Anda di halaman 1dari 17

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)
Fuel cell merupakan generator listrik berbasis energi hidrogen, yang ramah
lingkungan dan mempunyai efisiensi konversi yang cukup tinggi. Sumber hidrogen di
alam tidak terbatas jumlahnya, dan dapat dibuat dari berbagai sumber energi baru dan
terbarukan. Fuel cell sebagai generator listrik mempunyai kapasitas pembangkit yang
sangat lebar, dari yang berkapasitas mikro (mili Watt) hingga berkapasitas besar
(mega Watt), sehingga dapat digunakan dalam lingkup yang sangat luas. Fuel cell
telah mulai digunakan dalam berbagai bidang kegiatan, mahalnya beberapa
komponen utama fuel cell, sehingga kurang kompetitif secara ekonomi dalam
pemanfatannya.

Gambar 2.1 Skema Fuel Cell
7


Fuel cell adalah komponen elektrokimia yang mengubah energi pada reaksi
kimia secara langsung menjadi energi listrik, air dan panas. Mereka memiliki prinsip
yang sama dengan baterai namun bahan bakar dan oksidanya berada di luar, sehingga
memungkinkan fuel cell dioperasikan terus-menerus sepanjang reaktan terus disuplai.
Dalam sel bahan bakar (fuel cell) hidrogen adalah bahan bakar utamanya. Oksidasi
terjadi pada anoda membebaskan elektron yang mengalir melalui sirkuit luar menuju
katoda.
Sel bahan bakar adalah perangkat pembangkit listrik yang bekerja seperti
halnya baterai (aki), namum sel bahan bakar tidak perlu di charge dan akan
menghasilkan listrik dan kalor selama fuel yaitu gas hidrogen atau metanol
dialirkan. Sel bahan bakar terdiri dari dua elektroda yang berada dalam larutan
elektrolit. Membran elektrolit berada di antara dua elektrolit, yang berfungsi sebagai
penukar ion, yakni ion H
+
. Secara elektrolit, reaksi yang tejadi sebagai berikut :
Anoda : H
2
2 H
+
+ 2 e
-
Katoda : O
2
+ 2 H
+
+ 2 e
-
H
2
O
Reaksi total : H
2
+ O
2
H
2
O + energi listrik + kalor
2.1.1 Polimeric Electrolyte Membrane Fuel Cells (PEMFC)
Polymeric electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) disebut juga proton
exchange membrane fuel cell. Membran ini berupa lapisan tipis padat yang berfungsi
8


sebagai elektrolit pemisah katoda dan anoda. Membran ini secara selektif mengontrol
transport proton dari anoda ke katoda dalam sel bahan bakar. PEMFC mengandung
katalis platina. Selain itu, pada fuel cell ini tidak dipakai fluida yang bersifat korosif
seperti jenis sel bahan bakar lainnya.
Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM fuel
cell. Membran polimer ini dapat memisahkan reaktan dan menjadi sarana transportasi
ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga menghasilkan energi
listrik. Kemurnian gas hidrogen sangat mempengaruhi emisi buang sistem fuel cell
berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi memberikan tingkat emisi
yang mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat kemurnian
tinggi juga dapat memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan mencegah
pembentukan karbonmonoksida (CO
x
) yang beracun, pada permukaan katalis (Jamal,
2007).

Gambar 2.2 Skema PEMFC
9


Skema gambaran pada prinsip sel bahan bakar ditunjukkan pada Gambar 2.2
hidrogen sebagai bahan bakar yang dikonsumsi pada anoda, menghasilkan elektron
yang dialirkan ke katoda melalui rangkaian luar. Ion hidrogen masuk ke larutan
elektrolit dan tersebar ke katoda oleh aliran elektroosmotik. Pada katoda, oksigen
dikombinasikan dengan elektron dan proton dari aliran elektrolit untuk menghasilkan
air dan panas. Ionic liquids fuel cell (ILFs) merupakan sel bahan bakar berbasis
hidrogen dengan cairan ionik sebagai elektrolitnya, yang berfungsi sebagai media
untuk proton (H
+
) bermigrasi dari anoda menuju ke katoda. Pada penelitian
sebelumnya (Souza, 2003) telah melakukan penelitian mengenai cairan ionik
imidazolium sebagai media penghantar proton dalam sel bahan bakar.

Gambar 2.3 Diagram aplikasi sel bahan bakar pada berbagai bidang

Dengan kemajuan yang signifikan, kini sel bahan bakar telah diaplikasikan pada
berbagai bidang untuk memenuhi kebutuhan dan kemudahan bagi kehidupan
10


manusia. Diantaranya untuk transportasi air, udara dan laut serta pemenuhan
kebutuhan rumah tangga dan industri. Serta digunakan dalam berbagai bidang seperti
industri, kedokteran, transportasi hingga militer.
2.2 Kitosan
Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuan Perancis, Ojier, pada tahun 1823.
Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang,
kepiting, dan serangga.
Senyawa kitosan diperoleh dari proses deasetilisasi senyawa kitin. Kitin
adalah poliamino sakarida yang cukup banyak terdapat di alam setelah selulosa,
susunan molekulnya mirip dengan selulosa. Keterbatasan penggunaan kitin
disebabkan kitin sukar larut dalam beberapa pereaksi. Oleh karena itu kitin banyak
digunakan setelah ditransformasikan dalam bentuk kitosan. Gambar 2.4 menunjukkan
reaksi transformasi kitin menjadi kitosan.

Gambar 2.4 Reaksi Transformasi Kitin Menjadi Kitosan
Kitosan yang dapat diperoleh dari deasetilasi kitin merupakan biopolimer yang
potensial untuk dijadikan bahan dasar membran sel bahan bakar (fuel cell
11


membranes). Dikarenakan keunggulan material ini yang bersifat hidrofilik,
mempunyai ketahanan mekanik yang tinggi, mudah dimodifikasi secara kimia, ramah
lingkungan serta keberadaanya yang melimpah di alam.
2.2.1 Kitosan Sulfonat
Untuk meningkatkan konduktivitas membran kitosan dan menurunkan
permeasi terhadap metanol dalam aplikasi sel bahan bakar dilakukan proses sulfonasi
terhadap kitosan. Reaksi sulfonasi dapat diartikan sebagai suatu reaksi subtitusi untuk
mengganti atom hidrogen dengan gugus SO
3
H pada molekul organik melalui ikatan
kimia pada atom karbon. Syarat untuk terjadinya sulfonasi adalah keasaman fasa
yang harus dipenuhi, karena jika terjadi perbedaan fasa antara gugus sulfonasi dengan
polimer yang akan disulfonasi dapat menyebabkan reaksi sulfonasi mengalami
kegagalan. Selain itu dalam reaksi ini diperlukan suatu pelarut yang memiliki
kelarutan yang baik.
Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan senyawa yang memiliki gugus
sulfonat diantaranya yaitu asam sulfat (H
2
SO
4
), oleum, asetil sulfat, dan asam
klorosulfonat. Proses sulfonasi pun dapat dilakukan dengan 2 metode, metode
pertama yaitu metode konvensional dan metode yang kedua menggunakan bantuan
gelombang mikro (microwave oven). Hasil karakterisasi penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa membran kitosan sulfonat yang dihasilkan dengan metoda
konvensional memiliki sifat termal dan kapasitas penukar proton yang lebih tinggi
12


dibandingkan membran yang diperoleh dengan bantuan gelombang mikro. Namun
demikian, membran yang dihasilkan dari metoda pertama sangat rapuh. Sebaliknya,
membran kitosan tersulfonasi yang diperoleh dari hasil reaksi dengan bantuan
gelombang mikro mempunyai kekuatan mekanik yang baik untuk uji permeasi
selanjutnya. Data penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa membran kitosan sulfat
yang disintesis dengan gelombang mikro mempunyai nilai permeasi terhadap metanol
yang lebih rendah dibandingkan dengan membran kitosan tanpa sulfonasi (Velianti,
2008). Gambar 2.5 menunjukkan reaksi transformasi kitosan menjadi kitosan sulfonat
dengan asam klorosulfonat sebagai agen pensulfonasinya.

