Anda di halaman 1dari 52

APENDISITIS AKUT

Definisi
Apendisitis akut adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada
apendik dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.
Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor,
diantaranya adalah hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing
ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan.
Etiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya :

Faktor Obstruksi
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hiperplasi jaringan lymphoid

submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut

Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes fragililis, Splanchicus, Lactobacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.

Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ

apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
memudahkan terjadi apendisitis.

Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makana sehari-hari.

Patofisiologi Apendisitis Akut


Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan
oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Obstruksi pada lumen
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Tekanan di dalam
sekum akan meningkat. Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora
kuman di kolon mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa
apendiks. Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit, yang
meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor
pencetus setempat yang menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu
motilitas normal apendiks.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik
karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan
perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda
setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.

Penegakan Diagnosa Apendisitis Akut


Gambaran klinis pada apendisitis akut yaitu :

Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.

Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum


lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya defans muskuler.

Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada tekanan kiri
(Rovsings Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumbergs Sign) batuk atau mengedan

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi
Tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses
periapendikuler.
Tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan

Palpasi
Nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.

Perkusi
Pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.

Auskultasi
Biasanya normal
peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
apendisiti perforata.

Rectal Toucher

tonus musculus sfingter ani baik


ampula kolaps
nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).

Uji Psoas

Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks
yang meradang menepel di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri.

Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan
yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.

Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi.
Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis

banding

seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang
hampir sama dengan appendicitis.
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya
peritonitis) tampak :
- scoliosis ke kanan
- psoas shadow tak tampak
- bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan US dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
c.Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.

d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini
didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendix (appendectomy).

Penatalaksanaan Apendisitis Akut


Kegawatdaruratan

Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau
septicemia.

Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui


mulut.

Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien.

Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan
pengukuran kadar hCG

Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda septicemia dan


pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.

Antibiotik Pre-Operatif

Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan dalam


menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah.

Pemberian antibiotic spektrum luas untuk

gram negatif dan anaerob

diindikasikan.

Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya pembedahan.

Tindakan Operasi

Apendiktomi, pemotongan apendiks.

Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan garam


fisiologis dan antibiotika.

Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati dengan antibiotika IV,
massanya mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari.

APPENDICITIS KRONIS
Definisi
Appendicitis kronik merupakan kelanjutan dari appendicitis akut yang
berlangsung lebih dari 2 minggu.
Diagnosis
apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik
Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik.
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana
terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan perut terasa kembung.
Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda tanda khas
seperti pada appendicitis akut. Terkadang disertai demam yang hilang timbul dan
seringkali disertai dengan rasa mual bahkan kadang muntah.
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi atau letak usus buntu.
Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya akan sama
dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih dan ada gangguan berkemih. Bila posisi
usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada pemeriksaan colok dubur atau
vagina. Pada posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak begitu spesifik.
Pemeriksaan penunjang
Apabila appendicitis sudah terjadi lama (kronik), maka perlu dilakukan
pemeriksaan Appendicogram. Pasien diminta untuk minum cairan seperti susu yang
merupakan zat kontras. Selama 24 jam kemudian akan dilakukan pemotretan dengan
alat rontgen konvensional. Apabila dengan pemeriksaan ini apendiks tidak dapat
tergambar (filling defect) maka pasien menderita appendicitis kronis.
Penanganan
Pada appendicitis kronis waktu operasi masih dapat di tunda tergantung pada kondisi
pasiennya.

POLIP
A. DEFINISI POLIP
Polip adalah massa jaringan yang menonjol kedalam lumen usus dan dapat
ditemukan dimana saja dalam saluran usus dan rectum. Polip dapat di klasifikasikan
sebagai neoplastik (adenoma dan karsinoma) atau non-plastik (mucosal dan
hiperplastik).

B. GEJALA
Kebanyakan polip tidak menyebabkan gejala, tapi gejala paling sering terjadi
adalah perdarahan dari rektum. Polip yang besar bisa menyebabkan kram, nyeri perut
atau penyumbatan usus.
Polip yang bertangkai panjang jarang turun ke bawah melalui anus.
Polip besar dengan bentuk seperti jari (adenoma vilus) bisa mengeluarkan air dan
garam, menyebabkan diare cair yang bisa menyebabkan menurunnya kadar kalium
darah (hipokalemia). Jenis polip ini lebih sering berkembang menjadi keganasan
(kanker).

C. DIAGNOSA
Pada pemeriksaan colok dubur akan dapat dirasakan oleh jari tangan adanya
polip di rektum. Selain itu, polip biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin
sigmoidoskopi. Bila pada sigmoidoskopi ditemukan polip, maka dilakukan
kolonoskopi untuk memeriksa keseluruhan usus besar. Pemeriksaan ini dilakukan,
karena seseorang sering memiliki polip lebih dari satu dan karena polip bisa bersifat
ganas. Pada kolonoskopi juga dilakukan pengambilan contoh jaringan untuk biopsi
dari daerah yang kelihatannya ganas.
D. Patofisiologi Polip
Polip dikenal melalui struktur dan jenis jaringan. Kebanyakan polip adalah
adenoma, tumor epitel jinak yang dianggap premalignant lesi. Kurang dari 10% dari
lesi ini kemajuan untuk menjadi kanker, namun hampir semua kanker kolorektal
timbul dari adenomatosa polip (Hazzard et al., 1994). Adenoma dapat terjadi dalam
pedun-culated atau bentuk villous.
Sebuah pedunculated polip adalah struktur globelike menempel pada dinding
usus tipis, stalklike batang (Gambar 23-11). Insiden polip jenis ini meningkat dengan
usia, meskipun itu terjadi di semua kelompok usia dan pada kedua jenis kelamin.
Sebagian besar kecil, 1 cm atau kurang dalam diameter, meskipun mereka mungkin
lebih besar daripada 4-5 cm. Potensi yang maligna polip ini tampaknya terkait dengan
ukuran mereka. Satu persen dari mereka yang di bawah 1 cm diameter adalah kanker,
sedangkan 45% adenomas lebih besar dari 2 cm adalah kanker (Tierney et al., 1998;
Way, 1994). Polip ini berisi proliferasi kelenjar dan kadang-kadang juga disebut
tubular adenomas.
Sebuah villous atau sessile (luas) polip terikat oleh membran dasar yang luas.
Jenis polip ini umumnya lebih besar daripada - pedunculated atau tubular adenomas,
biasanya lebih dari 5 cm. Hal ini kurang umum daripada tipe dan pedunculated lebih
sering terjadi sebagai lesi tunggal. Polip Villous mengandung proliferasi vili dan

