Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Prevalensi amubiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan
10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal
atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk
yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.
Infeksi kolitis amubik disebabkan oleh Entamoeba histolytica, suatu
parasit protozoa yang mampu menyerang mukosa usus dan menyebar ke organ
lain,terutama liver. Menurut UNESCO, kejadian amubiasis saat ini mencakup 50
juta orang yang terinfeksi dan lebih dari 100.000 orang meninggal akibat
amubiasis. Di Indonesia, sebuah negara berkembang, kolitis amubik masih
merupakan masalah penting kesehatan masyarakat karena diagnosis dan
manajemennya masih menjadi problem. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengkaji Kolitis Amubik dengan harapan dapat menambah pengetahuan
kita tentang kolitis amubik.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolitis amubik adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon yang
disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi amubiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan
10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal,
atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk
yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.
Pasien

yang

asimtomatik

tanpa

adanya

invasi

jaringan,

hanya

mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar
tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut atau kronik
yang invasif selain kista juga mengeluarkan tropozoit, namun bentuk tropozoit
tersebut tidak dapat bertahan lama di luar tubuh manusia.
2.3 Patofisiologi
Entamoeba histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan torpozoit
yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam.
Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan tropozoit yang
akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan
bervariasi, sebagian besar asimptomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya
ringan sampai berat.

Berdasar pola isoenzimnya, Entamoeba hystolitica dibagi menjadi


golongan zymodeme patogenik dan zymodeme non-patogenik. Walaupun
mekanismenya belum seluruhnya jelas, diperkirakan tropozoit menginvasi dinding
usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan
imunosupresi seperti pemakai steroid memudahkan invasi parasit ini. Penglepasan
bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa.
Bila proses berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined,
kedalaman ulkus mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus
menebal dengan sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal.
Ulkus dapat terjadi di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon
asenden dan sigmoid, kadang-kadang appendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell- mediated amubisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut
amoeboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.
2.4 Gejala klinis
Gejala klinis pasien amoebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis
keadaan klinis pasien amoebiasis adalah sebagai berikut:
1. Carrier (cyst passer): amoeba tidak mengadakan invasi ke dinding usus,
tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi,
obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh

sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis
amoeba.
2. Disentri amoeba ringan: kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare
ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir,
keadaan umum pasien baik.
3. Disentri amoeba sedang: kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan
4. Disentri amoeba berat: diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia
5. Disentri amoeba kronik: gejala menyerupai disentri amoeba ringan,
diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun, neurastenia, serangan diare biasanya timbul karena
kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.
2.5 Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengidap amubiasis kolon, pertama kali
diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan (lihat
algoritma diagnosis). Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis,
dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari adanya
bentuk trofozoit. Untuk identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan
pengecatan trichrome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja.
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba,
positif pada 85-95% pasien dengan infeksi amoeba yang invasif.
Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada
pasien amoebiasis akut. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan

terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas,
dengan dasar yang melebar (undermined), dan dilapisi dengan eksudat putih
kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trfozoit biasanya
dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian
diperiksa dengan mikroskop setelah diberi larutan garam fisiologis.
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambarannya
sangat bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbetuk amoeboma tampak sebagai
filling defect.
2.6 Diagnosis Banding
Kolitis amubik sangat perlu dibedakan dan kolitis ulserosa atau kolitis
Crohn karena pemberian kortikosteroid pada kolitis amubik menyebabkan
penyebaran organisme dengan cepat dan dapat menimbulkan kematian pasien.
Diagnosis banding yang lain adalah kolitis karena infeksi shigelle,
salmonella, campylobacter, yersinia, E. coli patogen, dan kolitis pseudomembran.
2.7 Komplikasi
1. Intestinal. Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, amoeboma,
intususepsi, dan striktur.
2. Ekstraintestinal. Dapat terjadi abses hati, amoebiasis kulit, amoebiasis
pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.
2.8 Penatalaksanaan
- Perbaikan keadaan umum, misalnya infus cairan, bila perlu transfusi darah,
serta obat-obat simptomatik.

- Obat-obatan yang digunakan:


1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents)
antara lain: Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari
selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari
2. Kolitis amoeba akut. Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari,
ditambah dengan obat luminal tersebut di atas.
3. Amoebiasis ekstraintestinal (misalnya: abses hati amoeba). Metronidazol
750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal
tersebut di atas. Penggunaan 2 macam atau lebih amoebisidal
ekstraintestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.
Beberapa

obat

yang

juga

dapat

digunakan

untuk

amoebiasis

ekstraintestinal antara lain: 1). Kloroquin fosfat 1 gram per hari selama 2 hari
dilanjutkan 500 mg/hari selama 19 hari. 2). Emetin 1mg/kgBB/hari I'm (maksimal
60 mg) selama 10 hari. Emetin merupakan obat yang efektif untuk membunuh
trofozoit di jaringan atau yang berada di dinding usus, tetapi tidak bermanfaat
untuk amoeba yang berada di lumen usus. Beberapa dasawarsa yang lalu emetin
sangat populer namun saat ini telah ditinggalkan karena efek toksiknya, yaitu
dapat menimbulkan mual, muntah, diare, kram perut, nyeri otot, takikardia,
hipotensi, nyeri prekardial, dan kelainan EKG berupa inversi gelombang T dan
interval QT memanjang, sedangkan aritmia dan QRS yang melebar jarang
ditemukan. Disarankan pasien yang mendapatkan obat ini dalam keadaan tirah
baring dengan pemantauan EKG. Hindari penggunaan emetin bila terdapat
kelainan ginjal, jantung, otot, sedang hamil, atau pada anak-anak, kecuali bila obat
yang lain gagal.

DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, Jakarta.
Gaung Perwira, 2011, Kolitis, diakses tanggal 13 April 2011, <http://
www.scribd.com/doc/52568798/Makalah-Kolitis>.
Hery Djagat dkk, 2006, Chronic Diarrhea Caused by Amebic Colitis and
Inflammatory Bowel Disease, diakses tanggal 13 April 2011, <http://
www.ina-ghic.or.id/?page=jurnal_download_full_paper...id=3>.
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, 2008, RSU
dr. Soetomo, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai