PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi
klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh
reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah
reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan
laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total pemakaian obat1,4,6
obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan.
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance
Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar
2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.
Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah
mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000
jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat
1,5
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme
ini.
1,4
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem
imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan
risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
1,4,6
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang
dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang
dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4,6
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat
menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan
timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
7
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian,
berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan
bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila
dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat
3,6
menyelesaikan perawatannya.
2.2. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis
dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi
hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai
hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme
non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan
1
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
terhadap antigen.
dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
3
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat dijelaskan.
menimbulkan urtikaria.
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333352
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan hilang pada
penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya lentikuler maka disebut
2
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu efloresensi yang
2
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang tidak hilang
bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan biasanya disebabkan oleh
2
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa. Erupsi yang
muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi
perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi.
Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan
hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat
dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan
perubahan warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
2,7
penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium diketahui bahwa T
sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat menangkap jenis obat tanpa perlu
7
memodifikasi protein dari hapten. Jika kelainan ini timbul berkali-kali ditempat yang sama maka
2
Press.
2006.
Access
on:
June
3,
2007.
Available
nd
ed.
at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki,
sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di tempat yang sama maka
2
Gambar 2.2. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan oleh penggunaan
obat golongan sefalosporin.
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333352
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala umum berupa
2
demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai bawah.
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada umumnya yang
biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat terlihat adanya eritema tanpa
2
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis Eksantematosa
Generalisata Akut (PEGA).
1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida, bromida,
ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan actinomisin. Erupsi timbul
pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan dan kaki berbentuk monomorf
7
target. Kelainan kulit timbul bila seseorang mengalami demam tinggi (>38 C). Pustul
tersebut cepat menghilang dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti
oleh deskuamasi kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal
atau
subcorneal
yang
dapat
disertai
edema
dermis,
vaskulitis,
infiltrat
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug eruption (FDE),
erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN
pemphigus foliaceus.
ii. Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua
minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya
dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang
soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi
suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah,
tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka
FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa
dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di
dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis,
dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat
2,4,8
peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi.
Gambar 2.3. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan pada penderita FDE
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333352
iii. Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:
Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
buruk.
v. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan
pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada
kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka
9
sepsis.
Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed
on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf07AlergiObat006.mht
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan ditandai dengan
urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut syok anafilaksis.
Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah pernberian obat dan
kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau
edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat
dan lambat ini ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem
4,6
alergi adalah:
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
o Uji tusuk (prick/scratch test)
o Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
a. Yang diperantarai antibodi:
o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test
legalnya.
Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu
membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau
bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk
digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam tahap
penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu dalam penegakkan
1,3
diagnosis klinis.
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami reaksi obat
yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti eritroderma, blister, purpura
dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul beberapa setelah penggunaan obat. Perlu
diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan
7,10
penggunaan obat.
2.4 Diagnosis
2
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi dan
distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua jenis obat
yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta
jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan.
Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi
obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat
1
persisten.
Faktor kronologis
saat
dilakukan
pemaparan
kembali
Literatur
Data
yang
perusahaan obat
dikumpulkan
oleh
Daftar
pemakaian
obat
peringatan
Bibliografi obat
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd
edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
2.5 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine adalah drug of
choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan
simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi
penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa
1,6
dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.
dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
1,4
pemulihan.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
1,9
dengan
dengan kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah.
Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan
2,9
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
9
2.6 Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat
diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan
kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada
2,4,9
luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit.
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In: American
Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.aafp.org/afp
BAB III
KESIMPULAN
1. Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
2. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat dari erupsi alergi obat.
3. Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang
dengan sistem imunitas, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan.
4. Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis
dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
5. Mekanisme imunologis sesuai dengan konsep imunologis yang dikemukakan oleh
Commbs dan Gell yaitu; Tipe I (Reaksi anafilaksis), Tipe II (Reaksi Autotoksis), Tipe III
(Reaksi Kompleks Imun), Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat).
6. Mekanisme Non Imunologis dapat disebabkan pelepasan mediator sel mast secara
langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada
metabolisme enzim asam arachidonat sel. Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan
hiperpigmentasi generalisata diffuse.
7. Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya,
gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, erupsi
eksantematosa, eritroderma, erupsi pustuler, dan erupsi bulosa.
8. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in vivo. Belum
ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup reliabel
untuk digunakan secara rutin.
9. Penatalaksanaan penyakit ini terdiri dari penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan
khusus. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif
sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama
pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin.
10. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.
DAFTAR PUSTAKA
1. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd edition.
Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p: 333-352
2. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142
3. Andrew J.M, Sun. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4 4XN.
U.K..
1993.
Access
on:
June
3,
2007.
Available
at:
http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
nd
4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2 ed. Pharmaceutical
Press.
2006.
Access
on:
June
3,
2007.
Available
at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp
6. Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976. Accessed on: June
3,
2007.
Available
from:
www-portalkalbe-files-cdk-files-07AlergiObat006_pdf-
07AlergiObat006.mht
7. Shear NH, Knowles SR, Sullivan JR, Shapiro L. Cutaneus Reactions to Drugs. In:
th
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6 ed. USA: The Mc Graw Hill Companies,
Inc. 2003. p: 1330-1337
8. Docrat ME. Fixed Drug Eruption.In: Current Allergy & Clinical Immunology. No.1. Volume
18. Wale Street Chambers. Cape Town. 2005. Access on : June 3, 2007. Available at:
www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta
Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media
Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139
10. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at:
www.jipmer.edu