memiliki potensi ganas yang lebih tinggi daripada tubular adenomas, diperkirakan
mencapai 25% sampai 40% (Way, 1994). Beberapa adenoma polip mengandung
epitel tubulus dan vili dan dikenal sebagai tubulovillous adenomas.
Familial poliposis adalah dominan autosomal yang jarang kelainan genetik
yang ditandai oleh ratusan polip adenomatosa sepanjang usus besar. Baik sessile
polip pedunculated dan terlihat, biasanya berkembang pada masa pubertas. Risiko
keganasan hampir 100% pada usia 40 dengan keluarga poliposis (Fauci et al., 1998).
Kebanyakan polip tidak menunjukkan gejala, ditemukan kebetulan saat pemeriksaan
rutin atau tes diagnostik. Intermiten tanpa nyeri pendarahan anus, merah terang atau
gelap, adalah presentasi yang paling umum keluhan. Polip besar dapat menyebabkan
kram perut, nyeri, atau manifestasi dari obstruksi. Diare dan lendir dapat
berhubungan dengan adenoma besar.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Enema barium; secara umum menunjukkan polip sebagai cacat mengisi bulat
dengan halus, tajam margin didefinisikan. Polip sangat kecil, kurang dari 0,5 cm,
mungkin tidak akan terlihat pada film sinar-X. Colon cleansing menyeluruh
sangat penting sebelum ujian Radiologic polip (Way, 1994).

Colonoscopy memberikan diagnosa yang paling dapat diandalkan polip,


memungkinkan inspeksi visual dari usus besar, biopsi massa atau lesi, dan
polypectomy

F. PENGOBATAN
Penderita diberi obat pencahar dan enema untuk mengosongkan usus. Lalu
polip diangkat selama kolonoskopi dengan menggunakan pisau bedah atau lingkaran
kawat yang dialiri arus listrik. Bila polip tidak memiliki tangkai atau tidak dapat
diambil selama kolonoskopi, mungkin perlu dilakukan pembedahan perut. Ahli
patologi memeriksa polip yang telah diambil.

Bila polip bersifat ganas, pengobatan tergantung kepada faktor-faktor tertentu.


Contohnya, resiko penyebaran kanker lebih tinggi jika kanker sudah mencapai
tangkai polip atau lebih dekat ke tempat pemotongan. Resiko penyebaran kanker juga
bisa didasarkan pada hasil pemeriksaan ahli patologi terhadap penampakan polip di
bawah mikroskop.
Bila resikonya rendah, tidak diperlukan pengobatan lebih lanjut. Bila
resikonya tinggi, bagian usus besar yang terkena diangkat melalui pembedahan dan
potongannya disambungkan lagi.
Jika polipnya sudah diangkat, setahun kemudian dan dalam selang waktu
yang ditentukan oleh dokternya, seluruh usus besar diperiksa dengan kolonoskopi.
Bila pemeriksaan tidak mungkin dilakukan karena telah terjadi penyempitan
usus besar, maka digunakan barium enema. Setiap polip yang baru harus diangkat.

ADENOCARSINOMA RECTI

A. Definisi
Ca Rekti adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di anterior
sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. rectosigmoid junction terletak pada
bagian akhir mesocolon sigmoid. Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena
kedalam hati.

Gambar Ca rekti
B. Etiologi dan Faktor Resiko
Banyak faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker rektal, diantaranya
adalah :

Diet tinggi lemak, rendah serat

Usia lebih dari 50 tahun

Riwayat pribadi mengidap adenoma atau adenokarsinoma kolorektal


mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.

Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal


mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.

Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome, pada


semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi
kanker rektal

Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome, PeutzJeghers syndrome, dan Muir syndrome.

Terjadi pada 50 % pasien Kanker kolorektal Herediter nonpolyposis

Inflammatory bowel disease


o

Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun)

Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat

C. Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain ialah :
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah
segar maupun yang berwarna hitam.
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong saat
BAB
3. Feses yang lebih kecil dari biasanya
4. Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh
pada perut atau nyeri
5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
6. Mual dan muntah
7. Rasa letih dan lesu
8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada
daerah gluteus.
E. Diagnosis dan Staging
Ada beberapa tes pada daerah rektum dan kolon untuk mendeteksi kanker
rektal, diantaranya ialah :
1) Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan CEA (Carcinoma Embrionik Antigen)
dan Uji faecal occult blood test (FOBT) untuk melihat perdarahan di jaringan
2) Digital rectal examination (DRE) dapat digunakan sebagai pemeriksaan skrining
awal. Kurang lebih 75 % karsinoma rektum dapat dipalpasi pada pemeriksaan
rektal pemeriksaan digital akan mengenali tumor yang terletak sekitar 10 cm dari
rektum, tumor akan teraba keras dan menggaung.

Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti


3) Dapat pula dengan Barium Enema,. yaitu Cairan yang mengandung barium
dimasukkan melalui rektum kemudian dilakukan seri foto x-rays pada traktus
gastrointestinal bawah.
4) Sigmoidoscopy, yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kakner atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
5) Colonoscopy yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat colonoscope
dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan
dapat diambil untuk biopsi.
Jika ditemuka tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan.
Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang paling sering yaitu
sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel
skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous carcinomas, dan undifferentiated
tumors.1,2
Ketika diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan prosedur
untuk menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed tomography scan (CT
scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count (CBC), tes fungsi hepar dan
ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor marker CEA (carcinoembryonic antigen).

Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini ialah untuk mengetahui perluasan
dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan menentukan prognosis.
Stadium penyait pada kanker rektal hampir mirip dengan stadium pada kanker kolon.
Awalnya, terdapat Duke's classification system, yang menempatkan klanker dalam 3
kategori stadium A, B dan C. sistem ini kemudian dimodofikasi oleh Astler-Coller
menjadi 4 stadium (Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun 1978 oleh Gunderson &
Sosin. 1,2
Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on Cancer
(AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan kanker menjadi
satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar
kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga
Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tedak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati,
paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer

Tabel 1. CT Staging System for Rectal Cancer*


Stadium

Deskripsi

T1

Intraluminal polypoid mass; no thickening of bowel wall

T2

Thickened rectal wall >6 mm; no perirectal extension

T3a

Thickened rectal wall plus invasion of adjacent muscle or organs

T3b

T4

Thickened rectal wall plus invasion of pelvic side wall or


abdominal wall
Distant metastases, usually liver or adrenal

A. Pentatalaksanaan
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektal. Beberapa adalah
terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi
standar untuk kanker rektal yang digunakan antara lain ialah :
1. PEMBEDAHAN
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium I dan II kanker rektal, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga
dilakukan pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode
penentuan stadium kanker, banyak pasien kanker rektal dilakukan pre-surgical
treatment dengan radiasi dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum
pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan pada kanker rektal,
neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama pada stadium II dan III. Pada pasien
lainnya yang hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker
sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau
radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.

