Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bronkiolitis akut adalah infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan gejala
utama akibat peradangan bronkioli yang terutama disebabkan oleh virus. Sering
mengenai anak usia dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan,
Bronkiolitis akut yang terjadi dibawah umur satu tahun kira-kira 12 % dari seluruh
kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya.
Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran pernafasan bawah terbanyak
pada anak. Penyebab yang paling banyak adalah virus Respiratory Syncytial, kira-kira
45 55 % dari total kasus. Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Rhinovirus,
Adenovirus dan Enterovirus sekitar 20%.
Bakteri dan Mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. Belum ada
bukti bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis. Sekitar 70 % kasus bronkiolitis pada
bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat dirumah sakit, sedangkan sisanya
dirawat dipoliklinik. Sebagian besar infeksi saluran nafas ditularkan lewat droplet
infeksi. Infeksi primer oleh virus RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi
infeksi sekunder pada anak tahun-tahun pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 2 tahun di AS
pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di
RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 %
dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis dinegara-negara
berkembang hampir sama dengan di Amerika Serikat. Insiden terbanyak terjadi pada
musim dingin atau musim hujan di negara-negara tropis.
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Keadaan tersebut harus
dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan
asma akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan
anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan
bronkopneumonia yang disertai enfisema obstruktif dan gagal jantung.
2

Bronkiolitis virus dapat menyebabkan infeksi pernafasan berat pada masa kanak-kanak.
Walaupun demikian pada kondisi yang terbatas seringkali tidak memerlukan
pengobatan. Pada jumlah yang sedikit anak yang mendapatkan pengobatan penanganan
utama termasuk pemberian oksigen dan cairan yang adekuat dan pengawasan hati-hati
untuk mendeteksi sebagian anak yang mungkin memerlukan intervensi lebih.
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan mortalitas yang
tinggi terutama pada anak dengan resiko tinggi dan imunokompromise. Oleh karena itu
langkah preventif dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga
sedang dikembangkan vaksin virus. Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup
yang dilemahkan (attenuated live viral vaccines) mengalami hambatan karena
imunogenositas yang rendah dan kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi
tipe liar.
Bronkhiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini
karena antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4 6 minggu kehidupan,
kemudian akan menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi
saluran nafas bawah, terutama terhadap virus.
Prognosis dari bronkiolitis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penangangan
dan penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun dan prematuritas).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari bronkiolitis?
1.2.2 Bagaimana epidemiologi dari bronkiolitis?
1.2.3 Bagaimana manifestasi dari bronkiolitis?
1.2.4 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari bronkiolitis?
1.2.5 Bagaimana diagnosis dari bronkiolitis?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan dari bronkiolitis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari bronkiolitis
3

1.3.2 Untuk mengetahui epidemiologi dari bronkiolitis
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari bronkiolitis
1.3.4 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari bronkiolitis
1.3.5 Untuk mengetahui diagnosis dari bronkiolitis
1.3.6 untuk mengetahui penatalaksanaan dari bronkiolitis
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bronkiolitis
Bronkhiolitis adalah penyakit IRA bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada bronkiolus.
(1,2,4)
yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang
dari 2 tahun.
(3,7,8)
angka kejadian tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan
(2,3)

secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing.
(4,8)

bronkhiolitis bisa disertai dengan superinfeksi bakteri.
(1)

2.2 Epidemiologi Bronkiolitis
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2 24 bulan, puncaknya pada usia 2 8 bulan. Sembilan puluh
lima persen kasus terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75 % diantaranya
terjadi pada anak dibawah usia 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis
paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan
bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay,
yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli menyebutkan
63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.
(4)

Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 2 tahun di AS
pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di
rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan
17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-
negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insiden terbanyak terjadi pada musim
dingin atau pada musim hujan di negara-negara tropis.
(4,9)

Di RSU Dr. Soetomo penderita laki-Iaki lebih banyak. Faktor resiko terjadinya
bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah,
jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak
atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV,
dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. RSV menyebar melalui droplet dan
5

inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari
seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara
bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10
hari. Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin
sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003,
bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai bulan Mei.
(10)

