DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2014 REFARAT AGUSTUS 2014
2
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Diansri Pratiwi Syam NIM : 10542 0228 010 Laporan kasus : INVAGINASI
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar. Makassar, Agustus 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Invaginasi atau intussussepsi adalah penyebab tersering dari obstruksi usus akut pada anak. Di negara - negara barat, penderita invaginasi biasanya datang dalam keadaan yang masih dini, sehingga angka kesakitan dan angka kematian dapat ditekan. Kebanyakan penderita sembuh bila dirawat sebelum 12 jam setelah kejadian. Di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, penderita sering datang dalam keadaan yang sudah terlambat atau lebih dari 12 jam setelah kejadian, sehingga sebagian besar memerlukan tindakan pembedahan yang sering disertai dengan reseksi usus. Rendahnya pengetahuan orang tua penderita tentang kesehatan menyebabkan keterlambatan memeriksakan penderita ke dokter atau oleh karena keterlambatan dokter dalam menegakkan diagnosa. Invaginasi anak terjadi pada 1 dari 13.000 penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kejadiaan laki-laki dibandingkan wanita sekitar 3:1. Pada neonatus sebesar 0,3%. Sebagian besar invaginasi terjadi dibawah umur 2 tahun dengan puncak kejadian berkisar antara umur 4-11 bulan. 9.1 Invaginasi terjadi karena salah satu segmen usus masuk ke dalam segmen usus yang lain di dekatnya, dimana bagian usus yang prolap tersebut disebut intususeptum, sedangkan bagian usus yang menerima segmen usus yang prolaps tersebut disebut intususcipien. Biasanya intususceptum letaknya lebih proksimal dari intususcipien, alasannya karena aksi peristaltik usus halus dimulai dari segmen proksimal ke segmen distal 4.9 .
Mesenterium pada intususceptum yang tertekan akan menurunkan aliran darah ke bagian usus yang lain dan terjadi pembengkakan pembuluh darah
4
dinding usus dan secara cepat menyebabkan terjadinya obstruksi. Jika aliran darah pada daerah invaginasi terhenti terjadi iskemik jaringan usus sehingga terjadi nekrosis jaringan usus akibatnya terjadi gangren dan pada akhirnya terjadi perforasi dan peritonitis 4.9 .
5
BAB II PEMBAHASAN 1. Definisi Invaginasi adalah masuknya usus ke dalam segmen di bawahnya yang berdekatan. Biasanya berasal dari ileum terminal atau katup ileosekal yang berakibat intususepsi ileokolik. Meskipun jarang (2 : 1000 kelahiran hidup), intususepsi merupakan penyebab tersering obstruksi usus pada 2 tahun pertama kehidupan 5.9 .
2. Epidemiologi Insiden intususepsi adalah 1,5-4 kasus per 1000 kelahiran hidup, dengan rasio laki-perempuan 3:2. Insiden terbesar dari intususepsi idiopatik adalah pada bayi berusia 9-24 bulan. Sebuah kejadian musiman telah dijelaskan, dengan puncak pada musim semi, musim panas, dan tengah musim dingin. Periode ini sesuai dengan puncak dalam terjadinya gastroenteritis musiman dan infeksi saluran pernapasan atas 1.6 .
3. Etiologi Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai infantile idiophatic intussusceptions. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari intususepsi berkisar antara 42-100% 8.2 . Definisi dari istilah intususepsi idiopatik bervariasi di antara penelitian terkait intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah idiopatik untuk menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang dapat diidentifikasi saat pembedahan. Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan
6
yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi jaringan limfoid mural (Peyer patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau rotavirus 1 . Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas 1.9 . Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi atau lead point seperti: inverted Meckels diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep nevi, lymphoma dan duplikasi usus(13). Divertikulum Meckel adalah penyebab paling utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi intestinal. Lead point lain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa dengan Henoch-Schnlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel syndrome, caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis abdominal 1.6.8 . Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak yang berusia di atas enam tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.
7
Menurut kepustakaan lain 90 95% terjadi pada anak dibawah 1 tahun akibat idiopatik. Pada waktu operasi hanya ditemukan penebalan dinding ileum terminal berupa hipertrophi jaringan limfoid (plaque Peyeri) akibat infeksi virus (limfadenitis) yang mengikuti suatu gastroenteritis atau infeksi saluran napas. Pada anak umur > 2 tahun di sebabkan oleh tumor seperti limpoma, polip, hemangioma, dan divertikel Meckeli. Pada umur 4-9 bulan terjadi perubahan diet makanan dari cair ke padat, peubahan pola makan di curigai sebagai penyebab invaginasi 7.4 .
4. Patofisiologi Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai lead point atau oleh pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi 3.1 . Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena
8
mesenterial, akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus 3.8 . Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool 3.8 . Invaginasi akan menimbulkan gangguan pasase usus (obstruksi) baik partiil maupun total dan strangulasi. Hiperperistaltik usus bagian proksimal yang lebih mobil menyebabkan usus tersebut masuk ke lumen usus distal. Usus bagian distal yang menerima (intussucipient) ini kemudian berkontraksi, terjadi edema. Akibatnya terjadi perlekatan yang tidak dapat kembali normal sehingga terjadi invaginasi. Penyebab terjadinya intususepsi sebagian besar tidak diketahui. Dua puluh persen dari kasus intususepsi timbul setelah infeksi virus (infeksi pernafasan bagian atas, gastroenteritis) yang menimbulkan pembesaran dari jaringan limfoid ileum distal. Intususeptum akan didorong masuk oleh peristalsis ke dalam usus yang lebih distal dengan mesenterium dari intusuesptum ikut terjepit masuk. Hal ini kemudian diikuti terjadinya sembab, kongesti vena dan linfa yang akan menyebabkan keluarnya tinja yang berwarna kemerahan akibat darah yang tercampur mukus (current jelly stool). Selanjutnya, jika tekanan kongesti melampaui tekanan arteri maka akan terjadi nekrosis 9.1 .
9
5. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan foto. Namun pada kebanyakan pustaka mengatakan bahwa pemeriksaan dengan contras enema lah yang paling reliable untuk membuat diagnosis intususepsi pada anak. Gambaran klinis 1. Nyeri. Anak, yang tadinya sepenuhnya normal tiba tiba berteriak dan memekik kesakitan, kakinya dilipat ke arah bagian yang sakit. Serangan ini berakhir dalam beberapa menit, kemudian hilang. Kembali lagi dalam 1 jam pertama, selanjutnya lebih sering. Diantara dua serangan, biasanya anak masih dapat bermain dan makan, tetapi tampak masih takut takut. Sakit perutnya dapat ringan atau berat sekali sehingga menyebabkan renjatan, pucat dan pingsan. Dapat didahului diare, sebagai akibat iritasi usus yang umumnya mengalami obstruksi parsial. 2. Darah dari rektum. Tidak konstan. Pada yang klasik, di awal penyakit biasanya defekasinya normal, kemudian selanjutnya terdapat tinja yang
10
menyerupai jeli kismis kemerahan(tinja berupa mukus yang berwarna kemerahan). Tanda ini, jika ada, hampir selalu patognomonik. 3. Konstipasi. Tidak konstan, dapat terjadi karena obstruksi tidak komplet, atau karena intususepsinya kemudian berkurang dan terjadi penyembuhan spontan. 4. Muntah. Sering terjadi satu atau dua kali, tetapi tidak terlalu hebat, kecuali pada kasus yang dibiarkan tidak diobati 1.9 . Pada pemeriksaan 1. Perut tegang dan sensitif bila di tekan; dalam keadaan biasa, dinding perut lemas tetapi sensitif terutama disekitar lokasi kolon. Biasanya lebih mudah di periksa dalam keadaan anak tertidur. 2. Disekitar lokasi kolon dapat di raba massa berbentuk sosis. Pada waktu perut terasa nyeri, benjolan teraba lebih keras. 3. Signe de Dance. Pada daerah inguinal kanan terasa seperti kosong, karena sekum berpindah masuk ke kolon. Tanda ini nilainya meragukan. 4. Pada auskultasi terdengar suara borborigmi yang keras. 5. Pada kasus lanjut, intususepsi dapa teraba per rektum. Kadang kadang, jarang sekali, dapat keluar melalui anus 1.9 . Trias Invaginasi : 1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengangkat kaki (craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu 2. Muntah warna hijau (cairan lambung) 3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) yang disebut currant jelly stool 5 .
11
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor. Strasifikasi ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi. Kriteria Mayor 1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama sekali. 2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan. 3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal Toucher. Kriteria Minor 1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun 2. Nyeri abdomen 3. Muntah 4. Lethargy 5. Pucat 6. Syok hipovolemi 7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik. Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu : Level 1 Definite (ditemukannya satu kriteria di bawah ini)
12
Kriteria Pembedahan Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan Kriteria Radiologi Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat direduksi oleh enema tersebut. Kriteria Autopsi Invagination dari usus Level 2 Probable (salah satu kriteria di bawah) Dua kriteria mayor Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor Level 3 Possible Empat atau lebih kriteria minor 6.1 . Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Meskipun hasil laboratorium tidak spesifik untuk menegakkan diagnosis intususepsi, sebagai proses dari progresivitas, akan didapatkan abnormalitas elektrolit yang berhubungan dengan dehidrasi, anemia dan atau peningkatan jumlah leukosit (leukositosis >10.000/mm3) 1.2 . 2. Pemeriksaan radiologi Foto polos perut dibuat dalam 2 arah, posisi supine dan lateral dekubitus kiri. Dengan posisi ini, selain untuk mengetahui invaginasi juga dapat untuk mendeteksi adanya perforasi. Gambaran x- ray pada invaginasi tingkat lanjut terlihat air fluid level. Pemeriksaan rontgen dengan pemberian barium enema yang diikuti oleh x ray akan memperlihatkan kelainan anatomi pada usus. Selain sebagai diagnostik pemberian barium enema bisa sebagai terapi 2 .
13
Barium enema (Colon in loop) Pada pemeriksaan barium enema atau colon in loop tampak filling defect oleh masa intraluminar yang menyebabkan kontras tidak dapat melewati segmen usus proksimal. Gambaran khas invaginasi adalah Coiled Spring appearance. Gambaran lain adalah cut off bayangan barium pada lokasi invaginasi 1 . Ultrasonografi (USG) Pada scan transversal (potongan melintang) dari invaginasi, USG memberikan gambaran khas berupa targets appearance atau gambaran seperti kue donat.
14
Dengan menggunakan berbagai investigasi (misalnya, radiografi polos, ultrasonografi abdomen, barium enema, CT scan, dan MRI), dan akhirnya setelah laparotomi, intususepsi dapat diklasifikasikan sebagai: 1. Enterocolic: ileokolika (jenis yang paling dominan dari intususepsi terlihat pada bayi dan balita); ileo-ileokolika; ileocaecal; 2. Enteroenteric: jejunojejunal, jejunoileal, ileo-ileal; atau 3. Colocolic: caecocolic, colocolic 1.2 . 6. Diagnosis banding 1. Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan. 2. Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri. 3. Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi, bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam. 4. Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat. 5. Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada intususepsi didapati adanya celah 7.1
6. Penatalaksanaan Reduksi bagian intususepsi harus dikerjakan secepatnya. Penundaan akan mengakibatkan strangulasi pembuluh darah dan bahaya gangren usus, yang memerlukan tindakan reseksi. Pengobatan intususepsi pada anak-anak adalah keadaan darurat, baik oleh nonoperative atau operasi metode. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan iskemia dan nekrosis usus, perforasi usus, peritonitis, shock, dan mungkin kematian. Pengurangan Nonoperative (NOR)
15
adalah yang pertama garis pendekatan di mana fasilitas yang tersedia; jika itu gagal, berikutnya langkah logis adalah manajemen operasi. Kontraindikasi untuk penggunaan NOR dalam pengobatan anak dengan intususepsi adalah peritonitis jelas, pneumoperitoneum sekunder untuk usus perforasi, shock, perut buncit terlalu (relatif kontraindikasi), usus halus intususepsi seperti ileo-ileal. Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi, penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat dilakukan 1.9 1. Reposisi secara non operatif Dengan menggunakan barium enema atau udara atau NaCL yang dimasukkan melalui rektal kemudian diikuti oleh X ray. Mula mula tampak bayangan barium bergerak berbentuk cupping pada tempat invaginasi. Dengan tekanan hidrostatik sebesar 1 meter air,barium di dorong ke arah proksimal. Tidak boleh dilakukan pengurutan atau penekanan di perut sewaktu dilakukan reposisi hidrostatik ini. Pengobatan dianggap berhasil jika barium sudah menapai ileum terminalis. Pada saat itu pasase usus kembali normal.
2. Reposisi secara operatif Kadang kadang reposisi barium tidak berhasil, misalnya pada umur kurang dari 3 bulan dan invaginasi ileo-ileal. Reposisi langsung dengan
16
operasi tanpa dilakukan dengan reposisi barium terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi, peritonitis, dan tanda tanda obstruksi. Keadaan ini biasanya pada invaginasi yang sudah berlangsung 48 jam. Demikian pula pada kasus kasus relaps. Kejadian invaginasi berulang setelah reposisi barium sekitar 11% dan 3% pada operasi tanpa reseksi usus. Biasanya reseksi dilakukan jika aliran darah tidak pulih kembali setelah dihangatkan dengan larutan fisiologik. Jika terjadi invaginasi ulang maka langsung dilakukan reposisi secara operatif 1.9 . 7. Komplikasi Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan aliran air dan natrium dari lumen ke darah. Karena 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari, dan tidak adanya absorbsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen yang cepat. Muntah serta defekasi disertai darah dan lendir merupakan sumber utama kehilangan cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok hipotensi, syok hipovolemik, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Komplikasi pascaoperasi termasuk terulangnya intususepsi, perforasi usus selama NOR dari intususepsi, bedah infeksi situs, kebocoran anastomosis, kerusakan anastomosis, enterocutaneous fistula, pasca operasi obstruksi usus perekat, dan hernia insisional. 8. Prognosis Pada beberapa kasus dapat terjadi reduksi spontan, tetapi biasanya diperlukan tindakan reduksi segera, untuk mencegah gangren usus dan
17
menghindari tindakan reseksi usus. Di seluruh dunia, mortalitas keseluruhan intususepsi adalah sekitar 1%, dan mendekati nol dengan NOR dari intususepsi. Jika pasien tertangani dalam 24 jam, mortalitas hanya 1-3% tetapi jika terjadi invaginasi berulang maka mortalitas naik menjadi 3-11%.
