Anda di halaman 1dari 0

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Konsep Terkait
1. Konsep Cacingan
a. Pengertian
Cacingan atau sering disebut kecacingan merupakan penyekit
endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi
tinggi, tidak mematikan tetapi mengganggu kesehatan tubuh manusia
sehingga berakibat menurunkan kondisi gizi dan kesehatan
masyarakat. Kecacingan umumnya akibat infeksi cacing gelang
(ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuris vermecularis), cacing
pita (Taenea solium) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale)
(Zulkoni Akhsin, 2007).

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa
jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari
Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang
penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya
yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus,
Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Srisasi Gandahusada,
2006).

Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa
nematoda saluran cerna yang ditularkan melalui tanah. Penularan dapat
terjadi melalui dua cara yaitu infeksi langsung / menelan telur dan
larva yang menembus kulit. Kerugian yang ditimbulkan akibat
kecacingan sangat besar terhadap perkembangan fisik, intelegensia,
dan produktivitas anak yang merupakan generasi penerus bangsa (Aru
Sudoyo, 2006).


7





b. Cara Penularan
Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah termasuk dalam
keluarga nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui 2
cara yaitu ( Aru Sudoyo, 2006) :

1. Infeksi langsung
Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal
masuk ke mulut tanpa pernah berkembang dulu di tanah. Cara ini
terjadi pada cacing kremi (Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis
(Trichuris trichura). Penularan langsung dapat juga terjadi setelah
periode berkembangnya telur ditanah kemudian telur tertelan
melelui tangan atau makanan yang tercemar (Ascaris
Lumbricoides)
2. Larva menembus kulit
Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang /
ankilostomiasis dan strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu
menetas di tanah baru kemudian larva filariform menginfeksi
melalui kulit.
c. Macam-macam Cacing Nematoda Usus
Manusia merupakan hospes definitive beberapa nematoda usus.
Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Di antara nematoda usus terdapat
sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut soil
transmitted helminths yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris
lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator americanus,
Strongyloides stercoralis, Trichuris trichura dan beberapa spesies
Trichostrongylus. Nematoda usus lainnya yang penting bagi manusia
adalah Oxyuris vermicularis dan Trichinella spiralis (Srisasi
Gandahusada, 2006).

8



1. Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides adalah caing bulat yang besar dan hidup
dalam usus halus manusia (Aru Sudoyo, 2006). Manusia
merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit
yang disebabkannya disebut askariasis (Srisasi Gandahusada,
2006).

a. Morfologi dan daur hidup
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina
22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor
cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir
sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 65 x 45 mikron
dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan
yang sesuia, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif
ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau
saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti
aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, kemudian naik ke
trakea mellaui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini
menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada
faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan
tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus
halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang
tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu
kurang lebih 2 bulan (Srisasi Gandahusada, 2006).

9




Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.p
df).
b. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides dijumpai diseluruh dunia dan
diperkirakan 1,3 milyar orang pernah terinfeksi dengan cacing
ini. Tidak jarang dijumpai infeksi campuran dengan cacing
lain, terutama Tricuris trichiura. Telur yang infektif ditemukan
di tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia
mendapat infeksi dengan cara tertelan telur Ascaris
lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Hal
ini terjadi karena termakan makanan atau minuman yang
tercemar oleh cacing tadi (Soedarmo, 2008).
Di indonesia prevalensi askariasis tinggi, terutama pasa
anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kurangnya pemakaian
jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja
di sekitar halaman rumah, dibawah pohon, di tempat mencuci
dan di tempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu
terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat,
10



kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antaran 25-35
0
C
merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya
telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif (Srisasi
Gandahusada, 2006).

c. Patofisiologi
Selain itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang
masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan
pada dinding alveolus yang disebut sindrom looffler. Gangguan
yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, mual, diare, dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
mengumpal di dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada
usus (ileus obstruktive) (Surat Keputusan Menteri Nomor :
424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis
Gejala penyakit cacingan memang tidak jelas dan sering
dikacaukan dengan penyakit yang lain. Pada permulaan
mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Penderita cacingan
biasanya lesu, tidak bergairah dan konsentrasi belajar kurang.
Pada anak-anak yang menderita Askariasis perutnya tampak
buncit (karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya
matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan
seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan
berkurang. Penderita masih dapat berjalan dan sekolah atau
bekerja, sering kali dianggap tidak sakit, sehingga terjadi salah
diagnosis dan pengobatan. Secara ekonomis sudah
menunjukkan kerugian yaitu menurunkan prodiktivitas kerja
11



dan mengurangi kemampuan belajar (Surat Keputusan Menteri
Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
dan cacing dewasa yang keluar melalui mulut / anus (Pinardi
Hadidjaja, 2008).

f. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara
masal pada masyarakat. Untuk perorangan dapat digunakan
bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat
atau mebendazol.
Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu (Aru
Sudoyo, 2006) :

- obat mudah diterima masyarakat
- aturan pemakaian sederhana
- mempunyai efek samping yang minim
- bersifat polivalen, sehingga dapat berkhasiat terhadap
beberapa jenis cacing
- harganya murah
g. Pencegahan
Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi serta lingkungan
sangat mempunyai arti dalam penangulangan infeksi cacing
gelang ini. Suatu pengalaman oleh E. Kosin pada tahun 1973,
telah dilakukan suatu penelitian kontrol askaris di suatu desa di
daerah Belawan, sumatera utara, diketahui prevalensi cacing
gelang pada anak 85%, setelah pengobatan massal, angka
infeksi turun secara drastis menjadi 10%. Tiga bulan kemudian,
saat anak-anak tersebut diperiksa kembali, diperoleh hasil yang
12



sangat mengejutkan, yaitu angka infeksi naik menjadi 100%.
Setelah dilakukan penelitian, ternyata cacing yang berhasil
dikeluarkan dengan pengobatan tadi tersebar di sembarang
tempat, berarti terjadi pencemaran tanah disekitar desa dengan
telur cacing dan ini merupakan sumber infeksi (Soedarmo,
2008).

h. Prognosis
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang
bermigrasi, mempunyai prognosis yang baik. Tanpa
pengobatan, infeksi cacing dapat sembuh sendiri dalam waktu
1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara
80-90% (Aru Sudoyo, 2006).

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichura)
a. Morfologi dan daur hidup
Cacing jantang panjangnya kurang kebih 4 cm, dengan
bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar,
sedangkan pada cacing betina panjangnya kurang lebih 5 cm,
dengan bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor lurus
berujung tumpul. Telurnya berukuran kurang lebih 50 x 22
mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung
menonjol, berdinding tebal dan berisi larva (Pinardi Hadidjaja,
2008).

Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam
waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu
pada tanah yang lembab dan temapat yang teduh. Telur matang
ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif .
cara infeksi langsung yaitu bila secara kebetulan hospes
menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan
masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing
13



turun ke bagaian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama
sekum. J adi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa
pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai menjadi
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari
(Srisasi Gandahusada, 2006).


Gambar 2. Daur Hidup Trichuris trichiura (Surat Keputusan
Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).
b. Epidemiologi
Trichuris trichura, cacing ini tersebar diseluruh dunia,
tetapi lebih banyak terdapat di daerah panas dan lembab dan
sering terlihat bersarma-sama dengan infeksi ascaris.
Trichuriasis banyak ditemukan di Asia dimana prevalensinya
lebih dari 50% didaerah pedesaan. Di Afrika, prevalensinya
25% dan di Amerika Latin 12% (Soedarmo, 2008).

c. Patofisiologi
Cacing cambuk pada manusia dapat hidup dalam sekum,
dapat juga ditemukan di kolon asendens.pada infeksi berat,
terutama pada anak cacing ini menyebar diseluruh kolon dan
rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang
14



mengalami prolapsus akibat mengajannya penderita pada
waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam
usus, sehingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat
terjadi perdarahan. Disamping itu rupanya cacing ini mengisap
darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat
Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis
Penderita terutama anak-nak dengan infeksi trichuris yang
berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala nyata seperti
diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia,
berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rectum
(Srisasi Gandahusada, 2006).

e. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja
(Srisasi Gandahusada, 2006).
f. Pengobatan
Perawatan umum

Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori,
sedangkan anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat
besi (Aru Sudoyo, 2006).

