunaan bronkodilator hendaknya dibatasi pada terapi serangan dan/atau dalam kombinasi dengan obat antiradang. Dalam garis besar sering kali ditempuh skema sebagai berikut: Asma ringan (serangan <1x sebulan) dapat diobati dengan suatu 2 mimetikum yang bekerja singkat sebagai monoterapi, misalnya salbutamol atau terbutalin (1-2 inhalasi / minggu) Asma sedang (serangan 1-4x sebulan) perlu diobati dengan obat yang menekan peradangan disaluran napas, yakni kortikosteroid inhalasi, seperti beklometason, flutikason, atau budesonida dalam dosis rendah (200-800 mcg/hari). Bila perlu, obat ini dikombinasi dengan salbutamol atau terbutalin sampai 3-4 inhalasi/hari atau dengan obat pencegah kromoglikat dan nedokromil, juga per inhalasi. Untk anak-anak dengan asma yang bercirikan alergi dapat diberikan per oral ketotifen atau oksatomida, yang juga berkhasiat mencegah degranulasi mastcells.

20

Asma agak serius (serangan >1-2x serminggu) dapat ditanggulangi oleh kortikosteroid dengan dosis lebih tinggi (800-1200 mcg/hari) dan dikombinasi dengan 2 mimetikum atau antikolinergika (ipratropium) sebagai bronkodilator untuk mengurangi obstruksi bronkus

Asma serius (serangan > 3x seminggu) walaupun penggunaan kortikosterid inhalasi dalam dosis cukup tinggi, tetapi pada malam hari masih timbul sesak napas. dalam hal ini dapat diberikan 2 mimetikum kerja panjang sebagai inhalasi (salmeterol, formeterol). Bila perlu obat ini dapat dikombinasi denan teofilin dalam bentuk slow release. (obat penting)

21

BAB III ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Pekerjaan Alamat Status : Siti Aisyah : 52 tahun : Perempuan : Ibu rumah tangga : Sungai Pauh : Menikah

ANAMNESIS PASIEN KELUHAN UTAMA Sesak napas memburuk sejak 2 hari SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Sejak 2 minggu SMRS pasien mulai mengeluhkan sesak napas dan batuk-batuk. Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Pasien merasa enak bila membusungkan dadanya. Pasien mengaku sering terbangun di malam hari karena sesaknya. Sejak 2 hari SMRS sesak napas yang dirasakan makin berat dan sering kambuh serta pasien mengeluhkan nafasnya berbunyi ngik. Pasien mengeluhkan batuk berdahak satu pekan SMRS, dengan dahak berwarna putih kental. Pasien juga mengeluhkan rasa berat pada dada saat pasien batuk. Pasien dibawa ke IGD dan diberi pengasapan, namun keluhan sesak tidak berkurang sehingga pasien dirawat. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil, sesak napas timbul bila pasien sedang marah. Sesak napas dirasakan hampir setiap hari dan mengganggu aktifitas. Serangan pada malam hari lebih dari sekali dalam seminggu. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung Pasien mengaku pernah merokok selama 30 tahun, dan mulai berhenti merokok 1-2 tahun yang lalu.

22

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Anak perempuan pasien menderita asma Saudara laki-laki pasien menderita rinitis alergika

RIWAYAT PEKERJAAN, SOSIAL EKONOMI, DAN KEBIASAAN 3 tahun yang lau pasien berhenti sebagai penjual makanan diwarung didepan rumahnya. Akan tetapi karena sesak napas yang dirasakan semakin hari semakin memberat, pasien berhenti dari pekerjaannya dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. PEMERIKSAAN UMUM Kesadaran Keadaan umum Tekanan darah Nadi Nafas Suhu : komposmentis : tampak sesak berat : 110/80 mmHg : 104 x / menit : 25 x / menit : 35,3 C

PEMERIKSAAN FISIK 1. Kepala Mata sklera ikterik (-) Telinga Hidung Lidah Tenggorokan : sekret (-), perdarahan (-) : sekret (-), defiasi (-), napas cuping hidung (-), perdarahan (-) : beslag (-), tremor (-), atrofi papil (-) : Tonsil normal, faring hiperemis (-) : refles cahaya (+/+), isokor, kunjungtiva palpebra pucat (-),

2. Leher Pembesaran KGB Kelenjar tiroid Vena jugularis : (-) : tidak ada pembesaran : (-) : pembesaran KGB axilla (-)

3. Axilla 4. Thoraks depan -

Inspeksi : simetris, retraksi -/Palpasi : Paru kanan Melemah Melemah Melemah Paru kiri Melemah Melemah Melemah

Stem fremitus Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah

23

Perkusi Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah Paru kanan Hipersonor Hipersonor Hipersonor Paru kiri Hipersonor Hipersonor Hipersonor

Auskultasi: Suara napas Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah Paru kanan Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Paru kanan Wh (+) Wh (+) Wh (+) Wh (+) Wh (+) Wh (+) Paru kiri Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Paru kiri

Suara tambahan Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah 5. Toraks belakang -

Inspeksi : simetris, retraksi -/Palpasi : Paru kanan Melemah Melemah Melemah Paru kiri Melemah Melemah Melemah

Stem fremitus Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah Perkusi Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah Auskultasi: Suara napas Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah

Paru kanan Hipersonor Hipersonor Hipersonor

Paru kiri Hipersonor Hipersonor Hipersonor

Paru kanan Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang

Paru kiri Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang Vesikuler melemah, ekspirasi memanjang

24

Suara tambahan Lapangan paru atas Lapangan paru tengah Lapangan paru bawah 6. Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

Paru kanan Wh (+) Wh (+) Wh (+)

Paru kiri Wh (+) Wh (+) Wh (+)

: iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis teraba : batas jantung melebar : normal

7. Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : simetris, distensi (-) : nyeri tekan (-), pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-) : tympani (+) : peristaltik (+) : edema (-), sianosis (-), Clubbing finger (-) : edema (-), sianosis (-)

8. Ekstremistas superior 9. Ekstremitas inferior

PEMERIKSAAN PENJUNJANG 1. FOTO TORAKS

25

Soft Tissue Tulang-tulang Klavikula Paru Hilus paru Sela Iga Trakea Jantung Aorta Diafragma

: Tidak ada Massa, kesan normal : Intak, tidak ada yang fraktur : Letak Simetris : Radiolusen : Normal : Melebar : Tidak terdapat Deviasi : CTR 66%, kesan membesar : Normal : Mendatar

2. LABORATORIUM 03 JUNI 2013 JENIS PEMERIKSAAN Haemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit Total bilirubin Direct bilirubin SGOT SGPT Alkaline Phospatase Uric acid Glukosa Natrium (Na) Chlorida (Cl) Kalium (K) 9500 142000 0,5 0,4 58 74 138 4.1 HASIL 12,5 35,4 UNIT %100ml % /Uix 10o /Uix 103 /Uix 103 mg/100ml mg/100ml UI UI UI mg/dL NORMAL : 14-18 : 12-16 : 40-50 : 37-47 : 4,5-5,5 :4-5 Dewasa: 4-9 Anak-anak: 8-12 150-300 0,3-1 0,0-0,7 :52 :49 :29 :40 111 :3,4-7,0 :2,4-5,7 70-110 130-145 90-105 3,3-5,2

250 mg/100ml TES ELEKTROLIT DARAH 139 mmol/I 96 Mmol/I 4 mmol/I

26

RESUME KASUS Ny.Siti Aisyah 52 tahun dengan keluhan sesak napas yang dirasakan semakin memburuk 2 hari SMRS. Pasien mengaku sering terbangun pada malam hari karena sesak. Napas pasien berbunyi ngik. Sesak napas bertambah bila pasien batuk. Pasien mengaku batuk berdahak, dengan dahak berwarna putih kental. Pasien mengeluhkan rasa berat didada pada saat batuk. Pada pemeriksaan fisik didapati peningkatan denyut nadi, frekuensi pernapasan meningkat, hipersonor pada perkusi, dan terdengar wheezing pada seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium didapati peningkatan pada leukosit, SGOT, SGPT, Alkaline phospatase, dan glukosa.

DIAGNOSA BANDING PPOK Bronkitis kronis Emfisema paru Gagal jantung kongesti

DIAGNOSA SEMENTARA Asma bronkial

PENATALAKSANAAN Planning Terapi Oksigen 4-6 liter/i dengan nasal kanul IVFD RL 20 gt/i -2 agonis kerja singkat (Ventolin nebule1 ampule) Glukokortikosteroid inhalasi (flutikason 400-800 mcg) -2 agonis kerja lama (salmeterol, formeterol) atau obat kombinasi glukokortikosteroid dan -2 agonis kerja lama (seretide) OBH syr 1xC1 Nutrisi

Planning Diagnostik Pemeriksaan faal paru Pemeriksaan APE dgn peak flow meter Skin prick test Pemeriksaan radiologi
27

Planning Edukasi Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien Mendeteksi dan mnghindari faktor pencetus Kontrol secara teratur Pemberitahuan cara penggunaan obat yang benar (oral, MDI atau nebulizer)

PROGNOSIS Dubia ad bonam

FOLLOW UP HARIAN PASIEN


Tgl/hari Rawatan 4 juni 2013 Sesak napas, batuk, sulit tidur Vital sign Kes: komposmentis TD: 110/80 mmHg HR: 1108 x/menit RR: 24x/menit T: 35,3C DD: Asma PPOK CAD Therapi O2 4 liter dengan Nasal kanul IVFD RL 20 gt/I + aminofilin drip Ventolin nebule (1 amp/8 jam) MP 3x1 Ciprofloksasin 2x1 Ambroxol syr 3c x 1 Alprazolam 1 x 0,25 Planing : Lab darah lengkap Pemeriksaan rontgen 5 Juni 2013 Sesak napas, batuk kering Vital sign Kes: komposmentis TD: 120/70mmHg HR: 104x/menit RR: 22 x/menit T: 35,5C DD: Asma PPOK CAD Therapi O2 4 liter dengan Nasal kanul IVFD RL 20 gt/I + aminofilin drip Ventolin nebule (1 amp/8 jam) MP 3x1 Ciprofloksasin 2x1 Ambroxol syr 3c x 1 Alprazolam 1 x 0,25 S O A P

28

6 Juni 2013

Sesak napas, batuk

Vital sign Kes: komposmentis TD: 120/70mmHg HR: 104x/menit RR: 24x/menit T: 36C

DD: Asma PPOK CAD

Therapi O2 4 liter dengan Nasal kanul IVFD RL 20 gt/I + aminofilin drip Ventolin nebule (1 amp/8 jam) MP 3x1 Ciprofloksasin 2x1 Ambroxol syr 3c x 1 Alprazolam 1 x 0,25

7 Juni 2013

Sesak napas, batuk, mual

Vital sign Kes: komposmentis TD: 110/80mmHg HR: 104x/menit RR: 24x/menit T: 35,5C

DD: Asma PPOK CAD

IVFD three way Seretide diskus 2x1 MP 2x1 Levofloksasin 1x1 Ambroxol syr 3c x 1

8 Juni 2013

Sesak napas, batuk dahak

Vital sign Kes: komposmentis TD: 120/80mmHg HR: 100x/menit RR: 20x/menit T: 36C

DD: Asma PPOK CAD

IVFD three way Seretide diskus 2x1 MP 2x1 Levofloksasin 1x1 Ambroxol syr 3c x 1

29

BAB IV KESIMPULAN
-

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Secara umum faktor risiko yang dapat memicu terjadinya asma terbagi atas faktor genetik dan lingkungan.

Patogenesis terjadinya asma adalah inflamasi kronik yang terjadi karena adanya hiperrensponsif saluran napas. proses ini melibatkan berbagai jenis sel seperti limfosit T, epitel, eosinofil, dan sel mast. Hal terpenting pada inflamasi kronik pada asma ini adalah adanya airway remodelling, dimana terjadi proses inflamasi dan penggantian jaringan yang rusak dengan jaringan ikat sehingga terjadi proses hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas, kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, peningkatan vaskularisasi, peningkatan matriks ekstraseluler, dan perubahan struktur parenkim paru.

Faktor resiko asma: 1. Faktor genetik: riwayat atopi/alergi, hiperaktifitas bronkus, jenis kelamin, ras, obesitas 2. Faktor lingkungan: alergen dalam dan luar rumah 3. Faktor lain: alergi terhadap makanan, alergi obat-obatan tertentu, emosi berlebih, asap rokok, polusi udara, perubahan cuaca, dan exercise induced asthma

Gambaran klinis asma klasik adalah episodik batuk, mengi, dan sesak napas. pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat didada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin.

Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis GEJALA Gejala < 1x/minggu, Tanpa gejala di luar serangan, Serangan singkat Gejala > 1x/minggu tetapi < 1x/hari, serangan dapat mengganngu aktifitas dan tidur Gejala setiap hari, serangan menggangu aktifitas dan tidur, membutuhkan bronkodilator setiap hari Gejala terus-menerus, sering kambuh, aktifitas terbatas
30

DERAJAT ASMA Intermiten

GEJALA MALAM 2x sebulan

FAAL PARU APE 80%%

Persisten ringan

>2x sebulan

APE >80%

Persisten sedang

>1x seminggu

APE 60-80%

Persisten berat

Sering

APE 60%

Rencana pengobatan berdasarkan klasifikasi serangan asma PENGOBATAN Terbaik: Inhalasi agonis beta-2 Alternatif: Kombinasi oral agonis beta-2 dan teofilin Terbaik Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Alternatif: Agonis beta-2 subkutan Aminofilin IV Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik Terbaik Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Alternatif: -Agonis beta-2 SK/ IV -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid IV Seperti serangan akut berat Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanis

SERANGAN RINGAN Aktiviti relatif normal Berbicara satu kalimat dalam satu napas Nadi <100 APE > 80% SEDANG Jalan jarak jauh timbulkan gejala Berbicara beberapa kata dalam satu napas Nadi 100-120 APE 60-80%

BERAT Sesak saat istirahat Berbicara kata perkata dalam satu napas Nadi >120 APE<60% atau 100 l/dtk

MENGANCAM JIWA Kesadaran berubah/ menurun Gelisah Sianosis Gagal napas

31

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega A. Pengontrol (Controllers) Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol : Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

B. Pelega (Reliever) Termasuk pelega adalah : Agonis beta2 kerja singkat Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). Antikolinergik Aminofillin Adrenalin

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Doter Paru Indonesia. 2003. Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI.

Asma Pedoman Diagnosis

&

2. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 58, No. 11 Novemvber 2008. IDI. 3. Sudoyo, Aru W. Setiohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Interna Publishing: Jakarta. 4. Antariksa B. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Asma. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS. Persahabatan: Jakarta. 5. Tjay, Drs. Tan Hoan. Rahardja, Drs. Kirana. 2008. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, Dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Keenam. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas Gramedia: Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai