Anda di halaman 1dari 9

REVIEW

Arif SK. Fluid management

FLUID MANAGEMENT IN SEVERE BURNS PATIENTS


Syafri Kamsul Arif
Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain Management Faculty of Medicine Hasanuddin University, Makassar

ABSTRACT
The life expectancy of patients with severe burn wounds has significantly increased in the last 30 years, mostly because of improved fluid management methods. However, there is no consensus regarding the best fluid management regime for burns patients. Each method has its own advantages and disadvantages depending on patient conditions. In this review, fluid management methods will be compared and the relevant indications, and recommendations for selecting a fluid management protocol discussed. Keywords: burn wound, cristalloid, colloid.

PENATALAKSANAAN CAIRAN PADA PASIEN LUKA BAKAR BERAT


Angka kelangsungan hidup pada pasien yang menderita luka bakar luas telah meningkat secara signifikan selama 30 tahun terakhir yang sebagian besar disebabkan oleh kemajuan dalam manajemen cairan. Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus digunakan untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataanya setiap jenis cairan mempunyai keuntungan dan kerugian masing masing tergantung bagaimana kondisi pasien. Pada tulisan ini dibahas beberapa jenis cairan yang dapat digunakan serta alasan dan rekomendasi penggunaannya. Kata kunci: luka bakar, kristalloid, koloid

PENDAHULUAN
Angka kelangsungan hidup pada pasien yang menderita luka bakar luas telah meningkat secara signifikan selama 30 tahun terakhir. Diawal tahun 1940 sebagian besar pasien dengan luka bakar yang luas meninggal akibat syok hipovolemik dan gagal ginj al. Hal ini menjelaskan bahwa pasien luka bakar dapat berkembang menjadi hipovolemia intravaskuler yang berhubungan dengan edema interstitial sistemik. Underhill adalah salah satu orang pertama yang mengembangkan konsep luka bakar melalui penelitiannya terhadap korbankorban kebakaran di Rialto Teatar tahun 1921 1. Cope dan More mengkonfirmasi dan melanjutkan penelitian ini terhadap pasien luka bakar pada tahun 1940 2. Mereka berhipotesa bahwa transfer cairan dari kompartemen intravaskuler ke ruang interstitial bertanggung j awab terhadap terjadinya status edematous.

102

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June2009

REVIEW
Arif SK. Fluid management

Evan pertama kali mengembangkan protokol resusitasi cairan berdasarakan luasnya area luka bakar di tahun 1950. Protokol ini dimodifikasi oleh para ilmuwan di RS Broke Army dan diberlakukan sebagai standar unuk resusitasi cairan pada pasien luka bakar selama hampir 20 tahun. Baxter dan Shires di akhir tahun 1960 menetapkan formula Parkland untuk resusitasi luka bakar dan saat ini digunakan sebagai pedoman untuk resusitasi sebagian besar pasien luka bakar 3.4. Pada tulisan ini akan dibahas patofisiologi dari syok, protokol resusitasi dan rekomendasi pemberian cairan pada pasien dengan luka bakar yang berat.

jaringan yang terbakar maupun tidak terbakar. Eksudasi cairan yang kaya protein dari kompartemen intravaskular ke dalam interstitial mengakibatkan hipovolemia intravaskular dan akumulasi cairan interstitial yang masif. Aliran limfe kutaneus meningkat secara drastis pada periode segera setelah luka bakar dan tetap tinggi selama hampir 48 j am 7 . Akumulasi cairan yang progresif yang berasal dari cairan intravaskular ke dalam interstitial akan menyebabkan peningkatan aliran limfatik. Penyimpangan cairan dalam jumlah besar melibatkan semua komponen dari hukum Starling8 yaitu: i. peningkatan permeabilitas koefisien mikrovaskuler (k) yang disebabkan oleh pelepasan mediator lokal dan sistemik seperti bradikinin, histamine, platelet activating factor dan leukotrin. Peningkatan permeabilitas vaskuler melibatkan tidak hanya cairan dan elektrolit tetapi juga plasma koloid. Pada j aringan yang terbakar, peningkatan permeabilitas vaskuler secara nyata sebagai akibat disrupsi endothelial. ii. peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler (Pc) akibat dilatasi mikrovaskuler. Hal ini disebabkan karena produksi dari nitrik oksida dan vasodilator prostaglandin yang menyebabkan peningkatan aliran darah pada tempat terjadinya luka bakar sama seperti daerah yang tidak terkena trauma terpapar mediator inflamasi. iii. penurunan tekanan hidrostatik interstitial (Pi). Walaupun penyebab nyata terj adinya tekanan negative pada pasien luka bakar belum bisa dimengerti, fenomena ini telah dilaporkan pada beberapa penelitian 9,10. Lund dkk mengatakan