Pada tahun 2005 pada pola rawat jalan umur 65 tahun 558 kasus atau 10.8 %.
(11)

Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun
adalah 21,7 per 1000 dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu
6,8 per 1000 pada usia 1 2 tahun. Lama perawatan adalah 2 4 hari, kecuali
pada bayi prematur dan kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB).
Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. Hal ini
ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O
2
juga pada bayi yang
terpapar asap rokok pasca natal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya
bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa
gestasi 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia bronkopulmoner
(bronchopulmonary displasia, BPD).
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih
banyak anak yang dititipkan ditempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri
yaitu perubahan virulensi strain RSV. Selain itu terdapat juga faktor perubahan kriteria
diagnostik terutama mikrobiologis dan panduan terapi serta turunya mortalitas bayi
prematur dan bayi dengan kelainan bawaan kompleks yang merupakan resiko tinggi
perawatan karena RSV.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di
negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan
ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang.
Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1 3 %.
(4)

2.3 Klasifikasi Dan Manifestasi Klinis
6

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan
bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu
makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk
paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit
makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa
atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan. Bayi mengalami
demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami
hipotermi.
(2,3,10)

Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,
kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak
dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat
ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh
paru yang hiperinflasi.
(2,10)
Ronkhi nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir
inspirasi atau pada permulaan ekspirasi.
(2,3)
Pada keadaan yang berat sekali suara
pernafasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hamper total.
(3)

Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.
(2)

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan berbagai skala klinis,
misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang
mengukur laju pernafasan/respiratory rate (RR), usaha nafas, beratnya wheezing dan
oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul Ainine dan Luyt adalah :
1. Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat
gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan diambil
rata-ratanya.
2. Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
3. Saturasi O
2
: dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1
menit, diambil rata-ratanya.
7

4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut
Lowell dkk.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).


Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai
berikut :
1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
2. Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi
berat)
3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik).
(4)

Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi :
bronkiolitis ringan dan bronkiolitis berat (R 60 x/ menit).
(1)

Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan,
sedang,
berat dengan tanda sebagai berikut
(5,12)
:
Tabel 1.
Klasifikasi Bronkiolitis
berdasarkan gejala klinis
Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat
- Kemampuan untuk
makan normal
- Sedikit atau tidak
ada gangguan
pernafasan
- Tidak kebutuhan
akan oksigen
tambahan (saturasi
O
2

> 95 %
- Gangguan
pernafasan sedang
dengan beberapa
kontraksi dinding
dada dan nafas
cuping hidung
- Hipoksemia ringan
dan dapat dikoreksi
dengan oksigen
- Mungkin
- Tidak dapat untuk
makan
- Gangguan
pernafasan berat,
dengan retraksi
dinding
dada yang jelas,
nafas cuping
hidung dan
dengkuran.
8

menampakkan
pernafasan yang
pendek ketika
makan
- Mungkin memiliki
episode apnoe
yang singkat
- Hipoksemia yang
tidak terkoreksi
dengan oksigen
tambahan
- Mungkin terdapat
peningkatan
frekuensi atau
episode
apnoe yang
panjang.
- Mungkin
menampakkan
peningkatan
kelelahan.



2.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya,
(4)
berdasarkan gambaran klinis, umur
penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat.
(10)

7.1. Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti
pilek ringan, batuk dan demam.
(4)
yang mengenai anak usia maksimal 24
bulan yang lebih banyak terkena adalah usia dibawah 12 bulan.
(7)
Satu
hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak nafas.
Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, merintih, nafas berbunyi, muntah
setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan.
(1,4,7)
Adanya riwayat
kontak dengan penderita infeksi saluran pernafasan atas.
(13)

Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24
bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi
virus misalnya batuk, pilek, demam dan
(4)
menyingkirkan pneumonia atau
riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
(10)

