Anda di halaman 1dari 22

PAPER

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar
pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning,
tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak
terletak pada satu titik yang fokus. Refraksi ditentukan perbandingan atau
rasio kekuatan refraksi dari kornea dan lensa (media refraksi) dan panjang
aksial dari bola mata. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem
optik sehingga menghasilkan bayangan kabur. Pada mata normal, kornea dan
lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.
Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan
panjangnya bola mata. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,
hipermetropia dan astigmatisma.
1,2,3
Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran yang
dilakukan oleh Depkes di 8 Propinsi di Indonesia berturut-turut pada tahun
anggaran 1993/1994, 1994/1995, 1995/1996, 1996/1997, ditemukan kelainan
refraksi sebesar 22,1% dan menempati urutan pertama dalam 10 penyakit mata
terbesar di Indonesia.
3


1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang
berhubungan dengan kelainan refraksi, termasuk definisi kelainan secara umum,
klasifikasi dan penyebabnya. Selain itu, tujuan penulisan paper ini adalah sebagai
salah satu syarat menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.




PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



2



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelainan Refraksi
2.1.1 Definisi
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada
mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di
depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang
fokus.
1,3

Pada penglihatan normal atau emetropia terjadinya keseimbangan antara
panjang aksial bola mata dan kekuatan refraksi dari lensa dan kornea sehingga cahaya
yang masuk ke mata secara paralel difokuskan pada retina bukan pada posterior
ataupun anterior retina sepert yang terjadi pada ametropia.
2,4



Gambar 2.1 Titik fokus pada emetropia dan ametropia. Berkas cahaya paralel dari
jarak yang tidak terbatas yang masuk ke bola mata akan jatuh pada titik fokus pada
retina. Pada hipermetropia cahaya akan jatuh pada posterior retina. Sedangkan pada
miopia akan jatuh pada anterior retina
2


PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



3

Ametropia (refractive error) terjadi apa bila adanya ketidak seimbangan antara
panjang axial bola mata dengan kekuatan refraksi dari lensa dan kornea. Ametropia
akibat kelainan dari panjang aksial bola mata lebih sering terjadi dibanding yang
diakibatkan masalah media refraksi. Kelainan refraksi yang paling sering ditemukan
adalah miopia, hiperpetropia, dan astigmatisma.
2


Tabel 2.1 Indeks Refraksi pada Media Refraksi Mata
2

Media Refraksi Indeks Refraksi (n)
Kornea
Aqueous Humor
Permukaan Lensa
Nukleus Lensa
Vitreus body
1.376
1.336
1.385
1.406
1.336

Kekuatan refraksi dari sistem lensa optikal ditetapkan dalam dioptri.
Berdasarkan hukum Snell refraksi dari cahaya ditentukan oleh sudut yang dibentuk
oleh arah cahaya datang dan perbedaan indeks refraksi dari kedua media. Kekuatan
refraksi total maksimum dari mata yang emmetrop adalah 63 dioptri dengan
kepanjangan aksial bola mata adlah 23.5mm. Kekuatan refraksi kornea 43 dioptri
sedangkan lensa 10-20 dioptri tergantung dari daya akomodasinya. Namun kekuatan
refraksi mata tidak semata-mata hasil dari kekuatan refraksi lensa dan kornea namun
juga dari media optik yang mengelilingi sistem lensa mata.
2


Akomodasi
Pada keadaan normal cahaya yang datang dari jarak tidak terhingga akan
terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya
daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan
berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina.
Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat
kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah kuat.
Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda
makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



4

oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan
pada waktu konvergensi atau melihat dekat.

Dikenal beberapa teori akomodasi seperti:
a) Teori Akomodasi Hemholtz: dimana zonula Zinn kendor akibat kontraksi
otot siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan diater
menjadi kecil.
b) Teori Akomodasi Thsernig: dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak
dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa
superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula
Zinn sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial di depan nukleus
akan mencembung.
2,4,5


Gambar 2.2. Perubahan bentuk lensa selama berakomodasi. Pada gambar setengah
atas menunjukan perubahan lensa menjadi lebih globular, dimana kurvatura anterior
bertambah, otot siliaris begeser ke anterior dan kamera okuli anterior menjadi lebih
dangkal. Maka bayangan benda dekat akan difokuskan tepat di retina. Sedangakkan
gambar setengah bawah menunjukan korpus siliaris yang relaksasi maka berkas
cahaya dari benda yang jauh (garis putus-putus) akan difokuskan tepat pada retina.
2


2.2 Miopia
2.2.1 Definisi
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



5

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan
difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini
juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari
suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa
akomodasi. Miopia berasal dari bahasa Yunani muopia yang memiliki arti
menutup mata. Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah
populernya adalah nearsightedness.
6

Miopia adalah keadaan pada mata dimana cahaya atau benda yang jauh
letaknya jatuh atau difokuskan didepan retina. Supaya objek atau benda jauh
tersebut dapat terlihat jelas atau jatuh tepat di retina diperlukan kaca mata
minus. Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis
kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang
atau kelengkungan kornea yang terlalu cembung.
1

Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan
di depan retina. Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan
terletak di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik
(pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu panjang.
1


2.2.2 Klasifikasi
Berikut ini adalah sistem klasifikasi miopia menurut American
Optometric Association.
6

Tabel 2.2 Sistem Klasifikasi Miopia
6

Klasifikasi Kelas Miopia
Klinis Simple myopia
Nocturnal myopia
Pseudomyopia
Degenerative myopia
Induced myopia
Derajat Low myopia (<3.00 D)
Medium myopia (3.00 D-6.00 D)
High myopia (>6.00 D)
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



6

Onset Usia Kongenital : sejak lahir dan menetap pada
masa anak-anak.
Miopia onset anak-anak : di bawah umur
20 tahun.
Miopia onset awal dewasa : di antara
umur 20 sampai 40 tahun.
Miopia onset dewasa : di atas umur 40
tahun (> 40 tahun).


1. Miopia Simpleks : Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan fundus
yang ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan berkembang sangat lambat.
Biasanya tidak terjadi kelainan organik dan dengan koreksi yang sesuai bisa mencapai
tajam penglihatan yang normal. Berat kelainan refraksi yang terjadi biasanya kurang
dari -6D. Keadaan ini disebut juga dengan miopia fisiologi.
2. Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna
atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada semua umur dan terjadi
sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna adalah adanya progresifitas kelainan fundus
yang khas pada pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak diagnosis ini sudah dapat
dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan miopia dengan waktu yang relatif
pendek. Kelainan refrasi yang terdapat pada miopia patologik biasanya melebihi -6
D.
1

Menurut American Optometric Association, miopia secara klinis dapat terbagi
lima yaitu:
6,5

1. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi.
Mata dengan miopia simpleks sama seperti mata normal hanya saja memiliki panjang
aksial yang terlalu panjang atau kekuatan refraksi yang terlalu kuat. Miopia simpleks
merupakan jenis yang sering ditemui dibanding tipe miopia yang lainnya dan biasanya
kurang dasi 6 dioptri.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



7

2. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi
cahaya redup, nokturnal atau malam hari karena peningkatan respon
akomodasi mata akibat kurangnya pencahayaan.
3. Pseudomiopia : peningkatan kekuatan refraksi yang diakibatkan oleh
rangsangan berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi
spasme pada otot otot siliar yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia,
disebut dengan miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya sementara
sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan.
4. Miopia Degeneratif : Merupakan miopia yang berhubungan dengan
perubahan pada segmen posterior mata danisebut juga sebagai miopia
degeneratif, miopia maligna atau miopia progresif. Perubahan degeneratif
dapat berupa fungsi visual yang abnormal, dimana tajam penglihatannya juga
di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini
bertambah buruk dari waktu ke waktu. Komplikasi seperti retinal detachment
dan glaukoma sering kali terjadi.
5. Miopia Ternduksi : Miopia yang diakibatkan oleh paparan obat-
obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis nuklear pada lensa
kristalina dan sebagainya. Miopia tipe ini sering bersifat sementara dan
reversibel.
Menurut perjalanannya miopia dibagi menjadi:
1

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia
pernisiosa.

