Anda di halaman 1dari 26

SINDROM DISPEPSIA

DEFINISI Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1 Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit , dan (Pepse),berarti pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.2 Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.3,4 Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang
1

terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.5 Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu : 1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.1,6 2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7 MANIFESTASI KLINIK Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi ndispepsia menjadi tiga tipe : 1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala: a. b. c. d. Nyeri epigastrium terlokalisasi Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid Nyeri saat lapar Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala:


2

a. b. c. d. e. f.

Mudah kenyang Perut cepat terasa penuh saat makan Mual Muntah Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).2

ETIOLOGI Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi A. Organik 1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides, metronidazole), Kortikosteroid, Theophiline.8-10 2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan) a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai dan beberapa jenis buah-buahan b. Non-alergi Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein. Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat. Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10 3. Kelainan struktural a. Penyakit oesophagus Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia Akhalasia Obstruksi esophagus Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol), Quinidine,

Levodopa,

Niacin,

Gemfibrozil,

Narkotik,

b. Penyakit Gaster dan Duodenum Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma, shock Ulkus gaster dan duodenum Karsinoma gaster c. Penyakit saluran empedu Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis Kholesistitis

d. Penyakit pankreas Pankreatitis Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus Malabsorbsi Obstruksi intestinal intermiten Sindrom kolon iritatif Angina abdominal Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik a. Tuberculosis


5

b. Gagal ginjal c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar d. Diabetes melitius e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid f. Ketidakseimbangan elektrolit g. Penyakit jantung kongestif 5. Lain-lain a. Penyakit jantung iskemik b. Penyakit kolagen5-11 B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus Dispepsia fungsional Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran

makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu kenaikan asam lambung. Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dapat emnimbulkan dispepsia fungsional Kelainan non organik saluran cerna: a. Gastralgia b. Dispepsia karena asam lambung
6

c. Dispepsia flatulen d. Dispepsia alergik e. Dispepsia essensial f. Pseudoobstruksi intestinal kronik g. Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi). h. Psikogen : Histeria, psikosomatik

2.4 PATOFISIOLOGI Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):

Abnormalitas Motorik Gaster Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster.

Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien

dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.2

Perubahan sensifitas gaster Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.10

Stres dan faktor psikososial Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster. Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan

orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.5

Gastritis Helicobacter pylori. Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis nonerosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah: a. Erosi kronik di daerah antrum. b. Nodularitas pada mukosa antrum. c. Bercak-bercak eritema di antrum. d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.13 Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif.

Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.2

Kelainan gastrointestinal fungsional Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih parah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku. Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang

10

konsisten dari bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman kelompok ini. 2,12,14. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi awan amoniak yang dapat melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang terdapat di dalam epitel. 13 Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase, oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.13 Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
11

korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif terganggu.13 Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.13 Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.13 Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat zat lain yang merosak mukosa lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
12

mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh gastrin.13 Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang berkurang. 13 Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang

memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. 13

13

14

2.5 GEJALA KLINIK Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).6

Dispepsia organik a. Dispepsia Ulkus Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di negara negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan ulkus duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus lambung lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi dibandingkan ulkus duodeni.4 Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga kasus kasus yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus lambung

15

seringkali gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.15 Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H. pylori positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.13 b. GERD (GastroesophagealRefluxDisease) Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia organik. Penyakit ini disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus. Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas maka GERD dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam dispepsia organik.7 Gejala GERD : Gejala khas, terdiri dari : Heart Burn Rasa panas di epigastrium Rasa nyeri retrosternal Regurgitasi asam Pada kasus berat : ada gangguan menelan

Gejala tidak khas :


16

Nafas pendek Wheezing Batuk-batuk Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan berkurang bila penderita duduk. Gambaran Endoskopi: Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi menjadi 4 derajat (Pembagian Los Angeles) : a. Grade A : Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm b. Grade B : Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di tempat lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama. c. Grade C : Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan mukosa yang lain tetapi tidak difus. d. Grade D : Robekan mukosa difus.15

Dispepsia Fungsional Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :

17

a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir. b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent). c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi) d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome) symptom tidak hilang dengan defekasi tidak ada perubahan frekuensi dan konsistensi tinja.2,6-11

2.9 DIAGNOSIS Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.1,5
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III, Harus termasuk:

18

1. Berasa terganggu setelah makan (cepat kenyang, nyeri epigastrik, panas/ rasa terbakar di epigastrik) 2. Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut. Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurangkurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.3

2.11 PENATALAKSANAAN Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat. Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: 1. Antasid Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan

19

penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada pasien tersebut.15 2. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.10 4. Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H 2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.10,15 5. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal, digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol. 15

6. Sitoprotektif

20

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki

mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per hari.15

7. Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).10
8. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).6 Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.2,6-12

21

Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi simptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan keluhan seperti nyeri pada abdomen bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih kurang.16 Pasien dengan keluhan dismotility like symptom bisa diobati dengan sama ada dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT1 agonists. Metoclopramide dan domperidone menunjukkan antara obat placebo dalam pengobatan dispepsia fungsional.16

PENCEGAHAN

Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana cara memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan lakukan dengan santai.

Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.

22

Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat.

Konsultasikan dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk berhenti merokok.

Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.

Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak dapat dihindari, maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup.

Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS, obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.

23

Ikuti rekomendasi dokter.6-11

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke 4. FKUI; 2007.h.285. 2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal 2003;79:25-29. 3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479.
4. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan

Tahun

2007.

Edisi

2010.

Diunduh

dari,

http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id. 5. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian Psikiatri FK USU 2003. 6. Dyspepsia. Edition 2010. Available from:

http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

24

7. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1754
8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:

http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010. 9. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from: http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/4 74.html. 10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library. 2008 March. Available from:

http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html. 11. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from: http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776. 12. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology. 2005;1:1-3. 13. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC; 2006.h.417-19. 14. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99 108. 15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic ulcer disease. Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th.Mc Graw-Hills; 2008.p.287.
25

16. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch Gastroenterology April 18, 2008.
17. Dyspepsia.

Edition

2001.

Available

from:

http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

26

Anda mungkin juga menyukai