9

7.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah
adanya takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu diatas 38,5
0
C dan bisa
mencapai suhu 41
0
C. Selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis
ringan faringitis, dan otitis media.
(4,7)

Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernafasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan
menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu dapat
juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat
terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi
berusia (4,7) Selain itu ditemukan pernafasan yang pendek dan saturasi O
2

yang rendah dan tanda dehidrasi.
(13)


7.3. Pemeriksaan Penunjang
7.3.1. Laboratorium
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal
demikian pula dengan elektrolit. Pada pasien dengan peningkatan
lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.
(4,10)

Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan gangguan
pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik,
gejala kelelahan dan hipoksia.
(4,7)
Analisa gas darah dapat
menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis
metabolik jika terdapat dehidrasi.
(10)

Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid
antigen detection test (direct immunofluoresence assay dan enzyme
linked immunosorbant assay. ELISA). Atau polimerase chain
reaction (PCR), dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan
konvalesens.
(4)

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan
10

kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan hanya
memberikan hasil positif pada 50% kasus.
(10)

7.3.2. Radiologi
Foto Thorak diindikasikan pada :
- Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
- Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
- Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari.
(7)

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis
ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated).
Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, atau pneumonia
(patchy infiltrates). Tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat
ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi.
Dapat pula ditemukan gambaran ateletaksis terutama saat
konvalesens akibat secret pekat bercampur sel-sel mati yang
menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter
anteroposterior.
(4,6,10)

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan
diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada,
dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung
yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan
mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang
retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak
tersebar.
(10)

Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis perlu memperhatikan manifestasi
klinis yang dapat menyerupai penyakit lain, epidemiologi, rentang usia
terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.
(4,6)

2.5 Penatalaksanaan
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian
besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan,
11

penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila
perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, antiinflamasi seperti
kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV
immunoglobuline (polyclnal) atau humanized RSV monoclonal antibody
(palvizumad).
(2,4)

Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang
adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap.
Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3
bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi
suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian
antivirus.
(10)

Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis adalah meyakinkan pasien secara klinis
stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik. Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien
dengan akut bronkiolitis adalah :
- Pengawasan yang hati-hati terhadap status klinis
- Pemantauan saluran nafas (melalui penempatan posisi, pengisapan dan
pembersihan cairan).
- Pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat
- Edukasi orang tua.
(13)

- Untuk mendukung pasien anak
- Untuk mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul
- Untuk mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
- Untuk pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika terdapat
indikasi.
(8)


Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :
- Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
- Apnoe
12

- Ketidakmampuan untuk makan
- Keadaan sosial khusus
- Hypoxemia
- Pasien dengan kondisi dasar medis.
(7)

Pengobatan Suportif
A. Pengawasan. Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan
pengawasan sistem jantung paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag
pulse oxymetri.
(7,13)

B. Oksigenasi. Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi
hipoksia, sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat
gangguan perfusi ventilasi paru-paru.
(2)
Pemberian oksigen tambahan
direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap dibawah 91% dan
dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%.
(13)
Oksigenasi
dengan kadar oksigen 30 40 % sering digunakan untuk mengoreksi
hipoksia.
(2,8)
gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);
masker muka atau kotak kepala.
Jika mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap
dengan atau tanpa distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan
kecepatan tinggi, maka segera lakukan permintaan untuk penangan ICU
anak dengan pemasangan ventilator.
(5,8)

C. Pengaturan Cairan. Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah
dehidrasi akibat keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang
cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan
rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika
didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5
0
C). Cara
pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang
nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung
karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat lambung
yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus
dicegah terjadinya overload cairan.
(2,5,7)
Lakukan pemeriksaan serum
13

elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan penggantian
dengan cairan elektrolit.
(5)



Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat
untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin
adalah obat antivirus yang bersifat virus statik. Tetapi, penggunaan obat ini
masih kontroversial mengenai efektivitas dan keamanannya. The American
of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan
diperkirakan penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru
kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature. Ada beberapa
penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada penderita
bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin biasanya
dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan 2
jam 3 x/hari.
(2,4)