Pada umumnya, sebagian besar intussusceptions pada anak-anak, terutama bayi dan balita, yang idiopatik dan sulit untuk mencegah. Oleh karena itu, pencegahan bertujuan untuk mendidik orang tua atau pengasuh tentang penyakit ini dan potensi bahaya sehingga anak-anak akan dibawa ke rumah sakit awal. Pengasuh medis primer juga perlu dididik untuk meningkatkan indeks mereka kecurigaan untuk diagnosis dini dan intervensi.
18
BAB III KESIMPULAN Invaginasi atau disebut juga intususepsi pada anak dan bayi jarang terjadi tetapi merupakan penyebab terbanyak obstruksi usus pada anak anak. Intususepsi adalah suatu invaginasi usus ke dalam segmen di bawahnya yang berdekatan. Biasanya berasal dari ileum terminal atau katup ileosekal yang berakibat intususepsi ileokolik. Invaginasi umumnya terjadi pada bayi usia antara 3 12 bulan dengan rata rata kejadian pada usia 7 8 bulan. Kebanyakan idiopatik (90%), tetapi pada anak dengan umur >4 tahun kebanyakan disebabkan oleh tumor seperti limpoma, polip, hemangioma, dan divertikel Meckeli. Trias Invaginasi : 1. Anak mendadak kesakitan episodic, menangis dan mengangkat kaki (craping pain), bila lanjut sakitnya kontinyu 2. Muntah warna hijau (cairan lambung) 3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam) yang disebut currant jelly stool. Penanganan invaginasi dilakukan secepatnya melalui dua cara : 1. Non operatif. Jika intususepsi terjadi kurang dari 24 jam, dengan menggunakan reduksi barium enema dimasukkan melalui rektal kemudian diikuti oleh X ray. 2. Operatif. Jika reduksi barium enema gagal dan intususepsi terjadi 48 jam. Atau tanpa reduksi barium enema terlebih dahulu jika telah terjadi perforasi dan peritonitis. Maka langsung dilakukan tindakan reposisi secara operatif.
19
Jika pasien tertangani dalam 24 jam, mortalitas hanya 1 -3% tetapi jika terjadi invaginasi berulang maka mortalitas naik menjadi 3 11%. Pada beberapa kasus dapat terjadi reduksi spontan, tetapi biasanya diperlukan tindakan reduksi segera.
20
DAFTAR PUSTAKA 1. Ameh a Emmanuel, dkk. Surgery Pediatric a comprehensive text for Africa. South Africa : Global Help, 2011 2. Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2002 3. Blanco FC. Intussusception. Medscape Reference [serial online] 2012 Jan 13 [cited 2014 juli 15]; Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview#showall 4. Chandrawati, pertiwi febriani.Invaginasi.fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang 5. Dasar dasar pediatri/ David Hull, Derek I. johnston; alih bahasa, Hartono Gunadi; editor bahasa Indonesia, Daulika Yusna, Huriawati Hartanto. Ed.3. Jakarta; EGC, 2008 6. Irish M.S , Mei 2013, Pediatric Intussuseption Surgery, Medscape Reference, http://emedicine.medscape.com/article/937730-overview , 15 Juli 2014 7. Sander Aleq Mochammad. Invaginasi Ileo-Kolo-Kolika. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang 8. Santoso MIJ, Yosodiharjo A dan Erfan F. Hubungan antara lama timbulnya gejala klinis awal hingga tindakan operasi dengan lama rawatan pada penderita invaginasi yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Universitas Sumatera Utara: Medan. 2011 9. Zakaria, Iskandar, Agustus 2007. Peranan Radiologi Dalam Diagnosis Dan Terapi Invaginasi, J KS 2007; 2: 99-108, http://jks.unsyiah.ac.id/index.php/J KU/article/view/38/37, 15 J uli 2014