2.2.3 Patofisiologi
Pada mata emmetrop cahaya yang datang secara paralel dari objek
yang jauh dipusatkan pada retina, sedangkan pada mata yang miopik cahaya
dipusatkan di depan retina sehingga tidak ada gambar tajam yang dapat
terbentuk ketika pasien melihat pada objek yang jauh. Mata yang miopik
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



8

hanya dapat melihat gambaran yang tajam pada objek dekat yang bias cahayanya
datang secara menyimpang hingga memasuki mata dan dapat dipusatkan di retina.
2
Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang dan
disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias media refraktif yang
tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat. Dalam hal ini
disebut sebagai miopia refraktif.
1,2

Gambar 2.3. Refraksi pada Miopia. a. Berkas cahaya paralel dari objek yang jauh
masuk kemata dan titik fokus jatuh pada anterior retina. b. Hanya objek dekat yang
berkas cahayanya berjalan secara divergen sampai memasuki mata dan di fokuskan di
retina yang dapat dilihat dengan jelas. c. Miopia Aksial: kekuatan refraksi normal
namun aksial bola mata terlalu panjang sehinga cahaya jatuh di depan retina. d.
Miopia refraktif : panjang aksial bola mata normal namun kekuatan refraksi terlalu
kuat sehingga bayangan juga jatuh di depan retina. e. Katarak nuklear dimana
terjadinya fokus sekunder.

2.2.4 Diagnosis
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



9

Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat
malahan melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut
pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan
sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit.
Seseorang miopia mempunyai kebiasaan memicingkan matanya untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan
astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan
terlihat juling ke dalam atau esoptropia.
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran
bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang
terdapat pada daerah papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh
koroid. Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada
fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer.
1,7
Pemeriksaan okuler yang dilakukan meliputi:
7
a. Visual Acuity.
Ketajaman penglihatan dekat maupun jauh tanpa alat bantuan keduanya
harus diperiksa. Karena adanya korelasi antara ketajaman pemglihatan
jauh dengan derajat miopia. Apabila pasien biasanya mengunakan alat
bantu penglihatan maka ketajaman penglihatan dengan alat bantu juga
harus diperiksa.
b. Refraksi.
Retinoskopi merupakan pemeriksaan yang objektif untuk memeriksa
kelainan refraksi dan menghasilkan perkiraan yang baik untuk tanda
refraksi yang subjektif. Penggunaan autorefraktor objektif dapat digunakan
sebagai pengganti retinoskopi walaupun autorefraktor tidak dapat
memberikan informasi kualitatif seperti kejernihan media okuler, kualitas
optik dari refleks retinoskopik, dan fluktuasi ukuran pupil.
c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Karena pemusatan penglitahan berlebihan dan daya akomodasi yang
berkurang sering ditemukan pada pasien dengan miopia maka pemeriksaan
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



10

harus meliputi pergerakan okuler, penglihatan binokuler dan daya
akomodasi.
d. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik
Pemeriksaan pada pasien miopia harus meliputi ophtalmoskopi langsung
dan tidak langsung atau fundus biomicroscopy dan tekanan intra okuler.
Pemeriksaan ini bukan hanya untuk pemeriksaan pencegahan tetapi juga
karena peningkatan resiko glaukoma, atrofi retina dan koroid, dan retinal
detachment pada pasien miopia.
e. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan mungkin diindikasikan untuk dokumentasi dan
monitoring perubahan retina miopia degeneratif seperti fundus
photography, A- dan B-scan ultrasonography, pemeriksaan lapangan
pandang.
7


2.2.5 Penatalaksanaan Miopia
Tujuan dari penatalaksann dari pasien miopia adalah penglihatan yang jelas,
nyaman, penglihatan binokular yang efisien dan kesehatan okular yang baik. Pilhan
penatalaksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Koreksi Optikal
Koreksi miopia dengan menggunakan lensa konkaf atau lensa negatif, perlu
diingat bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan. Karena itu, bila
permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu besar, seperti pada miopia,
kelebihan daya bias ini dapat dinetralisasi dengan meletakkan lensa sferis konkaf di
depan mata. Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengkoreksi mata
miopia ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula meletakkan
sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat atau lebih
lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik.
Pasien miopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil yang
memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi
dengan -3.00 dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga bila diberi
sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri agar untuk
memberikan istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi.
1
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



