(Perspektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak)
Oleh : FARHAN NIM : 105044101364
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM UI N SYARI F HI DAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M PENELANTARAN TERHADAP ANAK (Perspektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : FARHAN NIM : 105044101364
Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II
Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sri Hidayati, M.Ag. NIP. 1977202241998031003 NIP. 197102151997032002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM UI N SYARI F HI DAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Penelantaran Terhadap Anak (Perspektif Hukum Islam dan Undang Undang RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 dan 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.
Jakarta, 18 Maret 2010 Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (..............................) NIP. 195003061976031001
Pembimbing I : Kamarusdiana, S.Ag., MH (..............................) NIP. 197202241998031003
Pembimbing I : Sri Hidayati, M.Ag. (..............................) NIP. 197102151997032002
Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM (..............................) NIP. 195505051982031012
Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (..............................) NIP. 195003061976031001
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur selalu penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Robbi yang atas segala nikmat-Nya kita dapat melaksanakan segala aktifitas sehari-hari, kepada-Nya kita memohon ampunan, kepadaNya pula kita memohon perlindungan. Shalawat teriring salam haturkan kepada Nabi dan Rasul junjungan, sang reformis Islam Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan serta para pejuang Islam di jalan Allah yang selalu istiqomah hingga akhir zaman. Dengan mengucap syukur Al-hamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Penelantaran Terhadap Anak (Studi Komparatif Antara Hukum Islam Dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana S1, Sarjana Hukum Islam (S.H.I) di Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam proses pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan bahan- bahan (data) dan lain sebagainya. Berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi dan tentunya dengan se-izi Allah SWT. Dalam kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Sekretaris Jurusan serta Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan pengarahan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan skripsi ini. 4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini dengan meluangkan waktu dan pikirannya. 5. Khusus kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta, H. Fathurrachman yang telah berjuang dengan keringat dan air mata demi pendidikan penulis. Ibunda tercinta Tihani yang telah mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Kepada keduanya penulis mengucapakan terima kasih yang sangat atas segala perhatian, baik berupa moril ataupun materil yang selalu tercurahkan kepada penulis. 6. Terima kasih kepada Rosma Dewi S.E., yang selalu menjadi sumber inspirasi dan memotivasi penulis, dikala langkah ini terasa gontai dalam menghadapi penatnya kehidupan. Tawa, canda, kegelisahan dan kesedihan selalu bisa ku lalui bersamamu. Semoga kita selalu bisa menghadapi dan menyelesaikan segala masalah berdua. Ayah sayang kamu bunda. 7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan UIN, dan Bagian Tata Usaha (TU) Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan yang cukup baik. 8. Terima kasih kepada teman-teman yang akan selalu menjadi kenangan, yang telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan dan persahabatan penulis. 9. Teman-teman Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah angkatan 2005 yang selalu memberi motivasi dan dukungan moril dalam penulisan skripsi ini agar segera dapat terselesaikan. Terima kasih juga atas kebersamaan selama berada di kampus tercinta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan memilki keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Demikian pula penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 03 Maret 2010 Penulis OUT LINE
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Pembatasan dan Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Review Studi Terdahulu E. Kerangka Teori F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK A. Pengertian PenelantaranAnak B. Kriteria Penelantaran Anak C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak BAB III : SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENELANTARAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi 1. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Hukum Islam 2. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut UndangUndang B. Tujuan Sanksi 1. Tujuan Sanksi Menurut Hukum Islam 2. Tujuan Sanksi Dalam Undang-Undang. C. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak 1. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak Dalam Hukum Islam 2. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak Dalam Undang- Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. D. Persamaan dan Perbedaan BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan wanita. 1 Dari keluarga itu juga akan akan melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan kehidupan salanjutnya. Dengan lahirnya individu baru tersebut maka akan menimbulkan sebuah tanggung jawab yang besar yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang tuanya. Walaupun Indonesia bukan merupakan negara Islam akan tetapi Indonesia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehingga dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya penduduk Indonesia yang beragama Islam akan berhadapan dengan dua hukum yang berbeda orientasinya, seperti halnya dalam permasalahan tentang anak. Pada hakikatnya dunia anak adalah dunia bermain. Dunia yang identik dengan kebebasan dan kreativitas. Anak selalu ingin bergerak
1 H. Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. ke-2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), h. 239 sesuai dengan nalurinya untuk merespon apa yang ditangkap oleh panca indra atau kesehariannya, misalnya : ia bermain pasar-pasaran dengan kawan-kawannya, itu adalah sebuah permainan asosiasi hasil pengalaman melihat pasar ketika ia diajak oleh ibunya untuk berbelanja, lewat imajinasi seperti itulah anak berusaha untuk melakukan suatu konstruksi atas realitas yang mereka saksikan sendiri, sebuah pekerjaan kreatif. 2
Persoalan mengasuh anak tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun menyangkut hartanya, perkara mengasuh anak yaitu dalam arti mendidik dan menjaganya. 3 Kewajiban mendidik serta merawat anak merupakan amanat yang dibebankan Allah pada pundak ayah dan ibu. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid mengutip perkataan Imam al- Ghazali dalam risalah beliau yang berjudul Ayyuha al Walad mengatakan bahwa: Makna mendidik (tarbiyah) serupa dengan pekerjaan seorang petani yang membuang duri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan
2 MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, cet. ke-1 (Yogyakarta: Purwanggan, 2001), h.10
3 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, pen: Masykur A.B.dkk, cet. ke-3, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004), h. 415
asing atau rerumputan yang mengganggu tanaman, agar ia bisa tumbuh dengan baik dan membawa hasil yang sempurna. 4
Kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akalnya (kecerdasan berfikirnya), ulama fiqih menetapkan bahwa kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki oleh kaum wanita, karena naluri kewanitaan mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibandingkan kesabaran laki-laki. Selanjutnya ulama fiqih juga mengatakan apabila anak tersebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat, mendidik dan menghadapi berbagai macam persoalan anak tersebut sebagai pelindung. 5
Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil, belum mumayyiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik maka akan berakibat
4 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak, alih Bahasa Salafuddin Abu Sayyid , cet. ke-5, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h. 22 5 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeven, 2001), h. 345
buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara dan dididik dengan baik. 6
Sebagai negara hukum, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum guna melindungi anak-anak Indonesia, diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 20, pasal 20A ayat (1), pasal 21, pasal 28B ayat (2), pasal 34. 2. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak. 3. Undang-Undang RI No 7 Tahun 1984, Tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. 4. Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak. 5. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1997, Tentang Penyandang Cacat. 6. Undang-Undang RI No 20 Tahun 1999, Tentang Pengesahan Konvensi ILO Convention (mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja). 7. Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
6 Ibid., h. 415 8. Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. 9. Kepres R.I. No 59 Tahun 2002, (R.A.N. Penghapusan Bentuk_bentuk Terburuk Pekerjaan Anak). 10. Kepres R.I. No 88 Tahun 1999, (R.A.N. Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak). 7
Namun demikian status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal anak adalah pewaris dan penerus masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk, dunia anak yang seharusnya diwarnai dengan kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan. 8
Di Indonesia anak-anak mengalami persoalan yang kompleks. Secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi menindas, gambaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi Hak Anak masih jauh dari kenyataan, mereka masih menjadi bagian yang terpinggirkan, tereksploitasi, terepresi oleh lingkungan dan budaya di mana mereka hidup; seperti dalam keluarga, masyarakat, pendidikan formal di
7 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h. 13
8 Ibid., h. 15 sekolah dan sektor kehidupan lainnya. Modernisasi di negeri ini belum memperhatikan persoalan anak dengan baik, justru yang terjadi mereka menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung. 9
Kemiskinan, yang sering kali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran dan tekanan mental, umumnya dipandang sebagai faktor yang dominan yang mendorong terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. 10 Kekerasan terhadap anak sering kali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (structural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse), dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural. 11
Kekerasan struktural adalah kekerasan sistemik dan tidak tampak, namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian dan penderitaan yang luar biasa luas dan berjangka panjang terhadap anak. Kekerasan struktural yang sering disebut dengan system abuse, dapat berupa praktik
9 MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, h. 2
10 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 15
11 Ibid., h. 14 korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), kontrol deprestif, praktek ekonomi monopolistik, dan eksploitatif yang merugikan negara, dan pada gilirannya menciptakan kondisi sosial ekonomi yang melahirkan dan menyuburkan akar kemiskinan dan kekerasan social terhadap anak. 12 Hal tersebut juga menimbulkan bentuk penindasan. Penindasan adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat ganda, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum menindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam kebudayaan bisu. Adapun minoritas kaum menindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan terhadap sesamanya. 13
Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial (social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penalantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
12 Ibid., h. 14
13 MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, h. 13
kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak. 14 Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pada hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebuah aturan. Aturan yang bersifat mengatur dan bersifat memaksa bagi anggotanya, akan tetapi landasan dan tujuannya berbeda, sehingga menimbulkan implikasi yang berbeda. Oleh karena itu penulis mengangat judul PENELANTARAN TERHADAP ANAK (Studi komparatif Antara Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) untuk mengetahui di mana letak kesamaan dan perbedaan antara dua hukum tersebut. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam pembahasan skripsi ini penulis membatasi masalah anak dari segi penelantaran. Penelantaran yang dimaksud ialah ketika hak- hak anak tidak terpenuhi oleh orang tua ataupun walinya, dalam hal ini penelantaran tidak hanya yang bersifat kasat mata seperti kekerasan fisikal dan seksual, di dalamnya juga termasuk kekerasan yang berupa psikis dan sosial (structural) yang juga pada akhirnya akan membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak.
14 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 37 Untuk itu penulis akan membahasnya dari sudut pandang Hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Fokus pembahasan ini yaitu pada sanksi yang diterapkan ketika terjadi penelantaran anak. 2. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas, anak yang menurut Hukum Islam dan UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak seharusnya memperoleh perlindungan sesuai dengan hak-hak anak, seperti pendidikan, kasih sayang, rasa aman, kehidupan yang layak. Akan tetapi pada kenyataannya banyak anak-anak yang masih mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Oleh karena itu maka penulis merincikan rumusan masalah dalam skripsi ini yang berbentuk pertanyaan yaitu: 1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap penelantaran anak? 2. Bagaimana sanksi terhadap pelaku penelantaran anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk merealisasikan beberapa tujuan yang nantinya akan diidentifikasi, diolah dan dianalisa. Diantara tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam dan Undang- Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terhadap penelantaran anak. b. Untuk mendeskripsikan ketentuan sanksi hukum pidana bagi pelaku penelantaran anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2. Manfaat Penelitian a. Informatif, yaitu sebagai salah satu upaya pemberian informasi tentang anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan Undang- Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. b. Ilmiah, yaitu sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak. D. Review Studi Terdahulu Dalam penelitian ini yang menjadi pokok pembahasan adalah tindakan penyimpangan terhadap anak yaitu penelantaran anak. Sejauh pengamatan penulis, belum banyak ditemukan pembahasan akan hal tersebut. Meskipun demikian ada dua skripsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang anak yang dikaitkan dengan Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. NO Nama/NIM Judul Skripsi Pembahasan Perbedaan 1. Husnul Aulia Adopsi Menurut Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Perbandingan Antara Hukum Islam dengan Hukum Positif) Dalam pembahasan skripsi ini, penulisnya memaparkan komparasi antara Hukum Islam dengan UU No 23 yang terkait dengan adopsi anak. Perbedaannya dengan skripsi ini adalah pokok pembahasanny a, pada skripsi Husnul Aulia pembahasan difokuskan pada adopsi sedangkan skripsi ini terfokus pada penalantaran anak. 2. Marufudin Tipologi Kejahatan Terhadap Anak Dalam Perspektif UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Kajian Hukum Positif dan Hukum Islam) Pembahasan yang disajikan seputar kejahatan terhadap anak yang bersifat fisikal (physical abuse) dan seksual (sexual abuse) dan dikaitkan dengan kepidanaanny a. Perbedaannya dengan skripsi yang sedang penulis lakukan adalah penulis tidak hanya membahas dua sifat kejahatan terhadap anak. Penulis membahas juga tentang secara psikologi (psychological abuse) dan juga social (social abuse).
E. Kerangka Teori Kerangka teoritik yang dimaksud adalah pedoman arah tujuan penelitian, kerangka teoritis juga akan membantu pemilihan konsep-konsep yang diperlukan guna membentuk hipotesisnya. 15
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. 16 Sebagaimana seorang ahli fakir Yunani yaitu Aris Toteles (384-322) menyatakan; manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya manusia sebagai makhluk yang dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk yang suka bermasyarakat. Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniyah untuk melangsungkan hidupnya.
15 Cholid Norbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. ke-7, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 140
16 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 29 Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu-individu yang berbeda-beda tingkatnya, misalnya; hubungan suami-isteri, keluarga, suku bangsa dan negara. Kehidupan bersama itu dapat berbentuk desa, kota, daerah, negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 17
Dengan demikian Negara yang merupakan organisasi masyarakat yang berorganisasi kekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar keamanan terjamin dan ada perlindungan atas kepentingan tiap-tiap orang dan agar tercapai kebahagiaan yang meratadalam masyarakat, tidak hanya satu golongan saja yang dapat merasa bahagia, tetapi seluruh penduduk negara. 18 Semua itu dapat dibuktikan dengan adanya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan demi kesejahteraan serta keamanan masyarakat, salah satu peraturan dari beberapa peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah adalah: Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Suatu Undang-Undang memiliki cirri-ciri tertentu, hal ini disebabkan Undang- Undang tersebut dibuat demii kepentingan bersama, dari sifat kemajemukan manusia baik dari ras, suku, agama. Ciri-ciri dari sebuah Undang-Undang antara lain:
17 Ibid., h. 30
18 Ibid., h. 31 1. Bersifat umum dan komprehensif yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas. 2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwaperistiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu. 3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya, adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. 19
Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami secara individu maupun kelompok. Sedangkan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional, meliputi berbagai bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. 20 Kekerasan terhadap anak dapat dikelompokkan menjadi: kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara psikologi (psychological abuse), kekerasan secara seksual (sexual abuse), kekerasan sosial (social abuse).
19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 83-84
20 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 36 Kekerasan anak secara sosial (social abuse), mencakup penalantaran anak dan eksploitasi anak. Ppenelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjukkan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. 21 Pentingnya pengurusan terhadap anak dikarenakan seorang anak belum dapat menentukan mana yang baik untuk dirinya, biasanya seorang anak melakukan sesuatu bertolak ukur pada kesenangannya saja. Sehingga perlu adanya orang yang mendampingi serta mengarahkannya, walau demikian hak anak untuk mendapat informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya tidak dinafikan. Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, negara. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 20. sedangkan mengenai kewajiban dan tanggung jawab keluarga/orang tua diatur dalam pasal 26,
21 Ibid., h. 37
sedangkan sanksi terhadap pelaku pelanggaran tersebut diatur dalam pasal 77 (b) yang berbunyi: Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 22
Sedangkan dalam ajaran agama Islam juga terdapat aturan-aturan yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya. Hal ini menjadi penting dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Membahas tentang pembinaan hukum Islam merupakan pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta pakar hukum. Sesungguhnya Islam dalam arti luas: (Religiusitas sejak Nabi Nuh A.S.) mempunyai prinsip yang dijelaskan dan diperinci oleh Al-Quran dimana nilai-nilai moral dipandang sebagai prinsip yang penting dari-Nya, nilai-nilai moral kebersamaan tersebut merupakan nilai-nilai moral manusia secara umum, tanpa adanya nilai-nilai moral tersebut, eksistensi negara akan kehilangan justifikasi moralnya. Baik individu, maupun suatu komunitas di seluruh dunia tidak dapat keluar dari keharusan mengikuti nilai-nilai moral itu. Hal ini adalah sisi universal dalam Islam. 23
22 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 77 ayat (b). h. 147 23 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, pen. Sahiron Syamsudin, Burhanudin, cet. ke-1 (Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004), h. 124 Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al-Quran, begitu pula anjuran dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia, semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia. Para ulama sepakat bahwa memang hukum syara itu mengandung kemaslahatan untuk umat manusia. Secara sederhana maslahah itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima akal sehat mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu?. Setiap perintah Allah dapat dipahami oleh akal, karena setiap perintahnya mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri oleh Allah atau tidak. 24 Adapun yang menjadi tolak ukur dan tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasarbagi kehidupan manusia. Tuntutan-tuntutan kebutuhan bagi kehidupan bagi manusia dibagi secara berurutan yaitu: 1. Kebutuhan Primer meliputi (Agama, Jiwa, Akal, Harta dan Keturunan atau Harga diri). 2. Kebutuhan Sekunder.
24 Amir Syarifuddin, Usul Fiqih, cet. ke-2, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 207
3. Kebutuhan Tertier. 25
Tujuan pembagian syara tersebut adalah menunjukkan peringkat kepentingannya, sehingga apabila terjadi perbenturan antara ketiganya maka yang didahulukan berdasarkan urutannya. Namun bila perbenturan tersebut dalam suatu tingkatan maka yang didahulukan berdasarkan urutan kepentingannya. Sedangkan Ijtihad adalah salah satu metode dalam penetapan suatu hukum, lebih khususnya dalam metode maslahah mursalah. Maslahah mursalah dalam pengertiannya memiliki beragam definisi, sehingga Amir Syarifuddin menarik kesimpulan tentang Maslahah mursalah sebagai berikut: 1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia. 2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum. 3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara tersebut tidak ada petunjuk syaranya secara khusus yang menolaknya juga tidak ada petunjuk ayara yang mengakuinya. 26
Maslahah-mursalah adalah bagian dari maslahah, maslahah merupakan kelanjutan salah satu metode ijtihad yang bertolak ukur dan bertujuan pokok pembinaan Hukum Islam, dalam hal ini pemenuhan kebutuhan primer manusia. Sedangkan yang menjadi titik bahasan
25 Ibid., h. 215 26 Ibid., h. 334
maslahah-mursalah dalam ushul fiqih adalah yang selalu menjadi ukuran dan rujukan bagi hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. 27
Hukum pidana Islam atau Fiqih Jinayah merupakan salah satu bagian dari syariah Islam karena di dalamnya terdapat hukum-hukum pidana yang tercantum dalam al-Quran, sedangkan Fiqih Jinayah memiliki pengertian ilmu tentang hukum syara yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan hukumnya (Uqubah) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian Fiqih dan Jinayah. 28
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa objek pembahasan Fiqih Jinayah secara garis besar terbagi dalam dua hal, yaitu: 1. Jarimah (Tindak Pidana) Imam al-Mawardi mendefinisikan Jarimah sebagai berikut:
27 Ibid., h. 326
28 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. ix ' = - - = = , - = , - - '' = _ - + ' =- - - . 29
Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan Jinayah, Abdul Qadir Audah mengartikan Jinayah, sebagai Berikut: '' = - ' - ' - . - = - = - ' , _ -' . = ' _ - - ' = , ' = . 30
Sedangkan pembagian Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi dalam tiga bagian yaitu: 32
1. Jarimah Hudud
29 Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, al-Ahkm as-Sulthniyah, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966), h. 236
30 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jini al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tt), h. 67 31 Ibid., h. 609
32 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. x-xii Jarimah Hudud adalah Jarimah yang diancam dengan hukuman had. Sedangkan Pengertian had adalah hukuman yang telah ditentukan syara dan merupakan hak Allah. 2. Jarimah Qishash dan Diat Jarimah Qishash dan Diat adalah Jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash ataupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh syara. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat merupakan hak manusia (hak individu). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia individu maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan. 3. Jarimah Tazir Jarimah Tazir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian pustaka (library research) yang menggunakan literature-literatur berupa; buku, jurnal, kamus, dan karya pustaka lainnya yang berhubungan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya. Karena dalam penyelesaian penelitian ini Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta Hukum Islam merupakan acuan bagi penulis sebagai data primer yang menjadi pegangan penulis. 2. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik, yaitu suatu penelitian yang bertolak dari pemaparan kondisi obyektif masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta menjelaskan data-data tersebut yang sesuai dengan pokok masalah. 3. Pengumpulan Data Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), maka dalam pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya: Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Membela Anak Dengan Teater karya M.J.A. Nashir, Kekerasan Terhadap Anak karya Abu Huraerah, Mendidik Anak karya Muhammad Nur Abdul Hafid. Serta data-data sekunder berupa: buku-buku, makalah dll, yang berkaitan dengan judul penelitian ini. 4. Pendekatan Pendekatan yang penyusun lakukan adalah normative-yuridis artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam.
5. Analisis Data Analisis data merupakan cara yang dipakai untuk menelaah keseluruhan data yang tersedia dari berbagai sumber. 33 Dalam hal ini penyusun menggunakan metode analisis perbandingan yang mana
33 Lexi. J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), h. 190 membandingkan data-data yang ada, serta menitik beratkan pada study sanksi terhadap pelaku penelantaran anak. G. Sistematika Penulisan Demi memperoleh ketertiban dalam sebuah penulisan, maka penulis menggunakan sistematika penulisan skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab, dengan tekhnik penulisan mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007 34 . Sistematika penulisan yang penulis gunakan adalah : Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian, kerangka metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Mengacu pada bagian pendahuluan, kita sudah dapat mengetahui garis besar dan arah penelitian. Bab pertama ini adalah berupa pengantar, sedangkan isi dari keseluruhan penelitian akan dipaparkan dalam Bab II, III, IV dan inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam Bab IV yang berisi kesimpulan. Bab kedua, membahas mengenai gambaran umum tentang penelantaran anak. Diawali dengan pengertian anak, pengertian penelantaran dan penelantaran anak. Kemudian dipaparkan juga tentang pemeliharaan (perlindungan) anak dan larangan penelantaran anak
34 Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta., (Jakarta; Fakultas Syariah Dan Hukum, 2004), h. 30-31 menurut hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bab ketiga, adalah pembahasan tentang sanksi pidana bagi pelaku penelantaran anak menurut hukum Islam dan undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang di dalamnya juga dijelaskan mengenai pengertian, dasar hukum serta tujuan dan sanksi bagi pelaku penelantaran terhadap anak baik dalam hukum Islam ataupun dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bab keempat, adalah pembahasan deskriptif-analisis, yaitu perbandingan terhadap kriteria dan sanksi bagi pelaku penelantaran anak menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dimulai dengan pandangan Hukum Islam serta Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan akan ditutup bab ini dengan analisis perbandingan antara Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Bab kelima, adalah penutup yang akan berisikan tentang kesimpulan serta saran-saran.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK
A. Pengertian Penelantaran Anak Arti anak menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keturunan insan (manusia) yang kedua. 35 Anak adalah kelompok manusia muda yang batas umurnya tidak selalu sama di berbagai negara. Di Indonesia yang sering dipakai untuk menjadi batasan umur adalah anak usia 0-21 tahun. Dengan demikian bayi, balita dan usia sekolah termasuk dalam kelompok anak. Pada umumnya disepakati bahwa masa anak merupakan masa yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres No 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai 18 tahun ke bawah. UU RI No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang
35 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 38 belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan UU Perkawinan menetapkan batas usia seorang anak adalah 16 tahun. 36
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada BAB I Pasal I menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 Ayat (1), batas usia anak yang mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 37
Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan kepentiangan usaha kesejahteraan sosial, serta pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi serta kematangan mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus. 38 Bentuk penelantaran anak pada
36 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h 19
37 Cik Hasan Bisri (ed)., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), h. 170