Gambar 2.5 Reaksi Transformasi Kitosan Menjadi Kitosan Sulfonat
Penelitian mengenai sintesis kitosan sulfat dengan bantuan gelombang mikro
telah dilakukan sebelumnya (Mansyur, 2009). Gelombang mikro digunakan untuk
membantu pemasukan gugus N-sulfo dan O-sulfo pada kitosan. Struktur kitosan
sulfonat yang didapatkan dengan gelombang mikro tidak jauh berbeda dengan
struktur kitosan. Karakterisasi penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan
menggunakan gelombang infra merah menghasilkan spektrum khas yang sama
13


dengan kitosan hanya berbeda serapan pada bilangan gelombang 1382,96 cm
-1
yang
menunjukkan vibrasi ulur ikatan SO
2
O-O- dan pada serapan 1018,41 cm
-1
yang
menunjukkan ikatan C-O-S. Selain itu, puncak gugus C=O yang terdapat pada
bilangan gelombang 1658 cm
-1
memiliki kesamaan antara kitosan dan kitosan
sulfonat menunjukkan bahwa rantai polimer tidak mengalami pemutusan ikatan.
2.2.2 Modifikasi Membran dengan Cairan ionik
Pemodifikasian membran Nafion

dengan cairan ionik 1-etil-3-


metilimidazolium (EMI) telah dilakukan oleh Bennett, et. al. ( ). Pemodifikasian
tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaruh cairan ionik pada membran Nafion


dengan cara identifikasi pada nilai konduktivitas membran dan morfologi membran.
Pemodifikasian dilakukan dengan cara meredam membran dalam cairan ionik /
metanol dengan perbandingan 1:1 (v/v) selama 3 jam pada suhu ruang dan pada suhu
70
o
C. Metanol dipilih karena dapat melarutkan cairan ionik dan sifatnya yang mudah
menguap. Membran kemudian dikeringkan pada suhu 110
o
C selama 3 jam untuk
menghilangkan metanol. Dilaporkan pula bahwa proses pemodifikasian membran
dengan cairan ionik akan lebih baik pada suhu tinggi, namun penguapan methanol
sangat cepat pada suhu 90
o
C, sehingga proses pemodifikasian tidak terkendali.



14


2.3 Cairan Ionik (Ionic Liquids)
Cairan ionik (ionic liquids) adalah suatu senyawa yang hanya memiliki
spesies ionik tanpa adanya molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion
(Hermanutz, et al., 2006). Dalam arti luas, istilah ini mencakup semua garam cair,
misalnya, lelehan natrium klorida pada suhu yang lebih tinggi dari 800 C. Namun,
pada saat ini, istilah "cairan ionik" digunakan untuk garam dengan titik lebur yang
relatif rendah (dibawah 100C). Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang
biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik
umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah
dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian,
cairan ionik (ILs) hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif
rendah, yaitu terletak pada suhu < 100 - 150
o
C (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz,
et al., 2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar lebih dikenal
dengan room-temperature ionic liquids (RTILs).
Keuntungan dari sifat yang dimiliki cairan ionik adalah memiliki rentang cair
besar, sekitar 300
o
C (-96 sampai lebih dari 200
o
C); memiliki kestabilan termal dan
elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material organik,
anorganik maupun polimer; tidak mudah menguap; tidak mudah terbakar; tidak
beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor); menunjukkan keasaman
Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi (Superacidity); dapat menjadi
katalis sekaligus sebagai pelarut; memiliki sifat selektif yang tinggi terhadap suatu
reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005; Lajunen, 2006; Pitner, 2004).
15