Tipe pembedahan yang dipakai antara lain :

Eksisi lokal : jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat
dihilangkan tanpa tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker
ditemukan dalam bentuk polip, operasinya dinamakan polypectomy.

Reseksi: jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan
anastomosis. Jiga dilakukan pengambilan limfonodi disekitan rektum lalu
diidentifikasi apakah limfonodi tersebut juga mengandung sel kanker.

Reseksi dan kolostomi :

2. RADIASI
Sebagai mana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,
radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain
radioterapi adalah sebagai sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus
tumor lokal yang sudah diangkat melaui pembedahan, dan untuk penanganan kasus
metastasis jauh tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan
kemoterapi, radiasi yang digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah
menurunkan resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian
sebesar 29%. Pada penanganan metastasis jauh, radiesi telah berguna mengurangi
efek lokal dari metastasis tersebut, misalnya pada otak. Radioterapi umumnya
digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien yang memiliki tumor lokal yang
unresectable. 1,2,9
3. KEMOTERAPI
Adjuvant chemotherapy, (menengani pasien yang tidak terbukti memiliki
penyakit residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan), dipertimbangkan
pada pasien dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang
bergerombol ( Stadium II lanjut dan Stadium III). terapi standarnya ialah dengan
fluorouracil, (5-FU) dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam
sampai dua belas bulan. 5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki
respon. Agen lainnya, levamisole, (meningkatkan sistem imun, dapat menjadi

substitusi bagi leucovorin. Protopkol ini menurunkan angka kekambuhan kira kira
15% dan menurunkan angka kematian kira kira sebesar 10%. 1,2,9
B. Prognosis
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai
berikut :
o

Stadium I - 72%

Stadium II - 54%

Stadium III - 39%

Stadium IV - 7%

50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa


kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi
pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah
operasi. Faktor faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh
batas - batas negatif tumor.

SIROSIS HEPATIS
DEFINISI
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus
ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan
sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut

B. KLASIFIKASI
Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:
1. Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
2. Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang
jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis
kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya
dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul,
yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.

Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:
a. Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis
toksik atau subcute yellow, atrophy chirrosis yang terbentuk karena banyak terjadi
jaringan nekrose.
b. Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, chirrosis
alkoholik, Laennecs cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis terjadi sebagai akibat
kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.

C. ETIOLOGI
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua
penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada
tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga
mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi
chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati.
Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena
alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat
mengarah pada kerusakan parenkim hati.

3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita
dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan
menyebabkan timbulnya sirosis hati.

D. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY


Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan
ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps
lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa
fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi
sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga
yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah
porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan
berbagai macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik
dan gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian
dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya
terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi
fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi
ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah porta dan
parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis
dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis daerah periportal, pada
sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limposit T dan makrofag
menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya
fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif
ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis Hati)


F. GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. GEJALA
Gejala chirrosis hati mirip dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver yang
mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual, badan
lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan darah mirip
laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus
menerus dan terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus.
2. TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a.

Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang


menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit
dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya
kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan
penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk
pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah peningkatan
tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya
asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c.

Hati yang membesar

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar
sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas
nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran
darah melalui hati.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada chirrosis
hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus. Sifat perdarahan yang
ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis, biasanya mendadak tanpa
didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan
membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah
tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga
hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum mempunyai
gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi
menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis
hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat
berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma hepatikum
yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh sebab lain,
antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap asites, karena obat-obatan dan
pengaruh substansia nitrogen.
3. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan
diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi
yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi
makanan
4. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi
adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple

5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita
sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis,
diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru,
glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas
maupun septikemi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus.
Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine
kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi
pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam
usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja
berwarna cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang kadang
dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12
atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan
gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang
sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan
albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin,

pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar
38

normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL . Jumlah albumin dan globulin yang
masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.
Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih.

39

Selain itu, kadar

asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi
kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks,
splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati,
termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya
penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan
irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar
dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan jelas
kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil
dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.

I.

PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2. Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori).
Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000
mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan
tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma

hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk
kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan
tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya
hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya
koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang jelas
tidak hepatotoksik.
4. Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial
berantai cabang dengan glukosa.
5. Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol.

Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :


1. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500
mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya
harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya
sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik
berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300
mg/hari bila setelah 3 4 hari tidak terdapat perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan
cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena
berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan.
Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6
8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan
dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah
parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap
diperlukan.
4. Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/hari.
Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat
mencetuskan ensefalopati hepatik

CARSINOMA HEPATOSELULLER
Definisi
Menurut National Cancer Institute karsinoma hepatoseluler adalah sebuah
jenis adenokarsinoma, dan merupakan tipe yang paling umum dari tumor hati.
Karsinoma hepatoseluler (HCC) adalah tumor primer yang paling umum pada hepar
dan salah satu kanker paling umum di seluruh dunia. HCC merupakan keganasan
hepatoseluler asal primer.
Faktor-Faktor Etiologi
Virus Hepatitis
Baik kasus-kontrol maupun studi kohort menunjukkan hubungan yang kuat
antara tingkat carrier hepatitis B kronis dan peningkatan kejadian HCC. Pada orang
Taiwan carier laki-laki yang mempunyai antigen permukaan hepatitis B (HBsAg)
positif, ditemukan berisiko 98 kali lipat lebih besar untuk menjadi HCC dibandingkan
dengan individu dengan HbsAg-negatif. Kejadian HCC pada orang pribumi di Alaska
meningkat secara nyata berhubungan dengan prevalensi infeksi virus hepatitis B
(HBV) yang tinggi. HCC yang disebabkan HBV mungkin timbul dari siklus
kerusakan hati dengan proliferasi berikutnya, dan tidak selalu terjadi dari sirosis.
Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik,
peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi sel HBV DNA ke dalam DNA sel
penjamu dan aktivitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak
langsung oleh kompensasi proliferatif merespon nekroinflamasi sel hati, atau akibat
dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.

Peningkatan angka insidensi HCC di Jepang dalam tiga dekade terakhir


diperkirakan berdasarkan penelitian dari hepatitis C. Sebuah intervensi skala besar
yang disponsori oleh World Health Organization (WHO) sedang berlangsung di Asia
yang melibatkan vaksinasi HBV pada bayi baru lahir. HCC pada orang kulit hitam di
Afrika tidak berhubungan dengan sirosis yang parah namun mempunyai diferensiasi
yang buruk dan bersifat sangat agresif. Meskipun jenis dari HBV carrier adalah sama
di antara penduduk Bantu di Afrika Selatan, ada perbedaan sembilan kali lipat dalam
kejadian HCC antara orang Mozambic yang hidup di sepanjang pesisir dan
pedalaman. Perbedaan ini disebabkan oleh paparan tambahan dari makanan yang
mengandung aflatoksin B1 dan mikotoksin karsinogenik lainnya.
Hepatitis C virus (HCV) juga telah dikaitkan dengan terjadinya HCC.
Antibodi terhadap HCV telah ditemukan sebanyak 76% dari pasien dengan HCC di
Jepang, Italia, dan Spanyol dan 36% di Amerika Serikat. Berbeda dengan HCC
disebakan oleh HCV, HCC jarang terjadi pada carier HBV sebelum terjadinya
perkembangan sirosis. Sebuah interval antara transfusi yang berhubungan dangan
virus hepatitis C (HCV) dan terjadinya HCC adalah ~ 30 tahun. HCC yang
disebabkan oleh virus hepatitis C cenderung memiliki sirosis yang lebih sering dan
lebih awal, tetapi dalam HCC yang disebabkan dengan HBV, hanya setengahnya
yang terjadi sirosis; sisanya menderita hepatitis aktif kronis. Selain itu, kejadian HCC
pada carier HCV kronis diperkirakan setinggi 5% per tahun, dibandingkan dengan
0,5% per tahun untuk carier HBV.

Tabel Faktor Resiko Karsinoma Hepatoseluler.


Tersering

Jarang

Sirosis dari penyebab apapun

Sirosis bilier primer

Infeksi kronis hepatitis B atau C

Hemochromatosis

Konsumsi etanol kronis

Defisiensi antitrypsin -1

Non-Alkohol steatohepatitis (NASH)

Non-Alkohol steatohepatitis (NASH)

Aflatoksin B1 atau mikotoksin lain

penyakit penyimpanan glikogen


Citrullinemia
Porfiria cutanea tarda
Keturunan tyrosinemia
Wilson's Disease

Sirosis Hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun tiga sampai lima persen
dari pasien SH akan menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab kematian pada
SH. Otopsi pada pasien SH mendapatkan 290-80% di antaranya telah menderita
HCC. Pada 60-80% dari SH makronoduler dan tiga sampai sepuluh persen dari SH
mikronuduler dapat ditemukan adanya HCC. Prediktor utama HCC pada SH adalah
jenis kelamin laki-laki, peningkatan alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit
dan tingginya aktivitas proliferasi sel hati.
Karsinogen Kimia
Mungkin karsinogen kimia alami yang paling kuat di mana-mana merupakan
produk dari jamur Aspergillus, disebut aflatoksin B1. Produk aflatoksin dapat
ditemukan dalam biji-bijian yang disimpan di tempat yang panas, tempat-tempat
lembab, kacang dan nasi disimpan tidak dalam lemari es. Kontaminasi aflatoksin

bahan pangan berkorelasi baik dengan tingkat insidensi di Afrika dan China. Pada
daerah endemik di Cina, bahkan hewan ternak seperti bebek telah mengidap HCC.
Karsinogen yang paling kuat muncul menjadi produk alami dari tumbuhan, jamur,
dan bakteri, seperti pohon-pohon semak yang mengandung alkaloid pyrrollizidine
serta asam tannic dan safrol. Polutan seperti pestisida dan insektisida dikenal
karsinogen binatang pengerat.
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 1-2-3- epoksid merupakan karsinogen utama dari kelompok utama
aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu
mekanisme karsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada
kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di
Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya
peningkatan angka mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (Indeks Massa Tubuh (IMT) : 35-40 Kg/m2)
dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui,
obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alchoholic fatty liver disease
(NAFLD), khususnya non alchoholic steatohepatis (NASH) yang dapat berkembang
menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.
Diabetes Mellitus (DM)
Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan
steatohepatis non alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan

peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang merupakan
faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan
HCC terlihat dari banyak penelitian antara lain penelitian kasus kelola oleh Hasan
dkk. Yang melaporkan bahwa dari 115 kasus HCC dan 230 non HCC, rasio odd dari
DM adalah 4,3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya sudah
menderita sirosis hati. Penelitian kohort besar oleh El Serag dkk. Yang melibatkan
173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM menemukan bahwa insidensi
HCC pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi
HCC kelompok bukan DM. Insidensi juga semakin tinggi seiring dengan lamanya
pengamatan (kurang dari lima tahun hingga lebih dari 10 tahun). DM merupakan
faktor resiko HCC tanpa memandang umur, jenis kelamin dan ras, dengan angka
resiko 2,16.
Alkohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat
alcohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari
alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC
juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg-positif atau anti HCV-positif.
Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV maupun
infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alkohol merupakan prediktor bebas untuk
terjadinya HCC pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi HBV
atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan
sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC.

Patogenesis Molekuler HCC


Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui. Apapun agen
penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan
perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury) dan regenerasi
kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivas onkogen
selular atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dengan kurang
baiknya penanganan DNA missmatch, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor
pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronis, alkohol dan penyakit metabolik
seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin-alfa 1, mungkin menjalankan
peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis).
Hilangnya heterozigositas (LOH = lost of heterozygosity) juga dihubungkan
dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH dan delesi alelik adalah hilangnya satu
salinan (kopi) dari bagian tertentu suatu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi di
banyak bagian kromosom. Infeksi HBV dihubungkan engan kelainan di kromosom
17 atau pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasus HCC, lokasi integrasi HBV DNA di
dalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena itu, HBV mungkin berperan
sebagai agen mutagenic insersional non selektif. Integrasi acapkali menyebabkan
terjadinya beberap perubahan dan selanjutnya mengakibatkan proses translokasi,
duplikasi terbalik, delesi dan rekombinan. Semua perubahan ini dapat berakibat
hilangnya gen-gen supresi tumor maupun gen-gen seluler penting lain. Dengan
analisis Southern Blot, potongan (sekuen) HBV yang telah terintegrasi ditemukan di
dalam jaringan tumor/HCC, tidak ditemukan di luar jaringan tumor. Produk gen X,
lazim disebut HBx, dapat berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari
berbagai gen seluler yang berhubungan dengan kontrol pertumbuhan. Ini
menimbulkan hipotesis bahwa HBx mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis oleh
HBV.

