Anda di halaman 1dari 29

A.

Pengertian
Cardiac Arrest adalah terhentinya pompa jantung secara mendadak yang bersifat reversible, dan dapat
bersifat irreversible jika tidak dilakukan intervensi segera(Robert,2001).
Cardiac Arrest adalah jantung tidak cukup memompa darah ke otak, Cardiac Output <20%, dan nadi
carotis tidak teraba.
Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary arrest, atau circulatory arrest,
merupakan suatu keadaan darurat medis dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri
jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Gejala dan tanda yang tampak, antara
lain hilangnya kesadaran; napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas); tekanan
darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri; dan tidak
denyut jantung.
B. Etiologi
1. Etiologi Primer : fibrilasi ventrikel dan Asystole Fibrilasi ventrikel dan Asystole terjadi karena :
a. Iskemik myocard
b. Heart block
c. Obat-obatan
d. Elektrik shock
2. Etiologi sekunder
a. Rapid secondary cardiac arrest
1) Asphyxia, oleh karena obstruksi jalan nafas, apnea
2) Kehilangan darah yang cepat
3) Alveola anoksia, terjadi oleh karena udem paru akut, menghirup gas yang tidak mengandung oksigen
b. Slow secondary cardiac arrest
1) Severe hipoksemia
2) Edema paru
3) Konsolidasi paru
4) Kardiogenik shock
C. Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa sebab dapat
menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini sering disebut aritmia.
Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau terlalu lambat atau berhenti berdenyut.
Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF),
Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart
Association (AHA), 2005). Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular
fibrilasi dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan
kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac output) akan
mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital
lain termasuk miokardium jantung (Mariil dan Kazii, 2008). Ventrikular takikardia (VT) adalah
takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel simana jantung berdenyut > 120 denyut/menit
dengan GRS kompleks yang memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks tunggal) atau
polimorfik (ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya) (deSouza dan
Wart, 2009).

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak terdapatnya
depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output. Asistol dapat dibagi menjadi 2
yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol
sekunder (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol
primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau
sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Caggiano, 2009).
Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical Activity(PEA). Kondisi
jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme
bradiasistol adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas
atau menyempit, dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009).
Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun pada
umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran
darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh.
Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan
berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5
menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Kaplan, 2007).
D. Pengkajian Fokus Keperawatan
1. Primery Suvey
A : Airway : berkaitan dengan kepatenan jalan nafas, adanya obstruksi, kemampuan mengeluarkan
secret.
Apakah pernafasan pasien Adekuat?
Apakah pola nafas efektif?
Apakah ada pergerakan kedua dinding dada?
B : Breathing : berkaitan dengan pola nafas, adanya distress pernafasan, penggunaan otot bantu nafas,
adanya henti nafas.
Apakah ada saturasi oksigen?
C : Circulation : berkaitan dengan pertukaran gas, peredaran cairan dalam tubuh, metabolisme, adanya
perdarahan.
Bagaimana heart rate pasien ? irama?
Bagaimana nadi pasien?
Bagaimana tekanan darahnya?
Bagaimana warna tangan dan kaki?
2. Pada pemerikasaan Pernafasan.
a. Lihat pergerakan dada, samakah?
b. Auskultasi sura nafas.
c. Cek mode pemberian oksigen.
d. Cek saturasi oksigen dan analisa gas darah.
3. Pada pemeriksaan Kardiovaskuler
a. Tanda-tanda vital seperti heart rate, tekanan darah, temperature, CVP.
b. Auskultasi suara jantung.
c. Kaji IV line.
d. Cek sirkulasi perifer seperti warna jaringan perifer, kehangatan dan nadi.
4. Pada pemerikasaan Pencernaan
e. Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada
f. Cek jenis makanan, kecepatan dan tolernsi.
g. Auskultasi peristaltik.
h. Kapan terakhir BAB da BAK.
5. Pada pemerikasaan Ginjal
a. Cek urine output
b. Cek setatus cairan dan balance kumulatif.
c. Cek kadar ureum dan kreatinin darah.
6. Pada pemerikasaan Endokrin
Cek gadar gula darah. Apa perlu insulin?
7. Pada pemerikasaan Kulit
Kaji resiko pasien terhadap terjadinya area yang tertekan dan apakah sudah menggunakan alat-alat
bantu yang tepat.
E. Patways

F. Manifestasi Klinis
1. Pupil dilatasi (setelah 45 detik).
2. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
3. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)
4. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
5. Terlihat seperti mati (death like appearance)
6. Warna kulit pucat sampai kelabu
G. Penatalaksanaan
Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas
dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita,
memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung
paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.
1. Resusitasi dilakukan pada :
a. Infark jantung kecil yang mengakibatkan kematian listrik
b. Serangan Adams-Stokes
c. Hipoksia akut
d. Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
e. Sengatan listrik
f. Refleks vagal
g. Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.
2. Resusitasi tidak dilakukan pada :
a. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
b. Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan
resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau
memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan :
penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
H. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif b.d paralisis otot pernafasan
2. Resiko bersihan tidak efektif jalan nafas b.d penurunan kesadaran
3. Penurunan curah jantung b.d berhentinya fungsi jantung
4. Gangguan perfusi jaringan b.d hipoksia ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran

I. Intervensi
1. Resiko bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penurunan kesadaran
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan jalan nafas normal
Kriteria Hasil : Mempertahankan jalan nafas paten
Intervensi
a. Kaji jalan nafas
b. Posisikan klien, kepala ekstensi (bebaskan jalan nafas)
c. Pasangkan pipa orofaringeal
Rasional
a. Untuk mengetahui penanganan yang tepat untuk diberikan kepada klien
b. Untuk membuka jalan nafas, agar oksigen mudah untuk masuk ke dalam paru-paru
c. Menahan lidah agar tidak jatuh ke belakang menyumbat faring
2. Pola nafas tidak efektif b.d paralisis otot pernafasan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali normal
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas sianosis, nafas normal
(16-24X/menit), irama regular, bunyi nafas normal, PH darah normal (7,35-7,45). PaO2 (80-100 mmHg),
PaCO2 (35-40 mmHg), HCO2 (22-26). Saturasi oksigen (95-98%).
Intervensi
a. Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan.
b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan (ekstensi), posisi miring sesuai indikasi.
c. Lakukan RJP jika pasien tidak ada nafas
d. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak
normal.
e. Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional
a. Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi,pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya
keterlibatan otak.
b. Untuk memudahkan ekspansi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh dan
menyumbat jalan nafas.
c. Pengembalian fungsi paru dan jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
d. Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelaktasis kongesti atau obstruksi jalan nafas.
e. Menentukan kecukupan pernafasan, memaksimalkan oksigen pada daerah arteri dan membantu
dalam pencegahan hipoksia.
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa
sebab dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan
ini sering disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau
terlalu lambat atau berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat
menyebabkan pulseless cardiac arrest yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid
Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American
Heart Association (AHA), 2005).
Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi
dimana terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung
kehilangan kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup
jantung (cardiac output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi
kebutuhan sistemik tubuh, otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung
(Mariil dan Kazii, 2008).



Gambar 2. EKG ventricular fibrilasi

Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi
ventrikel simana jantung berdenyut > 120 denyut/menit dengan GRS kompleks yang
memanjang. VT dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks tunggal) atau polimorfik
(ritme irregular dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya) (deSouza
dan Wart, 2009).

Gambar 3. EKG ventricular tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak
terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output.
Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung
gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem elektrik
jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol primer dapat
disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau
sistem konduksi atrioventrikular (AV system) (Caggiano, 2009).

Gambar 3. EKG asystole

Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical
Activity(PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti
oleh denyut nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat, dimana
pada kondisi tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau menyempit,
dengan atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009).
Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.
Namun pada umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat
dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah
mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai
berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia
cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran
dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac
arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit (Kaplan, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
____. 2009. Cardiac Arrest. http://pekerjaankesehatan.blogspot.com. 03/2009l.
Anakkomik. 2009. Cardiac Arrest. http://anakkomik.blogspot.com. 11/2009.
Article Source: http://EzineArticles.com/5317479
Chan, Ayummee. 2009. Forensic Cardiac Arrest . http://ayumee-chan.blog.friendster.com. 01/2009.
____. 2010. Curah Jantung. http://id.shvoong.com.medicine-and-health/1958048. 10/2010.
____. 2010. Henti Jantung dan Resusitasi Jantung Paru.http://www.scribd.com. 09/2010.
____. 2010. Pengkajian Fisik di ICU . http://belajaricu.blogspot.com. 09/2010.
Susanto, Iwan. 2010. Penyakit Cardiac Arrest. http://iwansusanto.com. 11/2010.
ANATOMI
A.d.1. Suplai arteri pada Jantung
Arteri koronaria adalah yang bertanggungjawab untuk mensuplai jantung itu sendiri dengan darah yang
kaya oksigen. Arteri koronaria adalah end-arteries yang diujung dan bila terjadi penyumbatan, maka
suplai darah ke otot miokardium akan terhambat (infark miokard). Bila lumen pembuluh darah
menyempit karena perubahan atheromatous pada dinding pembuluh darah, pasien akan mengeluh
nyeri dada yang meningkat secara bertahap pada aktivitas berat (angina). Kondisi ini tidak
memungkinkan otot miokardium meningkatkan kontraksi untuk memenuhi kebutuhan suplai darah,
akibat berkurangnya suplai darah arteri.8

Terdapat variasi ukuran dan letak dari arteri koronaria. Sebagai contoh, pada sebagian orang, cabang
posterior interventikular dari arteri koronaria kanannya lebih besar dan menyuplai darah ke sebagian
besar bagian ventrikel kiri sedangkan pada kebanyakan orang tempat ini disuplai oleh cabang anterior
interventrikular dari arteri koronaria kiri. Contoh lain, nodus sino-atrial umumnya disuplai oleh cabang
nodus dari arteri koronaria kanan, akan tetapi pada 30-40% populasi menerima suplai dari arteri
koronaria kiri.8

A.d.2. Saluran darah vena jantung
Sistem aliran darah vena pada jantung sebagai berikut:
Vena-vena dan arteri-arteri koronaria mengalir ke dalam atrium kanan melalui sinus koronaria. Sinus
koronaria mengalir ke dalam atrium kanan ke arah kiri dari dan superior ke pembukaan dari vena cava
inferior. Great Cardiac Vein mengikuti cabang anterior interventrikular dari koronaria kiri dan kemudian
menjalar ke arah belakang kiri pada cabang-cabang atrioventrikular. Pembuluh darah vena sedang
mengikuti arteri interventrikular posterior dan bersamaan dengan pembuluh darah vena kecil yang
mengikuti arteri marginalis, mengalir ke dalam sinus koronaria. Sinus koronaria mengalir ke pembuluh
darah vena pada jantung.8

A.d.3. Sistem konduksi jantungekg
Terdapat 3 jenis sel dalam jantung yang berperan dalam proses impuls normal di dalam jantung,
yaitu:8,9
1. Sel perintis (pacemaker cells) Sumber daya listrik jantung.
Nodus sino- atrial (SA) adalah pacemaker jantung. Ia terletak di atas krista terminalis, dibawah
pembukaan vena cava superior di dalam atrium kanan.

