Anda di halaman 1dari 33

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada anak di negara berkembang termasuk
Indonesia. Diare didefinisikan sebagai buang air besar lembek atau cair tiga kali
atau lebih dalam waktu 24 jam (Badawi, 2009).
Proses ini diatur oleh beberapa hormon, yaitu resorpsi oleh enkefalin,
sedangkan sekresi diatur oleh prostaglandin dan neurohormon V.I.P (Vasoactive
Intestinal Peptide). Biasanya, resorpsi melebihi sekresi, tetapi karena sesuatu
sebab sekresi menjadi lebih besar daripada resorpsi, maka terjadilah diare.
Terganggunya keseimbangan antara resorpsi dan sekresi, dengan diare sebagai
gejala utama, sering kali terjadi pada gastroenteritis (radang lambung usus) yang
disebabkan oleh kuman dan toksinnya (Badawi, 2009).
Dewasa ini penggunaan obat modern sudah semakin menurun, hal itu
berbanding terbalik dengan penggunaan obat dari tanaman tradisional yang pada
saat ini semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan dari
sebagian masyarakat bahwa efek samping yang ditimbulkan oleh tanaman obat
tersebut tidak berbahaya, sehingga timbullah pemikiran dari masyarakat untuk
kembali ke cara alamiah dengan memanfaatkan tanaman obat sebagai salah satu
alternatif untuk mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit ( Winarto,
2003 ).
2


Obat tradisional adalah ramuan dari tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat
ataupun diperkirakan berkhasiat sebagai obat. Khasiatnya diketahui dari
pengalaman turun temurun ( Winarto, 2003 ).
Salah satu jenis tanaman yang berkhasiat obat adalah tanaman bungur
(Lagerstroemia speciosa Pers.). Tanaman ini banyak dijumpai sebagai peneduh
jalan. Di Jawa, bungur dapat tumbuh sampai ketinggian 800 m. Selain itu, bungur
banyak ditemukan pada ketinggian di bawah 300 m. Pohon, tinggi 10-30 m.
Batang bulat, percabangan mulai dari bagian pangkalnya, berwarna cokelat muda.
Daun tunggal, bertangkai pendek. Helaian daun berbentuk oval, elips, atau
memanjang, tebal seperti kulit, panjang 9-28 cm, lebar 4-12 cm, berwarna hijau
tua. Bunga majemuk berwarna ungu, tersusun dalam mulai yang panjangnya 10-
50 cm, keluar dari ketiak daun atau ujung ranting. Buahnya, berbentuk bola
sampai bulat memanjang, panjang 2-3,5 cm, beruang 3-7, buah yang masih muda
berwarna hijau, setelah masak menjadi cokelat. Ukuran biji cukup besar, pipih,
ujung bersayap berbentuk pisau, berwarna cokelat kehitaman. Bungur dapat
diperbanyak dengan biji, akan tetapi tanaman ini biasa digunakan untuk obat
diabetes mellitus. Dalam pengobatan tradisional sebagai obat antidiare, tanaman
bungur biasanya digunakan dalam bentuk rebusan. Biji tanaman ini dapat
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, dan antidiare. Pada biji bungur
mengandung metabolit sekunder flavonoid dan tanin (Dalimartha, 2003).
Pemanfaatan ekstrak etanol biji bungur (Lagerstroemia speciosa Pers)
sebagai obat diare masih secara empiris, dan penggunaannya sebagai obat
tradisional dalam masyarakat untuk mengobati diare sejauh kepustakaan yang
3


sudah ditelusuri belum ditemukan permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian secara ilmiah mengenai biji bungur sebagai obat diare
(Dalimartha, 2003).
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apakah pemberian ekstrak etanol biji bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.)
memiliki aktivitas sebagai antidiare?
2. Pada dosis berapa ekstrak etanol biji bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.)
memiliki aktivitas sebagai antidiare?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antidiare pada
ekstrak etanol biji bungur dengan metode uji diare oleum ricini dan mengetahui
pada dosis berapa ekstrak etanol biji bungur berkhasiat sebagai antidiare.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang
ekstrak biji bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) yang memiliki efek antidiare
terhadap mencit yang diinduksi oleum ricini dan dapat memberikan informasi
kepada penderita diare, kalangan medis serta masyarakat umumnya, tentang peran
biji bungur sebagai obat tradisional alternatif khususnya sebagai obat antidiare.
1.5. Metode Penelitian
1. Pengumpulan bahan tanaman
2. Determinasi tanaman
3. Pembuatan serbuk simplisia
4. Pembuatan ekstrak biji bungur
4


5. Penapisan fitokimia
6. Orientasi
7. Percobaan efek antidiare
1.6 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dari mulai bulan April 2013 sampai
dengan Juni 2013 di Laboratorium Farmakologi, Jurusan Farmasi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Al-Ghifari
Bandung.
5


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanaman Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.)
2.1.1 Penyebaran Tanaman, Nama Daerah dan Nama Asing
Bungur (Lagerstroemia) adalah tumbuhan sejenis pohon atau perdu yang
dikenal sebagai pohon peneduh jalan atau pekarangan. Bunganya berwarna merah
jambu, bila mekar bersama-sama akan tampak indah. Perbanyakan anakannya dari
biji yang keluar setelah proses pembungaan selesai. Bijinya berbentuk bulat
berwarna cokelat sebesar kelereng. Selain itu bisa juga diperbanyak dengan
pencangkokan (Pangkahila, 2007).

Gambar 2.1
Pohon Bungur (L. speciosa Pers.)