Di wilayah endemic HBV ditemukan hubungan yang bersifat dose-dependent


antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutasi pada kodon 249 dari p53. Mutasi ini
spesifik untuk HCC dan tidak memerlukan integrasi HBV ke dalam DNA tumor.
Mutasi gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus HCC di dunia, dengan frekuensi dan
tipe mutasi yang berbeda menurut wilayah geografik dan etiologi tumornya. (10)
Infeksi kronik HCV dapat berujung pada HCC setelah berlangsung puluhan
tahun dan umumnya didahuluioleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan peranan
penting dari proses cedera hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada proses
hepatokarsinogenesis oleh HCV.
Penyebaran
Metastasis intrahepati dapat melalui pembuluh darah, saluran limfe atau
infiltrasi langsung. Metastasis Ekstrahepatik dapat melibatkan vena hepatica, vena
porta atau vena kava. Dapat terjadi metastasis pada varises oesophagus dan di paru.
Metastasis sistemik seperti ke kelenjar getah bening di porta hepatis tidak jarang
terjadi, dan dapat juga sampai di mediastinum. Bila sampai di peritoneum, dapat
menimbulkan asites hemoragik, yang berarti sudah memasuki stadium terminal.(10)
Manifestasi Klinis
Timbulnya sebuah karsinoma hepatoseluler mungkin tidak terduga sampai
terjadi penurunan kondisi pasien sirosis yang sebelumnya stabil.

(4)

Gejala pada

pasien HCC termasuk cachexia, nyeri pada perut, penurunan berat badan, kelemahan,
abdominal fullness dan bengkak, penyakit kuning, dan mual yang berhubungan
dengan gejala.
Kemunculan asites, kemungkinan perdarahan, yang menunjukkan trombosis
vena portal atau hati dengan tumor atau pendarahan dari tumor nekrotik.

(4)

Perut

bengkak terjadi sebagai akibat dari asites karena penyakit hati kronis yang
mendasarinya atau mungkin karena tumor yang berkembang dengan pesat. Kadangkadang, nekrosis pusat atau perdarahan akut ke dalam rongga peritoneum
menyebabkan kematian. Di negara-negara dengan program surveilans aktif, HCC
cenderung diidentifikasi pada tahap awal. Penyakit kuning biasanya karena gangguan
pada saluran intrahepatic oleh penyakit hati yang mendasarinya. Hematemesis terjadi
mungkin disebabkan karena adanya varises oesophagus akibat hipertensi portal.
Nyeri tulang terlihat pada 3-12% pasien. Pasien mungkin dapat tidak menunjukkan
gejala.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan pembesaran hati yang lembut, kadangkadang dengan massa yang dapat di palpasi. Di Afrika, presentasi khas pada pasien
muda adalah massa yang berkembang pesat pada perut. Hepatomegali adalah tanda
dari fisik yang paling umum, terjadi pada 50-90% pasien. Bruit perut dicatat dalam 625%, dan asites terjadi pada 30-60% pasien. Auskultasi mungkin mengungkapkan
bruit pada tumor atau friction rub ketika prosesnya telah meluas ke permukaan hati.
Ascites harus diperiksa oleh bagian sitologi. Splenomegali terutama karena hipertensi
portal. Berat badan dan wasting otot yang umum, terutama dengan tumor yang
tumbuh dengan cepat atau besar. Demam ditemukan pada 10-50% pasien, dari
penyebab yang tidak jelas. Tanda-tanda penyakit hati kronis dapat hadir, termasuk
sakit kuning, dilatasi vena abdomen, eritema palmar, ginekomastia, atrofi testis, dan
edema perifer.
Diagnosis
Dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih dan majupesat, maka
berkembang pula cara-cara diagnosis dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini.
Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih awal terutamanya

dengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 95%1,4,8 dan pendekatan


laboratorium alphafetoprotein yang akurasinya 60 70%.
Kriteria diagnosa HCC menurut PPHI Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia),
yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT
Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron
Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya HCC.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya HCC.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan HCC.
Diagnosa HCC didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.
Pemeriksaan Penunjang
1 Penanda Tumor
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel
hati fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang
normal AFP serum adalah 0-20 ng/ml. Kadar AFP meningkat pada 60% -70% dari
pasien HCC, dan kadar lebih dari 400 ng/ml adalah diagnostik atau sangat sugestif
untuk HCC. Nilai normal juga dapat ditemukan juga pada kehamilan. Penanda tumor
lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau PIVKA-2, yang
kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien HCC, namun juga dapat meningkat

pada defisiensi vitamin K, hepatitis kronis aktif atau metastasis karsinoma. Ada
beberapa lagi penanda HCC, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa-Lfucosidase serum, dll, tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan
spesifitas melebihi AFP, AFP-L3 dan PIVKA-2. (10)
2 Gambaran Radiologis
(USG)
Pemeriksaan USG hati merupakan alat skrining yang sangat baik. Dua
karakteristik

kelainan

vaskular

berupa

hipervaskularisasi

massa

tumor

(neovaskularisasi) dan trombosis oleh invasi tumor. (1) Perkembangan yang cepat dari
gray-scale ultrasonografi menjadikan gambaran parenkim hati lebih jelas.
Keuntungan hal ini menyebabkan kualitas struktur eko jaringan hati lebih mudah
dipelajari sehingga identifikasi lesi-lesi lebih jelas, baik merupakan lesi lokal maupun
kelainan parenkim difus. (7)
Pada hepatoma/karsinoma hepatoselular sering diketemukan adanya hepar
yang membesar, permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi fokal intrahepatik
dengan struktur eko yang berbeda dengan parenkim hati normal.

B. Computed Tomography (CT) Scan


Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai
seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu
hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scan yang saat ini teknologinya
berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yang tinggi apalagi dengan
menggunakan teknik hellical CT scan, multislice yang sanggup membuat irisan-irisan
yang sangat halus sehingga kanker yang paling kecil pun tidak terlewatkan.