PATOFISIOLOGI SYOK PADA LUKA BAKAR


Cedera thermal memberikan efek pada sirkulasi sistemik sehingga penatalaksanaan hemodinamik adalah hal yang utama. Setelah cedera thermal yang masif akan terj adi syok akibat hipovolemia intravaskular, dan pada sebagian besar kasus dapat terjadi depresi miokard yang mengakibatkan penurunan cardiac output. Respon tubuh terhadap turunnya curah jantung akan menimbulkan refleks peningkatan tahanan vaskular sistemik sebagai suatu usaha untuk mempetahankan tekanan darah arteri. Jika turunnya curah jantung dan tingginya tahanan perifer vaskular ini menetap, dapat terj adi hipoperfusi jaringan5,6. Hal ini terutama terjadi pada sirkulasi splanik sebagai akibat kompensasi untuk mempertahankan perfusi organ vital seperti otak dan jantung. Patofisiologi syok luka bakar tidak sepenuhnya dimengerti. Tanda dari syok luka bakar adalah peningkatan yang jelas pada permeabilitas vaskular baik pada

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June 2009

103

REVIEW
Arif SK. Fluid management

bahwa tekanan negatif interstitiel pada jaringan luka bakar disebabkan oleh degradasi kolagen 9. iv. penurunan tekanan onkotik intravaskuler ( c) diakibatkan oleh kebocoran protein dari ruang intravaskuler. v. peningkatan relatif tekanan onkotik interstitial ( i) disebabkan oleh pergerakan cairan yang kaya akan protein dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial. Kebocoran cairan dan protein ke dalam ruang interstitial seringkali menyebabkan hilangnya lapisan interstitial yang ditandai dengan peningkatan aliran limfe. Efek yang nyata dari perubahan tersebut adalah perkembangan edema yang masif selama 12-24 jam setelah trauma thermal yang disertai dengan hilangnya volume cairan intravaskuler. Perkembangan edema yang progresif ini sangat bergantung pada kecukupan volume resusitasi karena pemberian cairan akan berdampak pada perkembangan edema. Hipotensi yang dihubungkan dengan trauma luka bakar j uga mempunyai peranan dalam menyebabkan depresi miokard. Respon inflamasi akibat trauma thermal menyebabkan pelepasan Tumor Necrosis Factor (TNF-), Interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin dalam jumlah yang besar. Mediator TNF- dan beberapa faktor yang tidak dikenal dianggap berperan dalam menyebabkan depresi fungsi miokard 11,12. Hipotensi disebabkan oleh deplesi volume intravaskuler dan depresi miokard akan menginduksi suatu reflek yang dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik. Semua faktor ini menyebabkan penurunan CO dan penurunan perfusi jaringan jika pasien tidak diresusitasi secara optimal.

Jika pasien dapat bertahan pada stadium awal luka bakar dan sudah teresusitasi secara adekuat, tingkat hiperdinamik sirkulai pasien masih berkembang kurang lebih 3 sampai 4 hari setelah trauma. Respon hiperdinamis sirkulasi ini dipicu oleh adanya reaksi inflamasi akibat adanya kerusakan jaringan yang besar akibat luka bakar. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang ditandai dengan takikardi, menurunnya resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan cardiac output 13 . SIRS merupakan suatu disfungsi multiple organ yang berat yang juga ditandai dengan takipneu, demam sampai hipotensi yang bersifat refrakter14. Pada pasien dengan cedera termal, sebagian besar penyebab SIRS adalah luka bakar itu sendiri. SIRS yang disertai dengan infeksi j uga sering terj adi. Resusitasi yang tertunda atau tidak adekuat merupakan faktor indepenen untuk resiko berkembangnya SIRS.