Sifat dari cairan ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan
anionnya (Murugesan dan Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik seperti kepolaran
atau hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation maupun anion
yang menyusunnya menjadikan cairan ionik dikenal sebagai tailored-made solvents
(Gordon, 2003).
. Jenis-jenis kation yang sering digunakan sebagai kation cairan ionik
diantaranya adalah sebagai berikut (Murugesan dan Linhardt, 2005):
N
N
R
2
R
1
+
[ N R
X
H
( 4 - X )
]
+
[ P R
X
H
( 4 - X )
]
+
[ S R
X
H
( 3 - X )
]
+
N
R
+
N
R
1
R
2
+
S
N
R
3
R
4
+
R
2
R
1
N
N
N
R
3
R
2
R
4
R
5
R
1
O
N
R
3
R
4
+
R
2
R
1
N
N
R
3
R
2
R
4
R
5
R
1
Am o n i u m S u l f o n i u m
P o s f o n i u m
Im i d a zo l i u m P i r i d i n i u m
P i k o l i n i u m T i a zo l i u m
T r i a z o l i u m
O k s a z o l i u m
P i r a zo l i u m
+
+

Gambar 2.6 Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik
Sedangkan jenis anion yang sering digunakan diantaranya adalah
tetraflouroborat [BF
4
]
-
, heksaflouroposfat ([PF
6
]
-
), heksafluoro antimonat ([SbF
6
]
-
),
nitrat ([NO
3
]
-
), tosilat ([Ots]
-
), triflat ([Otf]
-
), bromida (Br
-
), klorida (Cl
-
), iodida (I
-
),
triflouroasetat ([CF
3
CO
2
]
-
), perklorat ([ClO
4
]
-
), germanium klorida ([GeCl
3
]
-
),
bis(trifluorometilsulfonil) imida ([NTf
2
]
-
), aluminium klorida ([Al
2
Cl
7
]
-
), aluminium
16


tetraklorida ([AlCl
4
]
-
), asetat ([CH
3
CO
2
]
-
), dan benzoat ([C
6
H
5
CO
2
]
-
) (Murugesan dan
Linhardt, 2005).
2.3.1 Sintesis Cairan Ionik
Tahapan sintesis dari cairan ionik dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
pembentukan kation yang diinginkan dan pergantian anion untuk membentuk produk
yang diinginkan. Pada beberapa kasus, produk dapat langsung dihasilkan tanpa
melakukan tahap kedua seperti pada pembentukan etilammonium nitrat. Kebanyakan
kasus kation yang diinginkan secara komersil tersedia dalam harga yang wajar
(seperti garam halida, garam tetraalkilammonium dan trialkilsulfonium iodida), yang
hanya digunakan untuk reaksi pergantian anion. Reaksi yang digunakan untuk
mensintesis cairan ionik meliputi reaksi kuartenerisasi dan reaksi pergantian anion
(Gordon, 2003).
2.3.2 Reaksi Kuartenerisasi
Pembentukan kation dapat dihasilkan melalui protonasi dengan adanya
asam bebas atau kuartenerisasi dari amina atau fosfin, biasanya dengan haloalkana.
Reaksi protonasi, yang biasa digunakan pada pembentukan garam seperti
etilammonium nitrat, melibatkan penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian
didinginkan ke dalam larutan etilamin. Kelemahan proses ini yaitu dihasilkannya
residu amina yang tidak diharapkan (Gordon, 2003).
17


Pada prinsipnya, reaksi kuartenerisasi sangatlah sederhana, amin atau fosfin
dicampurkan dengan haloalkana yang diinginkan kemudian diaduk dan dipanaskan.
Garam halida yang dihasilkan pun dapat dengan mudah dirubah menjadi garam-
garam lain dengan anion yang berbeda (Gordon, 2003).
2.3.3 Reaksi Pergantian Anion
Reaksi pergantian anion dapat dibagi dalam dua kategori yaitu perlakuan
langsung dari garam halida dengan asam lewis dan pembentukan cairan ionik melalui
reaksi metatesis anion (Gordon, 2003).
2.3.3.1 Reaksi Asam Basa Lewis
Pembentukan cairan ionik dengan proses ini dilakukan dengan perlakuan dari
garam halida dengan asam Lewis (biasanya AlCl
3
). Proses yang umum dilakukan
yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q
+
X
-
dengan asam Lewis MX
n
menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang bergantung dari
perbandingan relatif dari Q
+
X
-
dan MX
n
. Pembentukan dari proses ini dapat
dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl
3
seperti reaksi
dibawah ini:
[EMIM]
+
Cl
-
+ AlCl
3
[EMIM]
+
[AlCl
4
]
-