Untuk menentukan ukuran dan besar tumor, dan adanya invasi vena portal
secara akurat, CT / heliks trifasik scan perut dan panggul dengan teknik bolus kontras
secara cepat harus dilakukan untuk mendeteksi lesi vaskular khas pada HCC. Invasi
vena portal biasanya terdeteksi sebagai hambatan dan ekspansi dari pembuluh darah.
CT scan dada digunakan untuk menghilangkan diagnosis adanya metastasis. (1)
C. Angiografi
Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan
pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang
sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai
dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar.
Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya.
D. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada
gambaran CT scann yang meragukan atau pada penderita yang ada risiko bahaya
radiasi sinar X dan pada penderita yang ada kontraindikasi (risiko bahaya) pemberian
zat contrast sehingga pemeriksaan CT angiography tak memungkinkan padahal
diperlukan gambar peta pembuluh darah.
Sistem Staging
Meskipun TNM (tumor primer, kelenjar regional, metastasis) yang merupakan
sistem staging yang dibentuk oleh the American Joint Commission for Cancers
(AJCC) kadang-kadang masih digunakan, saat ini sistem the Cancer of the Liver
Italian Program (CLIP) yang lebih lebih populer digunakan karena memasukan
sirosis dalam salah satu hal penilaiannya, seperti halnya sistem Okuda (Tabel 2.4 dan
2.5). Prognosis terbaik adalah stadium I, tumor soliter <2>(1)

Tabel 2.4 Klasifikasi Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) (1)
Points
Variables

i. Jumlah Tumor

Single

Multiple

<50

<50

>50

ii. Nilai Child-Pugh

iii. -Fetoprotein level (ng/mL)

<400

400

iv. Trombosis Vena Porta (CT)

No

Yes

Ukuran tumor pada Hepar yang

menggantikan hepar normal (%)a

a = Luas tumor pada hati


Stadium CLIP : CLIP 0, 0 points; CLIP 1, 1 point; CLIP 2, 2 points; CLIP 3, 3 points.
Pengobatan
Sebagian besar pasien HCC mempunyai dua penyakit hati yaitu sirosis dan
HCC, masing-masing yang merupakan penyebab kematian independen. Kehadiran
sirosis biasanya menjadi kendala pada operasi reseksi, terapi ablatif, dan kemoterapi.
Jadi penilaian dan perencanaan perawatan pasien harus mengambil keparahan dari
penyakit hati tidak ganas ke dalam penilaian. Pilihan manajemen secara klinis pada
HCC bisa menjadi kompleks (Bagan 2.1). Pasien dengan tumor lanjut (invasi
vaskular, gejala, menyebar extrahepatic) memiliki hidup rata-rata ~ 4 bulan, dengan
atau tanpa pengobatan.

Karsinoma Hepatoseluler Stadium I dan II


Tumor tahap awal dapat berhasil diobati dengan menggunakan berbagai
teknik, termasuk reseksi bedah, ablasi lokal (thermal atau radiofrekuensi), dan terapi
injeksi lokal (etanol atau asam asetat). Banyak juga yang memiliki penyakit hati yang
signifikan yang mendasari dan tidak dapat mentolerir terapi bedah karena kehilangan
parenkim hati, namun mungkin mereka memenuhi persyaratan untuk transplantasi
hati orthotopic (orthotopic liver transplant = OLTX) di masa yang akan datang.
Prinsip penting dalam perawatan tahap awal HCC adalah dengan menggunakan
perawatan hati-hemat dan berfokus pada pengobatan baik tumor maupun sirosis.
Eksisi Bedah
Pada pasien sirosis, operasi hati besar dapat mengakibatkan kegagalan hati.
Klasifikasi Child-Pugh dari gagal hati dapat menentukan prognosis untuk toleransi
operasi hati yang dapat diandalkan, dan hanya Child A yang dapat dipertimbangkan
untuk reseksi bedah. Pasien dengan Child B dan C dengan tahap I dan II HCC harus
dirujuk untuk OLTX jika sesuai, seperti pada pasien dengan asites atau riwayat
pendarahan varises. Meskipun terapi bedah eksisi terbuka merupakan terapi yang
paling dapat diandalkan, namun pasien mungkin lebih baik ditawarkan dengan
pendekatan secara laparoskopi untuk reseksi, menggunakan RFA atau injeksi etanol
perkutan (percutaneous ethanol injection=PEI).(1)
Strategi Ablasi Lokal
Ablasi radiofrekuensi (Radiofrequency ablation=RFA) menggunakan panas
untuk ablasi tumor. Ukuran maksimum dari array probe dapat dilakukan untuk zona
nekrosis 7-cm, yang akan cukup untuk tumor berukuran 3-4 cm.(1)

Pengobatan tumor yang dekat dengan pedikel portal utama dapat


menyebabkan cedera duktus empedu dan obstruksi. Hal ini membatasi terapi tumor
yang secara anatomi cocok untuk teknik ini. RFA dapat dilakukan secara perkutan
dengan panduan CT atau USG, atau dengan laparoskopi dengan panduan USG.(1)
Terapi Injeksi Lokal
Sejumlah agen telah digunakan untuk dilakukannya injeksi lokal ke dalam
tumor, yang paling sering, ethanol (PEI). HCC lunak relatif dengan riwayat sirosis
hati keras memungkinkan untuk dilakukan injeksi etanol volume besar ke dalam
tumor tanpa terjadi difusi ke dalam parenkim hati atau kebocoran keluar dari hati. PEI
menyebabkan

kerusakan

langsung

dari

sel-sel

kanker,

tetapi

juga

akan

menghancurkan sel-sel normal di sekitarnya. Hal ini biasanya memerlukan beberapa


suntikan (rata-rata tiga), berbeda dengan satu untuk RFA. Ukuran maksimum tumor
terpercaya diperlakukan adalah 3 cm, bahkan dengan beberapa suntikan. (1)
Transplantasi Hepar
Sebuah pilihan yang layak untuk HCC Stadium I dan II pada tumor dengan
sirosis adalah OLTX, dengan kelangsungan hidup mendekati pada kasus-kasus
nonkanker. OLTX dapat digunakan pada pasien dengan lesi tunggal 5 cm atau 3
nodul atau kurang, setiap 3 cm, menghasilkan kelangsungan hidup yang bagus tanpa
tumor (70% selama 5 tahun). Untuk HCC lanjut, OLTX telah ditinggalkan karena
adanya tingkat kekambuhan tumor yang tinggi.
Terapi Adjuvant
Peran kemoterapi ajuvan bagi pasien setelah reseksi atau OLTX masih belum
jelas. Telah ditemukan bahwa tidak ada manfaat yang jelas dalam kelangsungan

hidup dalam keadaan bebas penyakit atau secara keseluruhan baik untuk pendekatan
adjuvant maupun neoadjuvant,
Karsinoma Hepatoseluler Stadium III dan IV
Pilihan bedah tumor menjadi lebih sedikit pada HCC stadium III. Pada pasien
tanpa sirosis, hepatectomi adalah layak, meskipun mempunyai prognosis yang buruk.
Pasien dengan sirosis Child A dapat direseksi, tetapi lobektomi berhubungan dengan
morbiditas yang signifikan dan kematian, dan prognosis jangka panjangnya adalah
kurang. Namun demikian, sebagian kecil pasien akan mencapai kelangsungan hidup
jangka panjang. Karena sifat dari tumor ini, setelah reseksi berhasil dapat diikuti oleh
kekambuhan yang cepat. Pasien-pasien pada stadium ini bukan kandidat untuk
dilakukannya transplantasi karena adanya tingkat kekambuhan tumor tinggi, kecuali
tumor mereka bisa turun-bertahap terlebih dahulu dengan terapi neoadjuvant.
Mengurangi ukuran tumor primer dapat dilakukan untuk menguragi operasi, dan
penundaan operasi dilakukan untuk penyakit yang extrahepatic dengan menggunakan
studi imaging dan menghindari OLTX karena tidak akan membantu. Stadium IV
memiliki prognosis yang buruk, dan tidak ada pengobatan bedah yang dianjurkan. (1)
Kemoterapi sistemik
Sejumlah besar studi klinis terkendali dan tidak terkendali telah dilakukan
pada sebagian besar kelompok utama kemoterapi kanker. Tidak ada obat tunggal atau
obat kombinasi yang diberikan secara sistemik berpengaruh baik, bahkan hanya
mengarah ke tingkat respons sebesar 25% atau hanya sedikit berpengaruh kepada
kelangsungan hidup.(1)