38 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 564 umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis attau pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak. 39 Akan tetapi tidak menutup kemungkinan orang tua yang tidak memperhatikan anaknya, dapat termasuk orang-orang yang menelantarkan anak, seperti membiarkan anak kegemukan (obesitas). Sebuah kasus terjadi di London, yaitu: Pihak berwenang di Inggris mengancam akan mengambil alih hak asuh atas diri Connor McCreaddie, anak lelaki yang berumur 8 tahun yang mengalami kegemukan. Kebijakan ini dipertimbangkan di London setelah pihak berwenang menganggap ibunda Connor, Nicola McKeown lalai dalam mengatur diet yang harus dijalani bocah tersebut. Connor memiliki berat badan yang berlebihan, yakni 99 kilogram atau tiga kali dari bobot normal anak seusianya. Keluarga Connor dianggap melakukan kekerasan terhadap anak karena mengabaikan dietnya. Dr. Colin Waine, Direktur National Obesity Forum di Nottingham, Inggris mengatakan Gaya hidup Connor sangat berbahaya, Connor terancam menderita diabetes pada usia remaja, mengalami gangguan jantung dan gangguan syaraf pada usia 20-an tahun. Colin menambahkan bahwa Connor beresiko mati pada usia 30 tahun, pendapat Colin disetujui oleh Dr. Michael Markiewich, seorang dokter anak. 40
39 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h 55
40 Kedaulatan Rakyat, No. 146. Th. LXII (Rabu, 28 Februari 2007), h. 15
Pada kasus penelantaran anak, kita akan menemukan kekurangan gizi tanpa ada dasar organiknya, kekurangan cairan atau dehidrasi, luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati, tidak mendapat imunisasi dasar. 41 Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak. 42
Dari literatur Internasional, ketelantaran anak secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu: 1. Ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan sosial dalam keluarga normal. 2. Ketelantaran yang disebabkan kesengajaan, gangguan jiwa dan atau ketidakmengertian keluarga/orang tua, atau hubungan dalam keluarga tidak normal. 43
Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia telah tidak memiliki salah satu orang tua atau keduanya. Anak terlantar adalah anak- anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar di sini juga dalam
41 http;//www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/21/hikmah/konsultasi.htm. 42 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h 37
43 Ibid., h. 56
pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk memperoleh kesehatan yang yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau karena kesengajaan. 44
Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian public secara serius karena penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara fisik, sebagaimana anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak yang dianiaya oleh orang tuanya hingga tewas, atau anak yang dipaksa bekerja di sektor prostitusi, masalah anak terlantar acap kali hanya dilihat sebagai masalah intern keluarga per keluarga, hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang secara psikologis bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh perhatian public secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak. 45
44 http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0508/04/opini/1916312.htm. 45 Ibid. B. Kriteria Penelantaran Anak Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. 46
Fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggelayuti kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak. Apabila perlakuan kasar orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian
anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orang tuanya. 47
Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah: 48
a. Harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang tuanya, dan kekuasaan orang tua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orang tua lainnya atau keluarga terdekat. b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di samping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga.
48 http://www.bisnis .com/bisnis/owa/bisnis.fstory_othernews?cookie=2&cdate=08-NOV- 1996&inw_id=6367 Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena pada masa lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum ada dasar hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh data dan deteksi kasus-kasus seperti ini. Kesulitan disebabkan para pelaku penganiayaan dan penelantaran anak adalah mereka yang berotoritas lebih tinggi dari pada korban (anak), sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para korban tanpa mendapatkan bantuan pelayanan medik. Oleh karena itu, sangat perlu bantuan dan kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas kesehatan untuk mampu melakukan deteksi penganiayaan atau penelantaran anak, sehingga korban (anak) memperoleh pertolongan medik dan perlindungan yang semestinya. Berikut adalah faktor-faktor penyebab dan faktor kontributif terjadinya penganiayaan dan penelantaran anak, adalah: 49
a. Faktor orang tua, yaitu adanya pengalaman penganiayaan di masa kecilnya, ketidaktahuan cara mendidik dan mengasuh anak, nilai hidup dan harapan yang terlalu tinggi dari kemampuan anak, kurangnya pengetahuan tentang perkembangan anak, sehingga orang tua tidak mengerti
49 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/03/hikmah/konsultasi.htm kebutuhan anak. Selain itu juga keterlibatan penggunaan narkotik dan zat adiktif, serta orang tua dengan gangguan mental. b. Faktor situasi keluarga, yaitu keluarga yang terasing dari masyarakat, kemiskinan, rumah tempat tinggal yang padat, krisis dan tekanan kehidupan akibat masalah sosial-ekonomi- politik, dan masalah interaksi dengan lingkungan. c. Faktor anak, yaitu perilaku dan tabiat anak, penampilan fisik anak, kegagalan anak memenuhi harapan orang tua, dan anak yang tidak diinginkan. d. Faktor budaya, yaitu kepercayaan dan adapt istiadat mengenai pola asuh anak dan hak orang tua terhadap anak, pengaruh pergeseran budaya dan pengaruh media masa. Indikator kemungkinan terjadinya penganiayaan dan penelantaran emosional adalah: adanya keluhan-keluhan psikosomatik dan gagal tumbuh tanpa dasar organic yang sesuai (indikator fisik). Selain itu, bisa juga ditemukan indikator perilaku, antara lain: anak mengatakan, dirinya telah dianiaya, membalik/menyangkal cerita yang telah diungkapkan sebelumnya, ketakutan berlebih terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya, tidak lari ke orang tua untuk meminta support dan perlindungan, memperlihatkan tingkah laku agresif dan penarikan diri yang ekstrim, kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, terlalu penurut/pasif, agresifitas seksual terhadap orang lain, lari dari rumah atau berperilaku delinkuen, perilaku mencederai diri, sering mau bunuh diri, gangguan tidur, menghindari kontak mata, memperlihatkan perilaku terlalu dewasa atau terlalu kekanak-kanakan. Indikator kemungkinan terjadinya penelantaran fisik apabila terdapat gagal tumbuh fisik maupun mental, malnutrisi tanpa dasar organik yang sesuai, dehidrasi (kurang cairan tubuh), lika atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati, tidak mendapat imunisasi dasar, kulit kotor tidak terawatt, rambut dengan kutu-kutu, pakaian yang lusuh dan kotor, keterlambatan perkembangan, keadaan umum yang lemah, letargik, dan lelah. 50
C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Menurut Hukum Islam Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individu dan kelompok, kepribadian ini tidak bisa sempurna kecuali bila diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala aspeknya, tempat yang paling subur bagi pembinaan pendidikan adalah fase anak-anak yang merupakan fase teristimewa, keistimewaan berupa kelenturan, kesucian dan fitrah. Jika pada fase tersebut dibangun dengan penjagaan, bimbingan, dan arahan yang
50 http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/03/hikmah/konsultasi.htm baik, maka kelak ia akan menjadi kokoh dihadapan goncangan hari depannya yang tentu akan ia hadapi ketika mulai menginjak dewasa. 51
Pemeliharaan (perlindungan) anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak, oleh karenanya kerja sama dan tolong- menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa sangat dibutuhkan. 52
Diminta atau tidak diminta, pemeliharaan (perlindungan) terhadap anak adalah hak anak. Maulana Hasan Wadong menerangkan bahwa hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang meliputi sebagai berikut: 53
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan. p)4 O}7 geq uO W-Og^ O}jgOU4N _/4EO =}u_4C O}_UuO ) `=' / 65 : 6 (
51 Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak, alih bahasa Salafuddin Abu Sayyid, cet ke-5, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h. 108
52 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-6, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 235
53 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grassindo, 2000), h. 32 Artinya: dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (Ath- Thalaq/65 : 6)
