Anda di halaman 1dari 95

PENELANTARAN TERHADAP ANAK

(Perspektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak)












Oleh :
FARHAN
NIM : 105044101364

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM
UI N SYARI F HI DAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
PENELANTARAN TERHADAP ANAK
(Perspektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
FARHAN
NIM : 105044101364


Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II

Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sri Hidayati, M.Ag.
NIP. 1977202241998031003 NIP. 197102151997032002



K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI AH DAN HUKUM
UI N SYARI F HI DAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN


Skripsi yang berjudul Penelantaran Terhadap Anak (Perspektif Hukum Islam dan
Undang Undang RI No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak), telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 dan 18 Maret 2010. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program
Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Maret 2010
Dekan,



Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM
NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
(..............................)
NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH
(..............................)
NIP. 197202241998031003

Pembimbing I : Kamarusdiana, S.Ag., MH
(..............................)
NIP. 197202241998031003

Pembimbing I : Sri Hidayati, M.Ag.
(..............................)
NIP. 197102151997032002

Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH,MA, MM
(..............................)
NIP. 195505051982031012

Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
(..............................)
NIP. 195003061976031001






KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur selalu penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Robbi yang
atas segala nikmat-Nya kita dapat melaksanakan segala aktifitas sehari-hari,
kepada-Nya kita memohon ampunan, kepadaNya pula kita memohon
perlindungan. Shalawat teriring salam haturkan kepada Nabi dan Rasul
junjungan, sang reformis Islam Baginda Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga, sahabat dan serta para pejuang Islam di jalan Allah yang selalu
istiqomah hingga akhir zaman.
Dengan mengucap syukur Al-hamdulillah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Penelantaran Terhadap Anak (Studi
Komparatif Antara Hukum Islam Dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak) sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana
S1, Sarjana Hukum Islam (S.H.I) di Fakultas Syariah dan Hukum. Dalam proses
pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami
penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan bahan-
bahan (data) dan lain sebagainya.
Berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak maka segala kesulitan dan
hambatan ini dapat diatasi dan tentunya dengan se-izi Allah SWT. Dalam
kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., selaku Sekretaris Jurusan serta Dosen
Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam
memberikan pengarahan kepada penulis guna menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini dengan meluangkan waktu
dan pikirannya.
5. Khusus kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta, H.
Fathurrachman yang telah berjuang dengan keringat dan air mata demi
pendidikan penulis. Ibunda tercinta Tihani yang telah mencurahkan seluruh
cinta dan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Kepada keduanya
penulis mengucapakan terima kasih yang sangat atas segala perhatian,
baik berupa moril ataupun materil yang selalu tercurahkan kepada penulis.
6. Terima kasih kepada Rosma Dewi S.E., yang selalu menjadi sumber inspirasi
dan memotivasi penulis, dikala langkah ini terasa gontai dalam
menghadapi penatnya kehidupan. Tawa, canda, kegelisahan dan
kesedihan selalu bisa ku lalui bersamamu. Semoga kita selalu bisa
menghadapi dan menyelesaikan segala masalah berdua. Ayah sayang
kamu bunda.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis
dengan ilmu yang berharga. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan UIN, dan Bagian Tata Usaha (TU)
Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan yang cukup baik.
8. Terima kasih kepada teman-teman yang akan selalu menjadi kenangan,
yang telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan dan
persahabatan penulis.
9. Teman-teman Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah angkatan 2005 yang
selalu memberi motivasi dan dukungan moril dalam penulisan skripsi ini agar
segera dapat terselesaikan. Terima kasih juga atas kebersamaan selama
berada di kampus tercinta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan
memilki keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Demikian pula penulis berharap skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Jakarta, 03 Maret 2010
Penulis
OUT LINE

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Review Studi Terdahulu
E. Kerangka Teori
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan
BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK
A. Pengertian PenelantaranAnak
B. Kriteria Penelantaran Anak
C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
BAB III : SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENELANTARAN ANAK MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi
1. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Hukum Islam
2. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut
UndangUndang
B. Tujuan Sanksi
1. Tujuan Sanksi Menurut Hukum Islam
2. Tujuan Sanksi Dalam Undang-Undang.
C. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak
1. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak Dalam Hukum Islam
2. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak Dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
D. Persamaan dan Perbedaan
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting
dalam tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang
terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan wanita.
1
Dari keluarga itu juga
akan akan melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan
kehidupan salanjutnya. Dengan lahirnya individu baru tersebut maka akan
menimbulkan sebuah tanggung jawab yang besar yang pada akhirnya
harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang tuanya.
Walaupun Indonesia bukan merupakan negara Islam akan tetapi
Indonesia merupakan sebuah negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Sehingga dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya
penduduk Indonesia yang beragama Islam akan berhadapan dengan dua
hukum yang berbeda orientasinya, seperti halnya dalam permasalahan
tentang anak.
Pada hakikatnya dunia anak adalah dunia bermain. Dunia yang
identik dengan kebebasan dan kreativitas. Anak selalu ingin bergerak

1
H. Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. ke-2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), h. 239
sesuai dengan nalurinya untuk merespon apa yang ditangkap oleh panca
indra atau kesehariannya, misalnya : ia bermain pasar-pasaran dengan
kawan-kawannya, itu adalah sebuah permainan asosiasi hasil
pengalaman melihat pasar ketika ia diajak oleh ibunya untuk berbelanja,
lewat imajinasi seperti itulah anak berusaha untuk melakukan suatu
konstruksi atas realitas yang mereka saksikan sendiri, sebuah pekerjaan
kreatif.
2

Persoalan mengasuh anak tidak ada hubungannya dengan
perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun
menyangkut hartanya, perkara mengasuh anak yaitu dalam arti mendidik
dan menjaganya.
3
Kewajiban mendidik serta merawat anak merupakan
amanat yang dibebankan Allah pada pundak ayah dan ibu.
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid mengutip perkataan Imam al-
Ghazali dalam risalah beliau yang berjudul Ayyuha al Walad mengatakan
bahwa:
Makna mendidik (tarbiyah) serupa dengan pekerjaan seorang
petani yang membuang duri dan mengeluarkan tumbuh-tumbuhan

2
MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, cet. ke-1 (Yogyakarta: Purwanggan, 2001), h.10

3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, pen: Masykur A.B.dkk, cet. ke-3,
(Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004), h. 415

asing atau rerumputan yang mengganggu tanaman, agar ia bisa
tumbuh dengan baik dan membawa hasil yang sempurna.
4


Kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang belum
mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akalnya
(kecerdasan berfikirnya), ulama fiqih menetapkan bahwa kewenangan
seperti itu lebih tepat dimiliki oleh kaum wanita, karena naluri kewanitaan
mereka lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta kesabaran
mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih
tinggi dibandingkan kesabaran laki-laki. Selanjutnya ulama fiqih juga
mengatakan apabila anak tersebut telah mencapai usia tertentu, maka
pihak laki-laki dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat,
mendidik dan menghadapi berbagai macam persoalan anak tersebut
sebagai pelindung.
5

Ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa hukum merawat dan
mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil, belum
mumayyiz, tidak dirawat dan dididik dengan baik maka akan berakibat

4
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak, alih Bahasa Salafuddin
Abu Sayyid , cet. ke-5, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h. 22
5
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5 (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeven,
2001), h. 345

buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa
mereka. Oleh sebab itu, mereka wajib dipelihara dan dididik dengan baik.
6

Sebagai negara hukum, Indonesia telah mempunyai perangkat
hukum guna melindungi anak-anak Indonesia, diantaranya adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pasal 20, pasal 20A ayat (1), pasal 21, pasal 28B ayat (2), pasal
34.
2. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan
Anak.
3. Undang-Undang RI No 7 Tahun 1984, Tentang Penghapusan
Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
4. Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak.
5. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1997, Tentang Penyandang
Cacat.
6. Undang-Undang RI No 20 Tahun 1999, Tentang Pengesahan
Konvensi ILO Convention (mengenai usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja).
7. Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM).

6
Ibid., h. 415
8. Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan
Anak.
9. Kepres R.I. No 59 Tahun 2002, (R.A.N. Penghapusan Bentuk_bentuk
Terburuk Pekerjaan Anak).
10. Kepres R.I. No 88 Tahun 1999, (R.A.N. Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak).
7

Namun demikian status dan kondisi anak Indonesia adalah
paradoks. Secara ideal anak adalah pewaris dan penerus masa depan
bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk,
dunia anak yang seharusnya diwarnai dengan kegiatan bermain, belajar
dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan,
realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih
dan terus mengalami kekerasan.
8

Di Indonesia anak-anak mengalami persoalan yang kompleks.
Secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi menindas,
gambaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi
Hak Anak masih jauh dari kenyataan, mereka masih menjadi bagian yang
terpinggirkan, tereksploitasi, terepresi oleh lingkungan dan budaya di mana
mereka hidup; seperti dalam keluarga, masyarakat, pendidikan formal di

7
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h. 13

8
Ibid., h. 15
sekolah dan sektor kehidupan lainnya. Modernisasi di negeri ini belum
memperhatikan persoalan anak dengan baik, justru yang terjadi mereka
menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung.
9

Kemiskinan, yang sering kali bergandengan dengan rendahnya
tingkat pendidikan, pengangguran dan tekanan mental, umumnya
dipandang sebagai faktor yang dominan yang mendorong terjadinya
kasus kekerasan terhadap anak.
10
Kekerasan terhadap anak sering kali
diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan
seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (structural) juga
membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Istilah child
abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai yang
bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse), dari yang
bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi
kekerasan struktural.
11

Kekerasan struktural adalah kekerasan sistemik dan tidak tampak,
namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian dan penderitaan
yang luar biasa luas dan berjangka panjang terhadap anak. Kekerasan
struktural yang sering disebut dengan system abuse, dapat berupa praktik

9
MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, h. 2

10
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 15

11
Ibid., h. 14
korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), kontrol deprestif, praktek ekonomi
monopolistik, dan eksploitatif yang merugikan negara, dan pada gilirannya
menciptakan kondisi sosial ekonomi yang melahirkan dan menyuburkan
akar kemiskinan dan kekerasan social terhadap anak.
12
Hal tersebut juga
menimbulkan bentuk penindasan. Penindasan adalah tidak manusiawi,
sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).
Dehumanisasi bersifat ganda, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas
kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum menindas. Keduanya
menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak
manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, mereka dibuat tidak
berdaya dan dibenamkan dalam kebudayaan bisu. Adapun minoritas
kaum menindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakikat
keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan
terhadap sesamanya.
13

Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan
terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial
(social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penalantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang
tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh

12
Ibid., h. 14

13
MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, h. 13

kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau
tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.
14
Hukum Islam dan
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pada
hakikatnya sama, yaitu sama-sama sebuah aturan. Aturan yang bersifat
mengatur dan bersifat memaksa bagi anggotanya, akan tetapi landasan
dan tujuannya berbeda, sehingga menimbulkan implikasi yang berbeda.
Oleh karena itu penulis mengangat judul PENELANTARAN TERHADAP ANAK
(Studi komparatif Antara Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak) untuk mengetahui di mana letak
kesamaan dan perbedaan antara dua hukum tersebut.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis membatasi masalah anak
dari segi penelantaran. Penelantaran yang dimaksud ialah ketika hak-
hak anak tidak terpenuhi oleh orang tua ataupun walinya, dalam hal ini
penelantaran tidak hanya yang bersifat kasat mata seperti kekerasan
fisikal dan seksual, di dalamnya juga termasuk kekerasan yang berupa
psikis dan sosial (structural) yang juga pada akhirnya akan membawa
dampak buruk dan permanen terhadap anak.

14
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 37
Untuk itu penulis akan membahasnya dari sudut pandang Hukum
Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Fokus pembahasan ini yaitu
pada sanksi yang diterapkan ketika terjadi penelantaran anak.
2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas, anak yang
menurut Hukum Islam dan UU RI No 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan
Anak seharusnya memperoleh perlindungan sesuai dengan hak-hak
anak, seperti pendidikan, kasih sayang, rasa aman, kehidupan yang
layak. Akan tetapi pada kenyataannya banyak anak-anak yang masih
mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Oleh karena itu maka
penulis merincikan rumusan masalah dalam skripsi ini yang berbentuk
pertanyaan yaitu:
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Undang-Undang No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap penelantaran
anak?
2. Bagaimana sanksi terhadap pelaku penelantaran anak menurut
hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk merealisasikan beberapa tujuan
yang nantinya akan diidentifikasi, diolah dan dianalisa. Diantara tujuan
penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum Islam dan Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terhadap
penelantaran anak.
b. Untuk mendeskripsikan ketentuan sanksi hukum pidana bagi pelaku
penelantaran anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang No
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2. Manfaat Penelitian
a. Informatif, yaitu sebagai salah satu upaya pemberian informasi
tentang anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
b. Ilmiah, yaitu sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi
pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok pembahasan adalah
tindakan penyimpangan terhadap anak yaitu penelantaran anak. Sejauh
pengamatan penulis, belum banyak ditemukan pembahasan akan hal
tersebut. Meskipun demikian ada dua skripsi mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang anak yang dikaitkan
dengan Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
NO Nama/NIM Judul Skripsi Pembahasan Perbedaan
1. Husnul Aulia Adopsi Menurut
Hukum Islam
dan UU No. 23
Tahun 2002
Tentang
Perlindungan
Anak (Studi
Perbandingan
Antara Hukum
Islam dengan
Hukum Positif)
Dalam
pembahasan
skripsi ini,
penulisnya
memaparkan
komparasi
antara Hukum
Islam dengan
UU No 23 yang
terkait dengan
adopsi anak.
Perbedaannya
dengan skripsi
ini adalah
pokok
pembahasanny
a, pada skripsi
Husnul Aulia
pembahasan
difokuskan
pada adopsi
sedangkan
skripsi ini terfokus
pada
penalantaran
anak.
2. Marufudin Tipologi
Kejahatan
Terhadap Anak
Dalam
Perspektif UU
No 23 Tahun
2002 tentang
Perlindungan
Anak (Kajian
Hukum Positif
dan Hukum
Islam)
Pembahasan
yang disajikan
seputar
kejahatan
terhadap
anak yang
bersifat fisikal
(physical
abuse) dan
seksual (sexual
abuse) dan
dikaitkan
dengan
kepidanaanny
a.
Perbedaannya
dengan skripsi
yang sedang
penulis lakukan
adalah penulis
tidak hanya
membahas dua
sifat kejahatan
terhadap anak.
Penulis
membahas juga
tentang secara
psikologi
(psychological
abuse) dan
juga social
(social abuse).


E. Kerangka Teori
Kerangka teoritik yang dimaksud adalah pedoman arah tujuan
penelitian, kerangka teoritis juga akan membantu pemilihan konsep-konsep
yang diperlukan guna membentuk hipotesisnya.
15

Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan
jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat.
16
Sebagaimana seorang ahli fakir Yunani yaitu
Aris Toteles (384-322) menyatakan; manusia itu adalah ZOON POLITICON,
artinya manusia sebagai makhluk yang dasarnya selalu ingin bergaul dan
berkumpul dengan sesame manusia lainnya. Jadi bisa disimpulkan bahwa
sesungguhnya manusia adalah makhluk yang suka bermasyarakat. Hasrat
untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia,
merupakan suatu keharusan badaniyah untuk melangsungkan hidupnya.

15
Cholid Norbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. ke-7, (Jakarta: Bumi Aksara,
2005), h. 140

16
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.
29
Hidup bersama sebagai perhubungan antara individu-individu yang
berbeda-beda tingkatnya, misalnya; hubungan suami-isteri, keluarga, suku
bangsa dan negara. Kehidupan bersama itu dapat berbentuk desa, kota,
daerah, negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
17

Dengan demikian Negara yang merupakan organisasi masyarakat
yang berorganisasi kekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar
keamanan terjamin dan ada perlindungan atas kepentingan tiap-tiap
orang dan agar tercapai kebahagiaan yang meratadalam masyarakat,
tidak hanya satu golongan saja yang dapat merasa bahagia, tetapi
seluruh penduduk negara.
18
Semua itu dapat dibuktikan dengan adanya
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan demi
kesejahteraan serta keamanan masyarakat, salah satu peraturan dari
beberapa peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah adalah:
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Suatu
Undang-Undang memiliki cirri-ciri tertentu, hal ini disebabkan Undang-
Undang tersebut dibuat demii kepentingan bersama, dari sifat
kemajemukan manusia baik dari ras, suku, agama. Ciri-ciri dari sebuah
Undang-Undang antara lain:

17
Ibid., h. 30

18
Ibid., h. 31
1. Bersifat umum dan komprehensif yang dengan demikian merupakan
kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwaperistiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena
itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa
tertentu.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya,
adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang
memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
19

Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan
kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang
dialami secara individu maupun kelompok. Sedangkan kekerasan
terhadap anak adalah perbuatan yang disengaja yang menimbulkan
kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional,
meliputi berbagai bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara
langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada
penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.
20
Kekerasan terhadap
anak dapat dikelompokkan menjadi: kekerasan secara fisik (physical
abuse), kekerasan secara psikologi (psychological abuse), kekerasan
secara seksual (sexual abuse), kekerasan sosial (social abuse).

19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 83-84

20
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h. 36
Kekerasan anak secara sosial (social abuse), mencakup
penalantaran anak dan eksploitasi anak. Ppenelantaran anak adalah sikap
dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak
terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan,
diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan
yang layak. Eksploitasi anak menunjukkan pada sikap diskriminatif atau
perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh
keluarga atau masyarakat.
21
Pentingnya pengurusan terhadap anak
dikarenakan seorang anak belum dapat menentukan mana yang baik
untuk dirinya, biasanya seorang anak melakukan sesuatu bertolak ukur
pada kesenangannya saja. Sehingga perlu adanya orang yang
mendampingi serta mengarahkannya, walau demikian hak anak untuk
mendapat informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya tidak
dinafikan.
Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan
kewajiban serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, negara. Seperti yang tertera dalam Undang-Undang No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 20. sedangkan mengenai
kewajiban dan tanggung jawab keluarga/orang tua diatur dalam pasal 26,

21
Ibid., h. 37

sedangkan sanksi terhadap pelaku pelanggaran tersebut diatur dalam
pasal 77 (b) yang berbunyi:
Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
22


Sedangkan dalam ajaran agama Islam juga terdapat aturan-aturan
yang menjadi pedoman hidup bagi umatnya. Hal ini menjadi penting
dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Membahas
tentang pembinaan hukum Islam merupakan pembahasan penting dalam
hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta pakar hukum.
Sesungguhnya Islam dalam arti luas: (Religiusitas sejak Nabi Nuh A.S.)
mempunyai prinsip yang dijelaskan dan diperinci oleh Al-Quran dimana
nilai-nilai moral dipandang sebagai prinsip yang penting dari-Nya, nilai-nilai
moral kebersamaan tersebut merupakan nilai-nilai moral manusia secara
umum, tanpa adanya nilai-nilai moral tersebut, eksistensi negara akan
kehilangan justifikasi moralnya. Baik individu, maupun suatu komunitas di
seluruh dunia tidak dapat keluar dari keharusan mengikuti nilai-nilai moral
itu. Hal ini adalah sisi universal dalam Islam.
23