Perawatan spesifik
Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit
ini tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat
diberikan obat-obat (Aru Sudoyo, 2006) :

- Diltiasiamin jodida. Diberikan dengan dosisi 10-15
mg/kgBB/hari, selama 3-5 hari
- Stilbazium yodida. Diberikan dengan dosis 10
mg/kgBB/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila
diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama.
15



Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut
dan warna tinja menjadi merah.
- Heksiresorsinol 0,2%. Dapat diberikan 500 ml dlam bentuk
enema, dalam waktu 1 jam.
- Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari
selama 3 hari, atau dosis tunggal 600 mg
g. Pencegahan
Didaerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah
dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban
yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan
perorangan. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan
baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di
negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi
Gandahusada, 2006).

h. Prognosis
Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik ( Srisasi
Gandahusada, 2006).

3. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)
a. Morfologi dan daur hidup
Ancylostoma duodenale (Pinardi Hadidjaja, 2008)

- panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf C
- dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi
- cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian
ekornya.
- Cacing betina ekornya runcing
Necator americanus (Pinardi Hadidjaja, 2008)

16



- panjang badannya kurang lebih 1 cm, menyerupai huruf S
- bagian mulutnya menyerupai benda kitin
- cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks pada bagian
ekornya
- cacing betina ekornya runcing.
- Telurnya berukuran kurang lebih 70 x 45 mikron, bulat
lonjong, berdinding tipis, kedua kutup mendatar.
Didalamnya terdapat beberapa sel.
- Larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,
rongga mulut panjang dan sempit. Esofagus dengan dua
bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior.
- Larva filariform panjangnya kurang lebih 500 mikron,
ruang mulut tertutup, esofagus menempati panjang badan
bagian anterior
Daur hidupnya ialah sebagai berikut
Telur larva rabditiform larva filariform menembus
kulit kapiler darah jantung kanan paru bronkus
trakea laring usus halus.
Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi
A. Duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform
(Srisasi Gandahusada, 2006).

17




Gambar 3. Daur hidup Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale (Surat Keputusan Menteri Nomor :
424/MENKES/SK/VI, 2006).

b. Epidemiologi
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia,
terutama di daerah perkebunan. Seringkali golongan pekerja
perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,
mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi di tanah
dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting dalam
penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva
ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimun untuk
Necator americanus 28-32
0
C, sedangkan untuk Ancylostoma
duodenale lebih rendah (23-25
0
C). Pada umunya Ancylostoma
duodenale lebih kuat (Srisasi Gandahusada, 2006).

c. Patofisiologi
Cacing tambang hidup di usus halus manusia melekatkan
dengan giginya pada dinding usus dan menghisapnya. Infeksi
18



cacing tambang menyebabkan kerusakan darah secara
perlahan-lahan, sehingga penderita mengalami kekurang darah
(anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta
menurunkan produktifitasnya. Tetapi kekurangan darah
(anemia) biasanya tidak dianggap cacingan karena kekurangan
darah dapat terjadi oleh banyak sebab anemia (Surat Keputusan
Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI, 2006).

d. Gejala klinis
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah sebagai
berikut (Srisasi Gandahusada, 2006) :

1. stadium larva
Bila banyak larva filariform menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch.
Perubahan pada paru biasanya ringan.
2. stadium dewasa
Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita (fe dan protein). Tiap cacing N.
americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak
0,005-0,1 cc sehari, sedangkan A. doudenale, 0,08-0,34 cc.
Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping
itu juga terdapat eosinofilia.

e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja
segar. Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk
membedakan spesies larva N. Americanus dan A. Duodenale
dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara Harada-
Mori (Srisasi Gandahusada, 2006).



19



f. Pengobatan
Perawatan umum
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi
yang baik, suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien
dengan gejala klinis yang berat, terutama bila ditemukan
bersama-sama anemia (Aru Sudoyo, 2006).