11


Gambar 2.4 Koreksi Optik Miopia. a. Koreksi dengan lensa minus. b. koreksi dengan
menggunakan lensa kontak. c. koreksi dengan menggilangkan lensa untuk
menguurangi kekuatan refraksi.
2

2. Farmakologi
Regimen siklopegik biasanya dapat digunakan untuk mengurangi
respon akomodasi yang biasanya digunakan untuk pengobatan pseudomiopia.
Penelitian menunjukan pengunaan topikal atropin dan cyclopentolate dapat
mengurangi progresifitas miopia pada anak-anak.
3. Operasi Refraktif
Ada berbagai metode yang digunakan yaitu Radial Keratotomy, Photo
Refractive Keratectomy, dan LASIK (Laser In Situ Keratomileusis). Radial
keratotomy merupakan prosedur bedah refraksi dengan membuat sayatan pada kornea
sehingga kornea lebih datar. Photo Refractive Keratectomy yaitu prosedur bedah
refraktif dengan cara mengupas bagian luar kornea dan menipiskan bagian stroma
dengan laser. Sedangkan LASIK merupakan prosedur bedah refraksi dengan
membuang stroma untuk mendatarkan kornea dengan menggunakan laser.
6


2.2.6 Komplikasi
Komplikasi Miopia adalah:
1

1. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D sekitar
1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat menjadi
1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain
penambahan faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan
miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



12

2. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air
dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia
tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada
tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada
keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan
kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk
terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment
pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat
memanjangnya bola mata.
3. Miopik Makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah
kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan
pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang
bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid
atau degenerasi makular miopia juga merupakan konsekuensi dari degenerasi
makular normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal
yang tumbuh di bawah sentral retina.
4. Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia
sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan
ikat penyambung pada trabekula.

2.3 Hipermetropia
2.3.1 Definisi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula
lutea Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



13

Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan dfokuskan di belakang
retina.
1


2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas:
1

Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata
pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
Hipermetropia kurvatura, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata.

Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori:
8

a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh
panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena
gagal kembang, penyakit mata, atau karena trauma.
c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.

Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya,
yaitu:
8

a. Hipermetropia ringan ( +2,00 D)
b. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
c. Hipermetropia berat (+5,00 D)

Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti:
1

i. Hipermetropia manifes, ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik
dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



14

ii. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi
dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya
mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata.
Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal, maka
otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang
masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif.
iii. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya
hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini.
Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropi absolut.
iv. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (atau
dengan otot yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan
akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan
siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga
hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan
menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien
dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien muda dan daya
akomodasinya masih kuat.
v. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah
diberikan siklopegia.

2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi utama hipermetropia dapat dijelaskan melalui tiga mekanisme
yaitu hipermetropia aksial karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal,
hipermetropia kurvatura karena kurvatura kornea atau lensa lebih lemah dari normal,
hipermetropia indeks karena indeks bias mata lebih rendah dari normal sehingga
bayangan jatuh dibelakang retina.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



15


Gambar 2.5. Refraksi pada hipermetropia. a. Titik fokus cahaya yang masuk ke mata
secara paralel jatiuh dibelakang retina. b. Berkas cahaya yang masuk kemata secara
divergrn difokuskan di retina. c. Untuk fokuskan cahaya di retina orang dengan
hipermetropia harus mengakomodasikan matanya. d. Hipermetropia aksial : kekuatan
refraktif normal namun bola mata terlalu pendek sehingga bayangan jatuh di belakang
retina. e. Hipermetropi refraktif: bolamata memiliki panjang aksial yang normal
namun memiliki kekuatan refraktif yang lemah. F. Bentuk lain dari hipermetropia
refraktif adalah afakia yaitu keadaan absennya lensa.