22
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 77 ayat (b). h. 147
23
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, pen. Sahiron Syamsudin,
Burhanudin, cet. ke-1 (Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004), h. 124
Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al-Quran,
begitu pula anjuran dan larangan Nabi dalam sunnah yang terumuskan
dalam fiqih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu
dan tidak ada yang sia-sia, semuanya mempunyai hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia.
Para ulama sepakat bahwa memang hukum syara itu mengandung
kemaslahatan untuk umat manusia. Secara sederhana maslahah itu
diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat. Diterima
akal sehat mengandung arti bahwa akal itu dapat mengetahui dengan
jelas kenapa begitu?. Setiap perintah Allah dapat dipahami oleh akal,
karena setiap perintahnya mengandung kemaslahatan untuk manusia,
baik dijelaskan sendiri oleh Allah atau tidak.
24
Adapun yang menjadi tolak
ukur dan tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi
kebutuhan dasarbagi kehidupan manusia.
Tuntutan-tuntutan kebutuhan bagi kehidupan bagi manusia dibagi
secara berurutan yaitu:
1. Kebutuhan Primer meliputi (Agama, Jiwa, Akal, Harta dan
Keturunan atau Harga diri).
2. Kebutuhan Sekunder.

24
Amir Syarifuddin, Usul Fiqih, cet. ke-2, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 207

3. Kebutuhan Tertier.
25

Tujuan pembagian syara tersebut adalah menunjukkan peringkat
kepentingannya, sehingga apabila terjadi perbenturan antara ketiganya
maka yang didahulukan berdasarkan urutannya. Namun bila perbenturan
tersebut dalam suatu tingkatan maka yang didahulukan berdasarkan
urutan kepentingannya. Sedangkan Ijtihad adalah salah satu metode
dalam penetapan suatu hukum, lebih khususnya dalam metode maslahah
mursalah. Maslahah mursalah dalam pengertiannya memiliki beragam
definisi, sehingga Amir Syarifuddin menarik kesimpulan tentang Maslahah
mursalah sebagai berikut:
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan
dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan
bagi manusia.
2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan
tujuan syara dalam menetapkan hukum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan
syara tersebut tidak ada petunjuk syaranya secara khusus yang
menolaknya juga tidak ada petunjuk ayara yang
mengakuinya.
26


Maslahah-mursalah adalah bagian dari maslahah, maslahah
merupakan kelanjutan salah satu metode ijtihad yang bertolak ukur dan
bertujuan pokok pembinaan Hukum Islam, dalam hal ini pemenuhan
kebutuhan primer manusia. Sedangkan yang menjadi titik bahasan

25
Ibid., h. 215
26
Ibid., h. 334

maslahah-mursalah dalam ushul fiqih adalah yang selalu menjadi ukuran
dan rujukan bagi hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta benda. Tanpa melepaskan tujuan pemenuhan
kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindari
ketidaksenangan.
27

Hukum pidana Islam atau Fiqih Jinayah merupakan salah satu
bagian dari syariah Islam karena di dalamnya terdapat hukum-hukum
pidana yang tercantum dalam al-Quran, sedangkan Fiqih Jinayah memiliki
pengertian ilmu tentang hukum syara yang berkaitan dengan masalah
perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan hukumnya (Uqubah) yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci. Definisi tersebut merupakan gabungan
antara pengertian Fiqih dan Jinayah.
28

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa objek
pembahasan Fiqih Jinayah secara garis besar terbagi dalam dua hal, yaitu:
1. Jarimah (Tindak Pidana)
Imam al-Mawardi mendefinisikan Jarimah sebagai berikut:

27
Ibid., h. 326

28
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. ix
' = - - = = , - = , - - '' = _ - + ' =- - - .
29

Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan Jinayah, Abdul
Qadir Audah mengartikan Jinayah, sebagai Berikut:
'' = - ' - ' - . - = - = - ' , _ -' . = ' _ - - ' = , ' = .
30

2. Uqubah (Hukuman)
Abdul Qadir Audah mengartikan Uqubah sebagai berikut:
' - , - _ =' -' - ' - - ' = =' - =' = ' = _ - , ' - -' ' .
31

Sedangkan pembagian Jarimah ditinjau dari segi hukumannya
terbagi dalam tiga bagian yaitu:
32




1. Jarimah Hudud

29
Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, al-Ahkm as-Sulthniyah, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1966),
h. 236

30
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jini al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tt), h. 67
31
Ibid., h. 609

32
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. x-xii
Jarimah Hudud adalah Jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Sedangkan Pengertian had adalah hukuman yang telah
ditentukan syara dan merupakan hak Allah.
2. Jarimah Qishash dan Diat
Jarimah Qishash dan Diat adalah Jarimah yang diancam
dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash ataupun diat
kedua-duanya adalah hukuman yang telah ditetapkan oleh
syara. Perbedaannya dengan hukuman had adalah bahwa
hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat),
sedangkan qishash dan diat merupakan hak manusia (hak
individu). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena
hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia individu
maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh
korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa
dimaafkan atau digugurkan.
3. Jarimah Tazir
Jarimah Tazir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh
syara dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan
kepada ulil amri.




F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian
pustaka (library research) yang menggunakan literature-literatur berupa;
buku, jurnal, kamus, dan karya pustaka lainnya yang berhubungan
dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya.
Karena dalam penyelesaian penelitian ini Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak serta Hukum Islam merupakan acuan
bagi penulis sebagai data primer yang menjadi pegangan penulis.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik,
yaitu suatu penelitian yang bertolak dari pemaparan kondisi obyektif
masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam
Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak serta menjelaskan data-data tersebut yang sesuai
dengan pokok masalah.
3. Pengumpulan Data
Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library
research), maka dalam pengumpulan data yang dilakukan yaitu
dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya:
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Membela Anak Dengan Teater karya M.J.A. Nashir, Kekerasan Terhadap
Anak karya Abu Huraerah, Mendidik Anak karya Muhammad Nur Abdul
Hafid. Serta data-data sekunder berupa: buku-buku, makalah dll, yang
berkaitan dengan judul penelitian ini.
4. Pendekatan
Pendekatan yang penyusun lakukan adalah normative-yuridis
artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya
berdasarkan norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta
aturan hukum yang ada dalam agama Islam.

5. Analisis Data
Analisis data merupakan cara yang dipakai untuk menelaah
keseluruhan data yang tersedia dari berbagai sumber.
33
Dalam hal ini
penyusun menggunakan metode analisis perbandingan yang mana

33
Lexi. J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), h. 190
membandingkan data-data yang ada, serta menitik beratkan pada
study sanksi terhadap pelaku penelantaran anak.
G. Sistematika Penulisan
Demi memperoleh ketertiban dalam sebuah penulisan, maka penulis
menggunakan sistematika penulisan skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab,
dengan tekhnik penulisan mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007
34
.
Sistematika penulisan yang penulis gunakan adalah :
Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan, yang memuat latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan signifikasi
penelitian, kerangka metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Mengacu
pada bagian pendahuluan, kita sudah dapat mengetahui garis besar dan arah
penelitian. Bab pertama ini adalah berupa pengantar, sedangkan isi dari keseluruhan
penelitian akan dipaparkan dalam Bab II, III, IV dan inti dari penelitian seluruhnya
tertuang dalam Bab IV yang berisi kesimpulan.
Bab kedua, membahas mengenai gambaran umum tentang
penelantaran anak. Diawali dengan pengertian anak, pengertian
penelantaran dan penelantaran anak. Kemudian dipaparkan juga tentang
pemeliharaan (perlindungan) anak dan larangan penelantaran anak

34
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.,
(Jakarta; Fakultas Syariah Dan Hukum, 2004), h. 30-31
menurut hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
Bab ketiga, adalah pembahasan tentang sanksi pidana bagi
pelaku penelantaran anak menurut hukum Islam dan undang-undang no
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang di dalamnya juga
dijelaskan mengenai pengertian, dasar hukum serta tujuan dan sanksi bagi
pelaku penelantaran terhadap anak baik dalam hukum Islam ataupun
dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Bab keempat, adalah pembahasan deskriptif-analisis, yaitu
perbandingan terhadap kriteria dan sanksi bagi pelaku penelantaran anak
menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dimulai dengan pandangan Hukum Islam serta
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dan akan
ditutup bab ini dengan analisis perbandingan antara Hukum Islam dan
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Bab kelima, adalah penutup yang akan berisikan tentang
kesimpulan serta saran-saran.




BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK

A. Pengertian Penelantaran Anak
Arti anak menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah keturunan
insan (manusia) yang kedua.
35
Anak adalah kelompok manusia muda yang
batas umurnya tidak selalu sama di berbagai negara. Di Indonesia yang
sering dipakai untuk menjadi batasan umur adalah anak usia 0-21 tahun.
Dengan demikian bayi, balita dan usia sekolah termasuk dalam kelompok
anak. Pada umumnya disepakati bahwa masa anak merupakan masa
yang dilalui setiap orang untuk menjadi dewasa.
Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 (1973), pengertian
tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Sebaliknya, dalam Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah
diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Kepres No 39 tahun 1990
disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang
berusia antara 0 sampai 18 tahun ke bawah. UU RI No 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang

35
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke-5 (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), h. 38
belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan UU Perkawinan
menetapkan batas usia seorang anak adalah 16 tahun.
36

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada BAB I Pasal I
menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 Ayat (1), batas usia anak yang mampu
berdiri sendiri adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
37

Jika dicermati, maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa
rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai 21 tahun. Penjelasan
mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pada
pertimbangan kepentiangan usaha kesejahteraan sosial, serta
pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi serta kematangan
mental seseorang yang pada umumnya dicapai setelah seseorang
melampaui usia 21 tahun.
Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak
terpelihara, terbengkalai, tidak terurus.
38
Bentuk penelantaran anak pada

36
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h 19

37
Cik Hasan Bisri (ed)., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet. ke-2
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995), h. 170

38
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 564
umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk,
kurang gizi, tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai,
memaksa anak menjadi pengemis attau pengamen, anak jalanan, buruh
pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis pekerjaan lain
yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.
39
Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan orang tua yang tidak memperhatikan
anaknya, dapat termasuk orang-orang yang menelantarkan anak, seperti
membiarkan anak kegemukan (obesitas). Sebuah kasus terjadi di London,
yaitu:
Pihak berwenang di Inggris mengancam akan mengambil alih hak asuh
atas diri Connor McCreaddie, anak lelaki yang berumur 8 tahun yang
mengalami kegemukan. Kebijakan ini dipertimbangkan di London setelah
pihak berwenang menganggap ibunda Connor, Nicola McKeown lalai
dalam mengatur diet yang harus dijalani bocah tersebut. Connor memiliki
berat badan yang berlebihan, yakni 99 kilogram atau tiga kali dari bobot
normal anak seusianya. Keluarga Connor dianggap melakukan kekerasan
terhadap anak karena mengabaikan dietnya. Dr. Colin Waine, Direktur
National Obesity Forum di Nottingham, Inggris mengatakan Gaya hidup
Connor sangat berbahaya, Connor terancam menderita diabetes pada
usia remaja, mengalami gangguan jantung dan gangguan syaraf pada
usia 20-an tahun. Colin menambahkan bahwa Connor beresiko mati pada
usia 30 tahun, pendapat Colin disetujui oleh Dr. Michael Markiewich,
seorang dokter anak.
40



39
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h 55

40
Kedaulatan Rakyat, No. 146. Th. LXII (Rabu, 28 Februari 2007), h. 15

Pada kasus penelantaran anak, kita akan menemukan kekurangan
gizi tanpa ada dasar organiknya, kekurangan cairan atau dehidrasi, luka
atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati, tidak mendapat imunisasi
dasar.
41
Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang
tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau
tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.
42

Dari literatur Internasional, ketelantaran anak secara umum dibagi
dalam dua kelompok, yaitu:
1. Ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi
hubungan sosial dalam keluarga normal.
2. Ketelantaran yang disebabkan kesengajaan, gangguan jiwa dan atau
ketidakmengertian keluarga/orang tua, atau hubungan dalam keluarga
tidak normal.
43

Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia telah tidak
memiliki salah satu orang tua atau keduanya. Anak terlantar adalah anak-
anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya secara
wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar di sini juga dalam

41
http;//www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/21/hikmah/konsultasi.htm.
42
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, h 37

43
Ibid., h. 56

pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, hak
anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan hak untuk
memperoleh kesehatan yang yang memadai tidak terpenuhi karena
kelalaian, ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau
karena kesengajaan.
44

Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak
korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian public
secara serius karena penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis
sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara fisik,
sebagaimana anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak
yang dianiaya oleh orang tuanya hingga tewas, atau anak yang dipaksa
bekerja di sektor prostitusi, masalah anak terlantar acap kali hanya dilihat
sebagai masalah intern keluarga per keluarga, hanya bersifat kasuistis dan
terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang secara psikologis
bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh perhatian public
secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini jumlahnya
makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak
yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak.
45



44
http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0508/04/opini/1916312.htm.
45
Ibid.
B. Kriteria Penelantaran Anak
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
(menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak). Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
46

Fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggelayuti
kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras,
terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan
depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.
Apabila perlakuan kasar orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian

46
http://agribisnis.deptan.go.id/web/diperta-ntb/berita/kekerasan.htm

anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat
dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orang tuanya.
47

Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari
kekerasan keluarga, adalah:
48

a. Harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya terhadap
anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu,
ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan yang
tidak menyenangkan dari orang tuanya, dan kekuasaan orang tua
atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap
anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orang tua
lainnya atau keluarga terdekat.
b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak
yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan
sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di
samping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang
mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang
menjadi korban kekerasan dalam keluarga.

47
http://www.bisnis .com/bisnis/owa/bisnis.fstory_othernews?cookie=2&cdate=08-NOV-
1996&inw_id=6367

48
http://www.bisnis .com/bisnis/owa/bisnis.fstory_othernews?cookie=2&cdate=08-NOV-
1996&inw_id=6367
Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena
pada masa lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum
ada dasar hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran
anak di Indonesia belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi,
karena sulitnya memperoleh data dan deteksi kasus-kasus seperti ini.
Kesulitan disebabkan para pelaku penganiayaan dan penelantaran anak
adalah mereka yang berotoritas lebih tinggi dari pada korban (anak),
sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para korban
tanpa mendapatkan bantuan pelayanan medik. Oleh karena itu, sangat
perlu bantuan dan kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas
kesehatan untuk mampu melakukan deteksi penganiayaan atau
penelantaran anak, sehingga korban (anak) memperoleh pertolongan
medik dan perlindungan yang semestinya.
Berikut adalah faktor-faktor penyebab dan faktor kontributif
terjadinya penganiayaan dan penelantaran anak, adalah:
49

a. Faktor orang tua, yaitu adanya pengalaman penganiayaan
di masa kecilnya, ketidaktahuan cara mendidik dan
mengasuh anak, nilai hidup dan harapan yang terlalu tinggi
dari kemampuan anak, kurangnya pengetahuan tentang
perkembangan anak, sehingga orang tua tidak mengerti

49
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/03/hikmah/konsultasi.htm
kebutuhan anak. Selain itu juga keterlibatan penggunaan
narkotik dan zat adiktif, serta orang tua dengan gangguan
mental.
b. Faktor situasi keluarga, yaitu keluarga yang terasing dari
masyarakat, kemiskinan, rumah tempat tinggal yang padat,
krisis dan tekanan kehidupan akibat masalah sosial-ekonomi-
politik, dan masalah interaksi dengan lingkungan.
c. Faktor anak, yaitu perilaku dan tabiat anak, penampilan fisik
anak, kegagalan anak memenuhi harapan orang tua, dan
anak yang tidak diinginkan.
d. Faktor budaya, yaitu kepercayaan dan adapt istiadat
mengenai pola asuh anak dan hak orang tua terhadap anak,
pengaruh pergeseran budaya dan pengaruh media masa.
Indikator kemungkinan terjadinya penganiayaan dan penelantaran
emosional adalah: adanya keluhan-keluhan psikosomatik dan gagal
tumbuh tanpa dasar organic yang sesuai (indikator fisik). Selain itu, bisa juga
ditemukan indikator perilaku, antara lain: anak mengatakan, dirinya telah
dianiaya, membalik/menyangkal cerita yang telah diungkapkan
sebelumnya, ketakutan berlebih terhadap orang tua atau orang dewasa
lainnya, tidak lari ke orang tua untuk meminta support dan perlindungan,
memperlihatkan tingkah laku agresif dan penarikan diri yang ekstrim,
kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya, terlalu penurut/pasif,
agresifitas seksual terhadap orang lain, lari dari rumah atau berperilaku
delinkuen, perilaku mencederai diri, sering mau bunuh diri, gangguan tidur,
menghindari kontak mata, memperlihatkan perilaku terlalu dewasa atau
terlalu kekanak-kanakan. Indikator kemungkinan terjadinya penelantaran
fisik apabila terdapat gagal tumbuh fisik maupun mental, malnutrisi tanpa
dasar organik yang sesuai, dehidrasi (kurang cairan tubuh), lika atau
penyakit yang dibiarkan tidak diobati, tidak mendapat imunisasi dasar, kulit
kotor tidak terawatt, rambut dengan kutu-kutu, pakaian yang lusuh dan
kotor, keterlambatan perkembangan, keadaan umum yang lemah,
letargik, dan lelah.
50


C. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
1. Menurut Hukum Islam
Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kehidupan individu dan kelompok, kepribadian ini tidak bisa
sempurna kecuali bila diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala
aspeknya, tempat yang paling subur bagi pembinaan pendidikan
adalah fase anak-anak yang merupakan fase teristimewa,
keistimewaan berupa kelenturan, kesucian dan fitrah. Jika pada fase
tersebut dibangun dengan penjagaan, bimbingan, dan arahan yang

50
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/03/hikmah/konsultasi.htm
baik, maka kelak ia akan menjadi kokoh dihadapan goncangan hari
depannya yang tentu akan ia hadapi ketika mulai menginjak dewasa.
51

Pemeliharaan (perlindungan) anak pada dasarnya menjadi tanggung
jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi
berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan pokok anak, oleh karenanya kerja sama dan tolong-
menolong antara suami dan isteri dalam memelihara anak, dan
mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa sangat dibutuhkan.
52

Diminta atau tidak diminta, pemeliharaan (perlindungan)
terhadap anak adalah hak anak. Maulana Hasan Wadong
menerangkan bahwa hak asasi anak dalam pandangan Islam
dikelompokkan secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang
meliputi sebagai berikut:
53

a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
p)4 O}7 geq uO
W-Og^ O}jgOU4N _/4EO
=}u_4C O}_UuO ) `=' / 65 : 6 (