Perawatan khusus (Aru Sudoyo, 2006)

- Albendazol. Diberikan dengan dosis tunggal 400 mg
- Mebendazol. Diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari
selama 3 hari.
- Tetrakloretilen. Merupakan obat pilahan utama (drug of
choise) terutama untuk pasien ansilostomiasis. Dosis
diberikan 0,12 ml/kgBB, dosisi tunggal tidak boleh lebih
dari 5 ml. Pengobatan dapat diulang 2 minggu kemudian
dilakukan pemeriksaan telur tinja tetap positif. Pemberian
obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai
pemberian 30 g MgSO4. kontraindikasi pemberian obat ini
pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan, konstipasi.
- Befanium hidroksinaftat. Obat pilahan utama untuk
ankilostomiasis dan baik untuk pengobatan massal pada
anak. Obat ini relatif tidak toksik. Dosis diberikan 5 g 2 kali
sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan. Untuk
pengobatan necator americanus, dosis diberikan untuk 3
hari.
- Pirantel pamoat. Obat ini cukup efektif dengan toksisitas
yang rendah dan dosi yang diberikan 10 mg/kgBB/hari
sebagai dosis tunggal.
- Heksilresinol. Diberikan sebagai obat alternatif yang cukup
efektif dan dosis pemberian obat ini sama seperti pada
pengobatn askariasis


20



g. Pencegahan(Soedarmo, 2008)
- pemberantasan sumber infeksi pada populasi
- perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi / lingkungan
- mencegah terjadinya kontak dengan larva dengan cara
memakai sandal atau sepatu
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya cacingan
Menurut Peter J . Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor-
faktor risiko (Risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain
(repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%20II.pdf
)

1. Lingkungan
Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh
terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. Hotes,
2003:17). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Peter J .
Hotes bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak
ditemukan di daerah perkotaan, sedangkan menurut Albonico yang
dikutip peter J . Hotes bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan
di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar
masih hidup dalam kekurangan.
1.1 Kepemilikan jamban
Bertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area
pemukiman timbul masalah yang disebabkan pembuangan
kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang
bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui
berbagai macam jalan atau cara. Peranan tinja dalam
penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung
mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah,
serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian
tubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Benda-benda
21



yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah
menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab
penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap
pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan
penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit
yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan
oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera,
bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing
tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya
1.2 Lantai rumah
Rumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus
cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan.
1.3 Ketersediaan air bersih
Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan
kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri,
keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan
(misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam
keong, kaki gajah).
2. Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya
tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura,
telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu
optimal 30
0
C (Depkes RI, 2004). Tanah liat dengan kelembapan
tinggi dan suhu yang berkisar antara 25
0
C-30
0
C sangat baik untuk
berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk
infektif. Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus
yaitu memerlukan suhu optimum 28
0
C-32
0
C dan tanah gembur
seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih
rendah yaitu 23
0
C-25
0
C (Srisasi Gandahusada, 2006).

3. Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu
di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi.
22



Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab.
Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan
kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan
pertambangan (Srisasi Gandahusada, 2006).

4. Perilaku
4.1 Kebiasaan memakai alas kaki
Kesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa
kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang
sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina
kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya
generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa.
Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta
anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri
salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Depkes RI,
1998).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah
gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator
americanus 28-32
0
C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale
lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah
memakai sandal atau sepatu (Srisasi Gandahusada, 2006).

4.2 Kebiasaan mencuci tangan
Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan
karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam
mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian
sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing.
4.3 Kebiasaan memotong kuku
Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku
sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan
cacing dari tangan ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2006).

4.4 Kebiasaan makan
23



Kebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk
tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah,
persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya
sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis.
Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebabkan
terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya,
kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan,
kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut
terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya
menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut
Tshikuka (1995) dikutip Peter J . Hotes (2003:22) yaitu faktor
sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang
rendah.
6. Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake),
pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme
makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat
menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat
menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain
dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan
produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan
ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya

e. Kerugian Akibat Kecacingan
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan
(digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara
kumulatif, infeksi kecacingan menimbulkan kerugian baik berupa
kalori, protein dan darah. Selin dapat menghambat perkembangan
fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, bahkan pada gilirannnya
dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit
24



lainnya (Surat Keputusan Menteri Nomor : 424/MENKES/SK/VI,
2006).

2. Konsep Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderamya. Berbeda dengan kepercayaan (beliefes),
takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru
(misinformation) (Soekanto, 2003). Pengetahuan adalah merupakan
hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang
pernah dialami secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi
setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek
tertentu (wahit, dan kawan-kawan 2006). Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan, sebab perilaku itu terjadi akibat adanya
paksaan atau aturan yang mengharuskan untuk berbuat (Wahit
Mubarak, 2005).

Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi setelah melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, ras, dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia
diperolah melalui mata dan telinga (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Penelitian rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut
terjadi peroses yang berurutan, yakni (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.
Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
25



4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers
menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-
tahap di atas.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang
yaitu (Wahit Mubarak, 2005) :

1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada
orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami.
Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang
semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya.
Sebaliknya, jika seseorang tingkan pendidikannya rendah, akan
menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan,
informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
2. Pekerjaan
lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
3. Umur
dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan
pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik
secara garis besar ada empat kategori perubahan Pertama,
perubuhan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya
ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat
pematangan fungsi organ.
4. Minat
26



Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi
terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan
menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperolah pengetahuan yang
lebih mendalam.
5. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
f. Kebudayaan
Kebudayaan lingkungan sekitar, kebudayaan dimana kita hidup
dan di besarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk
menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat
sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan
lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam
pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.
g. Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat
membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh
pengetahuan yang baru.
3. Konsep Sikap
a. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dapat disimpulkan
bahwa sikap tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang ditutup. Sikap secara
nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007).

Newcomb, salah seorang psikologis sosial, menyatakan bahwa
sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu
27



tindakan atau aktivitas. Akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan
merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan
tertentu sebagai suatu pengahayatan terhadap objek (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007).
b. Komponen sikap
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen
pokok, yaitu (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
c. Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau
pernyataan responden terhadap suatu objek (Soekidjo Notoatmodjo,
2007).

4. Konsep Perilaku
a. Pengertian
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari
sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan,
binatang sampai dengan manusia itu berprilaku, karena mereka
mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan
perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendriri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
anatara lain : berjalan, berbicara menangis, tertawa, kuliah, menulis,
membaca, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,
28



maupun yang tidak diamati oleh pihak luar (Soekidjo Notoatmodjo,
2007).

Menurut Robert Kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau
perbuatan suatu oraganisme yang dapat diamati dan bahkan dapat
dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu
kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap duatu objek,
dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk
menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah
sebagian dari perilaku manusia (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme
tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan
lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku manusia. Hereditas
atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk
perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya.
Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan
perilaku tersebut (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

Skiner (1938) seoarang ahli psikologi, merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena itu terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespons, maka teori Skiner ini disebut teori S-O-R atau Stimulus
Oragnisme Respons (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

b. Bentuk-bentuk perilaku
Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon
organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar
objek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam, yakni (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007) :

1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain,
misalnya berpikir, tangggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
29



2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi
secara langsung.
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan
respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih
bersifat terselubung, dan disebut covert bahviour. Sedangkan
tindakan nyata seseorang sebagai respon terhadap stimulus (practice)
adalah overt bahaviour (Soekidjo Notoatmodjo, 2007).

c. Perilaku kesehatan
Menurut Skiner Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu
respom seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan
sakit dan penyakit, sistem pelayan kesehatan, makanan serta
lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok (Soekidjo Notoatmodjo, 2007) :

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health Maintanance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara
atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk
penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku pemeliharaan
kesehatan terdiri dari 3 aspek yaitu :
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila
sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari
penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan
sehat. Perlu dijelaskan di sini,bahwa kesehatan itu sangat dinamis
dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun perlu diupayakan
supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman. Makanan dan minuman
dapat memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi
sebaliknnya makanan dan minuman dapat menjadi penyebab
menurunya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan
penyakit. Hal ini tergantung pada perilaku orang terhadap
makanan dan minuman tersebut.
30



2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Healt
seeking behaviour)
Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini
dimulai dari mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
pengobatan ke luar negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Yaitu bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya, sehingga
lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya.
II.2. Penelitian Terkait
Bebrapa penelitian yang terkait yang pernah dilakukan mengenai
penyakit cacingan antara lain sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Hariyani pada tahun 2010 dengan judul
hubungan hygiene sanitasi perorangan dengan kejadian penyakit
cacingan pada siswa Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia Bantar
Gerbang Bekasi J awa Barat . penelitian ini menggunakan desain cross
sectional dan jumlah sampel yang digunakan 186 siswa. Hasil dari
penelitian ini didapatkan angka kejadian cacingan pada Sekolah Dasar
Dinamika Indonesia sebesar 34%. Dari hasil uji statistik diperoleh
adanya hubungan antara hygiene seseorang dari kebiasaan mencuci
tangan dengan baik dan kebersihan kuku dengan kejadian infeksi
cacingan pada Sekolah Dasar Dinamika Indonesia Bantar Gerbang
Bekasi J awa Barat.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Gde Nita Sri Wahyuningsih pada
tahun 2009 dengan judul hubungan pengetahuan tentang cacingan
dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V
Sekolah Dasar Negeri 01 Krutut Kecamatan Limo Depok. Pada
penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel
yang digunakan sebanyak 143 siswa. Hasil penelitian menunjukkan
responden yang memiliki nilai pengetahuan tinggi tentang cacingan
31



sebanyak 82 orang (57,3%) dan responden yang memiliki pengetahuan
yang rendah tentang cacingan sebanyak 61 orang (42,7%). Dari hasil uji
statistik adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang
cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan
V SD Negeri 01 Krutut, dengan P value 0,001.
3. Penelitian yang dilakukan oleh J uanda tahun 2005 dengan judul faktor-
faktor yang berhubungan dengan kejadian cacingan dan hubungan
kejadian cacingan dengan anemia pada anak SD di Komplek SD Muara
Ciujung Barat Kecamatan Rangka Sibitung Kabupaten Lebak. Pada
penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan jumlah sampel
yang diambil secara acak sebanyak 125 orang. Hasil penelitian
menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan yang rendah
tentang penyakit cacingan sebanyak 84 orang (67,2%) dan responden
yang memiliki pengetahuan tinggi tentang penyakit cacingan sebanyak
41 orang (32,8%). Dari hasil uji statistic diperoleh adanya hubungan
yang signifikan antara hubungan tentang cacingan (p=0,000) dan
perilaku hidup sehat yang meliputi cuci tangan sebelum makan, cuci
tangan dengan sabun, pakai alas kaki, bauang air besar di WC, tidak
jajan sembarangan dan membersihkan kuku tangam (P=0,021) dengan
kejadian cacingan.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Nina Septiana Dwi Indarti pada tahun
2004 dengan judul hubungan perilaku anak sehari-hari dengan kejadian
cacingan pada anak Sekolah Dasar di 10 Propinsi di Indonesia. Pada
penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Dengan jumlah
sampel yang digunakan sebanyak 100 anak yang dipilih berdasarkan
random sederhana. Hasil dari penelitian ini didapatkan angka prevalensi
cacingan di 10 propinsi di Indonesia adalah sebesar 31%, dengan
prevalensi propinsi tetinggi adalah Bangka Belitung sebesar 80%. Dari
hasil uji pengettatistik didapatkan adanya hubungan perilaku anak
sehari-hari yaitu dari kebiasaan buang air besar, memakai alas kaki,
32



mencuci tangan sebelum makan dan buanng air besar dengan kejadian
cacingan pada Sekolah Dasar di 10 propinsi di Indonesia.
5. Penelitian yang dilakukan oleh D. Anwar Musadad pada tahun 1998
dengan judul studi perbandingan pengetahuan, sikap dan tindakan anak-
anak SD dalam pemberantasan penyakit cacing perut di 2 sekolah dasar
di Kecamatan Tanjung Priok J akarta. Pada penelitian ini menggunakan
desain cross sectional. Hasil penelitian ini didapatkan pengetahuan,
sikap dan tindakan murid-murid kelas IV, V dan VI SDN Kebun
Bawang 02 Petang dalam pemberantasan penyakit cacing perut lebih
baik dibandingkan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan SDN Bambu
02 Petang. Pada SD binaan, pengetahuan, sikap dan tindakan murid-
murid kelas IV, V dan IV SD dapat meningkatkan pemberantasan
penyakit cacingan.
II.3. Kerangka Teori


Faktor Host
- Pengetahuan
- Sikap
- Perilaku
- Kebiasaan mencuci tangan
- Kebiasaan memotang
kuku
- Kebiasaan makan
makanan mentah
- Kebiasaan memakai alas
kaki
- Sosial ekonomi
- Status gizi
Faktor Environment
- Lingkungan
- Kepemilikan jamban
- Ketersedian air
bersih
- Lantai rumah
- Tanah
- Iklim
Penyakit Kecacingan
33



II.4. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen


II.5. Hipotesis
Pada hakikatnya hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan
yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara
empiris. Biasanya hipotesis terdiri dari pernyataan terhadap ada atau
tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel independen dan
variabel dependen (Soekidjo Notoatmodjo, 2005).