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar memerlukan resusitasi cairan dengan volume yang besar segera setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekuat merupakan resiko yang independen terhadap tingkat kematian pada pasien dengan luka bakar yang berat15. Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar adalah untuk tetap menjaga perfusi jaringan dan meminimalkan edema interstitial. Pemberian volume cairan seharusnya terus menerus dititrasi untuk menghindari terjadinya resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Pemberian volume cairan yang besar dituj ukan untuk menjaga perfusi jaringan, namun jika berlebihan dapat menyebabkan terj adinya udema dan sindrom kompartemen pada daerah abdomen dan

104

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June2009

REVIEW
Arif SK. Fluid management

ekstremitas. Paru paru dan kompartemen j aringan akan dikorbankan untuk meningkatkan fungsi ginjal, yang bermanifestasi sebagai udema post resusitasi, kebutuhan trakeostomi, kebutuhan fasciotomi pada ektremitas bawah, dan kompartemen sindrome pada abdomen 16. Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang j enis cairan yang harus digunakan untuk resusitasi luka bakar, namun setiap jenis cairan masing masing mempunyai keuntungan dan kerugian tergantung kondisi pasien. Yang paling penting adalah apapun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan garam yang adekuat harus diberikan untuk menjaga perfusi j aringan dan memperbaiki hemostasis.

Kristaloid
Beberapa protokol resusitasi menggunakan kombinasi kristaloid, koloid dan cairan hipertonik telah dikembangkan (Tabel 1). Resusitasi cairan isotonic kristaloid digunakan pada sebagian pusat penanganan luka bakar dan umumnya memberikan hasil resusitasi yang adekuat. Bufer cairan kristaloid seperti ringer lactate merupakan cairan yang paling popular untuk resusitasi sampai saat ini. Formula resusitasi klasik yang dimodifikasi oleh broke dan parkland dikembangkan dari formula Evans and Brooke yang menyarankan pemberian 2 ml/kg/% total tubuh yang terkena luka bakar selama 24 j am pertama. Formula Evans telah dikembangkan sejak tahun 1950 dan merupakan jenis formula pertama yang menggunakan persentase total permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula evans yang mengandung persentase kristaloid yang

relatif lebih besar dibandingkan koloid pada Formula Evans. Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru yang dikembangkan oleh Baxter3 dan Shires4 menghasilkan perkembangan dari formula Parkland yang memberikan volume cairan kristaloid sebesar 4ml/kg/ % luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Setengah dari volume cairan resusitasi diberikan pada 8 jam pertama dan setengahnya lagi diberikan pada 16 j am berikutnya 15,18 . Tetapi, perlu diperhatikan bahwa formula ini merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi cairan dimana pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syok akibat luka bakar. Beberapa peneliti menggunakan rumus Parkland dalam menghitung kebutuhan cairan terutama untuk pasien dengan area luka bakar yang luas19. Kristaloid adalah cairan yang paling sering digunakan untuk resusitasi syok akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada studi yang prospektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik memiliki manfaat yang lebih dibanding kristaloid isotonik dalam resusitasi pasien luka bakar. Selain itu kristaloid isotonik lebih murah dibanding koloid. Kekurangan penggunaan kristaloid adalah volume yang digunakan relatif lebih besar untuk resusitasi syok akibat luka bakar sehingga berpotensi menyebabkan udema jaringan. Hal ini bisa terjadi jika pasien tidak dimonitor ketat, terutama jika penumpukan cairan terjadi diruang interstitial. Kebanyakan studi tidak memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima resusitasi dengan kristaloid. Holm dan kawan kawan20 mengkonfirmasi bahwa kebanyakan pasien pasien luka bakar