51
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak, alih bahasa Salafuddin
Abu Sayyid, cet ke-5, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h. 108

52
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-6, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 235

53
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Grassindo, 2000), h. 32
Artinya: dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin. (Ath- Thalaq/65 : 6)

b. Hak anak dalam kesucian dan keturunannya.
-ONNu1- )_j*.4E 4O-
7O=O^~ ELgN *.- _ p) -
W-EOUu> -47.4-47
:+^4Ou=) O) g].-
7Og4O4`4 _ "^14
:^OU4 /E4LN_ .EOg
>Cu= gO) }4 E`
;EOE> 7+OU~ _ 4p~4
+.- -4OON 1gOO ) =` / 33 : 5 (
Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada
dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al Ahzab/33 : 5)

c. Hak anak dalam penerimaan nama baik
4 W-+OgU> 7=O^
4 W-+O44L>
U^) W "^-)
N;-]- 7-OOO^- Eu4
^}ECe"- _ }4`4 - U+-4C
Elj^q N-
4pO+j-- ) ==' / 49 : 11 (
Artinya: dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al Hujurat/49
: 11)

d. Hak anak dalam menerima susuan.
4).4O^-4 =}uONC
O}-Eu u-.OEO
u-Ug`~ W ;}Eg E1-4O
p E+NC O4N=O- _ ) --' / 2 :
233 (
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. (Al Baqarah/2 : 233)

e. Hak anak dalam menerima asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
O>4N4 g1O7OO^- N.
O}_~^ejO O}g4OOg4
NOuO^) _ -^U>
R^4^ ) E_EcN
) --' / 2 : 233 (
Artinya: dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya (Al
Baqarah/2 : 233)

f. Hak anak dalam memiliki harta benda (hak waris), demi
kelangsungan hidup yang bersangkutan.
W-O>-474 -OE44O^-
4O^` W 4
W-O7O4lE> E+1)lC^-
UjO-C) W 4
W-EOU7> +O4O^`
-O) 7g4O^` _ +O^^)
4p~ 6ONO -LOO): ) '--' / 4 : 2 (
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig)
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan
yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka
bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
(An- Nisa/4 : 2)

g. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
4 -^> 4` "^1 El gO)
vUg _ Ep) E7;OO-
4O=^4l^-4 E1-^-4
O7 Elj^q 4p~ +Ou44N
LO7*O4` ) -` / 17 : 36 (
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra/17 : 36)

Larangan penelantaran anak sangatlah relevan, karena isteri
dan anak merupakan tanggung jawab dari seorang suami yang
sekaligus seorang ayah dari seorang anak. Hal ini dikuatkan oleh
tindakan Rasulullah SAW, ketika beliau menerima aduan Hindun binti
Utbah:
= = -' - '' - : = ' - - - - - - = - - - - - _ - , ' = ' _ - , - ' _
- = ' , - ' - '' - : ' - , - - - ' - , ' . - = , _ ` = , - - _
-' - - - ' - , - _ - - - ` - ' = - - - '' - , = ' - + . = ' _ ' =
- - ' - ' : = - - - '' - '' - - ' - , = - - _ - , = ) -
'=-' (
54

Artinya: Dari Aisyah, bahwa Hindun bin Utbah berkata: Wahai
Rasulullah SAW. sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku) adalah
seorang laki-laki yang sangat kikir, ia tidak memberikan
(nafkah) sesuatu yang mencukupiku dan mencukupi anakku,
kecuali aku mengambilnya (sendiri) sementara dia tidak
mengetahui. Maka beliau bersabda : Ambillah apa yang
dapat mencukupi kebutuhanmu dan anakmu secara makruf
(Riwayat al-Bukhari).

Berdasarkan penjelasan di atas, walaupun secara eksplisit jelaslah
bahwa pemeliharaan (perlindungan) anak merupakan tanggung
jawab orang tua yang harus terpenuhi sesuai dengan kemampuannya.
Sebab kegagalan pemeliharaan atau penelantaran anak dalam
membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan

54
Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401H/1981M), VI: 193.
saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tua
pun akan menderita kerugian yang tidak kecil, karena kelak di akhirat
mereka (orang tua) dituntut untuk mempertanggungjawabkannya.
Karena dalam hukum Islam memiliki dua dimensi hukuman bagi pelaku
tindak kejahatan, yaitu sanksi dunia dan akhirat.
2. Menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
adalah ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan (seperti
larangan, hukuman dsb.) yang dibuat oleh pemerintah atau suatu
negara yang dipimpin oleh kabinet, disetujui oleh parlemen dan
ditandatangani oleh kepala negara.
55

Sedangkan hukum menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adapt yang
dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak.
56

Pemeliharaan (perlindungan), diminta atau tidak diminta,
pemeliharaan terhadap anak adalah hak anak. Maksud dari
memberikan lindungan ialah agar anak merasa terlindungi, sehingga
anak merasa aman, apabila anak merasa aman maka ia dapat

55
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1127

56
Ibid., h. 363

dengan bebas melakukan penjelajahan atau eksploitasi terhadap
lingkungannya. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang
mengadakan kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan atau
memperoleh hak dan kewajibannya.
57
Adapun perlindungan ini
merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam masyarakat,
melindungi anak adalah melindungi manusia. Dengan demikian maka
perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Perlindungan anak pada suatu masyarakat, bangsa merupakan
tolok ukur peradaban masyarakat, bangsa tertentu. Jadi, demi
pengembangan manusia seutuhnya, maka kita wajib mengusahakan
perlindungan anak sesuai dengan kemampuan, demi kepentingan nusa
dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan
hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya
jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut.
Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan
kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negative, yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan

57
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3 (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Popular,tt), h. 246

kegiatan perlindungan anak.
58
Kepastian hukum itu adalah Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Undang-
Undang ini aturan hukum mengenai pemeliharaan (perlindungan) anak
sangatlah lengkap yaitu pada BAB IV tentang kewajiban dan tanggung
jawab, baik oleh negara, masyarakat, orang tua, dimulai dari pasal 20-
25.
59

Adanya penelantaran anak serta pengabaian hak-hak dan
kewajiban pihak yang menjadi korban merupakan suatu indikator
adanya ketidakseimbangan dalam tanggung jawab anggota
masyarakat semacam ini, manusia tidak dilindungi secara baik.
60

Penelantaran anak dalam konteks hukum Indonesia sangatlah tidak
dibenarkan, karena bertentangan dengan aturan hukum yang tertuang
pada Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagaimana tertulis pada BAB III tentang Hak dan Kewajiban Anak
pada Pasal 4 hingga pasal 19, yaitu:
61


Pasal 4

58
Ibid., h. 246

59
Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 126-128

60
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), h. 287

61
Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 127
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.


Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.


Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.


Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.





Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.


Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangakan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.



Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.


Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri.


Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.


Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan
e. Ketidakadilan dan
f. Perlakuan salah lainnya
(2) Dalam halo rang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.


Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.


Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan
e. Pelibatan dalam peperangan


Pasal 16
(2) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
(3) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum
(4) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.


Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
b. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa
c. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku,
dan
d. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.


Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.


Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru
b. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman
c. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia












BAB III
SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENELANTARAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi
1. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Hukum Islam
Dalam tindak pidana pelaku penelantaran anak yang dipakai
rujukan guna penentuan hukumannya adalah Jarimah Tazir, karena
dalam Hukum Islam, sanksi hukum pidana pelaku penelantaran anak
tidak ditemukan atau ditetapkan oleh syara. Hal ini sesuai dengan
pengertian Jarimah Tazir.
Pengertian Tazir menurut arti bahasa berasal dari kata = yang
memiliki arti penguatan.
62
Kata = juga memiliki sinonim kata, yakni:
a. _-- yang artinya mencegah dan menolak.
b. -'-' yang artinya mendidik.
c. == yang artinya mengagungkan dan menghormati.
d. '= , - yang artinya membantu, menguatkan dan
menolong.
63


62
Ali Mutahar, Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005), h. 316.

63
Ibrahim Unais, al-Mujam al-Wasit, (Dar at-Turas al-Arabi, t.t.), II: 598.
Dari keempat pengertian di atas, yang paling sesuai adalah
pengertian pertama yang memiliki arti mencegah dan menolak, dan
juga pengertian kedua yang memiliki makna mendidik. Pengertian ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah
64
dan
Wahbah az-Zuhaili.
65

Tazir diartikan _-- yang artinya mencegah dan menolak,
karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya. Sedangkan Tazir diartikan -'-' yang artinya
mendidik, karena tazir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki
pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya.
Menurut istilah tazir didefinisikan bermacam-macam, menurut al-
Mawardi definisi tazir sebagai berikut:
-=' '+, -- ' , _'= -'- .
66

Sedangkan menurut Wahbah az-Zuhaili definisi tazir adalah:
'- ` '+, - ` '- ,-- _'= =--' -,-' .
67


64
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jinai al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, t.t.), I: 81.

65
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 197.

66
Abu al-Hasan Ali al-Mawardi, Kitab al-Ahkam as-Shulthaniyyah, cet. ke-3, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1996), h. 236.

Ibrahim Unais memberikan definisi tazir sebagai berikut:
_=-' -=' _'- ` -'- .
68

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
tazir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditentukan oleh syara. Di kalangan fuqaha
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara
dinamakan jarimah tazir. Jadi, istilah tazir bisa digunakan untuk
hukuman dan bisa juga digunakan untuk jarimah (tindak pidana).
69

Tazir dibagi atas dua bentuk, yaitu: at-tazir ala al-maashi (tazir
terhadap perbuatan maksiat) dan tazir li al-maslahah al-ammah (tazir
untuk kemaslahatan umum). Perbedaan kedua bentuk tazir ini terletak
pada hukum tindak pidana tersebut. Tindak pidana dalam at-tazir ala
al-maashi hukumnya haram selamanya dan bersifat maksiat.
Sedangkan tindak pidana dalam tazir li al-maslahah al-ammah,
hukumnya dilarang apabila memenuhi syarat-syarat tertentu karena
pada dasarnya tindakan itu sendiri tidak bersifat maksiat.
Dasar hukum tazir adalah beberapa hadits Nabi SAW. sebagai
berikut:

67
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VI: 197.

68
Ibrahim Unais, al-Mujam al-Wasit, II: 598
69
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 294

-+-' _ - '- ,'= - _' _--' -- = ,- = , - +- = .
70

Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk
memudahkan penyelidikan.
Dalam Hadits lain Nabi bersabda tentang batasan hukuman
yang boleh dilakukan dalam hukuman tazir:
` ,- -= , -'= ` ,- '- ,'= - _' - ,- _-- -= - _- '-` - _- =
_''- - - - - _ .
71

Hadits ini menjelaskan tentang batasan hukuman tazir yang tidak
boleh lebih dari sepuluh cambukan, untuk membedakan dengan
jarimah hudud. Dengan adanya batasan ini maka dapatlah diketahui
mana yang termasuk jarimah tazir dan mana yang termasuk jarimah
hudud.
'- ,'= - _' _--' '+-= - _- --'= = -=' ` +- `= '-,+' ,', .
72


70
As-Sayid Sabiq, Fiqih as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), II: 497. hadits diriwayatkan
oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim.

71
Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-
Halaby, 1960), IV: 37. Muttafaq alaih.

72
Ibid., h. 38. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Baihaqi.

Sedangkan Hadits ini menjelaskan tentang teknis pelaksanaan hukuman
tazir yang bisa saja putusan hukumannya berbeda, antara satu pelaku
dengan pelaku lainnya.
2. Pengertian dan Dasar Hukum Sanksi Menurut Undang-Undang
Sanksi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah
tanggungan (hukuman, tindakan dsb) agar orang menaati peraturan
atau perjanjian.
73
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan
terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat menaati peraturan-
peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu namun
walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja
orang yang akan melanggar peraturan-peraturan tersebut.
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum, oleh
karena itu peninjauan hukum pidana terutama dilakukan dari sudut
pertanggungjawaban manusia tentang perbuatan yang dapat
dihukum. Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan yang mana diancam dengan hukuman
yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
74
Hukum pidana juga
bisa disebut pengatur hubungan hukum antara seorang anggota

73
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 870
74
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.
257

masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata
tertib masyarakat.
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum
pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung peraturan-
peraturan (norma-norma) yang baru, melainkan hanya mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
peraturan-peraturan (norma-norma) hukum yang mengenai
kepentingan umum.
75

Dasar hukum pidana adalah bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan, hal ini
sebagaimana bunyi Undang-Undang Dasar 1945 BAB I pasal 1 ayat (3)
yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
76
Serta BAB
XA tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
77

Atas dasar inilah negara yang merupakan organisasi masyarakat
yang berkekuasaan mempunyai kewajiban untuk mengatur agar

75
Ibid.
76
UUD 1945 dan Amandemennya, (Surakarta: al-Hikmah, t.t.), h. 52.

77
Ibid., h. 85

keamanan terjamin dan perlindungan atas kepentingan tiap orang dan
agar tercapai kebahagiaan yang merata dalam masyarakat. Tidak
hanya satu golongan saja yang dapat merasakan kebahagiaan, tetapi
seluruh penduduk negara.

B. Tujuan Sanksi
1. Tujuan Sanksi dalam Hukum Islam
Hukum Islam mempunyai tujuan untuk melaksanakan perintah
dan kehendak Allah serta menjauhi larangannya, secara umum
dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil
(segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain tujuan Hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial.
78

Hidup adalah ciptaan Allah, tidak boleh dirusak tanpa alasan
yang benar. Islam sangat menekankan cara-cara yang bermoral dalam
segala garis kehidupan karena Islam adalah kedamaian, keselamatan,

78
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia), cet. ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 53.

keamanan, dan penyelamat yang berarti berusaha sekuat tenaga
untuk melakukan kebajikan.
79
Hal ini sejalan dengan tujuan Hukum Islam.
Tujuan Hukum Islam adalah mencegah kerusakan pada manusia
dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka
pada kebenaran, keadilan dan kebajikan, serta menerangkan jalan
yang harus dilalui oleh manusia.
80
Barang siapa membaca dan
mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam Syariat Islam dan
memikirkan sesuatu yang dicari alasannya, dalam al-Quran dan Hadits,
maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syariat Islam bertujuan
untuk menegakkan kemaslahatan manusia yang ditaklifi.
81
Syariat Islam
juga bertujuan untuk menegakkan dan memberikan kemaslahatan bagi
hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan kemaslahatan itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu: kemaslahatan yang bersifat primer, sekunder dan pelengkap.
82

a. Kemaslahatan yang bersifat primer

79
Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan, cet. ke-I, (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta,
1998) h. 52.

80
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 th
Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H., (Jakarta: Gema Insan Press, 1996), h. 104.

81
Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, t.t.), h. 56.

82
Ibid., h. 58-59.
Kemaslahatan yang berifat prime adalah syariat yang
menjadi tiang untuk menegakkan barbagai kemaslahatan di
dunia atau akhirat, jika tiang-tiang syariat ini tidak ditegakkan
maka kemaslahatan dunia dan akhirat itu akan hilang, dan
tak terwujud, bahkan kerugian dan kerusakanlah yang akan
terjadi. Kelima hal yang primer itu ialah: memelihara agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan atau harga diri.
b. Kemaslahatan yang bersifat sekunder
Kemaslahatan yang bersifat sekunder adalah sesuatu yang
dibutuhkan guna menghilangkan kesempitan yang secara
lahiriyah kesempitan tersebut mendatangkan kepayahan dan
menimbulkan kesulitan karena tidak didapatnya apa yang
dituntut. Akan tetapi tidak sampai mendatangkan kerusakan
dan kebinasaan.
c. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap
Kemaslahatan yang bersifat pelengkap adalah mengambil
sesuatu yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan
hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya, mengenai
sesuatu yang baik dan buruk itu terakomodasi dalam
perbincangan akhlak.
Dalam Hukum Islam, tujuan pemidanaan terbagi menjadi dua
tujuan, yaitu:
83

a. Tujuan Preventif (pencegahan) dalam istilah fiqihnya ar-Radu
wa az-Zajru.
Tujuan preventif (pencegahan) artinya menahan pelaku
jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan
mencegah supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana.
b. Tujuan Edukatif (pengajaran) dalam istilah fiqihnya al-Islah wa
at-Tadib.
Tujuan Edukatif (pengajaran) artinya untuk memberikan
pelajaran bagi pelaku jarimah agar sipelaku tersebut dapat
mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi
perbuatannya.
Drs. Makhrus Munajat, M. Hum. Dalam bukunya Dekonstruksi
Hukum Pidana Islam menuliskan bahwa tujuan pemidanaan adalah:
a. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya
setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang dari
aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap

83
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.
279
masyarakat luas (social defence). Contohnya dalam hukum
qishash yang merupakan bentuk keadilan tertinggi, di
dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman.
b. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif
(general prevention), yang berarti pemidanaan bisa
memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan
kejahatan serupa. Contoh orang berzina harus didera di muka
umum sehingga orag yang melihat diharapkan tidak
melakukan perzinahan.
c. Pemidanaan dimaksudkan sebagai tindak pencegahan
khusus (special prevention), artinya setiap orang yang
melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan
bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, dalam
aspek ini secara eksplisit terkandung nilai treatmen. Sebab
tercegahnya seseorang dari berbuat jahat bisa melalui
penderiataan akibat dipidana atau timbul dari kesadaran
pribadi selama menjalani pidana.
84

Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Hukum Pidana Islam
adalah untuk mengurang angka kriminalitas dan menjaga ketertiban
yang ada di dalam masyarakat.

84
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2004), h. 55-56.
2. Tujuan Sanksi dalam Undang-Undang.
Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dalam bukunya Penganter Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia menulis, hukum bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum tersebut harus pula
bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam
masyarakat.
85

Hukum pidana adalah hukum yang mengartur perbuatan-
perbuatan apa yag dilarang dan memberikan pidana kepada siapa
yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara
mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan.
86

Berikut adalah beberapa teori tentang tujuan dari sanksi hukum:
87

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (Absolute Strafrecht
Theorien).
Teori absolute atau teori pembalasan adalah suatu
teori yang mana suatu kejahatan harus diikuti dengan
pidanaan (hukuman) tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar
seseorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan

85
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 40-41.

86
Ibid., h. 76

87
Sofyan Sastra Wijaya, Hukum Pidana, (Bandung: C.V. Amirco, 1990), I: 24

kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari
jatuhnya pidana.
88
Maksudnya adalah bahwa putusan
pidana yang dijatuhkan sebagai sarana untuk balas dendam
atas perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Unsur
pembalasan ini meskipun dapat dimengerti tidak selalu tepat
menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana.
Menurut teori ini setiap kejahatan harus dibalas dengan
hukuman tanpa memperhatikan akibat yang timbul dari
jatuhnya hukuman. Teori ini hanya melihat pada masa
lampau tanpa melihat masa yang akan datang. Menurut teori
ini tujuan hukum adalah penghukuman itu sendiri.
89


b. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien).
Teori relative atau teori tujuan adalah teori yang
mengatakan suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti
dengan suatu pidana. Oleh karena itu, tidak cukup adanya
suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan
manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau penjahat itu

88
Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Erisco, 1989), h. 21-
24.

89
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, (Jakarta: Aksara Persada, 1983), h. 85.

sendiri, maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya
menjatuhkan pidana. Tujuan ini pertama-tama harus
diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan
tidak dilakukan kembali oleh si pelaku.
Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencegah
terjadinya pelanggaran. Pencegahan ditujukan pada:
90

1. Masyarakat, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar
masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran
(sebagaimana dilakukan oleh si terhukum), disebut juga
pencegahan umum. Teori ini pada intinya sebagai anasir
utama yang dapat menahan niat jahat seseorang untuk
melakukan kejahatan.
2. Pembahasan dari segi terhukum, hukuman itu dujatuhkan
dengan tujuan agar terhukum tidak mengulangi kembali
perbuatan yang telah dilakukannya. Hukuman tersebut
dijatuhkan untuk memperbaiki si pelaku agar tidak berbuat
jahat kembali, disebut juga pencegahan khusus.
c. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah teori yang satu pihak mengakui
adanya unsur pembalasan, tetapi di lain pihak mengakui pula

90
Ibid.
unsur pencegahaan atau memperbaiki kejahatan atau
pelaku. Teori ini mengambil jalan tengah atau penggabungan
antara teori absolut dan teori relative. Sehingga di samping
pembalasan juga bertujuan mempertahankan ketertiban
masyarakat.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu tujuan penjatuhan
pidana dapat dihimpun dalam 4 (empat) bagian, yaitu:
a. Pembalasan (Revenge)
b. Penghapusan Dosa (Ekspiation)
c. Menjerakan (Detern)
d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (Rehabilitation Of The
Criminal).
91

Sedangkan menurut Rencana Kitab UU Hukum Pidana, tujuan
dari pemidanaan adalah:
92

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.

91
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa
akan Datang, cet. ke-2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 15.

92
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1996), h. 2
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan
berguna.
c. menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat.
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam asas legalitas hukum pidana positif, yang berbunyi tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam per-Undang-Undangan, oleh sebab itu penetapan sanksi dalam
peradilan haruslah sesuai dengan aturan hukum dan tidak menafikan
hak dari si pielaku.

C. Sanksi Pidana Bagi Penelantaran Anak
1. Sanksi Pelaku Penelantaran Anak dalam Hukum Islam.
Islam tidak menentukan secara rinci dan tegas hukuman yang
akan dikenakan terhadap setiap pelanggar jarimah tazir, Islam hanya
mengemukakan sejumlah hukuman yang dapat diterapkan sesuai
dengan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, penetapan
hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan,
diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan penguasa atau hakim.
Akan tetapi, pihak penguasa atau hakim tidak dibenarkan
menyalahgunakan pendelegasian wewenang dalam menetapkan
suatu hukuman terhadap jarimah tazir.
93

Dalam menetapkan suatu hukuman terhadap jarimah tazir,
pihak penguasa atau hakim harus senantiasa berpatokan pada
keadaan terpidana, lingkungan yang mengitari terpidana,
kemaslahatan masyarakat yang menghendaki, dan berorientasi pada
tujuan hukuman yang dikehendaki Islam, yaitu pencegahan seseorang
dan berhentinya seseorang melakukan tindak pidana.
94

Jenis-jenis hukuman dalam jarimah tazir menurut ulama fiqih, bisa
berbentuk hukuman yang paling ringan, seperti menegur terpidana,
mencela atau mempermalukan terpidana dan bisa juga hukuman yang
terberat seperti hukuman mati.
95

Hukuman tersebut ada yang bersifat jasmani seperti pemukulan
atau dera. Ada yang bersifat rohani seperti peringatan, ancaman atau
hardikan, serta ada yang bersifat jasmani sekaligus rohani seperti

93
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve,
2001), V: 1774.

94
Wawancara Pribadi dengan Huzaimah Tahedo Yanggo. Ciputat, 26 Februari 2010.
95
Ibid.

hukuman penahanan atau hukuman penjara. Ada pula hukuman yang
bersifat materi seperti hukuman denda.
96

Manurut Ahmad Wardi Muslich hukuman tazir jenisnya beragam,
namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada 4 (empat)
kelompok, yaitu sebagai berikut:
97

b. Hukuman tazir yang mengenai badan, seperti hukuman mati
dan jilid (dera).
c. Hukuman tazir yang berkaitan dengan kemerdekaan
seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.
d. Hukuman tazir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/ perampasan harta dan penghancuran barang.
e. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri/
pemerintah demi kemaslahatan umum.
Sehingga dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa,
walaupun tazir sifatnya diserahkan kepada kebijakan hakim, tidak
didefinisikan secara pasti, dan tidak pula dibahas secara terperinci,
namun dapat dikatakan bahwa setiap tindakan yang melanggar
kepentingan pribadi atau masyarakat yang bersifat publik, terkena

96
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774
.
97
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 258.
tazir. Otoritas publiklah yang menentukan aturan hukumnya dengan
semangat syariah.
Dalam hukum Islam, dasar hukum yang mengatur tentang sanksi
bagi pelaku penelantaran anak tidak dapat ditemukan secara jelas
oleh syara. Walaupun demikian, bukan berarti pelaku penelantaran
anak dapat bebas dari sanksi atas perbuatannya. Para pelaku
penelantaran anak dapat dikenakan hukuman tazir, karena tazir
adalah suatu istilah umtuk hukuman atas jarimah-jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara.
Adapun pelaksanaan hukuman tazir ini adalah mutlak menjadi
hak dan wewenang kepala Negara (imam), seperti hakim dan petugas
hukum lainnya. Bila dilaksanakan orang lain yang tidak mempunyai
wewenang melaksanakannya, maka ia dapat dikenakan sanksi.
Alasannya setiap sanksi atau hukuman itu diadakan bertujuan untuk
melindungi masyarakat atau rakyat, oleh karena kepala Negara itu
wakil rakyat maka hanya dia yang berwenang melaksanakan hukuman
tazir ini.
98

2. Sanksi Pelaku Penelantaran Anak dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

98
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, h. 51-52.

Berdasarkan UUD 1945, tepatnya pada BAB XA pasal 28A
berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan
hidup dan kehidupannya serta pasal 28B ayat (2) yang berbunyi
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
99
Serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak anak, namun dalam pelaksanaan
kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara masih memerlukan satu UU yang lebih rinci
sebagai landasan yuridis guna memberikan perlindungan pada anak.
Landasan yuridis pada UU No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindunangan Anak, yang mengatur tentang sanksi bagi pelaku
pelanggaran terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
diatur dalam BAB XII tentang ketentuan pidana, berisikan 13 Pasal 22
ayat, dimulai dari Pasal 77-90.
100

Dalam kasus terjadinya penalantaran anak di mana hak-hak
anak untuk tumbuh kembang secara wajar, sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 tidak terpenuhi disebabkan kelalaian,
ketidakmengertian orang tua, atau karena kesengajaan, sangsinya

99
UUD 1945 dan Amandemennya, h. 85.

100
Undang-Undang Perlindungan Anak, (Surabaya: Media Centre, 2006), h. 147-151.

secara jelas diatur dalam Pasal 77 ayat (b) yang diancam dengan
ancaman 5 (lima) tahun penjara dan / atau denda paling banyak
100.000.000,00 (seratus juta rupiah), sebagaimana bunyi pasal tersebut:
Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun
social, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
101


Hukum yang tidak ditegakkan merupakan suatu pengingkaran
hukum sebagai norma atau aturan universal, yang sebenarnya
berorientasi untuk menjamin kemaslahatan manusia.

D. Persamaan dan Perbedaan
Bagian ini adalah bagian inti sekaligus bagian utama dari penelitian
ini, yaitu melakukan analisis perbandingan sanksi terhadap pelaku
penalantaran anak, dengan berusaha menemukan letak persamaan dan
perbedaannya. Berdasarkan pada hasil pemaparan tersebut maka dapat
diambil kesimpulan analisis sebagai berikut:

101
Ibid., h. 147.
1) Penelantaran anak dalam Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, sama-sama tidak diperbolehkan.
Berdasarkan:
a. Hukum Islam
Dalam Hukum Islam kita memang tidak akan menemukan
aturan hukum atau penjelasan yang menjelaskan tentang
penelantaran anak, walau demikian bukan berarti seorang
anak dapat diperlakukan semena-mena. Karena orang tua
memiliki tanggung jawab untuk merawat memelihara
anaknya. Allah SWT berfirman:
4).4O^-4
=}uONC O}-Eu
u-.OEO u-Ug`~ W
;}Eg E1-4O p E+NC
O4N=O- _ O>4N4
g1O7OO^- N.
O}_~^ejO O}g4OOg4
NOuO^) _
-^U> R^4^ )
E_EcN _ O._>
E4).4 E-g.4O) 4
1O7O4` +O- jg.4O)
_ ... ) --' / 2 : 233 (
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
Karena anaknya dan seorang ayah Karena
anaknya(Al-Baqarah/2: 233)

Meskipun ayat tersebut tidak secara eksplisit menerangkan
atau menegaskan tentang penelantaran anak, namun dapat
diilustrasikan sebagaimana pembebanan atau tanggung
jawab ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dan anak bahwa pembebanan tersebut berupa
perintah untuk memelihara anak.
Hal tersebut juga dikuatkan oleh hadits Nabi sebagai berikut:
= = -' - '' - : = ' - - - - - - = - - - - - _ - , ' = ' _ - ,
- ' - _ = ' , - ' - '' - : ' - , - - - ' - , ' .
- = , _ ` = , - - _ -' - - - ' - , - _ - - - ` - ' = - -
- '' - , = ' - + . = ' _ ' = - - ' - ' : = - - - ''
- '' - - ' - , = - - _ - , = ) . '=-' - (
102


Artinya: Dari Aisyah berkata bahwa Hindun Binti Utbah isteri
dari Abi Sufyan telah menemui Nabi kemudian
bertanya: Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan
adalah seseorang yang sangat pelit, ia tidak
memberikan nafkah yang cukup bagiku dan anakku

102
Al-Bukhori, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401H/1981M), VI: 193.
kecuali jika aku ambil dari hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah atas hal yang demikian
aku akan terkena hukuman? Rasulullah menjawab:
Ambillah dari harta Abu Sufyan dengan cara yang
baik sesuai dengan kebutuhanmu dan anakmu.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka Islam
melarang seseorang menelantarkan atau menyia-nyiakan
seorang anak, walaupun pelarangan tersebut tidak seperti
pelarangan khamar.

b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Larangan untuk menelantaran anak dalam Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada
BAB III tentang Hak dan Kewajiban Anak pada Pasal 4 hingga
Pasal 19, serta BAB IV bagian keempat tentang Kewajiban
dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua pada Pasal 26
ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
Pasal 26
(1) Orang Tua Berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi
anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-
anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2) Walaupun sama-sama tidak diperbolehkan, akan tetapi
pelarangan dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak lebih jelas aturannya dari Hukum Islam.
3) Ditinjau dari perlindungan hak-hak anak, perlindungan terhadap
hak-hak anak dalam Hukum Islam lebih lengkap, dibandingkan
dari UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Seperti hak
atas kesucian keturunan, hak atas nama baik, hak atas susuan,
hak atas pendidikan serta hak atas warisan. Hak-hak ini terdapat
dalam Hukum Islam sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak tidak ditemukan.
4) Sanksi pidana yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya memiliki
tujuan yang sama yaitu: sebagai pencegahan dan pembalasan.
5) Ditinjau dari sanksi pidana atau hukuman yang terdapat dan
Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tidak sama. Dalam Hukum Islam, sanksi pidana atau
hukuman bagi pelaku penelantaran anak sangat bervariatif dari
yang terberat hingga yang teringan. Karena dalam Hukum Islam
tidak ada kepastian hukum yang menerangkannya atau
menjelaskannya sehingga sanksi pidana atau hukuman bagi
pelaku penelantaran anak diserahkan kepada penguasa atau
hakim setempat. Sedangkan sanksi pidana atau hukuman bagi
pelaku penelantaran anak menurut UU No 23 Tahun 2002 tentang
Penelantaran Anak telah ditentukan pada Pasal 77 ayat (2).
Pada hakikatnya perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi
akibat adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling
mempengaruhi. Demi pelaksanaan perlindungan anak secara rasional
positif, bertanggung jawab dan bermanfaat, maka perlindungan anak
perlu ditinjau dan dipahami menurut proposi yang sebenarnya secara
dimensional.
103

Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, kesemuanya itu
memberikan penekanan bahwa anak wajib dilindungi agar yang
bersangkutan tidak menjadi korban tindakan kebijakan yang salah, baik
individu atau kelompok, organisasi swasta atau pemerintah, baik yang
secara langsung ataupun tidak langsung.


103
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3, (Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Popular, t.t.), h. 252
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan
terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial
(social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penalantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang
tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh
kembang anak.
Berdasarkan hal tersebut, dan dari pembahasan yang telah
penyusun lakukan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tindakan penelantaran anak bagaimanapun alasannya, baik hukum
Islam maupun UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tidak
dibenarkan karena para pelaku penelantaran anak baik yang
disengaja atau tidak disengaja sama-sama telah menafikan hak-hak
yang dimiliki oleh anak tersebut.
2. Sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran anak menurut
Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
a. Sanksi pidana atau hukuman yang terdapat dalam Hukum Islam
bagi pelaku penalantaran anak sangat bervariatif, dari yang
terberat hingga yang teringan. Karena dalam Hukum Islam sanksi
bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori jarimah
tazir, yang berat atau ringannya hukuman diserahkan kepada
penguasa atau hakim setempat.
b. Sedangkan sanksi pidana atau hukuman bagi pelaku penelantaran
anak menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah diatur secara tegas dan jelas,
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pada Bab XII tentang ketentuan pidana,
Pasal 77 ayat (2) yang berbunyi: Penelantaran terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik,
mental, maupun sosial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Demikianlah beberapa kesimpulan yang dapat penulis ungkapkan,
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.

B. Saran-saran
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang rasional positif, serta
dapat dipertanggungjawabkan, serta dapat bermanfaat, maka ada
beberapa saran yang ingin penulis ungkapkan yang kiranya dapat
diperhatikan dan dilaksanakan bersama mengingat situasi dan kondisi
yang ada pada saat ini. Yaitu beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dipahami dan disebarluaskan pengertian dan pemikiran-pemikiran
mengenai keadilan, hak dan kewajiban, kepentingan pribadi,
kepentingan umum dan pemikiran-pemikiran lain yang positif yang
berhubungan dengan penyelenggaraan perlindungan anak melalui
sosialisasi kemasyarakatan yang bisa berupa pengajian atau apapun.
2. Kepada seluruh masyarakat khususnya orang tua perlu adanya
peningkatan pemahaman dan kesadaran akan hak-hak anak dan
perlindungan anak. Serta pemahaman bahwa kekerasan terhadap
anak tidak hanya berkisar pada anak yang teraniaya secara fisik, akan
tetapi cakupan pengertian kekerasan terhadap anak sangat luas.
3. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat luas tentang Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta akibat
hukumannya atau sanksinya, yang bertujuan untuk melindungi anak
yang dapat disebarkan melalui sosialisasi ke sekolah-sekolah ataupun
pengajian umum.
4. Bagi aparat penegak hukum, hendaknya meningkatkan perannya
dalam menindak pelaku penelantaran anak secara tegas sebagai
terapi shock.
5. Bagi para hakim, hendaknya memberikan sanksi yang tegas yang sesuai
dengan konteks yang terjadi serta disosialisasikan agar menimbulkan
efek jera bagi masyarakat secara umum.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhori, Muhammad Ibn Ismail Shahih al-Bukhori, Beirut: Dar al-Fikr,
1401H/1981M

Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail. Subul as-Salam, Mesir: Maktabah Musthafa
al-Baby al-Halaby, 1960.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia), cet. ke-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1993.

Amrullah, Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
Mengenang 65 th Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., Jakarta: Gema Insani
Press, 1996..

Ahmadi, Abu. Dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999.
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri al-Jini al-Islamy, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tt.
al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali. al-Ahkm as-Sulthniyah, cet. ke-3, Beirut: Dar al-Fikr,
1966.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, cet.
ke-2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995.

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. ke-5, Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van
Hoeven, 2001.

Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. ke-3,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular,tt.

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, Jakarta: Bulan Bintang,
1967.

Hamzah, Andi dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa
Kini dan Masa akan Datang, cet. ke-2, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985.

Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, Bandung: Nuansa, 2006.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1989.

Mutahar, Ali. Kamus Arab-Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005.

Meleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab, pen: Masykur A.B.dkk, Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2004.

Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. ke-1, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2004.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, cet. ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Nasir, MJA. Membela Anak Dengan Teater. Yogyakarta: Purwanggan, 2001.
Norbuko, Cholid. dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cet. ke-7, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005.

Projodikoro, Wiryono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Erisco, 1989.

Rofiq, Ahmad Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-6, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Sabiq, As-Sayid. Fiqih as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1980.

Salmi, Akhiar. Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara Persada, 1983.

Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, pen. Sahiron Syamsudin,
Burhanudin, cet. ke-1, Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004.

Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. Cara Nabi Mendidik Anak, alih Bahasa
Salafuddin Abu Sayyid , cet. ke-5, Solo: Pustaka Arafah, 2006.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan
Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.

Syarifuddin, Amir. Usul Fiqih, cet. ke-2, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Unais, Ibrahim. al-Mujam al-Wasit, Dar at-Turas al-Arabi, t.t.

Undang-Undang Perlindungan Anak, Surabaya: Media Centre, 2006.

UUD 1945 dan Amandemennya, Surakarta: al-Hikmah, t.t

Wadong, Maulana Hasan. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: Grassindo, 2000.

Wahid, Abdurrahman. Islam Tanpa Kekerasan, cet. ke-I, Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, 1998.

Wijaya, Sofyan Sastra. Hukum Pidana, Bandung: C.V. Amirco, 1990.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.





LAMPIRAN I

BAB III
Tentang Hak dan Kewajiban Anak
Pasal 4 hingga pasal 19


Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.


Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.


Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua.



Pasal 7
(3) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(4) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.





Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jasmani
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.


Pasal 9
(3) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya.
(4) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi
anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangakan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.




Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya,
menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.


Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri.


Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.


Pasal 13
(3) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak
mendapat perlindungan dari perlakuan
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c. Penelantaran
d. Kekejaman, Kekerasan, dan Penganiayaan
e. Ketidakadilan dan
f. Perlakuan salah lainnya
(4) Dalam halo rang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman.


Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan / atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir.


Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
kekerasan
e. Pelibatan dalam peperangan


Pasal 16
(5) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
(6) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum
(7) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.


Pasal 17
(3) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
e. Mendapat perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa
f. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara
efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku,
dan
g. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan
anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup
untuk umum.
(4) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.




Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.


Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk
f. Menghormati orang tua, wali, dan guru
g. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman
h. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara
i. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya
j. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia

Anda mungkin juga menyukai