b. Hak anak dalam kesucian dan keturunannya. -ONNu1- )_j*.4E 4O- 7O=O^~ ELgN *.- _ p) - W-EOUu> -47.4-47 :+^4Ou=) O) g].- 7Og4O4`4 _ "^14 :^OU4 /E4LN_ .EOg >Cu= gO) }4 E` ;EOE> 7+OU~ _ 4p~4 +.- -4OON 1gOO ) =` / 33 : 5 ( Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak- bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara- saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab/33 : 5)
c. Hak anak dalam penerimaan nama baik 4 W-+OgU> 7=O^ 4 W-+O44L> U^) W "^-) N;-]- 7-OOO^- Eu4 ^}ECe"- _ }4`4 - U+-4C Elj^q N- 4pO+j-- ) ==' / 49 : 11 ( Artinya: dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al Hujurat/49 : 11)
d. Hak anak dalam menerima susuan. 4).4O^-4 =}uONC O}-Eu u-.OEO u-Ug`~ W ;}Eg E1-4O p E+NC O4N=O- _ ) --' / 2 : 233 ( Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Al Baqarah/2 : 233)
e. Hak anak dalam menerima asuhan, perawatan dan pemeliharaan. O>4N4 g1O7OO^- N. O}_~^ejO O}g4OOg4 NOuO^) _ -^U> R^4^ ) E_EcN ) --' / 2 : 233 ( Artinya: dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (Al Baqarah/2 : 233)
f. Hak anak dalam memiliki harta benda (hak waris), demi kelangsungan hidup yang bersangkutan. W-O>-474 -OE44O^- 4O^` W 4 W-O7O4lE> E+1)lC^- UjO-C) W 4 W-EOU7> +O4O^` -O) 7g4O^` _ +O^^) 4p~ 6ONO -LOO): ) '--' / 4 : 2 ( Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (An- Nisa/4 : 2)
g. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran. 4 -^> 4` "^1 El gO) vUg _ Ep) E7;OO- 4O=^4l^-4 E1-^-4 O7 Elj^q 4p~ +Ou44N LO7*O4` ) -` / 17 : 36 ( Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra/17 : 36)
Larangan penelantaran anak sangatlah relevan, karena isteri dan anak merupakan tanggung jawab dari seorang suami yang sekaligus seorang ayah dari seorang anak. Hal ini dikuatkan oleh tindakan Rasulullah SAW, ketika beliau menerima aduan Hindun binti Utbah: = = -' - '' - : = ' - - - - - - = - - - - - _ - , ' = ' _ - , - ' _ - = ' , - ' - '' - : ' - , - - - ' - , ' . - = , _ ` = , - - _ -' - - - ' - , - _ - - - ` - ' = - - - '' - , = ' - + . = ' _ ' = - - ' - ' : = - - - '' - '' - - ' - , = - - _ - , = ) - '=-' ( 54
Artinya: Dari Aisyah, bahwa Hindun bin Utbah berkata: Wahai Rasulullah SAW. sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) adalah seorang laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberikan (nafkah) sesuatu yang mencukupiku dan mencukupi anakku, kecuali aku mengambilnya (sendiri) sementara dia tidak mengetahui. Maka beliau bersabda : Ambillah apa yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan anakmu secara makruf (Riwayat al-Bukhari).
Berdasarkan penjelasan di atas, walaupun secara eksplisit jelaslah bahwa pemeliharaan (perlindungan) anak merupakan tanggung jawab orang tua yang harus terpenuhi sesuai dengan kemampuannya. Sebab kegagalan pemeliharaan atau penelantaran anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan
54 Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401H/1981M), VI: 193. saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tua pun akan menderita kerugian yang tidak kecil, karena kelak di akhirat mereka (orang tua) dituntut untuk mempertanggungjawabkannya. Karena dalam hukum Islam memiliki dua dimensi hukuman bagi pelaku tindak kejahatan, yaitu sanksi dunia dan akhirat. 2. Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan (seperti larangan, hukuman dsb.) yang dibuat oleh pemerintah atau suatu negara yang dipimpin oleh kabinet, disetujui oleh parlemen dan ditandatangani oleh kepala negara. 55
Sedangkan hukum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adapt yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak. 56
Pemeliharaan (perlindungan), diminta atau tidak diminta, pemeliharaan terhadap anak adalah hak anak. Maksud dari memberikan lindungan ialah agar anak merasa terlindungi, sehingga anak merasa aman, apabila anak merasa aman maka ia dapat
55 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1127
56 Ibid., h. 363
dengan bebas melakukan penjelajahan atau eksploitasi terhadap lingkungannya. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan atau memperoleh hak dan kewajibannya. 57 Adapun perlindungan ini merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat, melindungi anak adalah melindungi manusia. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Perlindungan anak pada suatu masyarakat, bangsa merupakan tolok ukur peradaban masyarakat, bangsa tertentu. Jadi, demi pengembangan manusia seutuhnya, maka kita wajib mengusahakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan, demi kepentingan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative, yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
57 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3 (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular,tt), h. 246
kegiatan perlindungan anak. 58 Kepastian hukum itu adalah Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Undang- Undang ini aturan hukum mengenai pemeliharaan (perlindungan) anak sangatlah lengkap yaitu pada BAB IV tentang kewajiban dan tanggung jawab, baik oleh negara, masyarakat, orang tua, dimulai dari pasal 20- 25. 59
Adanya penelantaran anak serta pengabaian hak-hak dan kewajiban pihak yang menjadi korban merupakan suatu indikator adanya ketidakseimbangan dalam tanggung jawab anggota masyarakat semacam ini, manusia tidak dilindungi secara baik. 60
Penelantaran anak dalam konteks hukum Indonesia sangatlah tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan aturan hukum yang tertuang pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebagaimana tertulis pada BAB III tentang Hak dan Kewajiban Anak pada Pasal 4 hingga pasal 19, yaitu: 61
Pasal 4
58 Ibid., h. 246
59 Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 126-128
60 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), h. 287
61 Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 127 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangakan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13 (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan a. Diskriminasi b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran d. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan e. Ketidakadilan dan f. Perlakuan salah lainnya (2) Dalam halo rang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan e. Pelibatan dalam peperangan
Pasal 16 (2) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (3) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (4) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk b. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa c. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan d. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk a. Menghormati orang tua, wali, dan guru b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
BAB III SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENELANTARAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi 1. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Hukum Islam Dalam tindak pidana pelaku penelantaran anak yang dipakai rujukan guna penentuan hukumannya adalah Jarimah Tazir, karena dalam Hukum Islam, sanksi hukum pidana pelaku penelantaran anak tidak ditemukan atau ditetapkan oleh syara. Hal ini sesuai dengan pengertian Jarimah Tazir. Pengertian Tazir menurut arti bahasa berasal dari kata = yang memiliki arti penguatan. 62 Kata = juga memiliki sinonim kata, yakni: a. _-- yang artinya mencegah dan menolak. b. -'-' yang artinya mendidik. c. == yang artinya mengagungkan dan menghormati. d. '= , - yang artinya membantu, menguatkan dan menolong. 63
62 Ali Mutahar, Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005), h. 316.
63 Ibrahim Unais, al-Mujam al-Wasit, (Dar at-Turas al-Arabi, t.t.), II: 598. Dari keempat pengertian di atas, yang paling sesuai adalah pengertian pertama yang memiliki arti mencegah dan menolak, dan juga pengertian kedua yang memiliki makna mendidik. Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah 64 dan Wahbah az-Zuhaili. 65
Tazir diartikan _-- yang artinya mencegah dan menolak, karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Sedangkan Tazir diartikan -'-' yang artinya mendidik, karena tazir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Menurut istilah tazir didefinisikan bermacam-macam, menurut al- Mawardi definisi tazir sebagai berikut: -=' '+, -- ' , _'= -'- . 66
Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili definisi tazir adalah: '- ` '+, - ` '- ,-- _'= =--' -,-' . 67
64 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jinai al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.), I: 81.
65 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 197.
66 Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Kitab al-Ahkam as-Shulthaniyyah, cet. ke-3, (Beirut: Dar al- Fikr, 1996), h. 236.