2.3.4 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dapat dijumpai keluhan seperti
Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3 D atau lebih, hipermetropia
pada orang tua dimana kemampuan akomodasi menurun, penglihatan dekat kabur
lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan kurang terang atau penerangan
kurang.Pasien juga dapat mengeluhkan sakit kepala terutama daerah frontal dan
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



16

makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan membaca dekat, penglihatan tidak
enak (astenopia akomodatif atau eye strain) terutama bila melihat pada jarak yang
tetap dan diperlukan penglihatan jelas dalam waktu yang lama, misalnya menonton
TV, dll
Pemeriksaan okuler yang dilakukan meliputi:
8

f. Visual Acuity.
Manifestasi hipermetropia pada ketajaman penglihatan bergantung pada
pada derajat hipermetropia, usia pasien, kebutuhan visual, aan rentang
akomodasi yang masi dapat dilakukan. Pada pasien muda dengan
hipermetropia ringan biasanya memiliki ketajaman penglihatan yang
normal namun ketika kebutuhan penglihatan dekat meningkat paseien
dapat merasa penglihatan menjadi kabur dan astenopia.
g. Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk
menilai hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi
static retinoscopy, subjective refraction dan autorefraction.
h. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas
dapat menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang
menurun.
i. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik

2.3.5 Penatalaksanaan
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk
mematahkan sinar lebih kaut kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah di berikan
koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar yang masih
memberi tajam penglihatan maksimal.


PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



17


Gambar 2.6. Koreksi optik hipermetropia. a. Koreksi dengan lensa plus. b-d.
Koreksi afakia dengan lensa konvergen, lensa kontak, lensa intraokular pada kamera
anterior, dan lensa intra okular pada kamera posterior.

2.4 Astigmatisma
2.4.1 Definisi
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh
sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai
meridian kornea atau lensa kristalina. Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu
bayangan dengan titik atau garis fokus multipel, dimana berkas sinar tidak difokuskan
pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada dua garis titik api yang
saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea.
1


2.4.2 Klasifikasi
Ilyas membagi astigmatisma kedalam beberapa kelompok seperti dibawah
ini:
1

A. Astigmatisma reguler
Berdasarkan aksis dan sudut yang dibentuk antara dua meridian, regular
astigmatisma dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu:
1) Astigmatisma Horizontal-Vertikal
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



18

Astigmatisma ini merupakan dua meridian yang membentuk sudut satu sama
lain secara horizontal (180
o
20
o
) atau vertical (90
o
20
o
) astigmatisma ini
terbagi atas 2 jenis :
With-in-the-rule astigmatism. Dimana meridian vertical mempunyai
kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian horizontal.
Disebut with the rule karena mempunyai kesamaan dengan kondisi
normal mata mempunyai kurvatura vertical lebih besar oleh karena
penekanan oleh kelopak mata. Astigmatisma ini dapat dikoreksi axis
180
0
atau +axis 90
0

Against-the rule astigmatism. Suatu kondisi dimana meridian
horizontal mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari
meridian vertical. Astigmatisma jenis ini dapat dikoreksi dengan +axis
180
0
atau -axis 90
0
.
2) Astigmatisma Oblik
Merupakan suatu astigmatisma regular dimana kedua principle meridian tidak
pada meridian horizontal atau vertical. Principal meridian terletak lebih dari
20
o
dari meridian vertical atau horizontal.
3) Astigmatisma Bioblik
Suatu kondisi dimana kedua principle meridian tidak membentuk sudut satu
sama lain.
B. Astigmatisma Ireguler
Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempunyai perbedaan refraksi
yang tidak teratur bahkan kadang-kadang mempunyai perbedaan pada meridian yang
sama. Meridian tidak tegak lurus satu dengan lainnya. Biasanya astigmatisma
irregular ini dikoreksi dengan lensa kontak kaku.
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



19


Gambar.2.7 Astigmatisma Ireguler. a. Kurvatura dan kekuatan refraksi ireguler
sehingga menyebabkan fokus yang multipel. b. Koreksi kornea ireguler dengan
kontak lens yang rigid.
2


Astigmatisma yang diinduksi pasca operasi (induced astigmatism), seperti kita
ketahui, penderita astigmatisma sebagian besar adalah with the rule astigmatism.
Insisi yang ditempatkan pada kornea akan menyebabkan pendataran pada arah yang
berhadapan dengan insisi tersebut. Artinya, jika melakukan insisi dari temporal
cenderung menyebabkan pendataran pada sumbu horizontal kornea, dimana hal ini
akan mengakibatkan induksi with-the-rule astigmatism. Sebaliknya jika melakukan
insisi kornea dari superior cenderung mengakibatkan induksi againts-the-rule
astigmatism. Biasanya induksi astigmatisma ini bergantung dari panjangnya insisi,
yaitu semakin panjang insisi akan semakin besar induksi astigmatisma.

2.4.3 Patofisiologi
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar tidak
difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak sama pada semua
arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar
dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian sinar lain difokuskan di
belakang retina.
Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi menjadi 5, yaitu :
1

1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh didepan retina
2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di belakang
retina
PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



20

3. Astigmaticus miopicus simplex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di depan
retina dan satunya tepat pada retina
4. Astigmaticus hipermetropicus simplex, dimana 2 titik masing-masing jatuh di
belakang retina dan satunya tepat pada retina
5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh didepan retina dan
belakang retina

2.4.4 Diagnosis
Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka dengan
mempergunakan keratometer, maka derajat astigmatisma dapat diketahui.
Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-jari kelengkungan
kornea anterior. Perubahan astigmatisma kornea dapat diketahui dengan mengukur
jari jari kelengkungan kornea anterior, meridian vertical dan horizontal, sebelum dan
sesudah operasi. Evaluasi rutin kurvatura kornea preoperasi dan postoperasi
membantu ahli bedah untuk mengevaluasi pengaruh tehnik incisi dan penjahitan
terhadap astigmatisma. Dengan mengetahui ini seorang ahli bedah dapat
meminimalkan astigmatisma yang timbul karena pembedahan. Perlu diketahui juga
bahwa astigmatisma yang didapat pada hasil keratometer lebih besar daripada koreksi
kacamata silinder yang dibutuhkan. Cara obyektif semua kelainan refraksi, termasuk
astigmatisma dapat ditentukan dengan skiaskopi, retinoskopi garis (streak
retinoscopy), dan refraktometri.
9


2.4.5 Penatalaksanaan
Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali
dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu beradaptasi terhadap distorsi
penglihatan yang disebabkan oleh kelainan astigmatisma yang tidak terkoreksi.
9







PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



21

BAB 3
KESIMPULAN

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik
pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur. Dikenal istilah emetropia yang
berarti tidak adanya kelainan refraksi dan ametropia yang berarti adanya kelainan
refraksi seperti miopia, hipermetropia, dan astigmatisma.
Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar yang datang
sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan di depan retina saat mata tidak
berakomodasi. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis negatif.
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis positif.
Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatur kornea
atau lensa pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas cahaya tidak
difokuskan pada satu titik.
Kelainan-kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa yang
sesuai. Dan perkembangan ilmu pengetahuan menyediakan modalitas terapi
pembedahan untuk penatalaksanaan kelainan-kelainan refraksi











PAPER
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
NAMA : MARAL BIMANTI F
NIM : 090100133



22

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Dan Yulianti, S. R. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta. Badan
penerbit fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
2. Lang, G.K. 2006. Ophthalmology, 2nd Edition. New York: Thieme.
3. Hartanto, W dan Inakawati, S. 2005. Media Medika Muda : Kelainan Refraksi
tak terkoreksi penuh di RSUP Dr. Kariadi Semarang 1 Januari 2002- 31
Desember 2003. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro: Nomor 4.
4. Vaughan dan Asbury. 2009. Oftalmologi Umum, Edisi 17. Jakarta: EGC.
5. Agustina. 2012. Kerusakan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi pada Anak
Usia Sekolah di SD Negeri 10 Langsa. Medan: Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
6. American Optometric Association. 2006. Optometric Clinical Practice
Guideline: Myopia. Lindbergh Blvd., St. Louis. American Optometric
Association.
7. Osman, M.F. 2012. Hubungan antara dioptri lensa kacamata dengan jarak dan
lama membaca pada pelajar Fakultas Kedokteran USU AUCMS Penang.
Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
8. American Optometric Association. 2008. Optometric Clinical Practice
Guideline: hyperopia. Lindbergh Blvd., St. Louis. American Optometric
Association.
9. Marlinda, S. 2013. Perbandingan kejadian astigatisma pasca operasi katarak
dengan fakuoemlsifikasi dengan small incision cataract surgery. Tesis.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Anda mungkin juga menyukai