Adapun hipotesis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Ada hubungan antara penggetahuan siswa kelas V terhadap penyakit
cacingan.
2. Ada hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.
3. Ada hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit cacingan.
Pengetahuan
Sikap
Perilaku
Penyakit Kecacingan

Anda mungkin juga menyukai

  • Gawat Daruraat 2
    Gawat Daruraat 2
    Dokumen51 halaman
    Gawat Daruraat 2
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Tugas DR - Denii Dewet
    Tugas DR - Denii Dewet
    Dokumen43 halaman
    Tugas DR - Denii Dewet
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Pio Derm
    Pio Derm
    Dokumen3 halaman
    Pio Derm
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Tumor
    Tumor
    Dokumen1 halaman
    Tumor
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • 061023-kxcv149-cd Dan Buku PDF
    061023-kxcv149-cd Dan Buku PDF
    Dokumen12 halaman
    061023-kxcv149-cd Dan Buku PDF
    Luvy Immaduddin
    Belum ada peringkat
  • Otot Panggul
    Otot Panggul
    Dokumen2 halaman
    Otot Panggul
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Referat Karsinoma Nasofaring
    Referat Karsinoma Nasofaring
    Dokumen22 halaman
    Referat Karsinoma Nasofaring
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Chapter II PDF
    Chapter II PDF
    Dokumen18 halaman
    Chapter II PDF
    Ahmad Farhan
    Belum ada peringkat
  • Translate Nelsson
    Translate Nelsson
    Dokumen2 halaman
    Translate Nelsson
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Pterigium
    Pterigium
    Dokumen20 halaman
    Pterigium
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Pterigium
    Pterigium
    Dokumen23 halaman
    Pterigium
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Ujian Lapkas KPD Dewet
    Ujian Lapkas KPD Dewet
    Dokumen64 halaman
    Ujian Lapkas KPD Dewet
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • CA Nasofaring
    CA Nasofaring
    Dokumen27 halaman
    CA Nasofaring
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Bab I Referat
    Bab I Referat
    Dokumen3 halaman
    Bab I Referat
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Vaksin Campak
    Vaksin Campak
    Dokumen1 halaman
    Vaksin Campak
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Opthalmologi PDF
    Opthalmologi PDF
    Dokumen128 halaman
    Opthalmologi PDF
    rejotangan
    Belum ada peringkat
  • Referat Karsinoma Nasofaring
    Referat Karsinoma Nasofaring
    Dokumen22 halaman
    Referat Karsinoma Nasofaring
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Ketuban Pecah Dini
    Ketuban Pecah Dini
    Dokumen21 halaman
    Ketuban Pecah Dini
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Cover THT KL
    Cover THT KL
    Dokumen1 halaman
    Cover THT KL
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • IVO Tifoid
    IVO Tifoid
    Dokumen2 halaman
    IVO Tifoid
    Shyra Mustakim
    Belum ada peringkat
  • Dap Us Final
    Dap Us Final
    Dokumen1 halaman
    Dap Us Final
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Pterigium
    Pterigium
    Dokumen23 halaman
    Pterigium
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Translate Nelsson
    Translate Nelsson
    Dokumen2 halaman
    Translate Nelsson
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Pterigium
    Pterigium
    Dokumen20 halaman
    Pterigium
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • DAPUS
    DAPUS
    Dokumen1 halaman
    DAPUS
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • DAPUS
    DAPUS
    Dokumen1 halaman
    DAPUS
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Referat Kista Ovarium
    Referat Kista Ovarium
    Dokumen23 halaman
    Referat Kista Ovarium
    alvian2109
    60% (5)
  • Document 2
    Document 2
    Dokumen1 halaman
    Document 2
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • Bab I Referat
    Bab I Referat
    Dokumen3 halaman
    Bab I Referat
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat
  • REFERATppt
    REFERATppt
    Dokumen21 halaman
    REFERATppt
    Dewida 'dewet' Maulidatu
    Belum ada peringkat