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June 2009

105

REVIEW
Arif SK. Fluid management

Tabel I Formula untuk perkiraan resusitasi luka bakar pada orang dewasa FORMULA Formula kristaloid Modifikasi Brooke Parkland Koloid+Kristaloid Formula Evans Nacl 1ml/kg/%luka bakar Brooke Slater Demling KRISTALOID RL 2ml/kg/%luka bakar RL 4ml/kg/%luka bakar KOLOID

1ml/kg/%luka bakar RL 1,5 ml/kg/%luka bakar RL 2 L/24 jam Dextran 40 dlm saline 2 ml/kg/jam RL,jaga urine output

0,5 ml/kg FFP 75ml/kg/24jam FFP 0,5-1/kg/%lbkar

Formula Hipertonik Saline hipertonik (Monafo) 250mEq sodium/L(1-2 ml/kg/%luka bakar Modifikasi hipertonik RL+50 mEqNaHCO3 (Warden) (4ml/kg%luka bakar/8 jam pertama) RL(jaga urine output/8 jam kedua) RL+Albumin (jaga urine output/8 jam ketiga) tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru. Komplikasi potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah hipoalbuminemia dan ketidakseimbangan elektrolit, namun perubahan ini tidak signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas . Koloid Secara teoritis koloid memberikan keuntungan lebih dalam menjaga volume intravaskuler dengan volume yang lebih sedikit dan waktu yang lebih pendek dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang intak, koloid lebih bertahan lama dibanding kristaloid dalam kompartemen intravaskuler. Protein plasma memegang peranan yang penting dalam mempertahankan volume vaskuler dengan memberikan tekanan koloid osmotik yang berlawanan dengan tekanan hidrostatik intravaskuler. Namun demikian, pada pasien luka bakar terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler terhadap cairan elektrolit dan koloid sehingga penggunaan koloid pada 8-24 j am pertama setelah luka bakar dipertanyakan. Akibat peningkatan permeabilitas vaskuler pasien luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama dalam sirkulasi dibanding dengan kristaloid sehingga aliran koloid ke interstitial dapat memperburuk edema. Namun, tingkat dan durasi permeabilitas vaskuler terhadap protein plasma belum sepenuhnya jelas dan sangat tergantung pada beratnya luka bakar. Beberapa pendekatan empiris terhadap penggunaan koloid pada resusitasi syok luka bakar telah dibuat. Beberapa ahli menganj urkan untuk menghindari penggunaan koloid dalam 24 j am pertama setelah trauma luka bakar. Mereka berpendapat bahwa koloid belum menunj ukkan adanya keuntungan dibandingkan kristaloid dan dapat memperburuk edema. Kelompok lain

106

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June2009

REVIEW
Arif SK. Fluid management

menganj urkan penggunaan koloid protein pada 8-12 jam pertama setelah luka bakar, sedangkan kelompok ketiga menganj urkan penggunaan koloid protein selama resusitasi syok luka bakar. Semua pendekatan tadi masih tidak jelas karena belum ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung pendekatan manapun. Studi terhadap binatang menunjukkan bahwa koloid yang diberikan dalam 8 jam pertama setelah luka bakar secara signifikan menurunkan kebutuhan cairan total21. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pemberian albumin pada 6-8 jam pertama setelah luka bakar tidak meningkatkan insiden komplikasi pulmoner22. Meski demikian, resusitasi koloid dalam 24 jam pertama setelah luka bakar tidak menunj ukkan adanya perbaikan outcome bila dibandingkan dengan resusitasi kristaloid 18,23. Lebih lanjut, meta analisis terbaru menunjukkan angka mortalitas 2,4 yang lebih tinggi pada pasien luka bakar yang menerima albumin pada resusitasi awal dibanding dengan pasien yang hanya mendapatkan kristaloid24. Meski demikian, meta analisis ini diragukan metodologinya. Secara keseluruhan konsensus menyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menentukan apakah pemberian albumin dalam resusitasi luka bakar menguntungkan atau merugikan. Karena biaya yang lebih besar dan keuntungan yang sedikit, koloid tidak digunakan secara rutin di Amerika Serikat untuk resusitasi awal pada pasien luka bakar, namun banyak institusi tetap melakukan pemberian albumin sebagai bagian dari protokol resusitasi terutama pada anakanak dimana kadar protein plasma menurun secara cepat setelah luka bakar. Cairan hipertonik Saline hipertonik baik sendiri maupun bersama sama dengan koloid telah dianjurkan oleh beberapa praktisi untuk

resusitasi awal pada pasien luka bakar. Salah satu keuntungan dari cairan hipertonis adalah mengurangi kebutuhan volume untuk mencapai tingkat yang sama dengan cairan isotonis25. Secara teoritis pengurangan volume dari koloid yang dibutuhkan ini akan mengurangi resiko terjadinya udema paru dan udema jaringan sehingga dapat mengurangi tindakan intubasi trakea. Cairan saline hipertonik memperlihatkan ekspansi volume intravaskuler dengan j alan memindahkan cairan dari intraseluler dan interstitial kompartemen 25. Bagaimanapun ekspansi intravaskuler ini bersifat sementara. Beberapa peneliti telah memperlihatkan besarnya total cairan yang dibutukan untuk resusitasi tidak akan berkurang bila digunakan cairan hipertonis pada awal luka bakar26,27. W alaupun semua keuntungan cairan hipertonik yang digunakan untuk resusitasi luka bakar perlu dipertimbangkan, cairan hipertonik mungkin berguna pada keadaan dimana sulit untuk menggunakan volume cairan yang besar dan pada pasien dengan penyakit penyerta yang mempunyai resiko gagal jantung. Hingga saat ini belum tidak ada kesepakatan yang menyatakan cairan hipertonik mana yang paling menguntungkan. Beberapa penelitian telah mempelajari penggunaan cairan hipertonik saline dan hipertonik laktat salin 29,30. Akan tetapi, terdapat laporan yang memperlihatkan tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang menerima laktat salin hipertonik dibandingkan dengan yang menerima cairan isotonik31. Pada beberapa kasus, koloid telah dikombinasi dengan cairan hipertonik pada resusitasi luka bakar. Griswold dkk melaporkan penambahan volume pada pasien yang menerima

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June 2009

107

REVIEW
Arif SK. Fluid management

albumin dan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan salin hipertonis32, dan Jelenko dkk melaporkan berkurangnya insiden eskariotomi, penggurangan hari dengan ventilator dan berkurangnya volume cairan yang dibutuhkan pada pasien yang menerima kombinasi albumin dan saline hipertonis dibandingkan pasien yang hanya menerima caiara kristaloid isotonis 33 dimana hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Gun dkk yang tidak memperhatikan volume cairan saat memberikan fresh frozen plasma yang digabungkan dengan cairan saline hipertonis34. Kekuatiran utama dalam penambahan cairan salin hipertonis adalah berkembangnya hipernatremia. Konsentrasi sodium serum lebih dari 160 mEq/L telah dilaporkan terjadi pada 40%50% pasien yang menerima salin hipertonis untuk resusitasi luka bakar35. Huang dkk melaporkan beberapa kasus kematian yang berhubungan dengan tehnik ini36. Karena adanya potensi gangguan elektrolit yang berat dan sedikitnya bukti yang menunj ukkan bahwa resusitasi dengan hipertonis akan meningkatkan tingkat mortalitas, cairan garam isotonis digunakan pada sebagian besar pusat resusitasi luka bakar. Karena adanya beberapa resiko dan komplikasi cairan hipertonis hanya digunakan oleh para ahli yang mempunyai pengalaman menggunakannya.

REKOMENDASI
Kristaloid saat ini merupakan cairan yang terpilih dan paling sering digunakan untuk resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar (level I b). Sebagian besar studi tidak memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada pasien yang mendapatkan cairan kristaloid. Holm dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru setelah trauma dan insiden edema paru jarang terjadi sepanj ang tekanan pengisian intravaskular dipertahankan dalam batas normal 1. Review sistimatik dengan menilai mortalitas menggunakan 26 kepustakaan dengan 1622 pasien yang mendapatkan koloid atau kristaloid dilakukan oleh Schierhout dan Roberts. Hasilnya adalah mortalitas pada pasien yang mendapat cairan koloid lebih besar 4% dibanding dengan yang mendapat kristaloid (95% CI 0-8%). Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari dalam 24 j am pertama setelah trauma luka bakar (level II b). Koloid tidak memperlihatkan keuntungan di banding kristaloid pada awal resusitasi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema formation pada awal-awal terjadinya luka bakar. Hal ini oleh karena selama 8 24 j am setelah luka bakar terjadi

Tabel 2. Formula Resusitasi cairan pada Pediatri Formula Cincinati Volume 4ml/kg/%luka bakar+1500 Ml/m2luka bakar 5000ml/m2luka bakar 2000ml/m2luka bakar Waktu 8 jam pertama 8 Jam kedua 8 jam ketiga 24 jam pertama Komposisi RL+50 mgNaHCO3 RL RL+12,5 gr albumin D5LR 5%Albumin

Galveston

108

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June2009

REVIEW
Arif SK. Fluid management

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga koloid mengalami influks masuk kedalam interstitium sehingga memperburuk edema. Studi meta analisis terakhir memperlihatkan mortalitas lebih tinggi pada pasien yang mendapatkan albumin sebagai bagian resusitasi awal dengan 2,4 kali resiko relatif mortalitas dibanding yang mendapatkan kristaloid2. Cairan koloid dan atau cairan hipertonik (Saline) mengurangi kebutuhan cairan total dan memperbaiki kerja jantung pada luka bakar (level I b). Cairan hipertonik memperlihatkan daya ekspansi volume intravaskular dengan memobilisasi cairan dari kompartemen intraselular dan interstitial serta mengurangi disfungsi kontraksi jantung yang berkaitan dengan luka bakar.

8.

Kinsky MP, Guha SC, Button BM, et al. The role of interstitial Starling forces in the pathogenesis of burn edema. J Burn Care Rehabil 1998; 19(1 Pt 1): 19. Lund T, Onerheim H, W iig H, et al . Mechanisms behind increased dermal imbibition pressure in acute burn edema. Am J Physiol 1989; 256(4 Pt 2): H9408.

9.

10. Lund T, Wiig H, Reed R. Acute postburn edema: role of strongly negative interstitial fluid pressure. Am J Physiol 1988; 255(5 Pt 2): H106974. 11. Muller-Werdan U, Engelmann H, Werdan K. Cardiodepression by tumor necrosis factor-alpha. Eur Cytokine Netw 1998; 9: 68991. 12. Roberts AB, Vodovotz Y, Roche NS, et al. . Role of nitric oxide in antagonistic effects of transforming growth factor-beta and interleukin-1 beta on the beating rate of cultured c ardiac myocytes . Mol Endocrinol 1992; 6: 192130. 13. Crum RL, Dominic W, Hansbrough JF, et al. Cardiovascular and neurohumoral responses following burn injury. Arch Surg 1990; 125: 10659. 14. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine. Chest 1992; 101: 164455. 15. Barrow RE, Jeschke MG, Herndon DN. Early f luid res us citation improves outcomes in severely burned children. Resuscitation 2000; 45: 916. 16. Pruitt BA. Does hypertonic burn resuscitation make a difference? Crit Care Med 2000; 28: 2778. 17. Warden GD. Burn shock resuscitation. World J Surg 1992; 16: 1623. 18. Nguyen T T, Gilpin DA, Meyer NA, Herndon DN. Current treatment of

DAFTAR RUJUKAN
1. Underhill FP. T he significance of anhydremia in extensive surface burn. JAMA 1930; 95: 8527. Moore FD, Langhohr S, Ingebretsen M, et al. The role of exudate losses in the protein and electrolyte imbalance of burned patients. Ann Surg 1950; 132: 119. Baxter CR. Fluid volume and electrolyte changes in the early post-burn period. Clin Plast Surg 1974; 693703. Shires GT. Proceedings of the second NIH Workshop on Burn Management. J Trauma 1979; 19(suppl 11): 8623. Deitch EA. The management of burns. N Engl J Med 1990; 323: 124953. Horton J W, Baxter CR, W hite DJ . Differenc es in cardiac res pons es to resus citation from burn s hock. Surg Gynecol Obstet 1989; 168: 20113. Zetterstrom H, Arturson G. Plasma oncotic pressure and plasma protein concentration in patients following thermal injury. Acta Anaesthesiol Scand 1980; 24: 28894.