Ada dua jenis bungur yang populer sebagai tanaman hias pekarangan:
bungur biasa (L. speciosa) seperti yang tertera pada Gambar 2.1, pohon besar
mencapai 8 m, dan bungur Jepang (L. faurieri, L. indica, dan hibrida keduanya)
yang lebih kecil, berbentuk perdu. Nama Daerah Sumatera: bungur (Melayu),
bungur kuwal, bungur bener (Lampung), bungur tekuyung (Palembang). Jawa:


6


bungur (Sunda), ketangi, laban, wungu (Jawa Tengah), bhungor, wungur
(Madura). Nama Simpliasia, Lagerstroemiae speciosae Semen (biji bungur),
Lagerstroemiae speciosae Cortex (kulit kayu bungur), Lagerstroemiae speciosae
Folium (daun bungur). Bungur besar dulu juga banyak ditanam di pekuburan.
Kini selain ditanam sengaja dipinggir jalan raya dan halaman rumah, juga banyak
tumbuh liar di tepian sungai (Pangkahila, 2007).
Tanaman Bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.) dalam Ilmu Botani
diklasifikasikan sebagai berikut (Heyne, 1987) :
Divisi : Spermatophyta
Sub devisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Myrtales
Suku : Lythraceae
Marga : Lagerstroemia
Jenis : Lagerstroemia speciosa Pers.
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Tanaman ini banyak dijumpai sebagai peneduh jalan. Di Jawa, bungur
dapat tumbuh sampai ketinggian 800 m. Selain itu, bungur banyak ditemukan
pada ketinggian di bawah 300 m. Pohon, tinggi 10-30 m. Batang bulat,
percabangan mulai dari bagian pangkalnya, berwarna cokelat muda. Daun
tunggal, bertangkai pendek. Helaian daun berbentuk oval, elips, atau memanjang,
tebal seperti kulit, panjang 9-28 cm, lebar4-12 cm, berwarna hijau tua. Bunga
7


majemuk berwarna ungu, tersusun dalam malai yang panjangnya 10-50 cm, keluar
dari ketiak daun atau ujung ranting. Buahnya buah kotak, berbentuk bola sampai
bulat memanjang, panjang 2-3,5 cm, beruang 3-7, buah yang masih muda
berwarna hijau, setelah masak menjadi cokelat. Ukuran biji cukup besar, pipih,
ujung bersayap berbentuk pisau, berwarna cokelat kehitaman (Hariana, 2008).
2.1.3 Kandungan Kimia dan Khasiat
Daun bungur memiliki kandungan kimia, seperti saponin, flavonoid dan
tanin, sedangkan pada kulit batang bungur mengandung flavonoid dan tanin. Biji
bungur mengandung senyawa flavonoid, plantisul, dan tanin (Dalimartha, 2003).
Daun bungur berkhasiat sebagai kencing manis, kencing batu, hipertensi,
dan diare. Biji bungur berkhasiat hipertensi, sedangkan kulit kayu berkhasiat
sebagai diare, disentri dan kencing darah (Dalimartha, 2003).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikringkan simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati adalah simplisia berupa tumbuhan
utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Dit Jen POM, 2000).
2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok dari bahan mentah obat dan
menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan larut. Bahan
mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tidak perlu diproses
lebih lanjut kecuali dikumpulkan atau dikeringkan. Ekstrak mengandung berbagai
8


macam unsur, tergantung pada obat yang digunakan dan kondisi dari ekstrak
(Ansel, 2008).
Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan
penyari yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut: murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap
dan tidak mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang
dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat serta diperbolehkan oleh
peraturan. Cairan penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan secara terus
menerus mendesak larutan yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi keluar
(Depkes, 1986). Air dipertimbangkan sebagai penyari karena murah dan mudah
diperoleh, stabil, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, tidak beracun,
dan alamiah. (Depkes, 1986).
2.3.1 Ekstraksi Refluks
Refluks adalah salah satu metode dalam ilmu kimia untuk mensintesis
suatu senyawa, baik organik maupun anorganik. Umumnya digunakan untuk
mensistesis senyawa-senyawa yang mudah menguapa atau volatile. Pada kondisi
ini jika dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi
berjalan sampai selesai. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang
digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan
kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun
pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap
ada selama reaksi berlangsung (Poeloengan, 2007).
9


Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi
berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari
dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu
dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan
diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam
simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali
dan setiap kali diekstraksi selama 4 jam. Keuntungan metode refluks adalah
digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur keras,
dan tahan pemanasan langsung. Kerugian dari metode refluks adalah
membutuhkan sejumlah manipulasi dari operator (Poeloengan, 2007).
Prosedur dari sintesis dengan metode refluks adalah Semua reaktan atau
bahannya dimasukkan dalam labu bundar leher tiga. Kemudian dimasukkan
batang magnet stirer setelah kondensor pendingin air terpasang. Campuran diaduk
dan direfluks selama waktu tertentu sesuai dengan reaksinya. Pengaturan suhu
dilakukan pada penangas air, minyak atau pasir sesuai dengan kebutuhan reaksi.
Pelarut akan mengekstraksi dengan panas, terus akan menguap sebagai senyawa
murni dan kemudian terdinginkan dalam kondensor, turun lagi ke wadah,
mengekstraksi lagi dan begitu terus (Poeloengan, 2007).
Demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai
penyaringan sempurna. Penggantian pelarut dilakukan sebanyak 2 kali setiap 2-
2,5 jam Poeloengan, 2007).


10


2.4 Diare
2.4.1 Pengertian Diare
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan (mencret)
dan merupakan gejala-gejala dari penyakit tertentu atau gangguan lainnya.
Menurut tori klasik, diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, hingga
pelintasan kimus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat
meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penelitian lain menunjukkan bahwa penyebab
utama diare adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air
atau dan terjadinya hipersekresi. Pada keadaan normal, proses sekresi dan reosrpsi
dari air dan elektrolit-elektrolit berlangsung pada waktu yang sama di sel-sel.
(Elin, 2008).
Kelompok obat yang sering digunakan pada diare adalah (Elin, 2008):
1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab
diare. Seperti anti biotika, sulfonamida, kinolon, dan furazolidon.
2. obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan
beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk
resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus: candu dan alkaloidanya, derivat-
derivat petidin (difenoksilat), dan antikolinergika (atropin, ekstrak belladonna).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak
(tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan alumunium.
c. Adsorbensia, misalnya carbo adsorbens yang pada permukaannya dapat
menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau
11


yang adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan). Termasuk disini adalah juga
mucilagines, zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan lukanya dengan
suatu lapisan pelindung, umpamanya kaolin, pektin, (suatu karbohidrat yang
terdapat antara lain dalam buah apel) dan garam-garam bismut, serta alumunium.
3. Spasmolitika, yakni zat-zat dapat melepaskan kejang-kejang otot yang sering
kali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan
oksifenonium, epitel mukosa (Elin, 2008).
2.4.2 Penyebab Diare
Diare disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga perlintasan
kimus dipercepat dan masih banyak mengandung air pada saat meninggalkan
tubuh sebagai tinja. Selain itu, diare disebbakan karena bertumpuknya cairan di
gangguan keseimbangan ini, sering terjadi pada keadaan radang lambung-usus
yang disebabkan oleh kuman atau toksinnya.
Faktor-faktor yang menyebabkan diare (Sriyanto, 2004):
a. Virus
Misalnya influenza perut dan travelers diarrhea yang disebabkan oleh rotavirus
dan adenovirus. Virus melekat pada sel-sel mukosa usus, yang menjadi rusak
sehingga kapasitas absorpsi menurun dan sekresi air dan elektrolit memegang
peranan. Diare yang terjadi bertahan terus sampai beberapa hari sesudah virus
lenyap dengan sendirinya, biasanya dalam 3-6 hari.
b. Bakteri
Diare yang disebabkan oleh bakteri mulai berkurang terjadi karena meningkatnya
hygiene masyarakat. Bakteri-bakteri tertentu pada keadaan tertentu, misalnya
12


bahan makanan yang terinfeksi oleh banyak kuman menjadi invasif dan
menyerang kedalam mukosa. Di sini, bakteri-bakteri tersebut memperbanyak diri
dan membentuk toksin-toksin yang dapat direabsorpsi ke dalam darah dan
menimbulkan gejala-gejala, seperti demam tinggi, nyeri kepala dan kejang-kejang
disamping mencret berdarah dan berlendir. Penyebab utama dari jenis diare ini
adalah bakteri Salmonella, Sigella, Campylobacter, dan jenis Coli tertentu.
c. Parasit
Parasit yang sering menyebabkan diare seperti protozoa Entamoeba histolytica,
Giardia lambia, Cyptosporidium, dan Cyclospora, yang terutama terjadi di daerah
tropis atau sub tropis. Diare akibat parasit-parasit ini biasanya bercirikan mencret
cairan yang intermiten dan bertahan lebih lama dari satu minggu. Gejala lain
dapat berupa nyeri perut, demam, anorexia, nausea, muntah-muntah dan rasa letih
(malaise).
d. Enterotoksin
Diare jenis ini lebih jarang terjadi, tetapi lebih dari 50% dari wisatawan di
Negara-negara berkembang dihinggapi diare ini. Penyebabnya adalah kuman-
kuman yang membentuk enterotoksin, yang terpenting adalah E. coli dan Vibrio
cholera, dan sebagian kecil, Shigella, Salmonella, Compylobacter dan Entamoeba
histolytica. Toksin melekat pada sel-sel mukosa dan merusaknya. Diare jenis ini
juga bersifat selfimiting artinya akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
dalam lebih kurang 5 hari, setelah sel-sel mukosa yang rusak diganti dengan sel-
sel mukosa yang baru.

13


e. Penyakit
Sejumlah penyakit ada yang menyebabkan diare sebagai salah satu gejalanya,
seperti kanker usus besar dan beberapa penyakit cacing (misalnya penyakit cacing
gelang dan cacing pita).
f. Obat-obatan
Obat-obatan dapat menimbulkan diare karena efek sampingya, misalnya antibiotik
berspektrum luas (golongan ampisilin dan tetrasiklin), sitostatik, dan penyinaran
dengan sinar-X ( radioterapi).
g. Makanan
Makanan yang sulit diserap oleh usus akan mengakibatkan tekanan osmotik usus
meningkat sehingga menghalangi absorbs air dan elektrolit dan menimbulkan
diare. Alergi makanan, makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dengan
toksi bakteri dan makanan yang tercemar logam berat juga dapat menyebabkan
diare.
h. Pengaruh psikis
Keluhan dalam diare dapat timbul sebagai salah satu gejala penyakit atau sebagai
akibat kelainan jiwa atau psikologis, misalnya ketegangan jiwa, emosi, stress dan
lain-lain. Diare karena penyebabnya ini dikenal dengan istilah diare psikogenik.
Seseorang yang mengalami gangguan psikologi cendrung menyebabkan hidupnya
tidak teratur. Sering kali disertai dengan keadaan jiwa, yang tidak tenang, tidur
tidak nyeyak, makan yang tidak teratur dan lain sebagainya. Dalam keadaan
seperti ini terjadi rangsangaan berlebihan pada saraf-saraf terutama pada daerah
14