[EMIM]
+
[AlCl
4
]
-

+ AlCl
3
[EMIM]
+

[Al
2
Cl
7
]
-

[EMIM]
+
[Al
2
Cl
7
]
--
+ AlCl
3
[EMIM]
+
[Al
3
Cl
10
]

18


Metode yang sering digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan
dengan pencampuran sederhana dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi
umumnya eksoterm, ketika menambahkan satu zat ke dalam zat lain haruslah dengan
sangat hati-hati. Walaupun garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari
lingkungan dapat menyebabkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini
dapat dicegah dengan pendinginan selama proses pencampuran, walaupun hal itu
dirasakan sangat sulit, atau bisa juga dengan menambahkan suatu zat ke dalam zat
lain dengan jumlah yang sedikit demi sedikit. Dekomposisi atau pengurangan jumlah
terjadi akibat adanya hidrolisis yang terjadi dalam cairan. Tetapi, hal yang biasa jika
produk yang dihasilkan tidak murni 100% atau terkontaminasi dengan pengotor. Hal
itu pun pasti terjadi pada sintesis cairan ionik, dan pengotor yang biasa
mengkontaminasi produk adalah pelarut organik (Gordon, 2003).
2.3.3.2 Reaksi Metatesis Anion
Reaksi metatesis anion biasanya terjadi pada garam-garam yang ditambahkan
dengan garam perak (AgNO
3
, AgNO
2
, AgBF
4
, Ag[CO
2
CH
3
] dan Ag
2
SO
4
) dalam
metanol atau larutan metanol. Pada beberapa aplikasi, produk akan berupa cairan
pada suhu ruangan. Kombinasi dari anion dapat menghasilkan perbedaan sifat termal
yang berbeda-beda (Gordon, 2003).



19


2.4 Fatty Imidazolinium sebagai Sistem Kation Baru pada Cairan Ionik
Kation fatty imidazolinium pada Gambar 2.6 (b) mempunyai struktur dan
fungsi yang sangat mirip dengan kation imidazolium Gambar 2.6 (a), berbeda hanya
pada gugus substituen pada N
3
[dengan adanya gugus amida, -[C(O)(NH)] pada
Gambar 2.6 (b) dan adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar Gambar 2.6 (a).
Garam fatty imidazolinium ini dapat disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi,
2006; Tyagi, et al., 2007), sehingga dimungkinkan untuk mendapatkan garam ini dari
minyak nabati terbarukan lokal.

Gambar 2.7 Struktur Kation Imidazolium (a) dan Fatty Imidazolinium (b)


Gambar 2.8 Struktur Molekul dari (i) Fatty Imidazoline dan (ii) Kation Fatty
Imidazolinium
3
2
1
N
C R X
-
N
C H
2
-C H
2
-NH-C -R
O
C H
3
N
C R X
-
N
R
C H
3
1
2
3
(a) (b)
(ii) (i)
20