2.

3.

4.

5. 6.

7.

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June 2009

109

REVIEW
Arif SK. Fluid management

severely burned patients. Ann Surg 1996; 223: 1425. 19. Cartotto RC, Innes M, Musgrave MA, et al. How well does the Parkland formula estimate actual f luid res us citation volumes? J Burn Care Rehabil 2002; 23: 25865. 20. Holm C, Tegeler J, Mayr M, et al. Effect of crystalloid resuscitation and inhalation injury on extravascular lung water: clinical implications. Chest 2002; 121: 195662. 21. Guha SC, Kinsky MP, Button B, et al. Burn resuscitation: crystalloid versus colloid versus hypertonic saline hyperoncotic colloid in sheep. Crit Care Med 1996; 24: 184957. 22. Aharoni A, Moscona R, Kremerman S, et al. Pulmonary complications in burn patients resuscitated with a low-volume colloid solution. Burns 1989; 15: 2814. 23. Alderson P, Schierhout G, Roberts I, et al. Colloids versus crystalloids for fluid resusc itation in critically ill patients. Coc hrane Databas e Sys t Rev 2000; 2:CD000567. 24. Alderson P, Bunn F, Lefebvre C, et al. (The albumin reviewers). Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critic ally ill patients . Coc hrane Databas e Sys t Rev 2000; 2:CD001208. 25. Shimazaki S, Yoshioka T, Tanaka N, Sugimoto T, Onji Y. Body fluid changes during hypertonic lactated saline solution therapy for burn shock. J Trauma 1977; 17: 3843. 26. Murphy JT, Horton JW, Purdue GF, et al. Cardiovascular effect of 7.5% sodium chloride-dextran infusion after thermal injury. Arch Surg 1999; 134: 10917. 27. Elgjo GI, Poli de Figueiredo LF, Schenarts PJ, et al . Hypertonic s aline dextran produces early (812 hrs) fluid sparing in

burn resuscitation: a 24-hr prospective, doubleblind study in sheep. Crit Care Med 2000; 28: 16371. 28. Elgjo GI, Traber DL, Hawkins HK, et al. Burn resuscitation with two doses of 4 mL/ kg hypertonic saline dextran provides s us tained fluid s paring: a 48-hour prospective study in conscious sheep. J Trauma 2000; 49: 25163. 29. Caldwell FT Jr. Hypertonic vs. hypotonic resuscitation. J Trauma 1979; 19(suppl 11): 874 [editorial]. 30. Caldwell FT, Bows er BH. Critical evaluation of hypertonic and hypotonic solutions to resuscitate severely burned children: a prospective study. Ann Surg 1979; 189: 54652. 31. Fluid replacement in burned patients. Acta Chir Plast 1996; 38:1326. 32. Griswold JA, Anglin BL, Love RT Jr, et al. Hypertonic saline resuscitation: efficacy in a community-based burn unit. South Med J 1991; 84: 6926. 33. Jelenko C III, Williams JB, Wheeler ML, et al. Studies in shock and resuscitation, I: use of a hypertonic, albumin-containing, f luid demand regimen (HALFD) in resuscitation. Crit Care Med 1979; 7: 15767. 34. Gunn ML, Hansbrough JF, Davis JW, et al . Pros pective, randomized trial of hypertonic sodium lactate versus lactated Ringers s olution f or burn shoc k resuscitation. J Trauma 1989; 29: 1261 7. 35. Crum R, Bobrow B, Shackford S, et al. The neurohumoral response to burn injury in patients resuscitated with hypertonic saline. J Trauma 1988; 28: 11817. 36. Huang PP, Stucky FS, Dimick AR, et al. Hypertonic s odium resusc itation is associated with renal failure and death. Ann Surg 1995; 221: 54354.

110

The Indonesian Journal of Medical Science Volume 2 No.2 April-June2009

Anda mungkin juga menyukai