hipotalamus yang dapat menimbulkan hiperperistaltik. Karena meningkatnya
peristaltik maka absorpsi air dan elektrolit akan terganggu dan terjadilah diare.
i. Penyebab lain
Penyebab lain diare seperti terjadinya gangguan gizi dan kekurangan enzim-enzim
tertentu (Tan, 2002).
2.5 Metode Uji Aktivitas Antidiare
Terdapat dua metoda yang dapat digunakan dalam melakukan uji aktivitas
antidiare di antaranya:
A. Metoda Transit Intestinal
Metoda ini dapat digunakan untuk mengevaluasi aktivitas obat antidiare,
laksansia, antispasmodik, berdasarkan pengaruhnya pada rasio jarak usus yang
ditempuh oleh suatu pertanda (marker) dalam waktu tertentu terhadap panjang
usus keseluruhan pada hewan percobaan mencit atau tikus. Obat antidiare akan
memperkecil rasio, sedangkan laksansia dan obat antispasmodik akan
memperbesar rasio ini dibandingkan rasio pada hewan tanpa perlakuan
(Suryawati. S, 1993).
B. Metoda Proteksi Terhadap Diare oleh Oleum Ricini
Minyak jarak mengandung trigliserida dari asam risinoleat. Di dalam usu
halus trigiserida ini akan dihidrolisis oleh lipase pankreas menjadi gliserin dan
asam risinoleat sebagai surfaktan anionik yang bekerja mengurangi netto cairan
dan elektrolit serta menstimulasi peristaltik usus. Metoda pengujian aktivitas
antidiare di sini ditunjukkan terbatas pada aktivitas obat yang dapat menekan
peristaltik usus sehingga mengurangi frekuensi defekasi dan memperbaiki
15


konsistensi feses yaitu metoda proteksi terhadap diare yang diinduksi oleh oleum
ricini atau minyak jarak (Ganiswara, 1995).
Menurut Vogel (2002), metoda pengujian antidiare ada pula yang dilakukan
secara in vitro. Metoda ini digunakan untuk melihat apakah sampel uji dapat
membunuh mikroorganisme penyebab diare. Biasa dilakukan dengan metoda
cakram atau tabung. Sampel uji dioleskan pada media yang sudah ditanami
mikroba. Jika terlihat adanya hambatan pertumbuhan mikroba uji, maka dapat
disimpilkan bahwa sampel uji memiliki efek antidiare dengan cara membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroba penyebab diare.
2.6 Loperamida
Loperamida merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi 2-3
kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap SSP, sehingga tidak mengakibatkan
ketergantungan. Nama Merek: Amerol, Antidia, Colidium, Diadium, Diasec,
Imodium, Imomed, Imore, Imosa, Inamid, Lexadium, Licodium, Lodia, Loremid,
Motilex, Normotil, Normudal, Opox, Oramide, Primodium, Renamid. Xepare,
Zoroporm. Zat ini dapat menormalkan keseimbangan resorpsi-sekresi dari sel-sel
mukosa, yaitu memulihkan se-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke
keadaan resorpsi normal kembali. Mulai kerjanya lebih cepat, juga bertahan lebih
lama. Efek sampingnya sama tetapi praktis tidak timbul ( Tjay, 2002).
Loperamid adalah obat untuk memperlambat ritme pencernaan, sehingga
usus halus memiliki waktu lebih banyak untuk menyerap cairan dan nutrisi dari
makanan yang anda makan. Loperamid digunakan untuk mengobati diare.
Loperamid juga digunakan untuk mengurangi jumlah kotoran pada penderita yang
16


memiliki ileostomy (ileostomi merupakan pembukaan ileum ke dinding abdominal
melalui operasi sehingga merupakan saluran untuk mengeluarkan isi intestinal).

Gamabar 2.5
Struktur Kimia Loperamid HCl

Dosis Loperamid HCl : pada diare akut dan kronis: permulaan 2 tablet dari
2 mg, lalu setiap 2 jam 1 tablet sampai maksimal 8 tablet seharinya. Anak-anak
sampai 8 tahun: 2-3 dd 0,1 mg setiap kg bobot badan, anak-anak 8-12 tahun;
pertama kali 2 mg, maksimal 8-12 mg sehari. Tidak boleh diberikan pada anak-
anak di bawah usia 2 tahun, karena fungsi hatinya belum berkembang dengan
sempurna untuk dapat menguraikan obat ini.
Loperamide juga digunakan untuk kebutuhan lain yang tidak tercantum di
sini. Informasi penting antaralain dilarang menggunakan obat ini jika memiliki
alergi terhadap loperamid, atau jika memiliki kotoran yang menghitam, berdarah
atau diare yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik. Sebelum menggunakan
obat ini konsultasikan pada dokter jika pasien alergi terhadap obat apapun, jika
sedang demam, lendir pada kotoran, pernah mengalami penyakit hati, atau jika
sedang menggunakan antibiotik.
17


Minum lebih banyak air ketika menggunakan obat ini untuk menghindari
dehidrasi. Obat ini dapat membutuhkan waktu 48 jam penggunaan sebelum gejala
membaik. Untuk hasil terbaik, tetap gunakan obat ini secara langsung. Katakan
pada dokter jika gejala yang dialami tidak membaik setelah 10 hari penggunaan.
Loperamid dapat menyebabkan efek samping yang menurunkan cara berpikir atau
bereaksi. Hati-hatilah jika sedang menyetir atau melakukan sesuatu yang
membutuhkan kesadaran penuh.
Efek Sampingnya antara lain : gatal dengan bintik merah, sulit bernapas,
pembengkakan pada wajah, bibir, lidah atau tenggorokan. Hentikan penggunaan
obat ini dan hubungi dokter anda jika anda memiliki efek samping serius berikut :
nyeri pada perut atau perut kembung, diare yang memburuk atau berkelanjutan,
diare yang encer atau berdarah, demam, radang tenggorokan, dan sakit kepala
dengan lepuhan, pengelupasan, dan ruam kemerahan pada kulit.
2.7 Oleum Ricini
Oleum ricini atau castor oil atau minyak jarak berasal dari biji Ricinus
communis suatu trigliserida risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Didalam usus
halus minyak jarak dihodrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam
risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktif sebagai pencahar.
Minyak jarak juga bersifat emolien. Sebagai pencahar obat ini tidak banyak
digunakan lagi karena banyak obat yang lebih aman.minyak jarak menyebabkan
kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan
induksi diare pada penelitian diare secara eksperimental pada hewan percobaan
(Arif,1995).
18


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Hewan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas saring, corong,
spirtus, timbangan, tabung reaksi, seperangkat alat refluks, cawan petri, Vacum
Rotary Evaporator, penangas air, stopwatch, erlenmeyer, termometer, sonde oral
dan seperangkat alat gelas.
Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih jantan galur webster,
diperoleh dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Intitut Teknologi Bandung.
3.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia biji bungur,
etanol 70%,ammonia, kloroform, pereaksi Mayer, pereaksi Bouchardat, pereaksi
Dragendorff, serbuk magnesium, HCl 2N, amil alcohol, FeCl
3
, eter, vanillin 10%,
H
2
SO
4
pekat, KOH, pereaksi Liebermann-Buchard, loperamid, aquadest, dan
bahan sebagai penginduksi untuk aktivitas adalah oleum ricini.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penyiapan Sampel Tanaman
1. Pengumpulan Bahan Tanaman
Bahan yang digunakan simplisia biji bungur (Lagerstroemia speciosa
Pers.), bahan diambil dari perkebunan Cimanggu Balittro Bogor.






19


2. Determinasi Tanaman
Bahan dideterminasi di Herbarium Bandungense Sekolah Teknologi Ilmu
Hayati (STIH) Institut Teknologi Bandung.
3. Pembuatan Serbuk Simplisia
Bahan tanaman yang digunakan adalah simplisia biji bungur
(Lagerstroemia speciosa Pers.). biji bungur sebanyak 100 gram dihaluskan
menggunakan blender, kemudian diayak menggunakan ayakan mesh 20.
4. Pembuatan ekstrak biji bungur
Simplisia biji bungur kering sebanyak 100 gram dimasukkan kedalam dua
buah labu bundar masing-masing 50 gram di setiap labu bundar ditambah
etanol 70% 300 ml di setiap labu bundar dan direfluks selama 5 jam. Disaring
dan direfluks kembali dengan 250 ml etanol 70%. Hasil saringan dicampur dan
dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40
0
C dan 75 rpm, kemudian
dipekatkan kembali di atas cawan penguap sampai pekat. Setelah itu timbang
berat ekstraknya. (Nawawi, 2006)
3.3.2 Penapisan Fitokimia
Penapisan Fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak etanol biji
bungur untuk memeriksa adanya metabolit sekunder. Secara umum senyawa ini
meliputi alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin.
a. Alkaloid
Sampel dibasakan oleh ammonia, kemudian ditambahkan kloroform,
digerus kuat-kuat. Lapisan kloroform dipipet sambil disaring, kemudian ke
20


dalamnya ditambahkan asam klorida 2N. Campuran dikocok kuat-kuat hingga
terdapat dua lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi tiga bagian :
- Bagian pertama ditambahkan pereaksi Mayer. Bila terjadi endapan atau
kekeruhan putih, berarti simplisia kemungkinan terkandung alkaloid.
- Bagian dua ditambahkan pereaksi Dragendroff. Bila terjadi endapan atau
kekeruhan berwarna jingga kuning, berarti dalam simplisia kemungkinan
terkandung alkaloid. (Harbone, 2007).
b. Flavonoid
Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dicampur dengan serbuk
magnesium dan asam klorida 2N. Campuran dipanaskan di atas tangas air,
disaring. Kedalam filtrat dalam tabung reaksi ditambahkan amil alkohol, lalu di
kocok kuat-kuat. Adanya flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning
hingga merah yang dapat ditarik oleh amil alkohol (Harborne, 2007).
c. Saponin
Serbuk simplisia dan ekstrak, masing-masing ditambahkan aquades panas
10 ml kemudian didinginkan dan dikocok kuat selama 10 detik. Terbentuk busa
setinggi 1-10 cm yang stabil selama 10 menit. Pada penambahan 1 tetes asam
klorida 2 N, busa tidak hilang (Harbone, 2007).
d. Tanin dan Polifenol
Sampel ditambah dengan aquades panas aduk biarkan pada temperature
kamar, tambahkan 3-4 tetes NaCl 10% aduk dan saring. Sebanyak 10 mL filtrat
digabung dengan larutan FeCl3 1% yang akan membentuk warna hitam
kehijauan, yang menunjukkan tanin total (Harbone, 1984).
21


e. Steroid dan triterpenoid
Sampel digerus dengan eter, pipet sambil disaring. Filtrat ditempatkan
dalam cawan penguap, biarkan menguap hingga kering. Hasil pengeringan
ditambahkan pereaksi Liebermann-Bouchardat. Terjadinya warna ungu
menunjukkan adanya senyawa triterpenoid sedangkan adanya warna hijau biru
menunjukkan adanya senyawa steroid (Harbone, 1984).
f. Senyawa Kuinon
Sejumlah kecil sampel dalam tabung reaksi dipanaskan di atas penangas
air, kemudian disaring. Kedalam filtrat ditambahkan larutan KOH 5 %. Adanya
senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya kuning hingga merah (Harbone,
1984).
3.3.3 Orientasi
Orientasi merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan untuk
mengetahui dosis sebenarnya yang mampu memberikan efek antidiare pada
mencit percobaan. Hasil orientasi ini yang akan menjadi dasar pemilihan dosis
pada percobaan yang sebenarnya, untuk mendapatkan dosis terbaik.
3.3.4 Percobaan Efek Antidiare
Percobaan efek antidiare meliputi penyiapan hewan uji, penyiapan alat dan
bahan, dan pengujian efek antidiare.
Percobaan efek antidiare meliputi penyiapan hewan uji, penyiapan alat dan bahan,
dan pengujian efek antidiare.