2. Sel konduksi listrik Kabel jantung.
Impuls yang dihasilkan oleh nodus SA diantar melalui otot-otot atrial untuk menyebabkan sinkronisasi
kontraksi atrial. Impuls tiba ke nodus atrioventrikular (AV) yang terletak di septum interatrial dibawah
pembukaan sinus koronaria. Dari sini impuls diantar ke ventrikel melalui serabut atrioventrikular (His)
yang turun ke dalam septum interventrikular. Serabut His terbagi menjadi 2 cabang kanan dan kiri.
Cabang-cabang ini akan berakhir pada serabut-serabut Purkinje dalam subendokardium dari ventrikel.
3. Sel miokardium Mesin kontraksi jantung.
Jika sebuah gelombang depolarisasi mencapai sebuah sel jantung, kalsium akan dilepaskan ke dalam sel
sehingga sel tersebut berkontraksi. Sel jantung memiliki banyak sekali protein kontraktil, yaitu aktin dan
miosin.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme
terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh
akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau
ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan
terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).1,2,4
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing2 etiologi yang mendasari terjadinya cardiac
arrest.
A.d.1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang umumnya dikenal sebagai serangan
jantung. Infark miokard merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard terjadi akibat
arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot jantung menjadi keras dan menyempit akibat
sebuah materia(plak) yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran plak, semakin
buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang
mencukupi untuk melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi infark, beberapa
jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi
langsung dari jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.5,7
A.d.2. Stess fisik.
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung gagal berfungsi, diantaranya:1,7
perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
sengatan listrik
kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun serangan asma yang berat
Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah
Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien yang memiliki gangguan jantung.
Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal refleks
akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
A.d.3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam keluarga. Kecenderungan ini diturunkan
dari orang tua ke anak mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko terkena
cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung mereka yang dapat mengganggu
bentuk(struktur) jantung dan dapat meningkatkan kemungkinan terkena SCA.7
A.d.4. Perubahan struktur jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot jantung dapat menyebabkan perubahan
dari ukuran atau struktur yang pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-perubahan
ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari
jantung juga dapat menyebabkan perubahan struktur dari jantung.7
A.d.5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel blocker, kokain, digoxin, aspirin,
asetominophen dapat menyebabkan aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien,
riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien, memeriksa medical record untuk
memastikan tidak adanya interaksi obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium
toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.2
A.d.6. Tamponade jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak jantung sehingga tidak mampu untuk
berdetak, mencegah sirkulasi berjalan sehingga mengakibatkan kematian.2

A.d.7. Tension pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu cavum pleura. Udara akan terus masuk
akibat perbedaan tekanan antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan
pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan terdesak dan pembuluh darah besar
(terutama vena cava superior) tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.2

PENEMUAN AUTOPSI 10
Terdapat beberapa faktor yang dapat menuntun kita menegakkan diagnosis cardiac arrest maupun
sudden cardiac death(SCD), di antaranya adalah hasil temuan di TKP, menunjukkan posisi kematian yang
tidak wajar, khas untuk suatu kematian mendadak. Korban mungkin ditemukan meninggal dalam
keadaan hanya mengenakan pakaian dalam keadaan tertelungkup, maupun tergeletak di samping kabel
listrik.
Hasil pemeriksaan autopsi juga dapat menunjukkan adanya temuan penyakit-penyakit yang mendasari
terjadinya cardiac arrest, seperti penyakit jantung koroner, pembesaran jantung, trombosis, maupun
tanda-tanda kekerasan seperti penjeratan yang dapat memicu terjadinya cardiac arrest.

ASPEK MEDIKOLEGAL
Setiap kematian mendadak harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar, sebelum dapat
dibuktikan bahwa tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya. Dengan demikian dalam penyelidikan
kedokteran forensik pada kematian yang mendadak atau terlihat seperti wajar, alasan yang sangat
penting dalam otopsi adalah menentukan apakah terdapat tindak kejahatan. Dari sudut kedokteran
forensik, tujuan utama pemeriksaan kasus kematian mendadak adalah menentukan cara kematian
korban. KUHAP pasal 133 (1) menyatakan Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya. 3,11
Pemeriksaan kasus kematian mendadak perlu beberapa alasan, antara lain:3
1. Menentukan adakah peran tindak kejahatan pada kasus tersebut
2. Klaim pada asuransi
3. Menentukan apakah kematian tersebut karena penyakit akibat industri atau merupakan kecelakaan
belaka, terutama pada pekerja industri
4. Adakah faktor keracunan yang berperan
5. Mendeteksi epidemiologi penyakit untuk pelayanan kesehatan masyarakat
Pada kasus kematian yang terjadi seketika atau tak terduga, khususnya bila ada tanda-tanda penyakit
sebelumnya dan kemungkinan sakit sangat kecil, untuk menentukan penyebabnya hanya ada satu cara
yaitu dilakukannya pemeriksaan otopsi pada jenazah, bila perlu dilengkapi dengan pemeriksaan
tambahan lain seperti pemeriksaan toksikologi. Hal ini sangat penting untuk menentukan apakah
termasuk kematian mendadak yang wajar.3
Adapun kepentingan otopsi antara lain:3
1. Untuk keluarga korban, dapat menjelaskan sebab kematian
2. Untuk kepentingan umum, melindungi yang lain agar dapat terhindar dari penyebab kematian yang
sama
Penentuan kasus kematian adalah berdasarkan proses interpretasi yang meliputi:3
1. Perubahan patologi anatomi, bakteriologi dan kimia
2. Pemilihan lesi yang fatal pada korban
Pada kasus kematian mendadak yang sering kita hadapi, tindakan yang mampu dilakukan pada kematian
mendadak adalah:3
1. Semua keterangan tentang almarhum dikumpulkan dari keluarga, teman, polisi, atau saksi-saksi, yang
meliputi: usia, penyakit yang pernah diderita, pernah berobat dimana, hasil pemeriksaan laboratorium,
tingkah laku yang aneh, dan lain-lain.
2. Keadaan korban dan sekitar korban saat ditemukan, pakaian yang ditemukan, tanda-tanda kekerasan
atau luka, posisi tubuh, temperatur, lebam mayat, kaku mayat, situasi TKP rapi atau berantakan, adanya
barang-barang yang mencurigakan.
3. Keadaan sebelum korban meninggal
4. Bila sebab kematian tidak pasti, sarankan kepada keluarga untuk melapor kepada polisi, jika polisi
tidak meminta visum et repertum dapat diberi surat kematian.
5. Dalam mengisi formulir B, pada sebab kematian bila tidak dketahui sebab kematiannya ditulis tidak
diketahui atau mati mendadak.
6. Bila dilakukan pemeriksaan dalam, buat preparat histopatologi bagian organ-organ tertentu, diperiksa
dan dilakukan pemeriksaan toksikologi
7. Sebaiknya jangan menandatangani surat kematian tanpa memeriksa korban, dan jangan menyentuh
apapun terutama yang dipakai sebagai barang bukti.
Dari hasil pemeriksaan kemungkinan:3
1. Korban meninggal secara wajar dan sebab kematian jelas misalnya coronary heart disease, maka
diberi surat kematian dan dikuburkan
2. Sebab kematian tidak jelas, keluarga/dokter lapor ke polisi, kemudian polisi minta visum et repertum,
setelah SPVR datang maka korban diotopsi untuk menentukan sebab kematian korban.
3. Korban meninggal secara tidak wajar, misalnya ditemukan adanya tanda-tanda kekerasan, maka
keluarga atau dokter lapor ke polisi.
4. Korban diduga meninggal secara wajar, misalnya CVA tetapi juga ditemukan tanda-tanda kekerasan,
maka keluarga atau dokter lapor ke polisi.


DAFTAR PUSTAKA
1. Janet M. Torpy, MD. The journal of the american medical assosiation. JAMA [serial online] 2006,
Januari [cited 2008 July 18]; 295(1):[2 screen]. Availabel from: URL:http://jama.ama-
assn.org/cgi/citmgr?gca=jama;295/1/124
2. Cardiac arrest. [Online]. 2008 July 14 [cited 2008 july 18];[ 13screens]. Availabel from:
URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Sudden_cardiac_death
3. Mutahal, Apuranto H. Kematian mendadak. In: Apuranto H, Hoediyanto, editors. Buku ajar ilmu
kedokteran forensik dan medikolegal. Edisi 3. Surabaya: Airlangga; 2007. p.185-8.
4. Cardiac arrest, first aid. [Online]. 2007 August [cited 2008 july 18];[3 screens]. Available from: URL:
http://www.merck.com/mmhe/sec24/ch299/ch299a.html
5. Sudden cardiac death. [Online]. 2006 July 16 [cited 2008 july 18];[21 screens]. Available from: URL:
http://www.emedicine.com/med/topic276.htm#section~Differentials
6. Definition of cardiac arrest. [Online]. 2001 November [cited 2008 Jully 23];[2 screens]. Available from:
URL: [http://www.medicinenet.com/script/main/hp.asp
7. Sudden cardiac arrest(SCA). [Online]. 2008 March [cited 2008 july 18];[4 screens]. Available from:
URL: http://www.medic8.com/blood-disorders/index.htm
8. Faiz O, Moffat D, editors. The heart II. In: Anatomi at a glance. USA: Blackwell publishing;2002. P.23-
24.
9. Thaler MS, editor. Dasar EKG. In: Satu-satunya EKG yang anda perlukan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000.
p.10-4,20-2.
Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat dan
mengambil AED
Melakukan panggilan darurat
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada dilakukan
sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar
18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel,
dilanjutkan memberi 2x ventilasi
dalam-dalam)
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
5 Circulation (Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2))

Breathing ( memberikan ventilasi
sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2))
6 Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :
Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup
tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation
(VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting
adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation).
Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses pembukaan
jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat
pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih
awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal
dilakukan sekitar 18 detik).
Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya.
Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam
algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah prosedur
yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan
dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk
orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
2.4 Penggunaan Sistem ABC Saat ini :
1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional
(A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat.
2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP
sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.
2.5 Emergency Medical Service
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu system yang
terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang
diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau
umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai
satu system dapat diperjelas dengan skema di bawah ini :
Injury
&
Dissaster
Pre Hospital
Stage
Hospital Stage Rehabilitation
First Responder
Ambulance Service
24 jam
Emergency Room
Operating Room
Intensif Care Unit
Ward Care
Fisical
Psycological
Social

Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung pada apa
yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di
fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan
yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa
diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama periode
Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode). Satu jam
pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat
berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan
pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre
Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
Siapa penolong pertamanya
Berapa lama ditemukannya penderita,
kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan ambulan gawat
darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat
adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi
penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor
seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan
yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita
gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan
kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan
unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam
perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan
intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke
rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan pertolongan bagi
penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan
dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan
secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system yang
dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan
korban banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi
pelayanan gawat darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai
memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu.
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek masa pra
rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan
resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan,
hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita
pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana
masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana
tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi
selama bencana berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang memadai
sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin
selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah.
Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari
kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan
diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan
dengan benar. Karena itu orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima
kemampuan dasar yaitu :
Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
Menguasai teknik mengontrol perdarahan
Menguasai teknik memasang balut-bidai
Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai pelayan
masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan
lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi :
Penyakit anak
Penyakit dalam
Penyakit saraf
Penyakit Jiwa
Penyakit Mata dan telinga
Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada masyarakat yang awam
dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan.
Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang sama,
bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki
kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari
ataupun bencana masal.
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya. Tranportasi
penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat
ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik.
Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak
memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan
kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di Indonesia.
Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai
ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk menjamin kualitas
pelayanan sesuai tujuan.
Muhammad Ashar. Maret 2011. Planning cardiac emergency medical service with Mobile application in
aceh rural. http://www.acehpublication.com/adic2011/ADIC2011-039.pdf. diakses Kamis, 20 September
2012 pukul 08:30 WIB.
Tirti Lasprita. 3 September 2012. Bantuan Hidup Dasar
(BLS).http://www.scribd.com/doc/84871056/Bantuan-Hidup-Dasar. diakses Kamis, 20 September 2012
pukul 08:30 WIB.

Algortima Dasar PPGD
1. Ada pasien tidak sadar
2. Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
3. Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
4. Cek kesadaran pasien :
a. Lakukan dengan metode AVPU
b. A > Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
c. V > Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga korban ( pada
tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien ), jika tidak merespon lanjut ke P
d. P > Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital)
e. U > Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive
5.Call for Help, mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans
(118) dengan memberitahukan :
a. Jumlah korban
b. Kesadaran korban (sadar atau tidak sadar)
c. Perkiraan usia dan jenis kelamin ( ex: lelaki muda atau ibu tua)
d. Tempat terjadi kegawatan ( alamat yang lengkap)
6.Bebaskan lah korban dari pakaian di daerah dada ( buka kancing baju bagian atas agar
dada terlihat.
7.Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar dengan bahu
pasien
8.Cek apakah ada tanda-tanda berikut :
a.Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
b.Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
c. Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher
9.Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang belakang
bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena disini terdapat syaraf-syaraf yg
mengatur fungsi vital manusia (bernapas, denyut jantung)
a. Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift.
Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu (bagian dagu yang
keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan
posisi seperti figure berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas korban.
b. Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan
paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust.
Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher
pasien.
10. Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan napas) dan
Breathing (Pernapasan) pasien.
11. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel
Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut simetris ?
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang
abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian)
Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :
a. Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas
oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan cara cross-
finger untuk membuka mulut (menggunakan 2jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan
untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah).
Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan
benda tersebut
b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh
cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai
namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk menyapu rongga mulut dari
cairan-cairan).
c.Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada trakea,
untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja. Jika
suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan :
a.Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan daerah diantara
tulang scapula di punggung
b.Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik tangan ke arah
belakang atas.
c.Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan diri seperti
gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.
Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?
12. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernapasan pasien itu dalam 1
menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit)
13. Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap melakukan Look Listen and
Feel
14. Jika frekuensi nafas 100 kali per menit
b. Telapak tangan basah dingin dan pucat
c. Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku
pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku
merah lagi)
21. Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi
45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung
22. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang
23. Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara menekan atau
membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
24. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look Listen and Feel,
karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.
Nafas Bantuan
Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk menormalkan frekuensi nafas pasien
yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela
setiap nafas spontan dia sehingga total nafas permenitnya menjadi normal (12 kali).
Prosedurnya :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai pembatas antara
mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2
3. Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk menutup
hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).
4. Mata memperhatikan dada pasien
5. Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong
6. Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien mengembang)
7. Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien menghembuskan
nafas keluar (ekspirasi)
8. Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal
Nafas Buatan
Cara melakukan nafas buatan sama dengan nafas bantuan, bedanya nafas buatan diberikan pada pasien
yang mengalami henti napas. Diberikan 2 kali efektif (dada mengembang )
Pijat Jantung
Pijat jantung adalah usaha untuk memaksa jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, pijat
jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak teraba. Pijat jantung biasanya
dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada algortima di atas)
Prosedur pijat jantung :
1. Posisikan diri di samping pasien
2. Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)
3. Posisikan tangan tegak lurus korban
4.Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)
5.Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm
6. Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal
7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan menghitung dapat
dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
Satu Dua Tiga EmpatSATU
Satu Dua Tiga Empat DUA
Satu Dua Tiga Empat TIGA
Satu Dua Tiga Empat EMPAT
Satu Dua Tiga Empat LIMA
Satu Dua Tiga Empat ENAM
8. Prinsip pijat jantung adalah :
a. Push deep
b. Push hard
c. Push fast
d. Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
e. Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh diinterupsi)
Perlindungan Diri Penolong
Dalam melakukan pertolongan pada kondisi gawat darurat, penolong tetap harus senantiasa
memastikan keselamatan dirinya sendiri, baik dari bahaya yang disebabkan karena lingkungan, maupun
karena bahaya yang disebabkan karena pemberian pertolongan.
Poin-poin penting dalam perlindungan diri penolong :
1. Pastikan kondisi tempat memberi pertolongan tidak akan membahayakan penolong dan pasien
2. Minimasi kontak langsung dengan pasien, itulah mengapa dalam memberikan napas bantuan sedapat
mungkin digunakan sapu tangan atau kain lainnya untuk melindungi penolong dari penyakit yang
mungkin dapat ditularkan oleh korban
3. Selalu perhatikan kesehatan diri penolong, sebab pemberian pertolongan pertama adalah tindakan
yang sangat memakan energi. Jika dilakukan dengan kondisi tidak fit, justru akan membahayakan
penolong sendiri.
Bayangkan ada seorang pendaki yang tidak hati-hati lalu terjatuh ke dalam jurang sedalam 10 meter.
Sangat miris karena pendaki tersebut mengalami trauma tulang belakang yang cukup parah. Prognosa
menyatakan dia bakal lumpuh seumur hidupnya dari batas pusar ke bawah (paraplegi). Menurut cerita
teman-teman pendaki yang ikut mendaki bersama dia, pertolongan di tempat kejadian dilakukan oleh
pendaki lain yang kemungkinan besar belum mengetahui teknik PPGD. Kita lalu akan membayangkan
korban diangkat dari dasar jurang entah dengan apa dan bagaimana, namun dapat diyakinkan bahwa
proses evakuasi, mobilisasi dan tranportasi korban sangatlah merugikan dan memperburuk cedera
tulang belakangnya.
Bayangkan juga ada seorang pendaki yang tiba-tiba mengalami serangan jantung yang menyebabkan
jantungnya tiba-tiba berhenti berdenyut lalu mengalami kematian mendadak karena tidak mendapatkan
pertolongan yang cepat, padahal kita berada tidak jauh dari lokasinya. Atau seorang pemanjat tebing
yang mengalami kecelakaan dan menyebabkan fraktur terbuka yang mengeluarkan cukup banyak darah
lalu membuatnya pingsan. Apakah yang harus kita lakukan ?
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit memprediksi kapan
terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan melakukan upaya kongkrit untuk
mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat
kejadian, selama perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca
kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap menjadi tujuan
dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.
Jadi prinsip dan tujuan dilakukannya PPGD adalah :
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah keadaan menjadi lebih buruk
3. Mempercepat kesembuhan
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu system yang
terpadu dan tidak terpecah-pecah, mulai dari pre hospital stage, hospital stage, dan rehabilitation stage.
Hal ini karena kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung pada apa yang telah dia
dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan
kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal
sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan
penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage,
maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal ginjal.
Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari
kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan
diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan
dengan benar.
Oleh karena itu orang awam yang menjadi first responder harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu
:
Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
Menguasai teknik menghentikan perdarahan
Menguasai teknik memasang balut-bidai
Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada masyarakat yang awam
dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan
dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang
sama. Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan
bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.
I. MEMINTA PERTOLONGAN
Apakah yang anda lakukan jika menemukan seseorang pasien gawat darurat ?
1. amankan penderita
2. hubungi Ambulans dengan telepon nomor 118
3. tertibkan masyarakat
4. lakukan prosedur gawat darurat
Cara memanggil Mobil Ambulans :
Putar nomor telepon 118, Telepon : (021) 687089 65303118 Fax : (021) 585652
Lalu sebutkan :
nama, nomor telepon, lokasi korban, jenis penyakit (sakit, kecelakaan lalin.kerja, kriminalitas), keadaan
korban, dan jumlah korban
II. TEKNIK BANTUAN HIDUP DASAR (BLS-Basic Life Support)
Terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi semuanya
berakhir pada satu akhir yakni kegagalan oksigenasi sel, terutama otak dan jantung.
Usaha yang dilakukan untu mempertahankan kehidupan pada saat penderita mengalami keadan yang
mengancam nyawa yang dikenal sebagai Bantuan Hidup (Life Support). Bila usaha Bantuan Hidup ini
tanpa memakai cairan intra-vena, obat ataupun kejutan listrik maka dikenal sebagai Bantuan Hiudp
Dasar (Basic Life Support). Apabila BHD dilakukan cukup cepat, kematian mungkin dapat dihindari
seperti nampak dari tabel dibawah ini :
Keterlambatan kemungkinan berhasil
1 menit 98 dari 100
4 menit 50 dari 100
10 menit 1 dari 100
Catatan : Bila ada tanda kematian pasti seperti kaku mayat atau lebam mayat, sudah sia-sia untuk
melakukan BHD.
Yang harus dilakukan pada BHD adalah :
a. Airway (jalan nafas)
b. Breathing (pernafasan)
c. Circulation (jantung dan pembuluh darah)
AIRWAY
Menilai jalan nafas dan pernafasan :
Bila penderita sadar dapat berbicara kalimat panjang : Airway baik, Breathing baik
Bila penderita tidak sadar bisa menjadi lebih sulit
Lakukan penilaian Airway-Breathing dengan cara : Lihat-Dengar-Raba
Obstruksi jalan nafas
Merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan gangguan breathing dan circulation.lagipula
perbaikan breathing tidak mungkin dilakukan bila tidak ada Airway yang baik.
a. Obstruksi total
Pada obstruksi total mungkin penderita ditemukan masih saar atau dalam keadaan tidak sadar. Pada
obstruksi total yang akut, biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu menyangkut dan
menyumbat di pangkal larink, bila obstruksi total timbul perlahan (insidious) maka akan berawal dari
obstruksi parsial menjadi total.
Bila penderita masih sadar
Penderita akan memegang leher, dalam keadaan sangat gelisah. Kebiruan (sianosis) mungkin ditemukan,
dan mungkin ada kesan masih bernafas (walaupun tidak ada udara keluar-masuk/ventilasi). Dalam
keadaan ini harus dilakukan perasat Heimlich (abdominal thrust). Kontra-indikasi Heimlich manouvre
atau kehamilan tua dan bayi.
b. Obstruksi parsial
Disebabkan beberapa hal, biasanya penderita masih dapat bernafas sehingga timbul beraneka ragam
suara, tergantung penyebabnya (semuanya saat menarik nafas, inspirasi)
Cairan (darah, sekret, aspirasi lambung dsb), bunti kumur-kumur.
Lidah yang jatuh kebelakang-mengorok
Penyempitan di larink atau trakhea-stridor
Pengelolaan Jalan nafas
a. Penghisapan (suction) bila ada cairan
b. Menjaga jalan nafas secara manual
Bila penderita tidak sadar maka lidah dapat dihindarkan jatuh kebelakang dengan memakai :
= Angkat kepala-dagu (Head tilt-chin manouvre), prosedur ini tidak boleh dipakai bila ada kemungkinan
patah tulang leher.
= Angkat rahang (jaw thrust)
III. BREATHING DAN PEMBERIAN OKSIGEN
Bila Airway sudah baik, belum tentu pernafasan akan baik sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan
apakah ada pernafasan penderita sudah adekuat atau belum.
1. Pemeriksaan Fisik penderita.
a. Pernafasan Normal, kecepatan bernafas manusia adalah :
Dewasa : 12-20 kali/menit (20)
Anak-anak : 15-30 kali/menit (30)
Pada orang dewasa abnormal bila pernfasan >30 atau <10 kali/menit
b. Sesak Nafas (dyspnoe)
Bila penderita sadar, dapat berbicara tetapi tidak dapat berbicara kalimat panjang : Airway baik,
Breathing terganggu, penderita terlihat sesak. Sesak nafas dapat terlihat atau mungkin juga tidak. Bila
terlihat maka akan ditemukan :
Penderita mengeluh sesak
Bernafas cepat (tachypnoe)
Pemakaian otot pernafasan tambahan
Penderita terlihat ada kebiruan
2. Pemberian Oksigen
a. Kanul hidung (nasal canule)
b. Masker oksigen (face mask)
3. Pernafasan Buatan (artificial ventilation)
Bila diperlukan, pernafasan buatan dapat diberikan dengan cara :
a. Mouth to mouth ventilation ( mulut ke mulut )
Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18% (konsentrasi udara paru saat ekspirasi).
Frekuensi Ventilasi Buatan
Dewasa 10-20 x/menit
Anak 20 x/menit
Bayi 20 x/menit
b. Mouth to mask ventilation
c. Bantuan Pernafasan memakai kantung (Bag-Valve-Mask, Bagging)
IV. CIRCULATION
1. Umum
a. Frekuensi denyut jantung
Frenkuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-80/menit.
b. Penentuan denyut nadi
pada orang dewasa dan anak-anak denyut nadi diraba pada a.radialis (lengan bawah, dibelakang ibu jari)
atau a.karotis, yakni sisi samping dari jakun.
2. Henti jantung
Gejala henti jantung adalah gejala syok yang sangat berat. Penderita mungkin masih akan berusaha
menarik nafas satu atau dua kali. Setelah itu akan berhenti nafas. Pada perabaan nadi tidak ditemukan
a.karotis yang berdenyut.
Bila ditemukan henti jantung maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian dari
resusitasi jantung paru (RJP,CPR). RJP hanya menghasilkan 25-30% dari curah jantung (cardiac output)
sehingga oksigen tambahan mutlak diperlukan.
V. RESUSITASI JANTUNG-PARU (RJP)
1. langkah-langkah yang haurs diambil pada sebelum memulai RJP :
( American Heart association)
a. Tentukan tingkat kesadaran (respon penderita) :
Dilakukan dengan menggoyang penderita, bila penderita menjawab, maka ABC dalam keadaan baik.
b. panggil bantuan
bila petugas sendiri, maka jangan mulai RJP sebelum memanggil bantuan,
c. Posisi Penderita
Penderita harus dalam keadaan terlentang, bila dalam keadaan telungkup penderita di balikkan.
d. Periksa pernafasan
Periksa dengan inspeksi, palpasi dan aiskultasi. Pemeriksan ini paling lama 3-5 detik.
Bila penderita bernafas penderita tidak memerlukan RJP
e. Berikan pernafasan buatan 2 kali.
Bila pernafasan buatan pertama tidak berhasil, maka posisi kepala diperbaiki atau mulut lebih dibuka.
Bila pernafasan buatan kedua tidak berhasil (karena resistensi/tahanan yang kuat), maka airway harus
dibersihkan dari obstruksi ( heimlich manouvre, finger sweep)
f. Periksa pulsasi a, karotis (5-10 detik)
Bila ada pulsasi, dan penderita bernafas, dapat berhenti
Bila ada pulsasi dan penderita tidak bernafas diteruskan nafas buatan
Bila tidak ada pulsasi dilakukan RJP
2. Tehnik Resusitasi jantung paru (Cardiopulmonary Resusitation)
RJP dapat dilakukan oleh 1 atau 2 orang.
a. posisi penderita
penderita dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, backboard,short spine board).
b. posisi petugas
posisi petugas berada setinggi bahu penderita bila akan melakukan RJP 1 orang, bila penderita dilantai,
petugas berlutut seinggi bahu, disisi kanan penderita. Posisi paling ideal sebenernya adalah dengan
menunggangi penderita, namun sering dapat diterima oleh keluarga penderita.
c. tempat kompresi
Tepatnya 2 inci diatas prosesus xifoideus pada tengah sternum.
Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada penderita.
Pada bayi tekanan dilakukan dengan 2 atau 3 jari, pada garis yang menghubungkan kedua putting susu
d. Kompresi
Dilakukan dengan meluruskan siku, beban pada bahu, bukan pada siku.
Kompresi dilakukan sedalam 3-5 cm. cara lain untuk memeriksa pulsasi a, karotis yang seharusnya ada
pada setiap kompresi.
e. Perbandingan Kompresi-Ventilasi
Pada dewasa (2 dan 1 petugas) 15 : 2 anak, maupun bayi, perbandingan kompresi-ventilasi adalah 5:1,
ini akan menghasilkan kurang lebih 12 kali ventilasi setiap menitnya, pada dewasa dalam satu menit
dilakukan 4 siklus.
f. Memeriksa pulsasi dan pernafasan
Pada RJP 1 orang, pemeriksaan dilakukan setiap 4 siklus (setiap 1 menit).
Pada RJP 2 orang, petugas yang melakukan ventilasi dapat sekaligus pemeriksaan pulsasi karotis, setiap
beberapa menit dapat dihentikan RJP untuk memeriksa apakah denyut jantung sudah kembali.
Tanda-tanda keberhasilan tehnik RJP :
Nadi karotis mulai berdenyut, pernafasan mulai spontan, kulit yang tadinya berwarna keabu-abuan
mulai menjadi merah. Bila denyut karotis sudah timbul teratur, maka kompresi dapat di hentikan tetapi
pernafasan buatan tetap diteruskan sampai timbul nafas spontan.
g. Menghentikan RJP
Bila RJP dilakukan dengan efektif, kematian biologis akan tertunda.
RJP harus dihentikan tergantung pada :
lamanya kematian klinis
prognosis penderita (ditinjau dari penyebab henti jantung)
penyebab henti jantung (pada henti jantung karena minimal listrik 1 jam)
sebaiknya keputusan menghentikan RJP diserahkan kepada dokter.
h. Komplikasi RJP
Patah tulang iga, sering terjadi terutama pada orang tua. RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada
tulang yang patah. Patah tulang iga mungkin terjadi bila posisi tangan salah
Perdarahan pada perut, disebabkan karena robekan hati atau limpa.
MENGHENTIKAN PERDARAHAN
Cara :
1. Menekan dengan jari tangan
2. Penekanan dengan kain bersih/sapu tangan pada luka
3. Balut tekan
4. Torniket- hanya dalam keadaan tertentu
5. Menekan dengan jari tangan
Pembuluh darah yang terdekat dengan permukaan kulit ditekan dengan jari. Dengan menekan
pembuluh darah anatara jari dan tulang, maka pembuluh darah akan berhenti.
Pada satu sisi manusia terdapat 6 titik pembuluh darah yang dapat ditekan dengan jari : Arteri
temporalis Superficialis, Arteri Subclavia, Arteri Femoralis, Arteri Femoralis, Arteri Fasialis,Arteri Carotis
Kommunis, Arteri Brachialis
6. Penekanan dengan kain bersih/sapu tangan pada luka
i. Sapu tangan yang sudah disterilkan dan belum dipakai lipatan bagian dalam dianggap bersih
ii. Letakkan bagian yang bersih tersebut langsung diatas luka dan tekanlah
iii.Perdarahan dapat berhenti dan pencemaran oleh kuman-kuman dapat dihindarkan
7. Balut tekan
8. Torniket
Pemasangan toniket hanya pada keadaan tertentu, yaitu apabila anggota badan atas (lengan) atau
anggota badan bawah (kaki) terputus :
tutup ujung tungkai yang putus dengan kain yang bersih
bagian yang putus dimasukkan kekantong plastik yang berisi es salanjutnya dibawa bersama- sama
korban ke rumah sakit
SYOK / SHOCK
Tanda-tandanya :
1. Kulit ; pucat, dingin, basah
2. Gelisah
3. Haus
4. Hitungan denyut nadi lebih dari 100 kali permenit
5. Nafas cepat
6. Orang-orangan mata (pupil) melebar
Tindakan :
Tidurkan korban terlentang dengan kaki lebih tinggi daripada kepala
Kendorkan pakaian korban
Badan ditutupi dengan selimut
Jangan diberi minum
Letakkan korban terlentang lurus bila ditemukan tanda-tanda kemungkinan patah tulang
Penanganan shock seperti penanganan PPGD dengan tetap mempertimbangkan ABC. Penatalaksanann
pasien syock di bahas dalam Advanced Life Support
V. BALUT-BIDAI
BALUT
Tujuan : Mencengah / menghindari terjadinya pencemaran kuman kedalam suatu luka
Alat : kain Segitiga, Perban, Balut Cepat, balut bertekanan/tensocrep
BIDAI
Alat yang dipakai untuk mempertahankan kedudukan (fiksasi) tulang yang patah.
Tujuan : Mencegah pergerakan tulang yang patah.
Sarat : Bidai harus dapat mempertahankan dua sendi tulang didepan tulang yang patah
Tidak boleh terlalu kencang dan ketat, karena akan merusak jaringan tubuh.
Alat :
Anggota badan sendiri
Papan, bambu, dahan
Karton, majalah, kain
Bantal,guling, selimut
air splint
vakum matras
VI. TRANSPOTASI
Adalah proses memindahkan kasus gawat darurat dari satu tempat ketempat lain.
Syarat : Keadaannya stabil, Jalan nafas dijamin terbuka/bebas, Monitor (pengawasan
ketat) dari Nadi dan Pernafasan.
Alat :
1. Tenaga Manusia : Satu orang, dua orang, tiga orang, empat orang
2. Tandu kasur : Kasur, papan, dahan/bambu, matras
3. Kendaraan : Darat, laut, udara
Satu orang ; terutama untuk anggota pemadam kebakaran kalau menolong korban yang tidak sadar
didalam gedung yang terbakar atau yang melewati jalan / lorong sempit. Catatan: Cara seperti ini tidak
boleh dilakukan pada penderita yang mengalami patah tulang punggung.
Dua orang ; kedua tangan korban pada bahu penolong yang berdiri di kanan dan dikiri, posisi setengah
duduk pada keempat tangan penolong dapat juga menggunakan kursi.
Tiga orang ; tiga penolong saling berhadapan dan berpegangan tangan dibawah si korban
Empat orang ; empat penolong saling berhadapan dan berpegangan tangan dibawah si korban
Enam orang ; cara mengangkat korban dengan menggunakan kain sprei, terutama kalau ada kecurigaan
adanya patah tulang punggung.

Anda mungkin juga menyukai