Penggunaan iradiasi gelombang mikro (microwave irradiation) dalam sintesis
organik menawarkan beberapa keuntungan yaitu umumnya reaksi dapat berlangsung
dalam waktu yang singkat, rendemen yang diperoleh tinggi, dan kemurnian hasil
yang tinggi. Selain itu, reaksi kering (dry reaction) dalam microwave menarik
perhatian para peneliti karena dapat meminimalisir keracunan akibat penguapan dari
pelarut organik yang berbahaya bagi tubuh (Bajpai et al., 2008).
2.5 Mekanisme Pemanasan dengan Gelombang Mikro
Gelombang mikro merupakan salah satu bentuk energi elektromagnetik
dengan panjang gelombang antara 0,01 hingga 1 meter. Gelombang mikro terletak di
antara gelombang inframerah dan gelombang radio dan memiliki frekuensi berkisar
antara 0,3 samapai 30 GHz. Untuk penggunaan dalam laboratorium, frekuensi yang
sering dipakai adalah 2,45 GHz. Proses pemanasan dalam sintesis organik dengan
gelombang mikro melibatkan agitasi molekul polar atau ion yang bergetar dibawah
pengaruh medan magnet atau arus listrik yang bergetar. Dalam medan yang bergetar,
partikel-pertikel berusaha untuk mengorientasi diri agar menjadi sefasa. Gerakan
partikel-partikel dibatasi oleh gaya dalam partikel yang menghasilkan gerakan acak
hingga akhirnya menghasilkan panas.
Respon berbagai material terhadap radiasi gelombang mikro beragam dan
tidak semua material dapat mengalami pemanasan oleh gelombang mikro, hanya
material yang mengadsorpsi radiasi gelombang mikro saja yang sesuai dengan
microwave chemistry.
21


Material ini dikelompokkan berdasarkan mekanisme pemanasannya:
1. Polarisasi dipolar
Polarisasi dipolar merupakan proses menghasilkan panas oleh molekul polar.
Molekul polar yang berada dalam medan elektromagnetik yang berosilasi dengan
frekuensi yang sesuai berusaha untuk mengikuti medan dan menjajarkan diri agar
sefasa dengan medan. Adanya gaya dalam molekul menyebabkan molekul polar
tidak dapat mengikuti orientasi medan. Peristiwa tersebut menghasilkan pergerakan
partikel acak yang akan menghasilkan panas.
Polarisasi dipolar dapat menghasilkan panas dengan salah satu atau dua mekanisme
ini :
a. Interaksi antara molekul pelarut polar, seperti: air, methanol dan etanol
b. Interaksi antara molekul terlarut polar, seperti: ammonia dan asam format
Radiasi gelombang mikro memiliki frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz) untuk
mengosilasi partikel polar dan bernilai cukup besar untuk interaksi intermolekul.
Disamping itu, energi foton gelombang mikro sangat rendah (0,037 kkal/mol) relatif
terhadap energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan molekul (80-120
kkal/mol). Oleh karena itu, eksitasi molekul dengan gelombang mikro tidak
mempengaruhi struktur molekul. Interaksi yang terjadi murni kinetik.


22


2. Mekanisme konduksi
Panas dihasilkan karena adanya resistansi terhadap arus listrik. Medan
elektromagnetik yang bergetar menghasilkan getaran electron atau ion dalam
konduktor dan menghasilkan arus listrik. Arus yang masuk kedalam tahanan internal
akan memanaskan konduktor.
3. Polarisasi antar muka (Interfacial polaritation)
Mekanisme pemanasan jenis ini merupakan gabungan dari mekanisme
polarisasi dipolar dan mekanisme konduksi.
Keuntungan sintesis dengan gelombang mikro ialah laju reaksi meningkat
dengan adanya fenomena superboiling. randemen lebih tinggi, pemanasan lebih
merata, lebih ramah lingkungan, pemanasan lebih selektif karena respon tiap molekul
pada radiasi gelombang mikro berbeda-beda.
2.6 Konduktivitas Ionik
Konduktivitas listrik timbul karena adanya migrasi elektron atau migrasi ion.
Konduktivitas elektronik adalah konduktivitas listrik yang disebabkan migrasi
elektron-elektron. Sedangkan konduktivitas ionik adalah konduktifitas yang terjadi
karena adanya migrasi ion-ion. Konduktivitas ionik bergantung pada jenis ion yang
bermigrasi dalam material. Material disebut konduktor anionik jika ion-ion pembawa
muatan negatif yang bermigrasi sedangkan untuk ion-ion pembawa muatan positif
yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor kationik.

Anda mungkin juga menyukai