22


i. Penyiapan hewan uji
Hewan percobaan yang dgunakan dalam penelitian adalah mencit putih jantan
sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 20-30 g.
ii. Penyiapan bahan
Penyiapan bahan-bahan meliputi suspensi PGA sebagai kontrol, suspensi
Loperamid HCl sebagai pembanding, ekstrak etanol biji bungur sebagai bahan
uji dan oleum ricini sebagai induktor.
iii. Pengujian efek antidiare
Dosis ekstrak etanol ditentukan berdasarkan orientasi pada hewan percobaan
terhadap parameternya, parameter yang diamati yaitu waktu muncul diare,
frekuensi konsistensi diare dan jumlah/bobot feses serta jangka waktu
berlangsung diare. Hasil orientasi dipilih variasi dosis sebanyak tiga dosis
sebagai pembanding suspensi loperamid HCl.
iv. Urutan penelitian sebagai berikut:
a) Mencit diadaptasikan dengan lingkungan penelitian selama 1 minggu
b) 2 jam sebelum penelitian, mencit dipuasakan selanjutnya dikelompokkan
menjadi 5 kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor.
c) Semua mencit diberikan oleum ricini secara oral.
d) 30 menit setelah pemberian oleum ricini, masing-masing kelompok diberi
perlakuan, yaitu kelompok 1 diberi oleum ricini sebagai kontrol positif,
kelompok 2 diberikan suspensi loperamid HCl dosis 0,0052 mg/20 g BB
mencit sebagai pembanding dan kelompok 3, 4 dan 5 masing-masing
diberikan ekstrak etanol biji bungur. Semua perlakuan diberikan secara oral.
23


e) Dilakukan pengamatan setiap 30 menit selama 4 jam meliputi saat mulai
terjadinya diare, frekuensi konsistensi diare, jumlah/ bobot feses, dan jangka
waktu berlangsungnya diare.
f) Hasil pengamatan dianalisis dengan metode statistik ANAVA.
24


DAFTAR PUSTAKA


Aditama Y.T., 1993., Patofisiologi Batuk. Jakarta : Bagian Pulmonologi FK UI,
Unit Paru RS Persahabatan, Jakarta.

Cherniack, 1997, Terapi Muktahir Penyakit saluran pernafasan,
diterjemahkan oleh Widjaja Kusuma, 208-209, Binarupa, Jakarta.

Dalimartha S., 1999, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia jilid 1, 126-129, Trubus
Agriwidya., Jakarta.

Dalimartha S., 2006, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia jilid 4, Trubus
Agriwidya., Jakarta.

Departemen Kesehatan RI., 2000., Acuan Sediaan Herbal., Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan., Jakarta.

Departemen Kesehatan RI., 1986., Sediaan Galenik., Departemen Kesehatan RI.
Halaman 10-12. Jakarta.

Di Piro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
2011, Pharmacotherapy : A Pathophysiology Approach, 8
th
edition.,
Appleton & Large, Stamford, Connecticut.

Dukes, H.H., 2004., The Physiology of Domestic Animal., 12
th
., Comstock
Publishing Associated Advision of Cornelic University Press., NewYork.

Ekawati, etty., 2006., Kajian Potensi Tumbuhan Obat Untuk Pengayaan
Materi Pembelajaran di Sekolah Kabupaten Cianjur., Sekolah
Paskasarjana Institut Pertanian Bogor.

Farnsworth, N.R. 1996., Biologycal and Phytochemical Screening of Plants.
J ournal of Pharmaceutical Science. 55(3). Pages 257-263.

Fauzi, Dodi A., 2008, Manfaat Tanaman Obat, EDSA Mahkota, Jakarta.

F. Dennis McCool., 2006., Global Physiology and Pathophysiology of Cough.
CHEST., vol. 129 no. 1 suppl 48S-53S

Frandson, D.R, Lee wilken. L., Anna Dee Fails., 2009., Anatomy and physiology
Farm Animals., seventh Edition., Wiley-Blackwell., USA.



25


Ganiswara, G.S., 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

Ganong, W.F., 2003, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, diterjemahkan oleh
Petrus Adrianto, Edisi 22, Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Harbone, J.B., 1996., Metode Fitokomia., Bandung: ITB.

Kusuma, Fauzi R, Muhammad Zaky., 2005, Tumbuhan Liar berkhasiat Obat,
Agromedia Pustaka., Jakarta.

Martin. A., Swarbick, J., Cammrata, A., 1993, Farmasi Fisik, Dasar-Dasar
Kimia Fisik dalam Ilmu Farmasi, diterjemahkan oleh Yoshita, 1079-1108,
Edisi ke-4, jilid 2, Penerbit UI, Jakarta.

Mutschler, E., 1991., Dinamika Obat., diterjemehkan oleh Matilda B, Widianto,
dan Anna Setiadi Ranti., Edisi 5., 518-920., ITB., Bandung.

Pal, Sudin., Debnath palit., 2011., Traditional knowledge and Bioresource
Utilization Among Lepcha in North Sikkim., Department of Conservation
biologi, Department of botany, Durgapur Government College., West
Bengal., 13-17., Journal NeBIO.

Price, A. S., 2006, Patofisiologi dalam Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Vol 2., Penerbit EGC, Jakarta.

Teodora D Balangcod., Ashlyn Kim D Balangcod., 2011., Ethnomedical
Knowledge of Plants and Healthcare Practices Among the Kalaguya Tribe
in Tinoc, I fugao, Luzon, Philippines., Vol 10., 227-238., Indian Journal of
Traditional Knowledge.

Tjay T.H., Rahardja, K, 2007. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya. 660-667. PT Gramedia., Jakarta.

Tyler, V.E, Brady, L.R, Robbers, JE., 2000., Pharmacognosy., 10
th
Ed., Lea &
Fegiber., Philadelphia.

Turner R.A. 1965 Screening methods in Pharmacology. Academic Press.,
NewYork.

Voight, R., 1995., Buku Pelajaran Teknologi Farmasi., edisi kelima.,
diterjemahkan oleh Soendani Noerono., Gadjah mada Univercity Perss.,
Yogyakarta.

Winarto, W.P dan Ir.Maria Surbakti., 2003., Khasiat Dan Manfaat Tanaman
Herbal.,Agro Media Pustaka., Jakarta.
26


LAMPIRAN 1
SKEMA ALUR PENELITIAN


Diagram Alur Penelitian Uji Mukolitik Infusa daun Baru Cina (Artemisia vulgaris Linn)

Di Infus
Skrining
Fitokimia

Daun Artemisia
vulgaris segar 10 g,
20 g, dan 30 g.
Di cuci dari
pengotor sampai
bersih
Ditiriskan dan
Dirajang
Irisan daun
Artemisia vulgaris
Infusa
Artemisia vulgaris
Uji Mukolitik
Mukus dalam dapar
fosfat pH 7 (20 :80)
Usus Sapi
Larutan dapar
Fosfat pH 7
Di bersihkan
Di urut-urut
Mukus Usus
Sapi



41
27


LAMPIRAN II
DETERMINASI TANAMAN BARU CINA (Artemisia vulgaris L).






42
28


LAMPIRAN III
GAMBAR TANAMAN BARU CINA









43
29


LAMPIRAN IV
HASIL INFUS DAUN BARU CINA


Hasil Infusa Dosis 10% Hasil Infusa Dosis 20%

Hasil Infusa Dosis 30%




44
30


LAMPIRAN V
HASIL STATISTIK UJI AKTIVITAS MUKOLITIK INFUS DAUN BARU CINA

Tabel 1 . Hasil Analisis Viskositas Infusa Daun Baru Cina Rpm 12

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Rata-rata
viskositas Lower Bound Upper Bound
Mucus 3 17.1833 .27538 .15899 16.4993 17.8674 25.18
asetilsistein 3 10.1833 .27538 .15899 9.4993 10.8674 12.18
dosis 1 3 15.1833 .27538 .15899 14.4993 15.8674 25.18
dosis 2 3 13.8167 .16073 .09280 13.4174 14.2159 18.82
dosis 3 3 12.1833 .27538 .15899 11.4993 12.8674 15.18
Total 15 13.7100 2.50287 .64624 12.3240 15.0960 25.20

Tabel 2. Hasil Analisis Viskositas Antar Perlakuan Infusa Daun Baru Cina Rpm 30

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Rata-rata
viskositas Lower Bound Upper Bound
Mucus 3 25.1833 .27538 .15899 24.4993 25.8674 25.18
asetilsistein 3 10.1833 .27538 .15899 9.4993 10.8674 10.18
dosis 1 3 20.1833 .27538 .15899 19.4993 20.8674 20.18
dosis 2 3 17.3500 .30414 .17559 16.5945 18.1055 17.35
dosis 3 3 12.1833 .27538 .15899 11.4993 12.8674 12.18
Total 15 17.0167 5.61540 1.44989 13.9070 20.1264 25.20

Tabel 3. Hasil Analisis Viskositas Antar Perlakuan Infusa Daun Baru Cina Rpm 60

N Mean
Std.
Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Rata-Rata
viskositas Lower Bound Upper Bound
Mucus 3 17.1833 .27538 .14899 16.4993 17.8674 17.35
asetilsistein 3 10.1833 .27538 .15899 9.4993 10.8674 10.02
dosis 1 3 15.1833 .27538 .15899 14.4993 15.8674 15.02
dosis 2 3 13.8167 .16073 .15899 13.4174 14.2159 13.76
dosis 3 3 12.1833 .27538 .15899 11.4993 12.8674 10.02
Total 15 13.7100 2.50287 .64624 12.3240 15.0960 10.00





45
31


LAMPIRAN V
HASIL STATISTIK UJI AKTIVITAS MUKOLITIK INFUS DAUN BARU CINA
(Lanjutan )

Tabel 4 . Hasil Analisis Selisih Viskositas Antar Perlakuan Infusa Daun Baru Cina Rpm 12
Selisih Viskositas Antar Perlakuan Viskositas Mukus (cPois)
Kelompok
(a)
P Nilai selisih
(a-b)
Kelompok
(b)
X SEM N
0,000* 13 0,16 K (+)
25,18 0,16 3 K (-)
- 0 0,16 D1
0,000* 6.36 0,09 D2
0,000* 10 + 0,16 D3
0,000

-13 0,16 K (-)


12,18 0,16 3 K (+)
0,000
t
-13 0,16 D1
0,000
t
-6.64 0,07 D2
0,000
t
-3 0,16 D3
- 0 0,16 K (-)
25,18 0,16 3 D1
0,000
t
13 0,16 K (+)
0,000
#
6.36 0,09 D2
0,000
#
10 0,16 D3
0,000* -6.36 0,09 K (-)
18,82 0,09 3 D2
0,000
t
6.64 0,09 K (+)
0,000
#
-6.36 0,09 D1
0,000
#
3.64 0,09 D3
0,000
*
-10 0,16 K (-)
15,18 0,16 3 D3
0,000
t
3 0,16 K (+)
0,000
#
-10 0,16 D1
0,000
#
-3.64 0,16 D2
Keterangan :
N : jumlah perlakuan
X SEM : Nilai rata-rata viskositas mukus SEM ( Standar Error Mean)
P : Angka uji kebermaknaan kelompok
* : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif ( p <0,05)
t : Berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p< 0,05)
# : Berbeda bermakna terhadap variasi dosis (p<0,05)
- : Tidak terjadi perubahan viskositas mukus
K ( -) : Kontrol negatif (Perbandingan larutan mukus 20% dengan dafar posfat pH 7 (20 :80))
K (+) : Kontrol Positif (Asetilsistein + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D1 : Dosis 1 ( Infusa daun baru cina 10% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D2 : Dosis 2 ( Infusa daun baru cina 20% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D3 : Dosis 3 ( Infusa daun baru cina 30% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
32


LAMPIRAN V
HASIL STATISTIK UJI AKTIVITAS MUKOLITIK INFUS DAUN BARU CINA
(Lanjutan )

Tabel 5. Hasil Analisis Selisih Viskositas Antar Perlakuan Infusa Daun Baru Cina Rpm 30
Selisih Viskositas Antar Perlakuan Viskositas Mukus (cPois)
Kelompok
(a)
P Nilai Selisih
(a-b)
Kelompok (b) X SEM N
0,000* 15 0,16 K (+)
25,18 0,16 3 K (-)
0,000* 5 0,18 D1
0,000* 7,8 0,18 D2
0,000* 13 0,16 D3
0,000

-15 0,16 K (-)


10,18 0,16 3 K (+)
0,000
t
-10 0,18 D1
0,000
t
-7,2 0,18 D2
0,000
t
-2 0,16 D3
0,000* -5 0,16 K (-)
20,18 0,18 3 D1
0,000
t
10 0,16 K (+)
0,000
#
2,8 0,18 D2
0,000
#
8 0,16 D3
0,000* -7,8 0,16 K (-)
17,35 0,18 3 D2
0,000
t
7,2 0,06 K (+)
0,000
#
-2,8 0,18 D1
0,000
#
5,2 0,16 D3
0,000
*
-13 0,16 K (-)
12,18 0,16 3 D3
0,000
t
2 0,16 K (+)
0,000
#
-8 0,18 D1
0,000
#
-5,2 0,18 D2
Keterangan :
N : jumlah perlakuan
X SEM : Nilai rata-rata viskositas mukus SEM ( Standar Error Mean)
P : Angka uji kebermaknaan kelompok
* : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif ( p <0,05)
t : Berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p< 0,05)
# : Berbeda bermakna terhadap perlakuan yang sama (p<0,05)
- : Tidak terjadi perubahan viskositas mukus
K ( -) : Kontrol negatif (Perbandingan larutan mukus 20% dengan dafar posfat pH 7 (20 :80)
K (+) : Kontrol Positif (Asetilsistein + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D1 : Dosis 1 ( Infusa daun baru cina 10% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D2 : Dosis 2 ( Infusa daun baru cina 20% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D3 : Dosis 3 ( Infusa daun baru cina 30% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
33


LAMPIRAN V
HASIL STATISTIK UJI AKTIVITAS MUKOLITIK INFUS DAUN BARU CINA
(Lanjutan )

Tabel 6. Hasil Analisis Selisih Viskositas Antar Perlakuan Infusa Daun Baru Cina Rpm 60
Selisih Viskositas Antar Perlakuan Viskositas Mukus (cPois)
Kelompok
(a)
P Nilai Selisih
(a-b)
Kelompok (b) X SEM N
0,000* 7.3 0,16 K (+)
17,35 0,15 3 K (-)
0,000* 2.3 0,16 D1
0,000* 3.6 0,16 D2
0,000* 7.3 0,16 D3
0,000

-7.3 0,15 K (-)


10,02 0,16 3 K (+)
0,000
t
-5 0,16 D1
0,000
t
-3.8 0,16 D2
- 0,00 0,16 D3
0,000* -2.3 0,15 K (-)
15,02 0,16 3 D1
0,000
t
5 0,16 K (+)
0,000
#
1.3 0,16 D2
0,000
#
5 0,16 D3
0,000* -3.6 0,15 K (-)
13,76 0,16 3 D2
0,000
t
3.8 0,16 K (+)
0,000
#
-1.3 0,16 D1
0,000
#
3.8 0,16 D3
0,000
*
-7.3 0,15 K (-)
10,02 0,16 3 D3
- 0,00 0,16 K (+)
0,000
#
-5 0,16 D1
0,000
#
-3.8 0,16 D2
Keterangan :
N : jumlah perlakuan
X SEM : Nilai rata-rata viskositas mukus SEM ( Standar Error Mean)
P : Angka uji kebermaknaan kelompok
* : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif ( p <0,05)
t : Berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p< 0,05)
# : Berbeda bermakna terhadap perlakuan yang sama (p<0,05)
- : Tidak terjadi perubahan viskositas mukus
K ( -) : Kontrol negatif (Perbandingan larutan mukus 20% dengan dafar posfat pH 7 (20 :80))
K (+) : Kontrol Positif (Asetilsistein + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D1 : Dosis 1 ( Infusa daun baru cina 10% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D2 : Dosis 2 ( Infusa daun baru cina 20% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7
D3 : Dosis 3 ( Infusa daun baru cina 30% + larutan mukus 20% dalam dafar posfat pH 7

Anda mungkin juga menyukai