B. Bronkodilator
Peran bronkodilator sampai saat ini masih kontroversial.
(2,4,8)
Secara umum
jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6
bulan.
(5)
bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan
kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat
menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
(3)

Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi dengan bronkiolitis, yaitu
sekitar 68-96% bayi dipusat pelayanan pediatrik tersier di Kanada. Pada
survey yang dilakukan pada 88 pusat pelayanan pediatrik di Eropa, 54 pusat
pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada semua pasien dengan
bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan hanya menggunakan
14

bronkodilator pada pasien dengan resiko tinggi. Di Inggris dan Australia,
penggunaan bronkodilator lebih jarang.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan
sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan
bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi -adrenergik
dan agonis -adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik
selektif adalah :
- Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa,
membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan
sedikit efek pada ventilation perfusing matching.
- Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik
- Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
- Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
- Mengurangi sekresi kataral.
Beta agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 25 % pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi 2-agonis diberikan satu
kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis
ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi
paru yang jelas dan menetap.
(4)

C. Kortikosteroid
Tentang pemberian kortikosteroid masih belum ada keseragaman.
(3)
masing-
masing negara melakukan pemberian kortikosteroid disesuaikan dengan
masing-masing Panduan Nasional maupun konsensus yang berdasarkan
bukti.
(4)
Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid
sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih
dari 5 hari. Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan
tergantung dari studi penelitian. Sedangkan untuk penanganan pasien pada
intensive care unit dengan bronkiolitis berat pemberian steroid sistemik
15

dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid inhalasi (budesonide
& Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang merekomendasikan.
(7)

D. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis,
karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda
infeksi sekunder dan diberikan antibiotik spektrum luas.
(2,3,6,12)
Pemberian
antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang
resisten terhadap antibiotik tersebut.
(2)
Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara
intravena dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 4 bulan
kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.
(1)

Pengobatan Intensive Care Unit
Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :
- Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada
kelompok yang beresiko.
- Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau
adanya frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.
- Saturasi oksigen rendah yang menetap
- Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan
gangguan
pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO
2
2 > 50 mmHg; pH
(5,12)
Tabel 2.
Penatalaksanaan
Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala
(12)

Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat
-
Tidak memerlukan
penilaian lebih
-
Perawatan di
rumah sakit
-
Perawatan di rumah
sakit
16

lanjut
-
Perawatan dirumah,
jika orang tua
pasien mampu dan
sudah dijelaskan
serta mempunyai
kendaraan.
-
Berobat ulang ke
dokter setelah 2 3
hari kemudian

-
Berikan oksigen
sehingga saturasi
oksigen > 93 %
-
Pertimbangkan
pemberian cairan
intravena
-
Pengamatan
seksama terhadap
perburukan kondisi
-
Foto thorak
-
Aspirasi
nasopharyngeal
untuk virus
imunoflurorecency
dan kultur
-
Pemberian oksigen
sampai saturasi
oksigen > 95 %
-
Pengamatan
seksama untuk
antisipasi
kemungkinan
memerlukan
intubasi dan
pemakaian ventilator
-
Berikan cairan
intravena
-
Monitor system
cardiorespiratori
-
Foto thorak
-
Aspirasi
nasopharyngeal
untuk virus
imunoflurorecency
dan kultur
-
Pertimbangkan
pengawasan gas
pembuluh darah
arteri
-
Pertimbangkan
untuk konsultasi
perawatan ICU anak.