Ibrahim Unais memberikan definisi tazir sebagai berikut: _=-' -=' _'- ` -'- . 68
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa tazir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditentukan oleh syara. Di kalangan fuqaha jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara dinamakan jarimah tazir. Jadi, istilah tazir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga digunakan untuk jarimah (tindak pidana). 69
Tazir dibagi atas dua bentuk, yaitu: at-tazir ala al-maashi (tazir terhadap perbuatan maksiat) dan tazir li al-maslahah al-ammah (tazir untuk kemaslahatan umum). Perbedaan kedua bentuk tazir ini terletak pada hukum tindak pidana tersebut. Tindak pidana dalam at-tazir ala al-maashi hukumnya haram selamanya dan bersifat maksiat. Sedangkan tindak pidana dalam tazir li al-maslahah al-ammah, hukumnya dilarang apabila memenuhi syarat-syarat tertentu karena pada dasarnya tindakan itu sendiri tidak bersifat maksiat. Dasar hukum tazir adalah beberapa hadits Nabi SAW. sebagai berikut:
67 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VI: 197.
68 Ibrahim Unais, al-Mujam al-Wasit, II: 598 69 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 294
-+-' _ - '- ,'= - _' _--' -- = ,- = , - +- = . 70
Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Dalam Hadits lain Nabi bersabda tentang batasan hukuman yang boleh dilakukan dalam hukuman tazir: ` ,- -= , -'= ` ,- '- ,'= - _' - ,- _-- -= - _- '-` - _- = _''- - - - - _ . 71
Hadits ini menjelaskan tentang batasan hukuman tazir yang tidak boleh lebih dari sepuluh cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan adanya batasan ini maka dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah tazir dan mana yang termasuk jarimah hudud. '- ,'= - _' _--' '+-= - _- --'= = -=' ` +- `= '-,+' ,', . 72
70 As-Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), II: 497. hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim.
71 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al- Halaby, 1960), IV: 37. Muttafaq alaih.
72 Ibid., h. 38. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Baihaqi.
Sedangkan Hadits ini menjelaskan tentang teknis pelaksanaan hukuman tazir yang bisa saja putusan hukumannya berbeda, antara satu pelaku dengan pelaku lainnya. 2. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Undang-Undang Sanksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah tanggungan (hukuman, tindakan dsb) agar orang menaati peraturan atau perjanjian. 73 Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat menaati peraturan- peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang yang akan melanggar peraturan-peraturan tersebut. Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh karena itu peninjauan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggungjawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum. Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 74 Hukum pidana juga bisa disebut pengatur hubungan hukum antara seorang anggota
73 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 870 74 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 257
masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat. Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung peraturan- peraturan (norma-norma) yang baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap peraturan-peraturan (norma-norma) hukum yang mengenai kepentingan umum. 75
Dasar hukum pidana adalah bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan, hal ini sebagaimana bunyi Undang-Undang Dasar 1945 BAB I pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum. 76 Serta BAB XA tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 28D ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 77
Atas dasar inilah negara yang merupakan organisasi masyarakat yang berkekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar
75 Ibid. 76 UUD 1945 dan Amandemennya, (Surakarta: al-Hikmah, t.t.), h. 52.
77 Ibid., h. 85
keamanan terjamin dan perlindungan atas kepentingan tiap orang dan agar tercapai kebahagiaan yang merata dalam masyarakat. Tidak hanya satu golongan saja yang dapat merasakan kebahagiaan, tetapi seluruh penduduk negara.
B. Tujuan Sanksi 1. Tujuan Sanksi dalam Hukum Islam Hukum Islam mempunyai tujuan untuk melaksanakan perintah dan kehendak Allah serta menjauhi larangannya, secara umum dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. 78
Hidup adalah ciptaan Allah, tidak boleh dirusak tanpa alasan yang benar. Islam sangat menekankan cara-cara yang bermoral dalam segala garis kehidupan karena Islam adalah kedamaian, keselamatan,
78 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), cet. ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 53.
keamanan, dan penyelamat yang berarti berusaha sekuat tenaga untuk melakukan kebajikan. 79 Hal ini sejalan dengan tujuan Hukum Islam. Tujuan Hukum Islam adalah mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran, keadilan dan kebajikan, serta menerangkan jalan yang harus dilalui oleh manusia. 80 Barang siapa membaca dan mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam Syariat Islam dan memikirkan sesuatu yang dicari alasannya, dalam al-Quran dan Hadits, maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syariat Islam bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan manusia yang ditaklifi. 81 Syariat Islam juga bertujuan untuk menegakkan dan memberikan kemaslahatan bagi hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan kemaslahatan itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: kemaslahatan yang bersifat primer, sekunder dan pelengkap. 82
a. Kemaslahatan yang bersifat primer
79 Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan, cet. ke-I, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1998) h. 52.
80 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., (Jakarta: Gema Insan Press, 1996), h. 104.
81 Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, t.t.), h. 56.
82 Ibid., h. 58-59. Kemaslahatan yang berifat prime adalah syariat yang menjadi tiang untuk menegakkan barbagai kemaslahatan di dunia atau akhirat, jika tiang-tiang syariat ini tidak ditegakkan maka kemaslahatan dunia dan akhirat itu akan hilang, dan tak terwujud, bahkan kerugian dan kerusakanlah yang akan terjadi. Kelima hal yang primer itu ialah: memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau harga diri. b. Kemaslahatan yang bersifat sekunder Kemaslahatan yang bersifat sekunder adalah sesuatu yang dibutuhkan guna menghilangkan kesempitan yang secara lahiriyah kesempitan tersebut mendatangkan kepayahan dan menimbulkan kesulitan karena tidak didapatnya apa yang dituntut. Akan tetapi tidak sampai mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. c. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap Kemaslahatan yang bersifat pelengkap adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya, mengenai sesuatu yang baik dan buruk itu terakomodasi dalam perbincangan akhlak. Dalam Hukum Islam, tujuan pemidanaan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu: 83
a. Tujuan Preventif (pencegahan) dalam istilah fiqihnya ar-Radu wa az-Zajru. Tujuan preventif (pencegahan) artinya menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana. b. Tujuan Edukatif (pengajaran) dalam istilah fiqihnya al-Islah wa at-Tadib. Tujuan Edukatif (pengajaran) artinya untuk memberikan pelajaran bagi pelaku jarimah agar sipelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya. Drs. Makhrus Munajat, M. Hum. Dalam bukunya Dekonstruksi Hukum Pidana Islam menuliskan bahwa tujuan pemidanaan adalah: a. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang dari aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap
83 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 279 masyarakat luas (social defence). Contohnya dalam hukum qishash yang merupakan bentuk keadilan tertinggi, di dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman. b. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh orang berzina harus didera di muka umum sehingga orag yang melihat diharapkan tidak melakukan perzinahan. c. Pemidanaan dimaksudkan sebagai tindak pencegahan khusus (special prevention), artinya setiap orang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, dalam aspek ini secara eksplisit terkandung nilai treatmen. Sebab tercegahnya seseorang dari berbuat jahat bisa melalui penderiataan akibat dipidana atau timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana. 84
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Hukum Pidana Islam adalah untuk mengurang angka kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat.
84 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), h. 55-56. 2. Tujuan Sanksi dalam Undang-Undang. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dalam bukunya Penganter Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menulis, hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum tersebut harus pula bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat. 85
Hukum pidana adalah hukum yang mengartur perbuatan- perbuatan apa yag dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan. 86
Berikut adalah beberapa teori tentang tujuan dari sanksi hukum: 87
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Absolute Strafrecht Theorien). Teori absolute atau teori pembalasan adalah suatu teori yang mana suatu kejahatan harus diikuti dengan pidanaan (hukuman) tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar seseorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan
85 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 40-41.
86 Ibid., h. 76
87 Sofyan Sastra Wijaya, Hukum Pidana, (Bandung: C.V. Amirco, 1990), I: 24
kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari jatuhnya pidana. 88 Maksudnya adalah bahwa putusan pidana yang dijatuhkan sebagai sarana untuk balas dendam atas perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Unsur pembalasan ini meskipun dapat dimengerti tidak selalu tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. Menurut teori ini setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang timbul dari jatuhnya hukuman. Teori ini hanya melihat pada masa lampau tanpa melihat masa yang akan datang. Menurut teori ini tujuan hukum adalah penghukuman itu sendiri. 89
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien). Teori relative atau teori tujuan adalah teori yang mengatakan suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Oleh karena itu, tidak cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau penjahat itu
88 Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Erisco, 1989), h. 21- 24.
89 Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Persada, 1983), h. 85.
sendiri, maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan tidak dilakukan kembali oleh si pelaku. Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Pencegahan ditujukan pada: 90
1. Masyarakat, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran (sebagaimana dilakukan oleh si terhukum), disebut juga pencegahan umum. Teori ini pada intinya sebagai anasir utama yang dapat menahan niat jahat seseorang untuk melakukan kejahatan. 2. Pembahasan dari segi terhukum, hukuman itu dujatuhkan dengan tujuan agar terhukum tidak mengulangi kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Hukuman tersebut dijatuhkan untuk memperbaiki si pelaku agar tidak berbuat jahat kembali, disebut juga pencegahan khusus. c. Teori Gabungan Teori gabungan adalah teori yang satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan, tetapi di lain pihak mengakui pula
90 Ibid. unsur pencegahaan atau memperbaiki kejahatan atau pelaku. Teori ini mengambil jalan tengah atau penggabungan antara teori absolut dan teori relative. Sehingga di samping pembalasan juga bertujuan mempertahankan ketertiban masyarakat. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam 4 (empat) bagian, yaitu: a. Pembalasan (Revenge) b. Penghapusan Dosa (Ekspiation) c. Menjerakan (Detern) d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (Rehabilitation Of The Criminal). 91
Sedangkan menurut Rencana Kitab UU Hukum Pidana, tujuan dari pemidanaan adalah: 92
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
91 Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa akan Datang, cet. ke-2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 15.
92 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 2 b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. c. menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dalam asas legalitas hukum pidana positif, yang berbunyi tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-Undang-Undangan, oleh sebab itu penetapan sanksi dalam peradilan haruslah sesuai dengan aturan hukum dan tidak menafikan hak dari si pielaku.
C. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak 1. Sanksi Pelaku Penelantaran Anak dalam Hukum Islam. Islam tidak menentukan secara rinci dan tegas hukuman yang akan dikenakan terhadap setiap pelanggar jarimah tazir, Islam hanya mengemukakan sejumlah hukuman yang dapat diterapkan sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, penetapan hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan, diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan penguasa atau hakim. Akan tetapi, pihak penguasa atau hakim tidak dibenarkan menyalahgunakan pendelegasian wewenang dalam menetapkan suatu hukuman terhadap jarimah tazir. 93
Dalam menetapkan suatu hukuman terhadap jarimah tazir, pihak penguasa atau hakim harus senantiasa berpatokan pada keadaan terpidana, lingkungan yang mengitari terpidana, kemaslahatan masyarakat yang menghendaki, dan berorientasi pada tujuan hukuman yang dikehendaki Islam, yaitu pencegahan seseorang dan berhentinya seseorang melakukan tindak pidana. 94
Jenis-jenis hukuman dalam jarimah tazir menurut ulama fiqih, bisa berbentuk hukuman yang paling ringan, seperti menegur terpidana, mencela atau mempermalukan terpidana dan bisa juga hukuman yang terberat seperti hukuman mati. 95
Hukuman tersebut ada yang bersifat jasmani seperti pemukulan atau dera. Ada yang bersifat rohani seperti peringatan, ancaman atau hardikan, serta ada yang bersifat jasmani sekaligus rohani seperti
93 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 2001), V: 1774.
94 Wawancara Pribadi dengan Huzaimah Tahedo Yanggo. Ciputat, 26 Februari 2010. 95 Ibid.
hukuman penahanan atau hukuman penjara. Ada pula hukuman yang bersifat materi seperti hukuman denda. 96
Manurut Ahmad Wardi Muslich hukuman tazir jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada 4 (empat) kelompok, yaitu sebagai berikut: 97
b. Hukuman tazir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera). c. Hukuman tazir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan. d. Hukuman tazir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ perampasan harta dan penghancuran barang. e. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri/ pemerintah demi kemaslahatan umum. Sehingga dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, walaupun tazir sifatnya diserahkan kepada kebijakan hakim, tidak didefinisikan secara pasti, dan tidak pula dibahas secara terperinci, namun dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang melanggar kepentingan pribadi atau masyarakat yang bersifat publik, terkena
96 Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774 . 97 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 258. tazir. Otoritas publiklah yang menentukan aturan hukumnya dengan semangat syariah. Dalam hukum Islam, dasar hukum yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku penelantaran anak tidak dapat ditemukan secara jelas oleh syara. Walaupun demikian, bukan berarti pelaku penelantaran anak dapat bebas dari sanksi atas perbuatannya. Para pelaku penelantaran anak dapat dikenakan hukuman tazir, karena tazir adalah suatu istilah umtuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara. Adapun pelaksanaan hukuman tazir ini adalah mutlak menjadi hak dan wewenang kepala Negara (imam), seperti hakim dan petugas hukum lainnya. Bila dilaksanakan orang lain yang tidak mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat dikenakan sanksi. Alasannya setiap sanksi atau hukuman itu diadakan bertujuan untuk melindungi masyarakat atau rakyat, oleh karena kepala Negara itu wakil rakyat maka hanya dia yang berwenang melaksanakan hukuman tazir ini. 98
2. Sanksi Pelaku Penelantaran Anak dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
98 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, h. 51-52.
Berdasarkan UUD 1945, tepatnya pada BAB XA pasal 28A berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya serta pasal 28B ayat (2) yang berbunyi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 99 Serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, namun dalam pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara masih memerlukan satu UU yang lebih rinci sebagai landasan yuridis guna memberikan perlindungan pada anak. Landasan yuridis pada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindunangan Anak, yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku pelanggaran terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur dalam BAB XII tentang ketentuan pidana, berisikan 13 Pasal 22 ayat, dimulai dari Pasal 77-90. 100
Dalam kasus terjadinya penalantaran anak di mana hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 tidak terpenuhi disebabkan kelalaian, ketidakmengertian orang tua, atau karena kesengajaan, sangsinya
99 UUD 1945 dan Amandemennya, h. 85.
100 Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 147-151.
secara jelas diatur dalam Pasal 77 ayat (b) yang diancam dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara dan / atau denda paling banyak 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sebagaimana bunyi pasal tersebut: Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun social, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 101
Hukum yang tidak ditegakkan merupakan suatu pengingkaran hukum sebagai norma atau aturan universal, yang sebenarnya berorientasi untuk menjamin kemaslahatan manusia.