Kemoterapi Regional
Berbeda dengan hasil buruk pada kemoterapi sistemik, berbagai agen yang
diberikan melalui arteri hepatik memiliki aktivitas yang terbatas pada HCC (Tabel
2.6). Dua uji terkontrol acak telah menunjukkan keunggulan untuk bertahan hidup
untuk TACE dalam subset yang dipilih pasien. Satu digunakan doxorubicin dan
lainnya menggunakan cisplatin. Terlepas dari kenyataan bahwa terjadi peningkatan
ekstraksi hepatik dari kemoterapi untuk obat sangat sedikit, beberapa obat seperti
cisplatin, doxorubicin, C mitomycin, dan mungkin neocarzinostatin menghasilkan
respon yang cukup besar bila diberikan secara regional. Hanya sedikit data yang
tersedia pemberiannya melalui infus arteri secara terus-menerus untuk HCC,
meskipun studi utama dengan cisplatin telah menunjukkan respon yang baik. (1)
Karena laporan kelangsungan hidup tidak dibuat berdasarkan berdasarkan
stadium TNM, sulit untuk mengetahui prognosis jangka panjang dalam hubungannya
dengan batas tumor. Sebagian besar penelitian tentang kemoterapi arteri hepatik
regional juga menggunakan agen embolisasi seperti ethiodol, gelatin partikel spons
(Gelfoam), pati (Spherex), atau mikrosfer. Dua produk yang terdiri dari mikrosfer
didefinisikan dengan ukuran berkisar-Embospheres (biosphere) dan Sensual SEmenggunakan partikel 40-120, 100-300, 300-500, dan 500-1000 m ukurannya.
Diameter optimal partikel untuk TACE belum didefinisikan.

HEPATITIS
A. Pengertian
Hepatitis adalah peradangan yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh
infeksi atau oleh toksin termasuk alcohol. Hepatitis virus merupakan infesi sistemik
oleh virus disertai nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang merupakan kumpulan
peruahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas.

B. Etiologi
Penyebab hepatitis adalah virus hepatitis yang dibagi menjadi:
1. Hepatitis A, disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV) yang merupakan virus RNA
dari famili enterovirus yang berdiameter 27 nm.
2. Hepatitis B, disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang merupakan virus DNA
yang berkulit ganda yang berukuran 42 nm.
3. Hepatitis C, disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang merupakan virus RNA
kecil terbungkus lemak yang berdiameter sekitar 30 sampai 60 nm.
4. Hepatitis D, disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV) yang merupakan virus RNA
detektif yang membutuhkan kehadiran hepatitis B yang berdiameter 35 nm.
5. Hepatitis E, disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV) yang merupakan virus RNA
rantai tunggal yang tidak berselubung dan berdiameter kurang lebih 32 sampai 34
nm.
6. Hepatitis F, Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum
sepakat hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
7. Hepatitis g adalah Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan
hepatitis B dan/atau C. Tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis
kronik. Penularan melalui transfusi darah jarum suntik.

C. Patofisiologi hepatitis B
1. Proses perjalanan penyakit
Virus hepatitis menganggu fungsi liver sambil terus beranak pinak di sel sel
liver. Akibat gangguan ini, sistem kekebalan tubuh bekerja untuk memerangi virus
tersebut. Dalam proses itu, bisa terjadi kerusakan yang berujung pada pandangan
liver. Perubahan morfologik pada hati seringkali serupa untuk berbagai virus yang
berlainan. Pada kasus yang klasik, ukuran dan warna hati tampak normal, tetapi
kadang kadang sedikit edema, membesar dan berwarna seperti empedu. Secara
histologik, terjadi asuhan hepato selular menjadi kacau, cidera dan nekrosis sel hati,
serta peradangan perifer. Perubahan ini reversibel sempurna bila fase akut penyakit
mereda pada beberapa kasus nekrosis submasif atau masif dapat mengakibatkan gagal
hati yang berat dan kematian.

2. Manifestasi klinik
Infeksi virus hepatitis dapat bervariasi mulai dari gagal hati berat sampai
hepatitis anikterik subklinis. Yang terakhir ini lebih sering ditemukan pada infeksi
HAV, dan seringkali mngira menderita flu. Infeksi HBV biasanya lebih berat
dibandingkan HAV, dan insiden nekrosis masif dan payah hati berat lebih sering
terjadi.Gejala-gejala prodormal timbul pada semua penderita dan dapat berlangsung
selama satu minggu atau lebih sebelum timbul ikterus meskipun tidak semua pasien
akan mengalami ikterus) yang dibagi dalam tiga stadium:
a. Stadium pra ikterik
Pada stadium ini berlangsung selama 4-7 hari klien mengeluh sakit kepala,
lemah, anoreksia, mual dan muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan
atas, urine menjadi lebih coklat.
b. Stadium ikterik
Stadium ini berlangsung selama 3-6 minggu, ikterik mula-mula terlihat pada
sklera. Kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang tetapi klien

masih lemah, anoreksia dan muntah, tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning
muda. Hati membesar dan nyeri tekan.

c. Stadium post 1 (rekovalensi)


Pada stadium ini ikterik mereda, warna urin dan tinja normal lagi,
penyembuhan pada anak lebih cepat dari orang dewasa yaitu pada akhir bulan kedua
karena penyebab yang biasanya berbeda. Banyak pasien mengalami atralgia, artritis,
urtikaria, dan ruam kulit sementara. Terkadang dapat terjadi glomerulonefritis.
Manifestasi ekstra hepatik dari hepatitis virus ini dapat menyerupai sindrom penyakit
serum dan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

1. Gejala Hepatitis A
Pada minggu pertama, individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti
kuning, keletihan,demam, hilang selera makan, muntah-muntah, pusing dan kencing
yang berwarna hitam pekat.
Demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak seperti demam
yang lainnya yaitupada demam berdarah, tbc, thypus, dll.

2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis A


Penderita yang menunjukkan gejala hepatitis A seperti minggu pertama
munculnya yang disebut penyakit kuning, letih dan sebagainya diatas, diharapkan
untuk tidak banyak beraktivitas serta segera mengunjungi fasilitas pelayan kesehatan
terdekat untuk mendapatkan pengobatan dari gejala yang timbul seperti paracetamol
sebagai penurun demam dan pusing, vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh
dan nafsu makan serta obat-obatan yang mengurangi rasa mual dan muntah.
Sedangkah langkah-langkah yang dapat diambil sebagai usaha pencegahan
adalah dengan mencuci tangan dengan teliti, dan suntikan imunisasi dianjurkan bagi
seseorang yang berada disekitar penderita.

2. Penyakit Hepatitis B
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong berbahaya
didunia, Penyakitini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati
dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Seperti hal Hepatitis C, kedua
penyakit ini dapat menjadi kronis dan akhirnya menjadi kanker hati. Proses penularan
Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau kontak dengan darah dari
orang yang terinfeksi Hepatitis B.
Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain penularan dari
ibu ke bayi saat melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah, jarum suntik, maupun
penggunaan alat kebersihan diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama. Hepatitis
B dapat menyerang siapa saja, akan tetapi umumnya bagi mereka yang berusia
produktif akan lebih beresiko terkena penyakit ini.
1. Gejala Hepatitis B
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah
demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera). Namun
bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut,
sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.
2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis B
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan
maka akan dilakukan periksaan darah. Setelah diagnosa ditegakkan sebagai Hepatitis
B, maka ada cara pengobatan untuk hepatitis B, yaitu pengobatan telan (oral) dan
secara injeksi.

a. Pengobatan oral yang terkenal adalah ;


- Pemberian obat
Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang dikenal dengan nama 3TC. Obat
ini digunakan bagi dewasa maupun anak-anak, Pemakaian obat ini cenderung
meningkatkan enzyme hati (ALT) untuk itu penderita akan mendapat monitor
bersinambungan dari dokter.

- Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral akan lebih
efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan berpengaruh buruk terhadap
fungsi ginjal.
- Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada penderita Hepatitis
B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah sakit kepala, pusing, letih,
mual dan terjadi peningkatan enzyme hati. Tingkat keoptimalan dan kestabilan
pemberian obat ini belum dikatakan stabil.

b. Pengobatan dengan injeksi/suntikan adalah ;


Pemberian suntikan
Microsphere yang mengandung partikel radioaktif pemancar sinar yang akan
menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi
Alfa Interferon (dengan nama cabang INTRON A, INFERGEN, ROFERON)
diberikan secara subcutan dengan skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 1216 minggu atau lebih. Efek samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada
penderita yang memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit
pada otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat
dihilangkan dengan pemberian paracetamol.
Langkah-langkah pencegahan agar terhindar dari penyakit Hepatitis B adalah
pemberian vaksin terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi terkena virus ini,
seperti mereka yang
berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti pasangan/homosexual), pekerja kesehatan
(perawat dan dokter) dan mereka yang berada didaerah rentan banyak kasus Hepatitis
B.
3. Penyakit Hepatitis C
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis C (VHC). Proses penularannya melalui kontak darah {transfusi, jarum
suntik (terkontaminasi), serangga yang menggiti penderita lalu mengigit orang lain
disekitarnya}. Penderita Hepatitis C kadang tidak menampakkan gejala yang jelas,

akan tetapi pada penderita Hepatitis C kronik menyebabkan kerusakan/kematian selsel hati dan terdeteksi sebagai kanker (cancer) hati. Sejumlah 85% dari kasus, infeksi
Hepatitis C menjadi kronis dan secara perlahan merusak hati bertahun-tahun.
1. Gejala Hepatitis C
Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak
menunjukkan gejala, walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun
beberapa gejala yang samar diantaranya adalah ; Lelah, Hilang selera makan, Sakit
perut, Urin menjadi gelap dan Kulit atau mata menjadi kuning yang disebut
"jaundice" (jarang terjadi). Pada beberapa kasus dapat ditemukan peningkatan
enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C
justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal.
2. Penanganan dan Pengobatan Hepatitis C
Saat ini pengobatan Hepatitis C dilakukan dengan pemberian obat seperti
Interferon alfa, Pegylated interferon alfa dan Ribavirin. Adapun tujuan pengobatan
dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh anda sedini mungkin untuk
mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati.
Pengobatan pada penderita Hepatitis C memerlukan waktu yang cukup lama bahkan
pada penderita tertentu hal ini tidak dapat menolong, untuk itu perlu penanganan pada
stadium awalnya.

Komplikasi
Tidak setiap pasien dengan hepatitis virus akan mengalami perjalanan
penyakit yang lengkap. Sejumlah kecil pasien memperlihatkan kemunduran klinis
yang cepat, adapun komplikasi yang dapat terjadi pada klien hepatitis adalah
ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh
akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati
hepatik. Kerusakan jaringan paremkim hati yang meluas akan menyebabkan sirosis
hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.

D. Penatalaksanaan Medis hepatitis B


1. Aktivitas / istirahat
Tirah baring selama fase akut dianjurkan hingga pasien bebas dari ikterus.
Aktivitas fisik bias any
a perlu dibatasi hingga gejala-gejala mereda dan tes fungsi hati kembali
normal, untuk itu beri istirahat secara bertahap pada masa penyemnuhan.
2. Diet
Berikan makanan dalam porsi kecil namun sering, dengan dianjurkan diet
rendah lemak, tinggi karbohidrat, yang ternyata cocok untuk selera pasien yang
mengalami anoreksia. Jika pasien mual, muntah, dan tidak nafsu makan, berikan infus
glukosa. Dan jika nafsu makan pasien mulai membaik, berikan makanan cukup kalori
(30 35) kal/kg BB) dan tinggi protein yang dapat mempercepat penyembuhan dan
tentunya cukup mengandung vitamin dan mineral.

3. Obat-obatan
a. Obat modern
Terapi / obat-obatan dilanjutkan seminimal mungkin terutama obat-obatan
yang bersifat toksik hati, misalnya sedatif. Beri obat-obatan yang bersifat melindungi
hati, berikan antibiotik, kortikostiroid ( tetapi tidak membantu penyembuhan hepatitis
akut), antiemetik (bila diperlukan/ bila perlu sekali) dan vitamin K pada kasus
kecenderungan perdarahan.

Anda mungkin juga menyukai