17


BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : IWA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tgl Lahir : Gianyar,1 Maret 2012
Umur : 1 tahun 3 bulan 8 hari
Alamat : Mas Bedulu, Gianyar
Agama : Hindu
Suku : Bali/Indonesia
MRS : 9 juni 2013 pukul 10.50 WITA
II. HETEROANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak Nafas
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dikeluhkan sesak mendadak sejak kemarin malam sehingga tidur pasien
terganggu dan dirasakan memberat tadi pagi. Untuk meringankan sesaknya
pasien dibawa ke dokter.
Riwayat panas sejak 2 hari yang lalu disertai batuk berdahak dan pilek.
Muntah(-), riwayat kejang (-), BAB (+)N, BAK (+)N, Makan/Minum (+)
2. Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya sejak umur 8 bulan
(ibu lupa berapa kali). Pernah dibawa ke IGD RSUD Sanjiwani dirawat jalan
dan boleh pulang. Pasien tidak memiliki riwayat atopi dan alergi obat ataupun
makanan.
3. Riwayat penyakit di keluarga :
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
18

4. Riwayat soial
Pasien merupakan anak ke 1. Pasien tinggal bersama dengan kedua orang
tuanya dan terdapat 2 kk dalam 1 lingkungan rumah. Lingkungan di sekitar
pasien dikatakan bersih. Ventilasi dikatakan cukup.
Riwayat pengobatan
Pasien saat ini dikatakan tidak sedang menjalani pengobatan selain terapi
untuk penyakit saat ini.
Riwayat persalinan
Penderita lahir cukup bulan (9 bulan), PSPT di Yayasan ditolong bidan,
langsung menangis. BBL: 2900 gr, lingkar kepala lupa, panjang badan
lupa. Tidak ada kelainan saat melahirkan .
Riwayat Imunisasi
BCG 1x, Polio 4 x, Hepatitis B 3x, DPT 3x, campak 1x
Riwayat nutrisi
ASI : 0 bulan - sekarang
Susu Formula : 3 bulan - sekarang
Bubur Susu : 3 bulan - sekarang
Makanan Dewasa : 6 bulan sekarang
Riwayat Tumbuh Kembang
- Menegakkan kepala : 3 bulan
- Membalikkan badan : 4 bulan
- Duduk : 7 bulan
- Merangkak : 8 bulan
- Berdiri : 9 bulan
- Berjalan : 11 bulan
- Bicara : 10 bulan

19

III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 120x/ menit, reguler, isi cukup
RR : 38x/ menit, reguler, tipe thorakoabdominal
Temp. Aksila : 36,5
o
C
Skala nyeri : 2

Status Antropometri
Berat Badan : 9 kg
Berat Badan Ideal : 9 kg
Panjang Badan : 76cm
Lingkar Kepala : 46cm
Lingkar Lengan Atas : 14cm
Menurut WHO Antro (Z-score):
BB/U : Z score -0,58 Gizi Baik
TB/U : Z score -0,66 Gizi Baik
BB/TB : Z score -0,41 Gizi Baik
Status Gizi
Status gizi baik menurut waterlow 100% (BBA X 100%)
BBI
20


Status Generalis
Kepala: normosefali
Mata: konjungtiva pucat (-/-), ikterus (-/-), hiperemis (-/-), cowong (-/-), air mata
saat menangis (+), RP (+/+ isokor)
THT : Telinga : Sekret (-)
Hidung: Nafas Cuping Hidung (-), sekret (-)
Tenggorokan: Tonsil : Sulit dievaluasi
Leher : Pembesaran kelenjar (-)
Mulut : mukosa bibir basah (+)
Thoraks:
Cor:
Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat, precordial bulging (-)
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS IV MCL Sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
Auskultasi: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo:
Inspeksi: simetris (+) saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi: gerakan dada simetris
Auskultasi: vesikuler (+/+), rales (+/+), wheezing (+/+)
Aksila: pembesaran kelenjar (-)
Abdomen:
Inspeksi: distensi (-)
Auskultasi: bising usus (+) Normal
Palpasi: hepar-lien tidak teraba, nyeri tekan (-), turgor normal
Ekstremitas: hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), sianosis (-), CRT < 2 detik.
Anus eritemanatum (-)
21


HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (RSUD Sanjiwani 03/06/2013 pk.13.00)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
WBC 11,47 m/mm
3
4-10,0
RBC 3,88 m/mm
3
4,-5,9
HGB 9,7g/dL 12,0-18
HCT 29,4% 35,0-54,0
MCV 75,8fL 83,0-98,0
MCH 25,0 Pg 25,0-33,0
MCHC 32,9 g/dL 28,0-36,0
RDW 11,7 % 8-12
PLT 328 m/mm
3
150-450
Lymphosit 36,9 % 15-40

dMonosit 12,5 (1-10)
Granulosit 50,6 (30-70)
GDA: 80 mg/dL
Foto Thorax : tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax pasien saat ini.
Diagnosis Klinis
Bronkiolitis akut + Anemia Hipokromik mikrositer + Gizi baik
PENATALAKSANAAN
22

MRS
Nebul Combiven
IVFD Dex S 12 tetes makro/m
Metil Preednisolon 3x10mg IV
Cefotaxim 3x300mg
Sanmol syr 4x3/4cth I
Kebutuhan cairan 900cc/hari 12,5 tpm
MONITORING DAN KIE
Monitoring: vital sign, Distres pernafasan. Hipoksia
Usulan pemeriksaanthoraks foto

KIE:
Penyakit
Gizi Makanan tinggi zat besi
Rencana terapi
Rencana pemeriksaan
Prognosis

Follow Up Pasien
Tgl. Perkembangan penyakit pasien/ follow up Tindakan/ terapi
10/6/13 S: sesak (+), Batuk(+), pilek(+), demam(-)
O:
St. present:
HR: 130 x/menit
RR: 38 x/menit
Tax: 36,7
0
C
St. general
D5 salin 12 tpm
Nebulizer 3 x 1 amp
comibivent
Cefotaxim 3 x 300
Metilprednisolon 3x10 mg
23

Kepala : normochepali
Mata : an -/-, ikt -/-
THT: NCH -, dalam batas normal
Thorax:
Cor: S1S2 normal regular tunggal,
murmur
Pul: ves +/+, rh -/-, wh+/+
Abdomen: distiensi -, BU + normal
A: Bronkiolitis akut
Sanmol 4x cth I

11/6/13 S: batuk (+), sesak (-), pilek (-), ma/mi +/+,
BAB/BAK +/+
O:
St. present:
HR: 128 x/menit
RR: 38 x/menit
Tax: 36,5
0
C
Kepala: normochepali
Mata: an -/-, ikt -/-
THT: NCH -, dalam batas normal
Thorax:
Cor: S1S2 normal regular tunggal,
murmur
Pul: ves +/+, rh -/-, wh +/+
Abdomen: distensi -, BU+ normal
A: Bronkiolitis akut
Terapi lanjut
RO Thorax
12/6/13 S: Sesak (-), Batuk (+), pilek (-), demam (-),
ma/mi +/+, BAB/BAK +/+
O:
Terapi lanjut
24

St. present:
HR: 86 x/menit
RR: 18 x/menit
Tax: 36
0
C
St. general:
Kepala: normochepali
Mata: an -/-, ikt -/-
THT: NCH -, dalam batas normal
Thorax:
Cor: S1S2 normal regular tunggal,
murmur-
Pul: ves +/+, rh -/-, wh +/+
Abdomen: distensi -, BU+ normal
A: Bronkiolitis akut
25

BAB III
PEMBAHASAN

Penderita bronkiolitis menurut definisinya merupakan infeksi saluran pernafasan
bawah yang ditandai dengan gejala nafas cepat, retraksi dinding dada, dan juga disertai
dengan wheezing. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya wheezing, nafas cepat dan
retraksi dinding dada, dikarenakan sebelum pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani
pasien telah lebih dahulu diberikan bronkodilator (combivent) di praktek dokter yang
dikunjungi sebelumnya. Gejala klinis yang dapat diamati di IGD hanya terdapat rhonki
pada kedua lapang paru.
Menurut epidemiologinya, penderita bronkiolitis paling sering menyerang bayi pada
umur 2-24 bulan, puncaknya adalah pada umur 2-8 bulan. Sembilan puluh lima persen
kasus terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak
dibawah usia 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi
pada bayi laki-laki berusia 3 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup
dilingkungan padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa
bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali
lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli menyebutkan 63% kasus
bronkiolitis adalah laki-laki. Pasien ini berumur 1 tahun 8 bulan 3 hari, dengan jenis
kelamin laki-laki. Jadi dapat dikatakan bahwa pasien ini masuk dalam kriteria
bronkiolitis dari segi epidemiologi.
Pada manifestasi klinis, bayi biasanya mengalami demam ringan atau tidak demam
sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. Terjadi distres nafas dengan
frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga
biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing
yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop. Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Ronkhi nyaring
halus kadang-kadang terdengar pada akhir inspirasi atau pada permulaan ekspirasi. Pada
26

keadaan yang berat sekali suara pernafasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan
obstruksi hampir total. Ekspirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar
dengan jelas. Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan suara rhonki dan wheezing
pada kedua lapang paru walaupun terdengar lemah karena sebelumnya sudah diberikan
terapi bronkodilator sebelum dibawa ke IGD RSUD Sanjiwani. Sedangkan untuk vital
sign ditemukan keadaan umum pasien lemah, Respiratory rate (RR) 38x/menit, Heart
rate (HR) 120x/menit regular, isi cukup, temperature axila (Tax) 36,5
0
C. Dikatakan 2
hari sebelum pasien ke IGD, pasien sempat dikeluhkan demam dan disertai dengan
batuk berdahak serta pilek. Klasifikasi bronkiolitis dapat dibagi menjadi ringan sedang
berat sesuai dengan gejala klinisnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan berikut
ini.

Tabel 1.
Klasifikasi Bronkiolitis
berdasarkan gejala klinis
Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat
- Kemampuan untuk
makan normal
- Sedikit atau tidak
ada gangguan
pernafasan
- Tidak kebutuhan
akan oksigen
tambahan (saturasi
O
2

> 95 %
- Gangguan
pernafasan sedang
dengan beberapa
kontraksi dinding
dada dan nafas
cuping hidung
- Hipoksemia ringan
dan dapat dikoreksi
dengan oksigen
- Mungkin
menampakkan
pernafasan yang
pendek ketika
makan
- Mungkin memiliki
episode apnoe
yang singkat
- Tidak dapat untuk
makan
- Gangguan
pernafasan berat,
dengan retraksi
dinding
dada yang jelas,
nafas cuping
hidung dan
dengkuran.
- Hipoksemia yang
tidak terkoreksi
dengan oksigen
tambahan
- Mungkin terdapat
peningkatan
frekuensi atau
episode
apnoe yang
27

panjang.
- Mungkin
menampakkan
peningkatan
kelelahan.
Pada pasien ini gejala klinis yang nampak pada pemeriksaan adalah adanya gangguan
pernafasan yang minimal. Kemampuan untuk makan dan minum masih baik, saturasi
oksigen pada saat pemeriksaan tidak bisa dievaluasi dikarenakan ketidakadaan alat di
IGD. Sesuai dengan tabel. 1 pasien ini masuk kriteria bronkiolitis ringan.
Pada penyakit bronkiolitis ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
yakni:
1. Pemeriksaan darah lengkap, digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis
dan memeriksa keadaan hemostasis pasien secara keseluruhan.
2. Pemeriksaan AGD, digunakan untuk mengetahui tingkat saturasi oksigen dalam
darah penderita bronkiolitis. Biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami
distress nafas berat.
3. Pemeriksaan radiologi (Foto Rontgen), digunakan untuk mengetahui keadaan
paru-paru dan jantung pasien.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan foto rontgen. Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan adanya leukositosis dengan nilai 11,47 M/mm
3
(rentang normal 4.00-10.00), RBC turun dengan nilai 3,88 M/mm
3
(rentang normal 4,0-
5,9), HBG turun dengan nilai 9,7 g/dl (rentang normal 12,0-18,0), Hct turun dengan
nilai 29,4 % (rentang normal 35-54), MCV turun dengan nilai 75,8 fl (rentang normal
83,0-98,0), MCH 25,0 (rentang normal 25,0-33,0). Dari pemeriksaan darah tersebut
dapat di intepretasikan adanya leukositosis da nada anemia hipokromik mikrositer. Pada
hasil foto rontgen didapatkan hasil tampak corakan bronchovasikuler pada kedua
lapangan paru normal, cor : bentuk dan ukuran normal, kedua sinus dan diafragma baik.
Kesan yang didapatkan adalah tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax pasien
saat ini.
Mendiagnosis pasien dengan bronkiolitis dapat dilakukan dengan melakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang untuk lebih menguatkan hasil yang
ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis pada pasien ini
28

ditemukan adanya keluhan sesak nafas, disertai dengan panas dari dua hari yang lalu
dan ada batuk pilek yang menyertai. Dari pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum
pasien lemah, ditemukannya suara wheezing dan rhonki pada kedua lapang paru, serta
dari pemeriksaan penunjang yang telah dijelaskan diatas.
Penatalaksanaan pasien dengan bronchiolitis dapat dilakukan terapi suportif dan
medikamentosa. Untuk terapi suportif dapat dilakukan dengan pemasangan pulse
oxymetri untuk pengawasan sistem jantung paru dan jika ada indikasi pemasangan.
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia, sehingga
memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi ventilasi paru-paru.
Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika saturasi oksigen menetap
dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen menetap diatas 94%. Oksigenasi
dengan kadar oksigen 30 40 % sering digunakan untuk mengoreksi hipoksia.

Gunakan
nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m); masker muka atau kotak kepala.
Untuk terapi medikamentosa, pasien dengan bronkiolitis dapat diberikan antivirus,
bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik. Pada pasien ini diberikan bronkodilator
yakni combivent dengan cara pemberian menggunakan nebulizer sebanyak 3 x 1 respul.
Pasien ini juga diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada
bronkiolus penderita, diberikan sebanyak 3 x 10 mg. Pasien ini juga diberikan antibiotik
yakni cefotaxim dengan jumlah pemberian 3 x 300 mg. Selain obat-obatan tersebut juga
diberikan obat simtomatik untuk meredakan batuk dan panasnya yakni ambroxol sirup 3
x CTH I, Sanmol 4 x CTH I.
Pada pasien dengan bronkiolitis juga harus diperhatikan kebutuhan cairan tubuhnya.
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan
lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi
dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan cairan 20 % dari kebutuhan
rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau menetap (suhu > 38,5
0
C). Cara
pemberian cairan ini bisa secara intravena atau pemasangan selang nasogastrik. Akan
tetapi harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan
menambah sesak nafas, akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke
paru-paru. Selain itu harus dicegah terjadinya overload cairan.
(2,5,7)
Lakukan
pemeriksaan serum elektrolit dan jika mendapatkan nilai yang tidak normal lakukan
29

penggantian dengan cairan elektrolit. Pada pasien ini telah dilakukan usaha untuk
mencegah dehidrasi dengan memberikan cairan IVFD D5 S 12 tpm.
30

BAB IV
KESIMPULAN

1. Bronkhiolitis adalah penyakit IRA bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari
2 tahun. Paling sering terjadi pada usia 2 24 bulan, puncaknya pada usia 2 8
bulan. Pasien ini berumur 1 tahun 8 bulan 3 hari dengan jenis kelamin laki-laki, jadi
dapat dikatakan cocok dengan kriteria definisi dan epidemiologi dari bronkiolitis itu
sendiri.
2. Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada
dan whezing. Pada pasien ini hanya ditemukan adanya wezing yang terdengar
minimal pada lapang paru. Ini dikarenakan sebelum ke IGD pasien sebelumnya
sudah mendapatkan terapi bronkodilator.
3. Klasifikasi bronkiolitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Pembagian
ini dimaksudkan agar terapi yang diberikan dapat memfasilitasi pasien sesuai
dengan keadaan umumnya.
4. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis,
umur penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat
5. Penatalaksanaan pasien dengan bronkiolitis dapat dilakukan dengan terapi suportif
dan medikamentosa.

Anda mungkin juga menyukai