D. Persamaan dan Perbedaan Bagian ini adalah bagian inti sekaligus bagian utama dari penelitian ini, yaitu melakukan analisis perbandingan sanksi terhadap pelaku penalantaran anak, dengan berusaha menemukan letak persamaan dan perbedaannya. Berdasarkan pada hasil pemaparan tersebut maka dapat diambil kesimpulan analisis sebagai berikut:
101 Ibid., h. 147. 1) Penelantaran anak dalam Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sama-sama tidak diperbolehkan. Berdasarkan: a. Hukum Islam Dalam Hukum Islam kita memang tidak akan menemukan aturan hukum atau penjelasan yang menjelaskan tentang penelantaran anak, walau demikian bukan berarti seorang anak dapat diperlakukan semena-mena. Karena orang tua memiliki tanggung jawab untuk merawat memelihara anaknya. Allah SWT berfirman: 4).4O^-4 =}uONC O}-Eu u-.OEO u-Ug`~ W ;}Eg E1-4O p E+NC O4N=O- _ O>4N4 g1O7OO^- N. O}_~^ejO O}g4OOg4 NOuO^) _ -^U> R^4^ ) E_EcN _ O._> E4).4 E-g.4O) 4 1O7O4` +O- jg.4O) _ ... ) --' / 2 : 233 ( Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya(Al-Baqarah/2: 233)
Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menerangkan atau menegaskan tentang penelantaran anak, namun dapat diilustrasikan sebagaimana pembebanan atau tanggung jawab ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dan anak bahwa pembebanan tersebut berupa perintah untuk memelihara anak. Hal tersebut juga dikuatkan oleh hadits Nabi sebagai berikut: = = -' - '' - : = ' - - - - - - = - - - - - _ - , ' = ' _ - , - ' - _ = ' , - ' - '' - : ' - , - - - ' - , ' . - = , _ ` = , - - _ -' - - - ' - , - _ - - - ` - ' = - - - '' - , = ' - + . = ' _ ' = - - ' - ' : = - - - '' - '' - - ' - , = - - _ - , = ) . '=-' - ( 102
Artinya: Dari Aisyah berkata bahwa Hindun Binti Utbah isteri dari Abi Sufyan telah menemui Nabi kemudian bertanya: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang yang sangat pelit, ia tidak memberikan nafkah yang cukup bagiku dan anakku
102 Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401H/1981M), VI: 193. kecuali jika aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah atas hal yang demikian aku akan terkena hukuman? Rasulullah menjawab: Ambillah dari harta Abu Sufyan dengan cara yang baik sesuai dengan kebutuhanmu dan anakmu.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka Islam melarang seseorang menelantarkan atau menyia-nyiakan seorang anak, walaupun pelarangan tersebut tidak seperti pelarangan khamar.
b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Larangan untuk menelantaran anak dalam Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada BAB III tentang Hak dan Kewajiban Anak pada Pasal 4 hingga Pasal 19, serta BAB IV bagian keempat tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua pada Pasal 26 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: Pasal 26 (1) Orang Tua Berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya; dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak- anak. (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Walaupun sama-sama tidak diperbolehkan, akan tetapi pelarangan dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lebih jelas aturannya dari Hukum Islam. 3) Ditinjau dari perlindungan hak-hak anak, perlindungan terhadap hak-hak anak dalam Hukum Islam lebih lengkap, dibandingkan dari UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seperti hak atas kesucian keturunan, hak atas nama baik, hak atas susuan, hak atas pendidikan serta hak atas warisan. Hak-hak ini terdapat dalam Hukum Islam sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak ditemukan. 4) Sanksi pidana yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu: sebagai pencegahan dan pembalasan. 5) Ditinjau dari sanksi pidana atau hukuman yang terdapat dan Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak sama. Dalam Hukum Islam, sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak sangat bervariatif dari yang terberat hingga yang teringan. Karena dalam Hukum Islam tidak ada kepastian hukum yang menerangkannya atau menjelaskannya sehingga sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. Sedangkan sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang Penelantaran Anak telah ditentukan pada Pasal 77 ayat (2). Pada hakikatnya perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Demi pelaksanaan perlindungan anak secara rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat, maka perlindungan anak perlu ditinjau dan dipahami menurut proposi yang sebenarnya secara dimensional. 103
Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, kesemuanya itu memberikan penekanan bahwa anak wajib dilindungi agar yang bersangkutan tidak menjadi korban tindakan kebijakan yang salah, baik individu atau kelompok, organisasi swasta atau pemerintah, baik yang secara langsung ataupun tidak langsung.
103 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular, t.t.), h. 252 BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial (social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penalantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Berdasarkan hal tersebut, dan dari pembahasan yang telah penyusun lakukan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tindakan penelantaran anak bagaimanapun alasannya, baik hukum Islam maupun UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tidak dibenarkan karena para pelaku penelantaran anak baik yang disengaja atau tidak disengaja sama-sama telah menafikan hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut. 2. Sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: a. Sanksi pidana atau hukuman yang terdapat dalam Hukum Islam bagi pelaku penalantaran anak sangat bervariatif, dari yang terberat hingga yang teringan. Karena dalam Hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori jarimah tazir, yang berat atau ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. b. Sedangkan sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diatur secara tegas dan jelas, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Bab XII tentang ketentuan pidana, Pasal 77 ayat (2) yang berbunyi: Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat penulis ungkapkan, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
B. Saran-saran Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang rasional positif, serta dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat bermanfaat, maka ada beberapa saran yang ingin penulis ungkapkan yang kiranya dapat diperhatikan dan dilaksanakan bersama mengingat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini. Yaitu beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlu dipahami dan disebarluaskan pengertian dan pemikiran-pemikiran mengenai keadilan, hak dan kewajiban, kepentingan pribadi, kepentingan umum dan pemikiran-pemikiran lain yang positif yang berhubungan dengan penyelenggaraan perlindungan anak melalui sosialisasi kemasyarakatan yang bisa berupa pengajian atau apapun. 2. Kepada seluruh masyarakat khususnya orang tua perlu adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran akan hak-hak anak dan perlindungan anak. Serta pemahaman bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya berkisar pada anak yang teraniaya secara fisik, akan tetapi cakupan pengertian kekerasan terhadap anak sangat luas. 3. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat luas tentang Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta akibat hukumannya atau sanksinya, yang bertujuan untuk melindungi anak yang dapat disebarkan melalui sosialisasi ke sekolah-sekolah ataupun pengajian umum. 4. Bagi aparat penegak hukum, hendaknya meningkatkan perannya dalam menindak pelaku penelantaran anak secara tegas sebagai terapi shock. 5. Bagi para hakim, hendaknya memberikan sanksi yang tegas yang sesuai dengan konteks yang terjadi serta disosialisasikan agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat secara umum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhori, Muhammad Ibn Ismail Shahih al-Bukhori, Beirut: Dar al-Fikr, 1401H/1981M
Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail. Subul as-Salam, Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, 1960.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), cet. ke-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Amrullah, Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema Insani Press, 1996..
Ahmadi, Abu. Dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999. Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri al-Jini al-Islamy, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tt. al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali. al-Ahkm as-Sulthniyah, cet. ke-3, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5, Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeven, 2001.
Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular,tt.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Hamzah, Andi dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa akan Datang, cet. ke-2, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, Bandung: Nuansa, 2006. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Nasir, MJA. Membela Anak Dengan Teater. Yogyakarta: Purwanggan, 2001. Norbuko, Cholid. dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. ke-7, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Projodikoro, Wiryono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Erisco, 1989.
Rofiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-6, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Sabiq, As-Sayid. Fiqih as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Salmi, Akhiar. Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara Persada, 1983.
Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. Cara Nabi Mendidik Anak, alih Bahasa Salafuddin Abu Sayyid , cet. ke-5, Solo: Pustaka Arafah, 2006.
Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Syarifuddin, Amir. Usul Fiqih, cet. ke-2, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. Unais, Ibrahim. al-Mujam al-Wasit, Dar at-Turas al-Arabi, t.t.
Undang-Undang Perlindungan Anak, Surabaya: Media Centre, 2006.
UUD 1945 dan Amandemennya, Surakarta: al-Hikmah, t.t
Wadong, Maulana Hasan. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grassindo, 2000.
Wahid, Abdurrahman. Islam Tanpa Kekerasan, cet. ke-I, Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 1998.
Wijaya, Sofyan Sastra. Hukum Pidana, Bandung: C.V. Amirco, 1990.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
LAMPIRAN I
BAB III Tentang Hak dan Kewajiban Anak Pasal 4 hingga pasal 19
Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Pasal 6 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
Pasal 7 (3) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (4) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9 (3) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (4) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangakan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13 (3) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan a. Diskriminasi b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran d. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan e. Ketidakadilan dan f. Perlakuan salah lainnya (4) Dalam halo rang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan e. Pelibatan dalam peperangan
Pasal 16 (5) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (6) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (7) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 (3) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk e. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa f. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan g. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (4) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk f. Menghormati orang tua, wali, dan guru g. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman h. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara i. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya j. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia